Please, add your self in my guestbook...

Minggu, November 23, 2008

Bisa Berjalan

Akhirnya aku bisa berjalan...
(23 Nov 2008, Wisma LAN Jakarta)



JATUH untuk BANGKIT KEMBALI

Terjatuh saat belajar berjalan...
Ya terjatuh, Untuk kemudian
BANGKIT KEMBALI

Ayo EUREKA!
Kamu BISA!!!

23 Nov 2008
Lokasi : Wisma LAN Jakarta


Senin, November 10, 2008

Mbah Surip ; I LOVE YOU FULL.. hah, hah, hah, hah...


Mbah Surip ; I LOVE YOU FULL…! Hah..hah..hah..hah…

Saya mengenalnya diakhir tahun 2002, ketika itu saya menjadi ketua panitia dalam even ‘Menjemput Tahun Tanpa Kekerasan’ yang diadakan oleh Jaringan Pekerja Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Dalam acara (menyambut tahun baru) itu kami menggelar acara kesenian, mulai dari teater, musik, puisi, maupun kesenian tradisional. Disamping suguhan pertunjukan dari banyak kelompok teater di Jakarta, juga dari beberapa penampil kesenian tradisional yang kami hadirkan dari Aceh, Jawa dll., banyak pula tokoh seniman dan budayawan yang tampil malam itu seperti; Putu Wijaya, Ratna Riantiarno, (alm) Harry Roesli, Ratna Sarumpaet, Soetardji C. Bachri, Jose Rizal Manua, PM. TOH, dan masih banyak lagi sehingga pergelaran malam itu beralngsung semalam suntuk.

Diakhir acara, menjelang subuh, seorang yang terkesan sangat ’seniman’, pakaiannya nyentrik, rambut gimbal, menenteng sebuah gitar, naik keatas panggung dan... ”hah..hah..hah..hah....” ia memulai dengan tertawa yang khas. Saya pun terkesima dan larut dalam keceriaan yang di hadirkan Mbah Surip.

* * *

Berikutnya saya sering melihat Mbah Surip di setiap acara ”Kenduri Cinta” (yang –sebut saja—diasuh oleh Emha Ainun Nadjib) setiap jumat malam minggu kedua setiap bulan. Kenduri Cinta adalah semacam wadah silaturahim antar umat. Walaupun Cak Nun (Emha Ainun Nadhib) sering mengajak sholawatan, tetapi tamu yang diundang beragam, mulai dari pendeta atau romo, politikus, pengusaha, preman, dan lain-lain. Di Kenduri Cinta semua boleh bicara apa saja. Selain ngobrol dalam sarasehan, ada pula waktu disediakan buat para penampil di Kenduri Cinta, mau main musik silakan, mau baca puisi silakan, mau ludruk-an silakan. Semuanya boleh asal dalam bingkai cinta. Dan Cak Nun melengkapi Kenduri Cinta dengan sentilan-sentilan yang kritis tapi ndagel, sejuk menyentuh bahkan kadang panas membakar.

Dan Mbah Surip salah satu yang saya tunggu-tunggu penampilannya di Kenduri Cinta. Sehingga alasan saya ke Kenduri Cinta tidak jelas lagi apakah karena Cinta yang ditawarkan Cak Nun atau karena kehadiran Mbah Surip disana. Tetapi itu tidak penting.

Sosok Mbah Surip adalah sosok yang periang. Ia selalu menghadirkan kegembiraan dalam setiap tarikan nafasnya. Bahkan tidak sakit hati terhadap setiap olok-olok yang ditujukan padanya. Semua ditanggapi dengan tawa, hah..hah..hah..hah... Malah lalu ia akan katakan ”I LOVE YOU FULL... hah..hah..hah..hah...”. Dan naif rasanya jika meragukan cintanya itu. Karena ia manusia yang selalu diliputi cinta, bahkan ia menjelma cinta. Seharusnya lebih banyak lagi manusia seperti Mbah Surip itu di negeri ini, manusia yang penuh cinta. Memandang segala sesuatu bukan berdasarkan nafsu dan kepentingan pribadi semata, tetapi memandang dan memperlakukan segalanya dengan sesuatu yang paling hakiki : CINTA. Dialah pejuang cinta, manusia cinta. Hah..hah..hah..hah... I LOVE YOU FUL...!!!

Kata ”I Love You Full” sangatlah sarat makna. Menunjukkan keberpihakan dan totalitas Mbah Surip atas cinta. Cintanya selalu ”Full”, tulus, penuh, tidak pernah setengah-setengah. Dan yang penuh itu, ia tebarkan semua ke seluruh jagad raya. Dan cinta selalu menghibur luka, memadamkan amarah dan dendam, melenturkan keakuan. Maka tak heran jika Mbah Surip naik panggung dan bernyanyi, selalu penuh gelak tawa penonton. Yang patah hati seketika sembuh lukanya, yang gelisah karena pengangguran seketika tentram hatinya, yang teraniaya oleh kekuasaan seketika terbit senyum dan tawanya, yang ngga tau siapa dirinyapun larut dalam kegembiraan...

Begitulah Mbah Surip. Saya menganggapnya sebagai ”sufi”. Lantaran ia tak lagi tergoda oleh gemerlap dunia, ia tak butuh puja-puji, ia tak perlu dikasihani, karena CINTA telah cukup memenuhi hidupnya.

* * *

Yang Khas dari Mbah Surip (yang ternyata nama aslinya adalah Urip Aryanto dan konon pernah sekolah di STM Brawijaya Mojokerto) ini adalah rambut gimbalnya, tawanya, penampilannya dan gitarnya. Dulu pernah kami tanyakan soal rambut gimbalnya. Dia bilang dia tidak melakukan permak rambut di salon agar jadi gimbal ala Bob Marley itu. Tapi katanya ia pakai kompor minyak tanah, diatasnya ia letakkan seng, kemudian rambutnya ia panaskan disitu sambil di bentuk jadi gimbal.

”Masa’ tho mbah? Yang bener?”
”Hah..hah..hah.. I Love You Full...” begitu jawaban Mbah Surip. Entah itu sebagai pembenaran atau sebaliknya. Baginya apapun tidak masalah.

Rambut gimbal dan penampilannya yang –sebut saja—lusuh dan terkesan asal-asalan itu mungkin sering membuat orang menjauhinya. Takut. Padahal kenyataan fisik tak selalu berbanding lurus dengan hatinya. Bahkan mungkin banyak yang menganggapnya sebagai orang gila, ndak waras. Tapi Mbah Surip tak peduli dengan predikat apapun yang diberikan padanya. Lha kalu dia cuek saja, kenapa anda yang jadi sewot? Bukankah anda yang ngaku-ngaku waras justru sering berbuat ”gila”? Hah..hah..hah..hah... I Love You Full...

* * *

Ngrasani Mbah Surip rasanya tak lengkap jika tidak melongok lagu-lagu ”HITS”nya. Saya tidak tahu persis seberapa banyak lagu-lagu yang sudah Mbah Surip cipta, tetapi saya hanya hafal beberapa. Lagu-lagu Mbah Surip begitu spontan dan sederhana tetapi selalu kontekstual dan mengena. Coba simak syair lagu berikut :

Tak Gendong, Kemana-mana
Tak Gendong , Kemana-mana
Enak Dong, Mau Dong, Lagi Dong

Where Are You Going
Okay, I am Coming
Where Are You Going
Okay, My Darling

Tak Gendong Kemana-mana
Tak Gendong, Kemana-mana
Enak Dong, Lagi Dong
Mau Dong, Tambah Dong
Capeeeeekkkk....


Dalam lagu itu tergambar betapa Mbah Surip menyediakan dirinya untuk ‘menggendong’, menolong yang lemah dan butuh tumpangan, membantu yang jatuh, mengangkat yang nista, untuk kemudian memanusiakannya. Apa lagi jika bukan CINTA namanya.

Saat kita masih kecil dulu, orang tua kita senantiasa menggendong kita. Begitulah caranya orang tua memperlakukan anaknya dengan cinta dan kasih sayangnya. Ditimang-timang dan di nina-bobo kan. Begitu juga dengan Mbah Surip. Ia memiliki jiwa ’ngemong’ karena jiwanya selalu terpelihara dengan cinta.

Simak juga syair lagu Mbah Surip berikut :

Bangun tidur, tidur lagi
Bangun lagi, tidur lagi
Baguuuuuunnnn...
Tidur lagi

Bangun tidur ayo terus mandi
Jangan lupa menggosok gigi
Habis mandiiiii...
Tidur lagi


Ini sebuah satir tentang ’kita’. Yang terlelap dalam tidur berkepanjangan. Seharusnya kita sudah bangkit dan berbuat sesuatu yang berguna, tetapi kita memilih tidur. Ketika diluar sana keadaan tak menentu, harga-harga sembako naik, BBM tak tak turun-turun harganya padahal harga minyak sudah turun drastis, sodara-sodara kita di Porong sampai kini tidak jelas nasibnya, para petani banyak yang gagal panen, banjir mulai menyambangi kampung-kampung dan kota kita, korupsi terus tumbuh subur, orang-orang rebutan kekuasaan dan sibuk mempersiapkan strategi pemenangan pemilu 2009, dst... tapi ’kita’ masih tidur, tidak bangun-bangun.

Kita pernah bangun, tapi hanya eforia sesaat. Sekejap saja kita bangkit dari tidur, mandi, lalu ’kita’ tidur lagi. Kita tidak pernah menjaga semangat kebangunan. Kita lupa bahwa cita-cita tidak bisa terwujud hanya dengan tidur dan bermalas-malasan. Harus bangkit dan berbuat sesuatu yang nyata, itu semua butuh kerja keras. Jika kesejahteraan yang kita inginkan bersama, jika kita ingin mengangkat harkat dan martabat kita bersama, seharusnya kita segera bangun, bangkit dan segera bertindak.

Mbah Surip menyadari sepenuhnya bahwa perubahan tidak akan tercipta dengan kemalasan. Sedangkan kemalasan telah menjadi karib kita. Mbah Surip gelisah. Namun tetap saja diakhir lagu ia tertawa, hah..hah..hah..hah... I LOVE YOU FULL...!

Lagu berikut cukup membuat saya kaget dan terperangah. Idenya syairnya gila tapi kena. Mbah Surip biasanya memulai dengan petikan gitar yang ’metal’ tapi ngawur tanpa ’cord’, asal dibunyikan bahkan dibuat bising dan memekakkan telinga, justru distorsi itu yang memperkuat ruh lagu ini. Begini syairnya :

Whaaaaaahhh.... Whaaaaaahhh... Awaaaaaasss... Awaaaaaasss... Setan-setan kerasukan manusia Setan-setan kerasukan manusia Sundel bolong.. datanglah... Sundel bolong.. datanglah... Datang nggak apa-apa... Nggak datang juga nggak apa-apa... Whaaaaaahhh... Whaaaaaaahhh...
Edan! Mbah Surip benar-benar jeli. Normalnya, manusialah yang seharusnya kerasukan setan. Tetapi bagi Mbah Surip, setan-setanlah yang kerasukan manusia. Karena ia melihat fenomena menarik bahwa semakin banyak manusia bertabiat setan. Mungkin Mbah Surip juga kasihan sama setan, jika semua manusia sudah bertabiat setan, lalu apa kerja setan? Apakah mereka akan jadi pengangguran?

Sehingga kemudian, yang sehari-hari kita lihat dan saksikan, bahkan mungkin dirikita sendiri adalah sesungguhnya setan yang sedang kerasukan manusia. Itu berarti esensi kita adalah setan, dan kemanusiaan kita hanya sebagai pembungkus saja. Kita berlagak melakukan derma tapi dibalik itu kita sedang menancapkan kepentingan pribadi atau gerombolan, kita bermanis-manis saat kampanye tapi setelah duduk dalam kekuasaan kita justru menistakan kostituen kita, kita kritik para koruptor padahal dalam hati mengatakan kenapa bukan kita yang maling, Isn’t That Interesting...?

Seringkali lagu yang Mbah Surip beri judul ”HENING” berikut ini yang ia jadikan lagu pamungkas, lagu penutupan. Kalau saya boleh lancang menerjemahkan syairnya, mungkin bisa saya tuliskan begini :

”....................................................................
......................................................................
......................................................................
....................................................................”


Tanpa musik tanpa suara, hanya beberapa detik, lalu ia bilang ”Terimakasih, hah..hah..hah..hah...”

Sungguh ke”HENING”an itu bisa menjelma jutaan puisi, bisa di interpretasikan menjadi berpuluh-puluh buku tebal. Karena hening bukan berarti hampa dan kosong. Bukankah segala yang ada berasal dari yang tiada? Bukankah semua yang terlihat berasal dari yang tak terlihat? Mbah Surip begitu jenius menginterpretasikan sebuah keheningan.

Dalam keheningan itu ada energi. Dalam keheningan itu terciptalah koordinasi antara pikiran sadar dan bawah sadar. Hening adalah ketika eksistensi bersinggungan dengan alam ruh, ketika garis ke-fana-an bertemu dengan keabadian pada satu titik ordinat, pada saat itu seluruh indera kita menjadi aktif, menangkap segala yang tampak dan yang tak.

Saya kira Mbah Surip sedang memperingatkan kita. Hidup kita begitu bising dengan kepentingan dan hasrat duniawi. Dan kita menjadi lupa dan hilang kewaspadaan kita. Kita menjadi orang yang tidak peka lantaran kita tidak pernah mengasah bathin dan hati nurani kita, dunia kita tampak suram karena kita selalu lupa membersihkan jendela hati kita, kita sering terkagum-kagum dan terpana bahkan tergoda melihat keindahan dunia sebab kita telah memadamkan cahaya ilahiah dalam kalbu kita.

* * *

Saya sebenarnya tak mengidolakannya, dan saya tahu persis Mbah Surip juga tidak akan mau di idola-idolakan. Saya hanya iri mengapa ia begitu berhasil menghadirkan kegembiraan dalam kehidupannya setiap saat, tak pernah bosan menebarkan cinta kepada sesama. Dan tulisan ini semata karena respek dan cinta saya kepada Mbah Surip.

Suatu kali saya menonton televisi. Kebetulan Mbah Surip di wawancarai dalam obrolan ringan. Kepada anak saya AYA (Eureka Digdaya) yang baru genap 1 tahun usianya, yang sorot matanya tertuju pada sosok gimbal di kaca televisi, saya katakan, ”Ay.. itu namanya Mbah Surip. Dia orang baik, karena hidupnya selalu penuh cinta dan kasih sayang. Begitulah seharusnya kita hidup, selalu penuh cinta...”

”Hah..hah..hah..hah... I Love You Full...” kata Mbah Surip di televisi.

MEDIA = TERORIS (?) ; metafora berita koran pagi


MEDIA = TERORIS (?) – Metafora Berita Koran Pagi

(Ray Asmoro)

Antara Sariman dan Amrozi Cs memang tidak ada hubungan darah dan kekerabatan. Satu-satunya yang dapat menghubungkan antara mereka adalah bahwa Sariman dan Amrozi Cs adalah sama-sama manusia, ciptaan Tuhan. Itu saja, ndak lebih dan ndak kurang. Hanya saja bedanya, Sariman tidak mendapat ’cap’ sebagai teroris dan Amrozi Cs di ’stempel’ sebagai teroris.


Drama eksekusi mati Amrozi Cs, cukup melelahkan untu diikuti. Setelah tertangkap 3 tahun lalu dan telah lama juga diputuskan bersalah oleh pengadilan, tapi pelaksanaan eksekusi sempat tertunda-tunda. Dalam waktu itu hingga kini berita tentang Amrozi Cs berseliweran di media cetak maupun televisi. Ada yang mengingatkan betapa sadis dan biadabnya perbuatan mereka, beberapa media menurunkan berita misalnya bagaimana gambar dan kehidupan para korban bom bali saat ini. Tetapi ada juga yang mengupas habis kehidupan Amrozi Cs, seperti layaknya pahlawan.


Teroris atau pahlawankah mereka? ”Entahlah” kata Sariman. Bagi ’dunia’ mereka dianggap teroris karena mengancam keamanan dan keselamatan umat manusia. Tetapi mungkin mereka juga pahlawan dalam konsep mereka tentang ’perjuangan’ yang mereka yakini. Hanya saja keyakinan mereka sering bertabrakan dengan yang lain. Maka teroris dan pahlawan menjadi abu-abu bagi Sariman. Layaknya seorang maling ayam, dia maling lantaran mengambil yang bukan haknya, tetapi dia menjadi pahlawan bagi keluarganya karena ia melakukan itu demi memperjuangkan sekolah anaknya misalnya. Bukankan memperjuangkan agar anak bisa sekolah dan menuntut ilmu itu baik? Ya, walupun caranya salah. Dan Amrozi Cs bagi banyak kalangan layak di cap sebagai teroris tetapi bagi media hmmm... bukankah ia ’pahlawan’ yang mampu mendongkrak rating dan oplah dengan menurunkan beritanya dengan begitu ’heboh’.


Media massa begitu piawai dalam mengemas sebuah berita menjadi begitu sensasional. Dan sayangnya yang sensasional dan ”sexy” itu adalah berita-berita yang justru negatif seperti tindak kejahatan, kriminal, korupsi, teroris, narkoba, artis kawin-cerai, dan sebagainya. Sedangkan berita tentang misalnya keberhasilan pemerintah dibidang tertentu tidak mendapat cukup ruang. Sehingga kemudian kita setiap hari, setiap saat, di bombardir oleh berita-berita ”heboh” tadi.


KOMPAS hari ini (10/10/2008) menurunkan sebuah headline ”Media Bisa Menginspirasi Kejahatan”. Gejala yang tampak adalah munculnya kemiripan kasus-kasus kriminalitas yang menonjol tahun ini, katanya. Kita tentu masih ingat cerita anak SD yang luka-luka karena di ’smack-down’ oleh temannya sendiri. Kasus mutilasi juga semakin sering kita dengar. Dan media memperlihatkan fakta-fakta itu begitu heboh, seolah-olah tanpa peduli akan pengaruhnya kepada masyarakat. Padahal untuk (khususnya) televisi, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) telah mengaturnya, tetapi kenyataannya KPI tidak cukup punya ’gigi’ untuk berbuat lebih jauh terhadap media yang tidak menjalankan aturan.


Realitanya, media cetak maupun televisi menyajikan hal-hal negatif dalam kehidupan kita, setiap hari bahkan setiap saat. Berita-berita itu sedemikian hebohnya, sehingga menjadi teror mental bagi kita semua, bagi anak-anak kita. Setiap saat kita di teror, dimana-mana kita di teror. Tidak ada tempat yang steril dari teror. Bukan hanya media massa, semua akhirnya berlomba-lomba melakukan teror. Pemerintah melakukan ’teror’ dengan kebobrokan birokrasi dan menjamurnya korupsi, saudara-saudara kita di porong terababaikan justru Lapindo di proteksi, apa itu bukan teror bagi rakyat? Organisasi-organisasi masa bertindak sewenang-wenang, merasa diri dan kelompoknya paling benar, lalu berkonvoi di jalanan sambil mengibarkan benderanya, kemudian dengan tongkat mereka ’merusak’ dengan mengatasnamakan agama dan kebenaran. Apakah itu bukan teror? Kita selalu mengatakan kepada anak-anak kita, ’jangan nakal ya, kalau nakal saya pukul nanti’ atau ’awas kalau tidak belajar, saya kurung dikamar mandi kamu’, apakah itu bukan teror bagi anak-anak kita?


Maka siapa teroris itu?


Sariman memetik gitarnya, lalu mengalunlah sebuah lagu... ”TERORejing... torejing-torejing... TERORejing...”


Senin, November 03, 2008

Jakarta TAK TERBENDUNG !!!

Jakarta Tak Terbendung

(RAY ASMORO)


Berbangga lah kita menjadi warga negara Indonesia!

Indonesia kita ini kaya raya dan memiliki pesona keindahan yang tiada tara. Bahkan pernah di gambarkan bahwa Indonesia ini bak potongan kecil dari surga. Itu baru dari sisi kekayaan alamnya, keindahan dan pesona budayanya. Sejarah membuktikan betapa orang-orang Indonesia memiliki daya cipta yang adiluhung. Sebut saja misalnya peninggalan sejarah seperti Candi Borobudur. Itu menunjukkan betapa hebatnya daya cipta dan karsa orang-orang tempo dulu di bumi nusantara ini. Dunia pun mengakuinya sebagai sebuah keajaiban.

Sejarah pembangunan di republik ini juga sangat luar biasa. Bahkan kita semua kala itu yakin dan percaya bahwa Indonesia kita ini akan menjadi mercusuar dunia. (Namun sayang, kini tidak pernah terdengar lagi kalimat yang di dalamnya menyimpan pengharapan sekaligus komitmen dan rasa bangga itu. Kalaupun ada yang mengatakan, kalimat itu diucapkannya dengan penuh ragu dan setengah hati).

Banyak ragam bentuk buah cipta karya manusia yang di akui dunia sebagai keajaiban. Sebut saja, menara pissa yang berdiri miring, tembok besar di cina, piramida di mesir, dan sebagainya. Namun ada satu yang luput dari pandangan dunia ; Jakarta!

Mengapa Jakarta? Ada apa dengan Jakarta?

Persoalan Jakarta tidak jauh dari masalah kemacetan dan banjir. Nah khusus tentang banjir, pemerintah setempat telah mengupayakan penanggulangannya dengan proyek banjir kanal, walaupun banyak orang menyangsikan efektifitasnya. Pengerukan lumpur di sungai-sungai Jakarta juga telah dicanangkan (konon katanya sampai akhir desember 2008). Lha kok desember? Itu pertanyaan Sariman. Bukankah desember itu bersamaan dengan datangnya musim hujan? Lagi-lagi ini membuat kita jadi sangsi, seharusnya sebelum datang musim hujan sudah kelar pengerjaannya sehingga ketika hujan datang, air melimpah, bisa tertampung dan mengalir kelaut. Kan begitu logikanya, sepertinya pemkot itu pada ngga memiliki timing awareness, kata Sariman. Eh, kalau jual jas hujan saat musim hujan, kalau jual es cendol saat musim panas, itu baru cerdas.

Belum lagi soal kesadaran warga tentang bagaimana memperlakukan sampah secara bijak. Jika pemerintah tidak memiliki timing awareness, warganya kurang mengerti fungsi dan nilai-nilai. Sungai dan selokan, di jadikan tempat sampah. Ini kan seperti mulut dan anus. Mulut untuk memasukkan makanan, anus untuk membuang kotoran. Apakah anda sadari fungsi itu? Jika tidak, hmmm betapa PILONnya anda.

Dari sisi politis... ”wah saya kira negeri ini terlalu di politisir, sehingga segala sesuatu harus dihitung untung-ruginya secara politis, kalau mau bangun infrastruktur musti dihitung seberapa besar peningkatan perolehan suara di pemilu mendatang”, kata Sariman. Akhirnya bukan mengadakan sesuatu yang memang seharusnya ada, tetapi membuat sesuatu ada hanya jika itu dapat memperkuat pijakan kekuasaan.

Dan Jakarta, adalah kota metropolitan yang unik. Sebagaimana kota Metropolitan, disini tempat semua kepentingan dari semua golongan tumplek bleg. Heterogenitas itu mungkin juga sebagai salah satu yang membuat permasalahan Jakarta semakin kompleks. Tapi apa salahnya dengan heterogenitas? Begitulah, akhirnya kita menjadi orang yang suka salah-menyalahkan satu sama lain dan bukan mengambil tanggungjawab masing-masing dan mengerjakannya secara benar.

Kompas pagi ini (4 November 2008) menurunkan headline ”Obama Sukar Dibendung” dan diatas headline itu terpampang sebuah foto banjir di daerah Bukit Duri. Ya, itulah salah satu kesamaan antara Obama dan Jakarta. Obama sulit dibendung, begitu pula Jakarta, airnya tak terbendung dan menggenang, membanjiri rumah-rumah warga.

Menurut pakar, Jakarta ini memang berada di tanah yang cekung. Bahkan seperti daerah aliran sungai, atau bahkan Jakarta pada hakikatnya adalah sungai. Hmmm, mungkin inilah satu-satunya ibu kota negara di dunia yang dibangun di dasar sungai, harusnya Jakarta menjadi salah satu keajaiban Dunia. Jangankan saat hujan, tidak hujanpun air menggenang.

Dan jika banjir datang, ada yang bersorak gembira. Karena itu sebuah momentum untuk ’jualan’ partai. Lihat saja kejadian yang sudah-sudah, begitu banjir melanda, bendera-bendera parpol berkibar-kibar, bahkan bungkusan nasipun di stempel logo parpol. Ya banjir telah menjadi komiditas. Dan kita menikmatinya.

Rabu, Oktober 22, 2008

Kuncinya adalah KOMUNIKASI ! ( # 2 )

FORMULA KOMUNIKASI EFEKTIF (2) – NLP Series


Seperti disinggung sebelumnya, orang bisa berkomunikasi dengan baik jika memiliki kecenderungan yang sama, atau memiliki banyak persamaan. Nah, ini sesungguhnya menjadi peluang bagi kita untuk bisa ’masuk’ dalam membangun komunikasi. Pada umumnya orang cenderung minta dimengerti daripada mengerti orang lain. Kecenderungan ini bisa kita manfaatkan. Kita mengerti dulu untuk bisa dimengerti. Ketika kita hendak menyampaikan sebuah pesan atau informasi, mungkin kita perlu ’mengerti’ dulu orang lain agar ia mengerti kita pada akhirnya.


Itu sebuah konsep sederhana. Sama dengan hukum kausalitas, sebab-akibat. Jika ’akibat’ yang kita inginkan adalah orang mengerti kita, maka kita harus penuhi dulu ’sebab’nya orang bisa mengerti kita yaitu kita berusaha mengerti orang lain. Kenyataannya banyak orang yang tidak peduli dengan konsep ’mengerti dan dimengerti’ ini. Begitu punya maksud langsung tabrak saja sehingga orang justru bingung atau malah tidak respect pada kita.


MEMBANGUN Ke-AKRAB-an


Ihwal komunikasi di NLP (neuro linguistic programming) di sebutkan, “The meaning of communication is the response you get”. Ketika respons orang lain tidak sesuai dengan harapan kita berarti ada yang salah dengan komunikasi kita. Nah, jika ada orang lain, bawahan, istri, suami ataupun audiens tidak paham apa yang kita maksud, tentu itu bukan semata ’kesalahan’ mereka. Mereka tidak memahami karena kita kurang mampu mengkomunikasikan pesan yang kita maksud. Jadi ’ketidakfahaman’ mereka hanyalah ’akibat’ dan itu di’sebab’kan oleh komunikasi kita. Mungkin kita yang tidak peduli denga preferensi mereka, mungkin kata-kata kita kurang menyentuh, mungkin intonasi kita datar-datar saja, mungkin kita bicaranya kurang antusias (fisiologis), dan sebagainya.


Untuk menghindari hal seperti itu perlu dibangun hubungan/keakraban (rapport). Semakin kita bisa akrab, semakin baik hubungan yang kita bina, semakin efektif komunikasi kita. Semakin banyak kesamaan yang bisa kita bangun maka semakin besar peluang menjadi lebih akrab. Pernahkah anda bertemu dengan seseorang yang tiba-tiba berkata ”maaf, sepertinya saya pernah kenal dengan anda, tapi dimana ya...?”. Pernahkan anda mengalami hal itu? Sebenarnya ada 2 kemungkinan. Bisa jadi memang sebelumnya pernah kenal, tapi bisa juga tidak atau belum pernah kenal sama sekali, tetapi karena ia melihat diri anda memiliki banyak kesamaan dengannya atau dengan orang lain yang dikenalnya, anda menjadi tidak asing baginya, ia seperti melihat dirinya sendiri atau melihat sahabat yang dikenalnya itu.


Nah, di NLP ada beberapa teknik dalam membangun keakraban itu.


TEKNIK MATCHING AND MIRRORING


Namanya juga ’matching’ yang secara harafiah bisa diartikan kesesuaian. Maka yang kita lakukan adalah menyesuaikan diri kita kepada orang lain. Contohnya kalau kita bicara dengan seseorang yang sedang duduk, maka lebih baik kita juga duduk sejajar, sehingga yang bersangkutan tidak merasa terintimidasi. Jika kita bicara dengan anak kecil, maka lebih baik kita menurunkan badan atau jongkok (seperti yang sering dilakukan oleh Lady Di yang sudah ’die’ itu). Kalau sedang presentasi produk dihadapan beberapa direktur misalnya, ada baiknya kita menyesuaikan tampilan kita, misalnya mengenakan dasi atau berpakaian rapi, sehingga tercipta kesejajaran. Kalau orang yang kita ajak bicara suka dengan tema-tema politik atau budaya, cobalah ikuti dan sesuaikan tema pembicaraan anda dengannya. Jadi segala hal yang bisa kita sesuaikan, kita sesuaikan. Tujuannya adalah untuk membangun kedekatan dan keakraban.


Sedangkan ’mirroring’ adalah teknik bercermin. Sederhananya adalah kita melakukan apa yang ia lakukan. Jika ia menggaruk kepala, cobalah ikuti. Tapi jangan secara otomatis, nanti jadinya malah lucu. Lakukan secara gradual, pelan-pelan, yang secara sadar ia tak menyadarinya. Kalau ia bersedekap misalnya, kita yang tadinya berdiri siaga bisa pelan-pelan sambil bicara dan merubah posisi kita sama atau --paling tidak-- mendekati posisi lawan bicara kita.


TEKNIK PACING-LEADING


Teknik ini sebenarnya integral dengan kedua teknik diatas. Pacing yang juga bisa kita artikan menyamakan, tujuan dari ’pacing’ adalah leading. Seperti halnya ketika anda melakukan PDKT dengan seorang gadis, mula-mula anda melakukan ’pacing’ habis-habisan. ”dik.. sukanya makan apa?” Si Gadis menjawab, ”saya suka baso, mas..”. Anda lalu bilang ”sama dong.. kalo gitu kita makan baso yukk...” walaupun sebenarnya anda tidak begitu suka baso. Thats called ’pacing’.


Tapi dalam hal ini ’pacing’ hanya sebuah proses untuk bisa ’leading’. (Jadi kalau anda terus-terusan ’pacing’ dengan pacar anda, kapan kissing-nya?). Dalam soal pacar tentu ’playboy’ adalah lelaki yang sangat jago dalam melakukan ’pacing-leading’. Bahkan kenyataannya banyak yang pada akhirnya, setelah menikah istri bertanya-tanya ”mas kok berubah sih, ngga seperti dulu lagi?” begitu menyadari asli kesehariannya yang ternyata cuek dan ngga suka baso.

Satu lagi, kita sering mendengar kalau pasangan itu terlihat mirip, berarti jodoh. Sebenarnya kemiripan itu karena setiap hari, setiap saat pasangan itu saling melakukan ’pacing’, saling menyesuaikan bahkan gaya bicara, gesture, tarikan mukanya, kesukaannya, hobinya dan sebagainya, sehingga akhirnya terlihat mirip dan serasi.


Dalam bisnis itu berlaku juga. Saat ketemu calon pembeli, seorang sales harus bisa melakukan ’pacing’. Kecuali ia datang langsung beli, anda tidak perlu ’pacing’. Nah kebanyakan sales yang saya temui, mereka tidak ada yang melakukan pacing, maunya ’leading’ melulu. Misalnya dengan mengatakan, ”maaf pak, ada tawaran menarik dari kartu kredit X, boleh pinjam KTPnya pak..?” hmmm...


Trik pacing-leading sederhananya begini. Jika anda sedang berbicara dengan seseorang, cobalah amati yang ia lakukan, lalu ikuti pelan-pelan tanpa disadarinya. Jika ia mengucek mata, pelan-pelan anda ikuti. Jika menyibakkan rambut, tanpa ia sadari, ikuti gerakkannya, ikuti juga nada suara atau intonasinya, masuk dalam emosinya, lalu setelah melakukan beberapa kali ’pacing’ cobalah anda ’leading’...cobalah melakukan gerakan lebih dulu, misalnya menggosok hidung dengan jari, jika lawan bicara anda mengikuti berarti ia sudah ’tertarik’ atau ’bisa mengerti’ anda. Lalu anda bisa melakukan ’clossing’ atau menyampaikan maksud anda dengan lebih mudah.


Selasa, Oktober 21, 2008

KOMUNIKASI, itu KUNCINYA ! (#1)

FORMULA KOMUNIKASI EFEKTIF (1) – NLP Series

Komunikasi. Sepertinya kata itu begitu ’remeh-temeh’. Pernahkan kita berpikir bahwa hampir di setiap bagian dihidup kita memerlukan ’komunikasi’. Keharmonisan rumahtangga, konon tergantung bagaimana kita membangun komunikasi yang baik dengan dengan anggota keluarga. Sales mampu menjual produk, juga dipengaruhi oleh bagaimana kemampuan komunikasinya. Seorang ’leader’ yang baik harus mampu mengkomunikasikan visi-misinya kepada anakbuahnya. Ustadz ataupun da’i, ketika melakukan syi’ar agama pun, jika cara komunikasinya kurang baik maka audiensnya akan terkantuk-kantuk. Maka ’komunikasi’ menjadi bisa dianggap sebagai salah satu kunci sukses dalam kehidupan. Jika kita ingin sukses dalam kehidupan kita maka bangun komunikasi yang baik.


Dalam komunikasi, normalnya kita menggunakan 3 kanal. Yaitu 1) kata-kata, 2) tonality atau mutu suara / intonasi dan 3) fisiologis atau bahasa tubuh. Komunikasi yang baik seharusnya mengoptimalkan kekuatan 3 kanal komunikasi tersebut.


Kata-kata yang kita gunakan tentu memiliki peran nyata dalam menyampaikan informasi. Namun demikian kata-kata dan kalimat-kalimat yang bagus sering diabaikan oleh orang lain apabila di ucapkan dengan kurang antusias misalnya, atau dengan nada yang datar-datar saja. Coba anda bayangkan apabila pidato Bung Karno yang kalimat-kalimatnya tersusun baik dan sangat heroik itu dibawakan oleh Tessy. Kata ’anjing’ jika di beri tekanan tertentu akan menjadi berbeda maknanya. Maka kata-kata yang bagus pun kurang menjamin terjalinnya komunikasi yang baik apabila tidak di dukung oleh intonasi yang proporsional.


Di beberapa workshop saya sering menanyakan ”jika ada dua lampu batterai, yang satu di biarkan nyala terus dan satunya dibuat nyala-hidup, nyala-hidup (saya mengatakan hal itu dengan menggunakan bahasa tubuh tangan saya) manakah yang cepat habis batterainya?” Banyak orang terkecoh oleh gerakan tangan saya, daripada memperhatikan kata ’nyala-hidup’. Padahal nyala terus dengan nyala-hidup itu sama saja bukan?


Itulah salah satu kekuatan bahasa tubuh (fisiologis). Menariknya, tubuh kita ini sebenarnya tidak bisa berbohong. Kata-katanya boleh bagus. Misalnya ketika anda mengatakan kepada pacar anda, ”aku cinta padamu” tapi anda mengucapkan itu tanpa menatap matanya, sambil melengos dan mencibir. Saya pastikan kalimat cinta anda akan diragukan oleh sang pacar. Karena bahasa tubuh anda justru mengatakan sebaliknya. Bahkan seringkali kita tahu maksud seseorang hanya dari bahasa tubuhnya. ”Eh, baju saya ngga matching ya..?” anda bertanya begitu misalnya, ketika teman anda mengamati pakaian yang anda kenakan sambil mengernyitkan dahinya. Bahkan istri anda tahu kalau anda lagi stress dan capek atau sedang ada masalah di pekerjaannya ketika ia pulang langsung lempar tas dan banting pintu, tanpa berkata-kata.
Tubuh kita tidak pernah berbohong. Karena ”body and mind are parts of the same cybernetic structure”.


Ada istilah yang disebut incongruent, atau ketidaksesuaian. Dalam tahap tertentu ini bisa dikategorikan sebagai ‘penyakit’. Namun dalam komunikasi normalnya kita patuh pada kaidah-kaidah alamiah. Misalnya jika kita mengatakan tentang perasaan, tangan kita menunjuk dada. Atau ketika kita bicara tentang pikiran, bukankah kita selalu menunjuk kepala atau jidat, kenapa kita tidak menunjuk dengkul kita? Ketika kita mengatakan ”burung terbang tinggi diawan”, tangan kita melambai keatas dan bukan ke bawah.


Melanjutkan hal tersebut, dalam komunikasi juga harus memperhatikan bahwa setiap kita memiliki preferensi dalam komunikasi. Ada yang preferensinya VISUAL. Orang-rang Visual berkomunikasi dengan ’mata’. Maksudnya orang-orang visual seringkali menggunakan kata-kata seperti; melihat, memperhatikan, gambaran, mengamati, memandang, terlihat, menurut pandangan saya, dsb yang berhubungan dengan ’mata’. Orang preferensi Visual suka dengan warna-warna. Beberapa cirinya adalah, jika berjalan cepat, jika berpakaian sangat memperhatikan kesesuaian warna dan cukup eye catching, rapi, bicaranya agak cepat dengan volume yang tinggi.


Berbicara dengan orang Visual, seyogyanya kita menggunakan bahasa-bahasa visual. Uniknya ketika membaca menu makanan di restoran (tanpa foto menu makanan) orang visual biasanya mengatakan ”kelihatannya ini enak” dan bukan ”rasanya, yang ini deh yang enak” padahal kan seharusnya bicara makanan itu kan berhubungan dengan rasa. Tapi begitulah orang Visual.


Ada yang memiliki preferensi AUDITORIAL. Orang-orang Auditori berkomunikasi dengan “telinga”. Jadi kalau anda sedang berkomunikasi dengan seseorang, kemudian orang itu memiringkan mukanya dan tidak melihat anda, belum tentu ia tidak tertarik dengan pembicaraan anda, karena bisa jadi ia memiliki preferensi auditori, ia sedang memasang telinganya, mendekatkan telinga ke sumber informasi. Orang auditori sering menggunakan kata-kata seperti; mendengar, kata orang, menurut hasil survey, suaranya, senyap, dsb yang berhubungan dengan ”pendengaran”. Beberapa ciri orang auditori adalah; suka memiringkan kepala, seing bicara dengan diri sendiri, bicara jelas dan ritmis, nafasnya didada.


Ketika orang auditori di hadapkan pada menu makanan di restoran, orang auditori akan mengatakan ”hmmm mie ayam cah jamur, kedengarannya enak nih”. Sekali lagi, soal makanan seharusnya soal rasa, tetapi kata yang digunakan oleh orang auditori adalah ”kedengarannya” untuk mengakses rasa makanan.


Berikutnya adalah orang yang memiliki preferensi KINESTETIK. Orang kinestetik selalu mengakses ”perasaan”. Kata-kata yang sering digunakan oleh orang kinestetik adalah : perasaan, rasanya, sentuhan, menarik, rileks, sedih, haru biru, dsb yang berhubungan dengan ”perasaan”. Beberapa ciri orang kinestetik : bicaranya pelan dan banyak jeda, sering menggunakan pakaian longgar (mode ngga penting baginya, yang penting nyaman), nafasnya dibawah dada, peka terhadap sentuhan/kontak.


Ketika kita bertanya tentang pekerjaan, ”apakah pekerjaanmu sudah diselesaikan dengan baik?” orang Kinestetik akan menjawab ”rasanya sudah pak” dan bukan dengan kalimat ”kelihatannya sudah, pak” atau ”kedengarannya sih sudah pak”.


Kunci komunikasi adalah orang cenderung menyukai kemiripan dengan dirinya. Maka tidak heran jika misalnya kebanyakan orang visual berkumpul dengan orang visual juga. Orang yang hobi bola cenderung akan bergaul dengan orang yang hobi bola juga. Orang yang hobi naik gunung tidak akan ’nyambung’ jika ngobrol dengan orang-orang yang suka catur, misalnya. Maka jika anda ingin berhasi dalam komunikasi, gunakan ketiga kanal komunikasi diatas (kata-kata, mutu suara dan fisiologis) dengan baik dan gunakan itu sesuai preferensinya.

.......bersambung......

(Ray Asmoro)

Senin, Oktober 20, 2008

25% PENDUDUK ALAMI GANGGUAN JIWA...

Bangsa Yang Sakit (?)

(ray Asmoro)

Dalam keseharian Sariman seringkali marah-marah. Emosinya meluap-luap. Seperti air laut yang luber menggenangi daerah Penjaringan Jakarta Utara kemarin (10/10/2008). Istri Sariman cemas terhadap perubahan emosi suaminya itu. Sebelumnya ia sangat santun dan penyabar. Tetapi entah kenapa kini ia berubah.\


Belum ada yang memastikan penyebab perubahan emosi Sariman itu. Namun demikian mari coba kita amati, siapa tahu kita bisa sedikit mengurai simpul permasalahannya. Secara ekonomi, Sariman bukan termasuk orang yang kekurangan. Penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya, bahkan ada sebagian yang bisa ditabung setiap bulannya. Ia bekerja. Pekerja keras. Jam 6 pagi ia berangkat dari rumahnya, lantaran jarak dari rumah ke kantor harus ia tempuh selama hampir 2 jam. Jika mengukur jarak seharusnya bisa sampai dalam waktu 45 menit saja, tapi inilah Jakarta, matematika tak berlaku disini!


Saban hari ia harus memacu motornya melintasi jalanan Jakarta yang padat dan penat. 2 jam perjalanan itu sudah sangat menyita energi bahkan emosi. Maklum karena tidak ada namanya ketertiban dalam kamus lalu lintas disini. Semuanya sradak-sruduk. Sampai kantor ia sudah dalam keadaan cukup letih fisik maupun emosi. Kemudian ia harus bergelut dengan rutinitas kantor. Menyiapkan ini-itu, beradu argumen dengan teman sekerja bahkan dengan atasan, belum lagi ada intrik-intrik tertentu di dalam perusahaan yang memaksa ia untuk membuat strategi-strategi untuk tidak terdepak dari perusahaan itu. Banyaknya pekerjaan kadang memaksa ia untuk lembur. Jakarta harus disikapi seperti itu untuk bisa bertahan hidup, katanya suatu ketika.


Selepas jam kantor, masih menyisakan tugas-tugas yang harus diselesaikan, ia tumpuk itu dalam kepalanya yang sedikit peang. Lalu ia pun harus menyeberangi waktu 2 jam dijalanan lagi menuju rumahnya. 2 jam yang melelahkan setelah 8 jam di kantor yang juga melelahkan. Jadi total ada 12 jam yang melelahkan fisik maupun emosi, diluar rumah.


Di rumah, malam ia tidak bisa langsung tidur. Anaknya butuh perhatian juga. Lebih-lebih istrinya yang suka bercerita bahwa tetangga ini sudah punya ini, tetangga itu sudah punya itu, kita kapan punya? Kita kapan punya? Kata istrinya. Walaupun punya tabungan, toh Sariman harus berpikir agak lebih jauh, misalnya bagaimana mempersiapkan pendidikan bagi anaknya. Dan sebelum tidur, ia harus memeriksa pekerjaan kantor yang tadi ia simpan dikepalanya. Jam 12 malam atau kadang lebih, ia baru bisa memejamkan mata. Jam 5 pagi ia sudah harus bangun untuk persiapan kerja lagi. Rutinitas sehari-hari yang melelahkan fisik maupun emosi.


Itu baru persoalan internal. Belum lagi persoalan eksternal yang membuat Sariman harus melipatgandakan energi dan emosinya untuk menyikapinya. Misalnya tentang kanikan harga-harga kebutuhan pokok, kenaikan harga BBM, gas yang seringkali langka dipasaran, hiruk-pikuk politik yang memuakkan, di koran saban hari hanya ada berita-berita negatif tentang korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, maling, ketidakberesan birokrasi dan sebagainya. Semua itu semakin menambah ruwet sirkuit diotaknya. Semuanya tumpang-tindih dikepalanya, menyesak didadanya.


Kemudian yang tak kalah seru, bagaimanapun Sariman memiliki obsesi, walaupun tidak muluk-muluk yang ia punya. Ia hanya ingin kehidupan yang lebih sejahtera, lebih mapan, ada jaminan bagi pendidikan anaknya kelak, bisa punya mobil walupun tidak mewah, bisa perbaiki rumah yang dibeberapa tempat atapnya sering bocor, bisa bantu keluarganya yang kampung dan sebagainya. Dan untuk itu ia harus bersaing dengan 9.999.999 orang di Jakarta ini! Tentu ini juga menjadi ’beban’ tersendiri bagi Sariman.


Nah, dari situ mungkin kita bisa maklum jika kemudian Sariman berubah secara emosional. Ia larut dalam kebisingan dan tumpukan permasalahan dikepalanya.
Di NLP disebutkan bahwa ”mind and body are parts of the same cybernetic structure” artinya fisik dan fikiran akan saling kait-mengkait, saling mempengaruhi. Jika fikiran kita senang, maka kesenangan itu secara otomatis akan terrefleklsikan oleh tubuh kita. Jika fikiran kita kusut maka kusut pula nampaknya muka kita.


Celakanya, ternyata banyak yang mengalami apa yang Sariman alami. Di koran SINDO hari ini (21/10/2008, hal.12) diberitakan ”25% Penduduk Alami Gangguan Jiwa”, di Jakarta diperkirakan ada 2 Juta warga terkena neurotik, seperti depresi, cemas, dan psikosomatis. Bahkan diperkirakan ada 1 dari tiap 1.000 orang terkena skizofrenia.


Saya menjadi kuatir, apalagi saat ini orang-orang tengah ramai berebut kursi di pemilu 2009. Jangan-jangan diantara mereka yang maju menjadi calon legislatif, ataupun calon presiden atau calon wakil presiden, adalah orang-orang yang stress itu, yang sebenarnya depresi dan mengalami gangguan jiwa. Lha bagaimana nasib bangsa ini kalau nanti dipimpin oleh orang-orang yang secara kejiwaan ’sakit’?


Saya kira ini bukan omong kosong atau provokasi. Gejala kearah itu sangat terbaca jelas. Coba kita perhatikan pendapat Ida Ruwaida, sosiolog dari UI. Ia mengatakan, dalam konteks sosial bangsa Indonesia memang tengah ’sakit’ sosial, misalnya terkait kepribadian yang mendua, yakni sifat seseorang ternyata berbeda sekali dengan apa yang ditampilkan dimuka umum. Menjadi jelas bukan? Untuk dipilih sebagai wakil rakyat ataupun presiden, mereka bermanis-manis, tetapi kontra-produktif dengan kenyataannya dikemudian hari. Dan itu sudah terjadi. Akankah terulang lagi?


Suatu ketika Sariman berkonsultasi dengan sahabatnya, ia menanyakan bagaimana seharusnya ia menyikapi semua ini. Sahabatnya hanya mengatakan satu hal, ”Man, jika yang kamu cari kebahagiaan, kamu tidak akan pernah menemukannya, karena kebahagiaan itu harusnya di ciptakan, bukan dicari. Dan kemampuan orang menciptakan kebahagiaan dalam dirinya tergantung kemampuannya mensyukuri apa yang didapatkannya, dengan itu ia akan bisa memesrai keadaan, ia akan bisa berdamai dan mesra dengan segala situasi. Disitulah letak kebahagiaan itu Man...”


Oooaaalaaaahhh...


http://rayasmoro.multiply.com




Rabu, September 17, 2008

Gundul-Gundul Pacul (metfora berita koran pagi)


GUNDUL-GUNDUL PACUL

(metafora berita koran pagi)

-ray asmoro-


EDAN…!!! Begitu umpat Sariman dalam hati.


Dari dua koran yang saya baca hari ini (Kompas dan Sindo, 17 Sept 2008), keduanya menurunkan headline yang sama, tentang penangkapan anggota KPPU atas dugaan suap sebesar 500 juta. Perbedaannya adalah ‘angle’ foto beritanya ketika Muhammad Iqbal (anggota komisi pengawas persaingan usaha) di tangkap tangan oleh oleh petugas KPK di Hotel Aryaduta. Namun walaupun kedua foto tersebut diambil dari ‘angle’ yang beda tetapi memiliki satu kesamaan ; kedua foto tersebut memperlihatkan ekspresi objek sedang TERSENYUM!!!


Weleh-weleh-weleh…


Sudah ketangkap tangan, masih bisa ‘cengengesan’. Apa jadinya bangsa ini jika di Negara dijalankan oleh orang-orang yang suka ‘cengengesan’. Saya jadi ingat lagu “Gundul-gundul Pacul”. (suatu kali pernah di kupas oleh Cak Nun).


Di lagu dolanan (jawa) itu ternyata terkandung pesan moral dan politis yang dalam. Tapi kita cenderung enggan berpikir dan tak peduli dengan isyarat. Mari kita tengok kembali syair lagu “Gundul-gundul Pacul” yang syarat makna itu…


Gundul-gundul pacul, Gemblelengan

Nyunggi-nyungi wakul, Gemblelengan


Gambaran tentang orang yang tingkahnya cengengesan, pencilakan. Tidak mengerti unggah-ungguh dan tatakrama. Mengerti hukum tata negara tapi gagap mengaplikasikannya. Lagaknya sok jagoan, gayanya keren tapi tidak ada otak dikepalanya. Merasa pinter sehingga ngomongnya asal njeplak, kalau salah ya Cuma senyam-senyum, cengengesan. PD nya luar biasa, biarpun ngga punya basis masa nekad jadi capres atau caleg, lalu mengumbar janji-janji, membuat manufer politik tapi mudah ditebak, toh kalau ngga kepilih ya paling cuma senyam-senyum, cengengesan.


Orang-orang cengengesan begini apakah layak kita beri mandat? apakah layak kita titipin amanat? Apakah kita yakin atau apa yang membuat kita yakin dia mampu melaksanakan mandat dan menjalankan amanat, padahal jelas-jelas di junjung adalah amanat, dia nyunggi amanat itu sambil cengengesan.


Kalau engkau salah memilih pemimpin yang cengengesan, kalau roda pemerintahan dan kenegaraan ada ditangan orang cengengesan maka…


Wakul ngglempang

Segone dadi sak ratan


Bakul yang berisi mandat dan amanat akan jatuh. Dan isinya akan berceran, berserakan dijalan dan keos!


Beginitulah jadinya negara cengengesan

Yang di jalankan oleh orang-orang cengengesan

Masyarakatnya pun cengengesan

Ideologinya Gundul-gundul pacul



ZAKAT berbuah PIDANA


ZAKAT BERBUAH PIDANA

-ray asmoro-


Amal tanpa ilmu menjadi sia-sia dan bisa membawa kehancuran. Begitu kata orang-orang pintar. Niat dan perbuatan baik belum tentu maslahah jika caranya kurang baik. Dan tragedi kemanusiaan terjadi lagi, 21 orang meninggal di Pasuruan Jawa Timur (Kompas, 16 September 2008) lantaran berdesak-desak, berebut zakat. Sungguh memilukan!


Zakat memiliki makna “tumbuh dan bertambah”. "Dan dirikanlah sembahyang tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat". (Surat An Nur 24 : 56). Ini adalah konsep “give and receive”, hukum kausalitas, kita akan mendapatkan apabila kita sudah memberi. Maka memberi lebih baik daripada menerima atau meminta.


Dan mungkin lantaran itu pula keluarga H. Syaikhon yang pengusaha kulit dan sarang burung wallet menjadi “bersemangat” untuk berbagi. Lalu ia rogoh koceknya sebanyak Rp. 50 juta yang di bagikan Rp. 20 ribu per-orang, cukup untuk dibagikan kepada 2.500 orang. Tetapi kenyataannya yang datang berjubal disana (kata media) sekitar 5.000 orang, semuanya bermaksud untuk mendapatkan bagian. Anak-anak Pak H. Syaikhon lah yang menangani langsung pembagian ‘zakat’ itu. Lalu terjadilah tragedi itu. 21 orang meninggal.


Rp. 20 ribu mungkin tidak berarti bagi yang mampu, tapi bagi yang tidak mampu uang segitu bisa menyambung hidupnya. Artinya ini soal perut, dan itu adalah kebutuhan alamiah dasar manusia. Untuk urusan perut, manusia bisa jadi raja tega, tak peduli siapapun, apapun akan dilakukan untuk mendapatkannya walaupun harus menginjak-injak saudaranya sendiri. Ketika kebutuhan alamiah dasar itu tidak terpenuhi, orang bisa jadi gelap mata, lalu satu sama lain bertabrakan, berbenturan, bahkan saling tikam. Ini mungkin yang tidak di kalkulasi oleh keluarga H. Syaikhon.


“Lagi pula kenapa repot-repot ngumpulin orang segitu banyak, dan ngapain repot-repot bagi zakat.. lha wong ada Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh yang menerima dan menyalurkan zakat.. Mau bagi zakat sendiri baik-baik saja sih.. tapi hati-hati pak haji, salah-salah bisa jadi riya’..” kata Sariman.


“Tapi ya begitulah kita, mau manyantuni anak-anak yatim saja mengajak wartawan infotainment. Biar amal kita di ekspose. Biar semua tau ‘ini lho gue sudah berbuat baik’. Mau membantu yang lemah sambil membawa spanduk dan bendera parpol. Semua sudah salah kaprah, kita ngoyo untuk dinilai baik dimata orang lain.. kenapa kita tidak ngoyo menjadi baik dimata Tuhan saja.. berbuat baik kenapa harus diekspose besar-besaran jika memang ikhlas, tanpa di tayangkan di infotainment pun Tuhan melihat dan malaikan akan mencatatnya..” lanjut Sariman.


Dan di Koran hari ini dikabarkan, anak pak haji Syaikhon di tangkap polisi dan di jadikan tersangka, lantaran pembagian zakat yang dia kelola menyebabkan 21 orang meninggal. Ia pun dijerat pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.


Ternyata, zakat pun bisa berbuah pidana.





http://rayasmoro.co.cc


Minggu, September 14, 2008

(kali ini harus) Bangga Jadi Orang Indonesia (???)


( Kali Ini Harus ) Bangga Jadi Orang Indonesia ( ? )

- ray asmoro -

Sariman sempat berpikir, apa yang bisa kita (bangsa ini) banggakan sekarang? Sejarah telah mencatat bagaimana bangsa Indonesia pernah ‘diperhitungkan’ oleh Negara-negara dunia di era kepemimpinan Soekarno. Nasionalisme yang dibangun di bawah sistem demokrasi terpimpin saat itu cukup menjawab tantangan global. “Ini dadaku, mana dadamu...” adalah sepenggal kata-kata yang populer, yang pernah keluar dari mulut Soekarno dalam membangkitkan semangat nasionalisme. Tidak hanya urusan politik tapi urusan olahraga pun kita ‘diperhitungkan’ ketika itu. Dan gaya kepemimpinan Soekarno secara tegas menolak ‘disetir’ oleh kekuatan dan dominasi negara-negara adikuasa.


Di era orde baru, tentu kita tidak boleh menafikkan prestasi swasembada beras/pangan sehingga kita menjadi salah satu ‘raja’ ekspor beras di wilayah asia tenggara. Namun demikian, pemerintahan yang dijalankan secara represif dan politik ekonomi yang disatu sisi mendorong tumbuhnya usaha kecil mikro tapi disisi lain menghalalkan konglomerasi, pengusaha-pengusaha ‘kelas teri’ harus bersaing dengan para ‘cukong’ pemilik modal, kesenjangan dan ketimpangan yang ada membuat era ini tidak sepi dari kritik, apalagi menjelang dan setelah era orde baru berakhir. Diakhir masa pemerintahan orde baru, kita diberi ‘warisan’ hutang yang nggak ketulungan besarnya. Prestasi luar biasa dampak dari ketergantungan terhadap ekonomi asing.


Di era reformasi, yang disebut-sebut sebagai era harapan baru, era pembaruan, ternyata tidak lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya dalam banyak hal. Di satu sisi kita harus bangga, misalnya bagaimana semangat juang Menkes (Siti Fadilah Supari) untuk menuntut keadilan dari WHO atas kasus virus dan vaksin flu burung, dan kita menang dalam gugatan itu (tapi sayang berita ini tidak mendapatkan porsi cukup di media masa). Kita juga tidak boleh menafikkan prestasi remaja-remaja yang beberapa kali memang dalam lomba fisika di tingkat dunia (salut dan angkat topi buat mereka). Dan masih ada beberapa prestasi yang cukup membanggakan.


Di sisi lain, kita harus menerima keadaan dimana kita dimasukkan dalam daftar 10 negara terkorup di dunia, kita juga harus terima 1 medali emas saja di olimpiade padahal jumlah penduduk kita lebih dari 270 juta jiwa. Di era ini, eforia politik justru membuat benang yang sudah kusut malah semakin kusut saja. Orang-orang berebut kekuasaan. Dan kekuasaan selalu bermuara pada uang. Lalu rakyat kecil menjadi korban. Korupsi semakin mewabah. Semua menjadi ‘raja tega’. Budaya bangsa yang ‘adiluhung’ sudah dilupakan. Pulau Sipadan dan Ligitan hamper direbut Negara lain, lalu buru-buru kita teriak setengah hati “Ganyang Malaysia tapi selamatkan Siti Nurhaliza!”. Batik dan reog hendak di klaim sebagai budaya asli Malaysia, kita seolah tidak peduli. Seolah-olah sudah tidak ada lagi yang bisa kita banggakan. “Ini dadaku, mana dadamu…!!!”.


Tetapi ada satu hal yang cukup membuat kita sedikit terhibur. Persoalan pembatasan musik Indonesia di Malaysia. Kasus ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun lalu (2007) yang di suarakan oleh Persatuan Penyanyi dan Pencipta Lagu Malaysia (Papita), dan kembali mencuat akhir-akhir ini. Persatuan Karyawan Industri Musik Malaysia, menuntut pemerintah Malaysia agar mengeluarkan pembatasan penyiaran lagu-lagu Indonesia di Malaysia 90%:10%. Karena saat ini lagu-lagu dari musisi dan penyanyi Indonesia menjadi ‘raja’ di Malaysia, sehingga musisi lokal tidak atau kurang mendapatkan tempat di negerinya sendiri. Intinya bisnis musik di Malaysia di pengaruhi oleh membanjirnya lagu-lagu Indonesia sehingga penjualan album musisi Malaysia tidak bisa bersaing dengan album musisi Indonesia.


Cukupkah hal itu membuat kita (sedikit) bangga? Di satu sisi hal tersebut mengindikasikan bahwa kualitas musik Indonesia ternyata ‘harus diperhitungkan’. Masalah belum sampai ke asia atau mendunia, itu hanya persoalan waktu (ini kalimat menghibur diri sendiri). Tetapi ya masuk akal kalau di Malaysia musik Indonesia di gemari, lha wong di sana banyak TKI. Nah para TKI itu pasti memilih mendengarkan lagu-lagu Indonesia sebagai pelepas rindu tanah airnya.



Minggu, September 07, 2008

Gus Dur "Ogah" jadi presiden (?)

Gus Dur “EMOH” Jadi Presiden ?

(ray asmoro)

Ada sebuah selorohan, katanya ada 2 hal yang tidak bisa kita duga-duga di dunia ini, dan yang tau cuma dirinya sendiri dan Tuhan. Mereka adalah Supir Bajaj dan…Gus Dur! Kita tidak bisa duga kemana bajaj akan belok, kadang ia kasih ‘sign’ ke kiri tapi beloknya ke kanan. Hanya supir bajaj dan Tuhanlah yang tahu kemana bajaj akan dibelokkan dan kapan akan berhenti. Begitu juga dengan Gus Dur.


Tentu kita ingat betul bagaimana dulu PDIP ‘dipecundangi oleh’ Gus Dur. Bagaimana tidak, sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak (98/99) PDIP tidak mampu mendudukkan ‘jago’nya sebagai presiden, dan malah ‘ujug-ujug’ Gus Dur tampil sebagai presiden melalui koalisi poros tengah (dan turun dari kursi kepresidenan juga oleh koalisi poros tengah).


Kita juga tentu masih ingat bagaimana ngototnya Gus Dur dan pendukungnya untuk mencalonkan diri sebagai presiden, walalupun kemudian dinyatakan tidak lolos test kesehatan oleh KPU. Juga bagaimana sepak terjang Gus Dur di NU. Organisasi Islam terbesar di Indonesia itu seperti ‘beras den interi’ oleh Gus Dur. Demikian pula PKB. Ia bangun partai itu, (dan menurut beberapa kalangan) ia juga yang memecah partai itu. Entah apa maunya Gus Dur… banyak yang menduga Gus Dur ingin berkuasa lagi.


Yang menarik adalah ketika Partai Buruh memintanya menjadi Calon Presiden 2009, beliau malah mengurungkan niatnya untuk maju menjadi capres, “Umur saya sudah 68 tahun, waktu hidup saya sudah tidak lama lagi” kata Gus Dur menanggapi pencalonannya oleh Partai Buruh (Sindo, 2 Sept 2008, hal 2).


Saya sangat respek kepada Gus Dur bukan lantaran saya fanatik atau pendukungnya. Saya tidak terdaftar sebagai anggota NU ataupun PKB. Jadi respek saya pada Gus Dur tentu tidak ada kaitannya dengan dukung-mendukung atau fanatisme sempit semacamnya. Bagi saya, Indonesia ini memang butuh manusia seperti Gus Dur. Ia kadang di posisi yang rawan, tapi ia dengan keyakinan kebenarannya tetap bertahan. Ia di cap sebagai ‘dajjal’ oleh kelompok islam garis keras, tapi ia tetap menyuarakan pluralitas yang dasarnya memang sangat jelas. Ia dianggap guru tapi tindakannya kadang tak mencerminkan sebagai orang yang layak digugu dan ditiru. Maka Gus Dur adalah paradoks. Agar kita belajar mengahragai dan memaknai perbedaan. Agar kita lebih dewasa dalam melihat permasalahan. Agar kita lebih arif dalam melihat kehidupan. Agar kita tidak terjebak dalam fanitisme semu.


Tapi saya jadi sangsi; pendapat saya itu salah. Bagaimana saya ndak sangsi, lha wong yang tau Gus Dur itu cuma dirinya sendiri dan Tuhan. Seperti halnya Bajaj. Kapan dia mau belok, kapan mau jalan, kapan mau berhenti, apa yang dia mau, apa yang dia perjuangkan, hanya dia dan Tuhanlah yang tahu.



Jumat, Agustus 22, 2008

Berguru Pada Kecoa

(Ray Asmoro)

BERGURU PADA KECOA

Entah ada masalah apa antara Sariman dan Kecoa. Punya hutang apa ia dengan kecoa. Yang pasti saat melihat kecoa Sariman selalu melompat dan berlari sambil teriak histeris seperti para ABG yang mendapatkan jerawat diwajahnya. Apa sih yang sariman takutkan dari seekor kecoa. Padahal sekali injak, mampuslah ia. Menurut ‘orang pintar’ Sariman memiliki fobia terhadap kecoa, dan itu bisa disembuhkan.


Kembali soal kecoa. Binatang ini adalah insekta dari ordo Blattodea yang terdiri dari 4.500 spesies dalam 6 familia. Yang sering kita jumpai disini, kecoa memiliki tubuh kecil, berwarna coklat gelap. Dari penampilannya --yang bagi banyak orang dianggap menjijikkan-- binatang ini seolah tidak berguna. Lalu mengapa Tuhan menciptakannya jika tak berguna? Nah itu dia…

Lha kita para manusia ini seringkali mengabaikan yang ‘kecil’. Selalu memburu hal-hal besar, padahal yang besar itu adalah kumpulan dari yang kecil-kecil. Uang 100 juta adalah kumpulan dari uang 1000 atau 100 ribuan. Melupakan yang kecil sama artinya mencederai cita-cita besar kita sendiri. Melukai rakyat kecil sama artinya menghianati cita-cita bangsa. Nah inilah yang terjadi saat ini. Korupsi merajalela dan proses pencegahannya hanya setengah hati, pengangguran terdidik sudah lebih dari 4,5 juta jumlahnya, harga BBM naik disusul kenaikana harga sembako sementara pendapatan masyarakat tidak beringsut naik, korban Lumpur Lapindo selalu berhadapan dengan tembok, bahan bakar minyak tanah di konversi ke LPG tapi gas langka, parlemen seharusnya menyuarakan kepentingan rakyat banyak eh malah ramai-ramai berkomplot memakan duit rakyat, pelanggar HAM dibiarkan bahkan dilupakan begitu saja tanpa ada proses hukum yang jelas, dan masih banyak lagi. Dan itu semua membuat ‘rakyat kecil’ terluka! Para penyelenggara Negara ini –mungkin- tidak pernah belajat pada sejarah, tidak memedulikan hal-hal kecil dan hanya terobsesi oleh hal-hal besar saja. Kemudian memperlakukan ‘orang kecil’ selayaknya kecoa, yang seolah tak berguna, tak memiliki kepentingan dan hanya layak untuk di injak-injak.


Hati-hati, jika “kecoa-kecoa” ini (4,5 juta lebih pengangguran, jutaan korban keserakahan penyelenggara Negara, jutaan masyarakat yang ditelantarkan oleh sistem pemerintahan, jutaan petani dan nelayan yang selalu jadi korban, jutaan pekerja yang tak diberikan perlindungan rasa keadilan, dll) berkumpul dan bersatu dalam satu barisan perlawanan… hmmm… aku sungguh tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi. Tanda-tanda sudah jelas, 60% penduduk negeri ini adalah GOLPUT, lantaran tidak ada yang bisa mereka percayai.


Mari kita berguru pada kecoa.


Kecoa memili dua antena dan kaki-kaki dengan rabut-rambut halusnya sebagai penala getaran. Ia memiliki reaksi senso-motorik, jika merasakan getaran mampu bereaksi secara cepat hingga 15-20 milidetik atau lebih cepat dari kedipan mata. Jadi jangan heran ketika anda melihat kecoa di meja, dan anda baru mau mengambil penebah untuk mengusirnya, kecoa itu sudah hilang dari hadapan anda.


Pelajaran yang bisa kita petik adalah kecoa memiliki kepekaan yang luar biasa dan mampu bereaksi dengan cepat pula. Dan ini yang ironi pada manusia. Manusia memiliki indera dan perasa yang supercanggih tapi dibiarkan tumpul oleh kemilau dunia. Mata kita tertutup oleh tirai materi dan dunia, telinga kita sibuk menyimak gosip murahan, hidung kita selalu kita ajari mengendus-endus aib orang lain, lidah kita kita ajari untuk berkata dusta dan janji-janji semu, tangan kita, sebelah kita didik untuk melempar batu, sebelahnya kita didik untuk merampas hak orang lain. Pemimpin-pemimpin kita tidak lagi memiliki kepekaan dan tidak mampu bereaksi secara cepat terhadap penderitaan persoalan-persoalan bangsa. Selalu saja ‘rakyat kecil’ yang di korbankan.


Menurut penelitian para ahli, Kecoa ternyata mampu membersihkan sampah organik dengan cara mendekomposisikannya. Lha ini yang kita tidak bisa lakukan. Sampah-sampah masyarakat kita biarkan bergentayangan dimana-mana, harta Negara dirampok, kita diam saja dan memakluminya. Para perampoknya tidur nyenyak dipenjara yang dibuat senyaman hotel berbintang dengan fasilitas yang memadai. Kita hanya bisa membuat sampah tapi kita gagal melakukan dekomposisi karena kita tidak paham tentang nilai-nilai. Kita teriak-teriakkan Good Corporate Governance tapi diadalamnya keropos seperti sebatang kayu dengan sejuta rayap menggerogotinya.


Ingat bencana nuklir di Cernobyl? Ternyata, satu-satunya hewan yang tahan terhadap radiasi nuklir adalah Kecoa. Ia memiliki ketahanan 6-15 kali lebih besar dari manusia. Bahkan ketika kita penggal kepalanya, kecoa masih mampu bertahan hidup selama beberapa hari (ada yang mengatakan 2 hingga 4 minggu!). Lalu bagaimana ketahanan kita? Kita tentu masih ingat bagaimana spekulan pasar modal memporak porandakan keadaan ekonomi-moneter bangsa ini beberapa tahun lalu, kita juga pasti masih ingat bagaimana bangsa ini mampu dipecah belah oleh isu SARA seperti terjadi di Poso dan Ambon, isu santet di Banyuwangi, perang antar suku di Sampit, ‘jotos-jotosan’ di dalam gedung dewan, semua itu bukti nyata bahwa betapa kita ini lemah, tidak memiliki daya tahan yang kuat untuk menghadapi berbagai persoalan. Pertanyaannya adalah apa yang melemahkan? Satu-satunya jawaban yang paling mendekati kebenaran adalah karena kita telah mengkotak-kotakkan diri, memperjuangkan kepentingan gerombolan, acuh terhadap kepentingan bersama, terbuai fanatisme sempit dan lunturnya nasionalisme dan persatuan.


Tetapi yang paling luar biasa dari kecoa adalah kemapuannya beradaptasi terhadap perubahan. Menurut penelitian, Dinosurus hidup di jaman pra-sejarah Mesozoikum, 225 juta tahun yang lalu. Dan kecoa sudah eksis sejak 300 juta tahun lalu! Sekarang anda bayangkan, Dinosaurus binatang raksasa segede ‘gambreng’ itu lenyap-musnah sejak 65 juta tahun lalu, sedangkan kecoa tetap eksis hingga sekarang! Jadi kecoa adalah salah satu binatang purba yang masih hidup hingga sekarang.


Dan Indonesia, dimana sekarang adanya? Setiap kali telunjuk kita menunjuk sesuatu yang tertunjuk adalah ‘ini amerika’, ‘ini jepang’, ‘ini italia’, ‘ini china’, ‘ini jerman’, tidak ada yang bisa kita banggakan dengan mengatakan ‘ini lho indonesia’. Indonesia telah diserbu oleh produk-produk asing, oleh budaya dan gaya hidup asing, oleh ‘brand’ asing. Dari mulai makanan, minuman, pakaian, kasur, sendok, kompor, pisau dapur, gunting kuku, hingga handphone, motor, mobil… semua berlabel ‘asing’. Bahkan reog yang hampir kita lupakan, dan batik yang sebelumnya enggaan kita kenakan (hanya baru-baru ini menjadi trend) tiba-tiba nyaris diakui sebagai produk budaya negara lain, lalu kita sewot padahal sebelumnya tak mau tahu. Apakah ini juga tanda-tanda awal kemusnahan kita, lantaran kita kurang responsif dan tidak adaptif terhadap perubahan?


Mari kita berguru pada Kecoa.




me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters