Please, add your self in my guestbook...

Rabu, September 17, 2008

Gundul-Gundul Pacul (metfora berita koran pagi)


GUNDUL-GUNDUL PACUL

(metafora berita koran pagi)

-ray asmoro-


EDAN…!!! Begitu umpat Sariman dalam hati.


Dari dua koran yang saya baca hari ini (Kompas dan Sindo, 17 Sept 2008), keduanya menurunkan headline yang sama, tentang penangkapan anggota KPPU atas dugaan suap sebesar 500 juta. Perbedaannya adalah ‘angle’ foto beritanya ketika Muhammad Iqbal (anggota komisi pengawas persaingan usaha) di tangkap tangan oleh oleh petugas KPK di Hotel Aryaduta. Namun walaupun kedua foto tersebut diambil dari ‘angle’ yang beda tetapi memiliki satu kesamaan ; kedua foto tersebut memperlihatkan ekspresi objek sedang TERSENYUM!!!


Weleh-weleh-weleh…


Sudah ketangkap tangan, masih bisa ‘cengengesan’. Apa jadinya bangsa ini jika di Negara dijalankan oleh orang-orang yang suka ‘cengengesan’. Saya jadi ingat lagu “Gundul-gundul Pacul”. (suatu kali pernah di kupas oleh Cak Nun).


Di lagu dolanan (jawa) itu ternyata terkandung pesan moral dan politis yang dalam. Tapi kita cenderung enggan berpikir dan tak peduli dengan isyarat. Mari kita tengok kembali syair lagu “Gundul-gundul Pacul” yang syarat makna itu…


Gundul-gundul pacul, Gemblelengan

Nyunggi-nyungi wakul, Gemblelengan


Gambaran tentang orang yang tingkahnya cengengesan, pencilakan. Tidak mengerti unggah-ungguh dan tatakrama. Mengerti hukum tata negara tapi gagap mengaplikasikannya. Lagaknya sok jagoan, gayanya keren tapi tidak ada otak dikepalanya. Merasa pinter sehingga ngomongnya asal njeplak, kalau salah ya Cuma senyam-senyum, cengengesan. PD nya luar biasa, biarpun ngga punya basis masa nekad jadi capres atau caleg, lalu mengumbar janji-janji, membuat manufer politik tapi mudah ditebak, toh kalau ngga kepilih ya paling cuma senyam-senyum, cengengesan.


Orang-orang cengengesan begini apakah layak kita beri mandat? apakah layak kita titipin amanat? Apakah kita yakin atau apa yang membuat kita yakin dia mampu melaksanakan mandat dan menjalankan amanat, padahal jelas-jelas di junjung adalah amanat, dia nyunggi amanat itu sambil cengengesan.


Kalau engkau salah memilih pemimpin yang cengengesan, kalau roda pemerintahan dan kenegaraan ada ditangan orang cengengesan maka…


Wakul ngglempang

Segone dadi sak ratan


Bakul yang berisi mandat dan amanat akan jatuh. Dan isinya akan berceran, berserakan dijalan dan keos!


Beginitulah jadinya negara cengengesan

Yang di jalankan oleh orang-orang cengengesan

Masyarakatnya pun cengengesan

Ideologinya Gundul-gundul pacul



ZAKAT berbuah PIDANA


ZAKAT BERBUAH PIDANA

-ray asmoro-


Amal tanpa ilmu menjadi sia-sia dan bisa membawa kehancuran. Begitu kata orang-orang pintar. Niat dan perbuatan baik belum tentu maslahah jika caranya kurang baik. Dan tragedi kemanusiaan terjadi lagi, 21 orang meninggal di Pasuruan Jawa Timur (Kompas, 16 September 2008) lantaran berdesak-desak, berebut zakat. Sungguh memilukan!


Zakat memiliki makna “tumbuh dan bertambah”. "Dan dirikanlah sembahyang tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat". (Surat An Nur 24 : 56). Ini adalah konsep “give and receive”, hukum kausalitas, kita akan mendapatkan apabila kita sudah memberi. Maka memberi lebih baik daripada menerima atau meminta.


Dan mungkin lantaran itu pula keluarga H. Syaikhon yang pengusaha kulit dan sarang burung wallet menjadi “bersemangat” untuk berbagi. Lalu ia rogoh koceknya sebanyak Rp. 50 juta yang di bagikan Rp. 20 ribu per-orang, cukup untuk dibagikan kepada 2.500 orang. Tetapi kenyataannya yang datang berjubal disana (kata media) sekitar 5.000 orang, semuanya bermaksud untuk mendapatkan bagian. Anak-anak Pak H. Syaikhon lah yang menangani langsung pembagian ‘zakat’ itu. Lalu terjadilah tragedi itu. 21 orang meninggal.


Rp. 20 ribu mungkin tidak berarti bagi yang mampu, tapi bagi yang tidak mampu uang segitu bisa menyambung hidupnya. Artinya ini soal perut, dan itu adalah kebutuhan alamiah dasar manusia. Untuk urusan perut, manusia bisa jadi raja tega, tak peduli siapapun, apapun akan dilakukan untuk mendapatkannya walaupun harus menginjak-injak saudaranya sendiri. Ketika kebutuhan alamiah dasar itu tidak terpenuhi, orang bisa jadi gelap mata, lalu satu sama lain bertabrakan, berbenturan, bahkan saling tikam. Ini mungkin yang tidak di kalkulasi oleh keluarga H. Syaikhon.


“Lagi pula kenapa repot-repot ngumpulin orang segitu banyak, dan ngapain repot-repot bagi zakat.. lha wong ada Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh yang menerima dan menyalurkan zakat.. Mau bagi zakat sendiri baik-baik saja sih.. tapi hati-hati pak haji, salah-salah bisa jadi riya’..” kata Sariman.


“Tapi ya begitulah kita, mau manyantuni anak-anak yatim saja mengajak wartawan infotainment. Biar amal kita di ekspose. Biar semua tau ‘ini lho gue sudah berbuat baik’. Mau membantu yang lemah sambil membawa spanduk dan bendera parpol. Semua sudah salah kaprah, kita ngoyo untuk dinilai baik dimata orang lain.. kenapa kita tidak ngoyo menjadi baik dimata Tuhan saja.. berbuat baik kenapa harus diekspose besar-besaran jika memang ikhlas, tanpa di tayangkan di infotainment pun Tuhan melihat dan malaikan akan mencatatnya..” lanjut Sariman.


Dan di Koran hari ini dikabarkan, anak pak haji Syaikhon di tangkap polisi dan di jadikan tersangka, lantaran pembagian zakat yang dia kelola menyebabkan 21 orang meninggal. Ia pun dijerat pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.


Ternyata, zakat pun bisa berbuah pidana.





http://rayasmoro.co.cc


Minggu, September 14, 2008

(kali ini harus) Bangga Jadi Orang Indonesia (???)


( Kali Ini Harus ) Bangga Jadi Orang Indonesia ( ? )

- ray asmoro -

Sariman sempat berpikir, apa yang bisa kita (bangsa ini) banggakan sekarang? Sejarah telah mencatat bagaimana bangsa Indonesia pernah ‘diperhitungkan’ oleh Negara-negara dunia di era kepemimpinan Soekarno. Nasionalisme yang dibangun di bawah sistem demokrasi terpimpin saat itu cukup menjawab tantangan global. “Ini dadaku, mana dadamu...” adalah sepenggal kata-kata yang populer, yang pernah keluar dari mulut Soekarno dalam membangkitkan semangat nasionalisme. Tidak hanya urusan politik tapi urusan olahraga pun kita ‘diperhitungkan’ ketika itu. Dan gaya kepemimpinan Soekarno secara tegas menolak ‘disetir’ oleh kekuatan dan dominasi negara-negara adikuasa.


Di era orde baru, tentu kita tidak boleh menafikkan prestasi swasembada beras/pangan sehingga kita menjadi salah satu ‘raja’ ekspor beras di wilayah asia tenggara. Namun demikian, pemerintahan yang dijalankan secara represif dan politik ekonomi yang disatu sisi mendorong tumbuhnya usaha kecil mikro tapi disisi lain menghalalkan konglomerasi, pengusaha-pengusaha ‘kelas teri’ harus bersaing dengan para ‘cukong’ pemilik modal, kesenjangan dan ketimpangan yang ada membuat era ini tidak sepi dari kritik, apalagi menjelang dan setelah era orde baru berakhir. Diakhir masa pemerintahan orde baru, kita diberi ‘warisan’ hutang yang nggak ketulungan besarnya. Prestasi luar biasa dampak dari ketergantungan terhadap ekonomi asing.


Di era reformasi, yang disebut-sebut sebagai era harapan baru, era pembaruan, ternyata tidak lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya dalam banyak hal. Di satu sisi kita harus bangga, misalnya bagaimana semangat juang Menkes (Siti Fadilah Supari) untuk menuntut keadilan dari WHO atas kasus virus dan vaksin flu burung, dan kita menang dalam gugatan itu (tapi sayang berita ini tidak mendapatkan porsi cukup di media masa). Kita juga tidak boleh menafikkan prestasi remaja-remaja yang beberapa kali memang dalam lomba fisika di tingkat dunia (salut dan angkat topi buat mereka). Dan masih ada beberapa prestasi yang cukup membanggakan.


Di sisi lain, kita harus menerima keadaan dimana kita dimasukkan dalam daftar 10 negara terkorup di dunia, kita juga harus terima 1 medali emas saja di olimpiade padahal jumlah penduduk kita lebih dari 270 juta jiwa. Di era ini, eforia politik justru membuat benang yang sudah kusut malah semakin kusut saja. Orang-orang berebut kekuasaan. Dan kekuasaan selalu bermuara pada uang. Lalu rakyat kecil menjadi korban. Korupsi semakin mewabah. Semua menjadi ‘raja tega’. Budaya bangsa yang ‘adiluhung’ sudah dilupakan. Pulau Sipadan dan Ligitan hamper direbut Negara lain, lalu buru-buru kita teriak setengah hati “Ganyang Malaysia tapi selamatkan Siti Nurhaliza!”. Batik dan reog hendak di klaim sebagai budaya asli Malaysia, kita seolah tidak peduli. Seolah-olah sudah tidak ada lagi yang bisa kita banggakan. “Ini dadaku, mana dadamu…!!!”.


Tetapi ada satu hal yang cukup membuat kita sedikit terhibur. Persoalan pembatasan musik Indonesia di Malaysia. Kasus ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun lalu (2007) yang di suarakan oleh Persatuan Penyanyi dan Pencipta Lagu Malaysia (Papita), dan kembali mencuat akhir-akhir ini. Persatuan Karyawan Industri Musik Malaysia, menuntut pemerintah Malaysia agar mengeluarkan pembatasan penyiaran lagu-lagu Indonesia di Malaysia 90%:10%. Karena saat ini lagu-lagu dari musisi dan penyanyi Indonesia menjadi ‘raja’ di Malaysia, sehingga musisi lokal tidak atau kurang mendapatkan tempat di negerinya sendiri. Intinya bisnis musik di Malaysia di pengaruhi oleh membanjirnya lagu-lagu Indonesia sehingga penjualan album musisi Malaysia tidak bisa bersaing dengan album musisi Indonesia.


Cukupkah hal itu membuat kita (sedikit) bangga? Di satu sisi hal tersebut mengindikasikan bahwa kualitas musik Indonesia ternyata ‘harus diperhitungkan’. Masalah belum sampai ke asia atau mendunia, itu hanya persoalan waktu (ini kalimat menghibur diri sendiri). Tetapi ya masuk akal kalau di Malaysia musik Indonesia di gemari, lha wong di sana banyak TKI. Nah para TKI itu pasti memilih mendengarkan lagu-lagu Indonesia sebagai pelepas rindu tanah airnya.



Minggu, September 07, 2008

Gus Dur "Ogah" jadi presiden (?)

Gus Dur “EMOH” Jadi Presiden ?

(ray asmoro)

Ada sebuah selorohan, katanya ada 2 hal yang tidak bisa kita duga-duga di dunia ini, dan yang tau cuma dirinya sendiri dan Tuhan. Mereka adalah Supir Bajaj dan…Gus Dur! Kita tidak bisa duga kemana bajaj akan belok, kadang ia kasih ‘sign’ ke kiri tapi beloknya ke kanan. Hanya supir bajaj dan Tuhanlah yang tahu kemana bajaj akan dibelokkan dan kapan akan berhenti. Begitu juga dengan Gus Dur.


Tentu kita ingat betul bagaimana dulu PDIP ‘dipecundangi oleh’ Gus Dur. Bagaimana tidak, sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak (98/99) PDIP tidak mampu mendudukkan ‘jago’nya sebagai presiden, dan malah ‘ujug-ujug’ Gus Dur tampil sebagai presiden melalui koalisi poros tengah (dan turun dari kursi kepresidenan juga oleh koalisi poros tengah).


Kita juga tentu masih ingat bagaimana ngototnya Gus Dur dan pendukungnya untuk mencalonkan diri sebagai presiden, walalupun kemudian dinyatakan tidak lolos test kesehatan oleh KPU. Juga bagaimana sepak terjang Gus Dur di NU. Organisasi Islam terbesar di Indonesia itu seperti ‘beras den interi’ oleh Gus Dur. Demikian pula PKB. Ia bangun partai itu, (dan menurut beberapa kalangan) ia juga yang memecah partai itu. Entah apa maunya Gus Dur… banyak yang menduga Gus Dur ingin berkuasa lagi.


Yang menarik adalah ketika Partai Buruh memintanya menjadi Calon Presiden 2009, beliau malah mengurungkan niatnya untuk maju menjadi capres, “Umur saya sudah 68 tahun, waktu hidup saya sudah tidak lama lagi” kata Gus Dur menanggapi pencalonannya oleh Partai Buruh (Sindo, 2 Sept 2008, hal 2).


Saya sangat respek kepada Gus Dur bukan lantaran saya fanatik atau pendukungnya. Saya tidak terdaftar sebagai anggota NU ataupun PKB. Jadi respek saya pada Gus Dur tentu tidak ada kaitannya dengan dukung-mendukung atau fanatisme sempit semacamnya. Bagi saya, Indonesia ini memang butuh manusia seperti Gus Dur. Ia kadang di posisi yang rawan, tapi ia dengan keyakinan kebenarannya tetap bertahan. Ia di cap sebagai ‘dajjal’ oleh kelompok islam garis keras, tapi ia tetap menyuarakan pluralitas yang dasarnya memang sangat jelas. Ia dianggap guru tapi tindakannya kadang tak mencerminkan sebagai orang yang layak digugu dan ditiru. Maka Gus Dur adalah paradoks. Agar kita belajar mengahragai dan memaknai perbedaan. Agar kita lebih dewasa dalam melihat permasalahan. Agar kita lebih arif dalam melihat kehidupan. Agar kita tidak terjebak dalam fanitisme semu.


Tapi saya jadi sangsi; pendapat saya itu salah. Bagaimana saya ndak sangsi, lha wong yang tau Gus Dur itu cuma dirinya sendiri dan Tuhan. Seperti halnya Bajaj. Kapan dia mau belok, kapan mau jalan, kapan mau berhenti, apa yang dia mau, apa yang dia perjuangkan, hanya dia dan Tuhanlah yang tahu.



me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters