Please, add your self in my guestbook...

Senin, Mei 11, 2009

Undangan Launching Buku PILONIAN (Ray Asmoro)


Kepada Teman-teman BLOGER, dengan segala kerendahan hati, saya mengundang teman-teman untuk datang pada acara :


LAUNCHING BUKU PILONIAN


Judul Buku : PILONIAN (No Choice, Be Abnormal)
Penulis : Ray Asmoro
Penerbit : FOU Mediapublisher



Tempat : Toko Buku KINOKUNIYA Lt.5 Sogo, Plasa Senayan, Jakarta
Waktu : Hari Kamis, 4 JUNI 2009, Jam 15.00 sd. 16.30 WIBB



Kedatangan teman-teman BLOGER akan sangat berarti bagi saya.
(sekaligus kita bisa bersilaturahim bersama)
Terimakasih sebelumnya.


salam,
Ray Asmoro
"Jangan Belagak PILON deh..!"

Kamis, April 30, 2009

JANGAN BELAGAK PILON Deh...!


JANGAN BELAGAK PILON DEH...!


Setelah menunggu lama. Setelah penantian panjang itu. Akhirnya buku PILONIAN (No Choice, Be Abnormal) segera terbit.


Buku ini berisi tentang tulisan-tulisan lepas saya (Ray Asmoro) yang menghadirkan tentang ke-PILON-an yang terjadi disekitar kita bahkan dalam diri kita sendiri.Pilon bisa diartikan bodoh, bego, gebleg, dan sejenisnya. Realitanya banyak kepilonan yang terjadi disekitar kita. Bahkan sering juga kita melakukannya. Sadar atau tidak.


Kadang kita/mereka hanya berlagak pilon saja, pura-pura bodoh, agar tidak dipersalahkan. Tapi ada juga yang bener-bener gebleg. Antara yang bener-bener dan yang pura-pura itu seringkali sulit dibedakan. Seperti halnya dgn waras dan gila (normal dan abnormal).


Biasayanya disebut waras kalau tindakannya seperti yg dilakukan kebanyakan orang. Kalau melakukan hal-hal diluar kebiasaan normal maka ia dibilang tidak waras alias abnormal. Pertanyaannya siapa lebih benar? Waras menjadi pilihan banyak orang. Sebagian besar orang berusaha menjadi manusia waras (normal). Orang2 waras ini menganggap aneh org2 yang bertindak dan berperilaku diluar kebiasaan umum mereka, dan menyebutnya sbg tidak waras (abnormal).Padahal org2 sukses biasanya adalah org2 yang melakakukan hal-hal diluar kebiasaan normal tadi. Thomas Alfa Edison, Wright Brothers, Soekarno, dsb..mereka adalah org biasa yang melakukan hal biasa dengan cara-cara diluar kebiasaan. Jadi mereka bisa juga disebut abnormal. Tetapi ini abnormal yang memberdayakan. Lantas mengapa kebanyakan kita menginginkan disebut waras (normal) jika itu justru tidak memberdayakan? Bukankah terdengar agak Pilon?


Suatu ketika cendekiawan Faisal Basri mengulas tentang krisis energi di indonesia, di saat hampir bersamaan pemimpin kita (JeKa) mengatakan bahwa listrik byar-pet itu karena banyak masyarakat yg menggunakan AC dirumahnya. Dgn kata lain byar-petnya listrik sebagai indikator kesejahteraan. Menurut saya salah satu dari mereka (antara Faisal Basri dan JeKa) ada yang pilon..(Terserah penilaian anda siapa diantara mereka yang pilon).


Di dlm rumahtangga jg sering terjadi kepilonan. Misalnya anak kita meminta sesuatu scr baik2, tp kita org tuanya tdk mengabulkan. Lalu anak kita mencoba merayu. Ia berusaha rajin, disuruh apapun ia kerjakan, dgn harapan permintaannya dipenuhi. Tapi kita orang tuanya justru tidak menghargai. Lalu anak kita berpikir, minta baik-baik tidak diberi, melakukan kebaikan tidak dihargai, kalau gitu saya mau protes! Lalu anak kita mengurung diri di kamar. Tidak mau makan, tdk mau mandi, tdk mau sekolah. Dan anehnya dgn kelakuan seperti itu lalu kita luluh, kita berikan sesuatu yg anak kita inginkan. Bukankah ini agak terdengar pilon? Kemalasan justru dihadiahi.


Nah banyak kepilonan-kepilonan lain yang bisa anda temukan dalam buku PILONIAN ; No Choice, Be Abnormal! ini. Baik itu dalam bisnis, keluarga, cinta, politik, spiritual, semua ada disini.


Jadi kalau anda merasa tidak tahu anda pilon atau tidak, anda harus miliki dan baca buku ini agar anda dapat melakukan identifikasi. Kalau anda tau betul bahwa anda tidak pilon, anda juga harus miliki dan baca buku ini, krn jangan-jangan anda hanya belagak tidak pilon. Dan kalau anda merasa pilon, anda harus miliki dan baca buku ini, agar anda tidak terjebak dalam kepilonan-kepilonan yg lbh dalam.Insya allah minggu kedua bulan mei 2009 buku ini sdh beredar. Dan telah diagendakan untuk Launching hari Rabu, tanggal 20 mei 2009. Tunggu undangannya ya..


Salam

Ray Asmoro


"JANGAN BELAGAK PILON DEH...!"

Jumat, April 24, 2009

Bermalas-malaslah...

Malas selalu di identikkan dengan hal-hal yang tidak produktif, selalu dikonotasikan negatif. Kalau anda karyawan, atasan anda akan marah besar kalau anda malas. Kalau anda orang tua, anda pasti juga akan kesal kalau melihat anak anda malas belajar. Pendek kata, malas adalah hal yang dibenci banyak orang, walaupun banyak orang juga yang hobby bermalas-malasan.

"Perubahan tidak akan terjadi dengan kemalasan, kesuksesan selalu berbanding lurus dengan kerja keras dan cerdas" kata seorang motivator, suatu ketika.

"Kemalasan akan mebuahkan penyesalan-penyesalan dimasa mendatang. Kemalasan akan meniadakan kemungkinan-kemungkinan sukses anda" kata seorang public speaker lainnya.

Apa sih salahnya kata "malas", dosa apa ia sehingga ia dibenci-benci. Di letakkan pada pengertian yang selalu negatif. Apakah ia memang ada hanya sebagai subyek penderita? Lantas bagaimana jika ia menolak, kalau ia hanya di persepsikan kontraproduktif mengapa harus ada kata malas? Ataukan memang kita membutuhkannya untuk sumpah serapah?

Sahabat karib saya, Sariman namanya, justru menasehatkan untuk bermalas-malas. "Kalau ente mau bener, kalau ente mau meningkatkan derajat kemanusiaan, kalau ente ingin orang sekitar lebih respek sama ente, kalau ente ingin dapat dukungan dan dipilih sebagai pemimpin, kalau ente mau hidup lebih positif...maka bermalas-malaslah" katanya.

Awalnya saya menganggap Sariman ini hanya bercanda, guyon saja, nggak logis! Tapi bukan Sariman namanya kalau logikanya sedangkal sungai-sungai di jakarta. Kawan karib saya ini memang nyleneh, berpikir diluar kebiasaan (kalau bahasa kerennya thinking out of the box), jadi seringkali terkesan provokatif dan sulit ditebak.

"Bagaimana mungkin kemalasan bisa produktif, lha wong dalam kitab suci saja kita diperintahkan untuk tidak bermalas-malasan" sanggahku pada Sariman.

"Saya kan belum selesai ngomong... Malas itu memiliki potensi yang sama produktifnya dengan rajin. Begitu juga sebaliknya Rajin itu memiliki potensi kontraproduktif yang sama dengan kemalasan" kata Sariman.

Wah sampai pada titik ini saya masih dibuat bingung oleh gagasan teori aneh yang disampaikan Sariman.

"Begini dik, rajin dan malas itu akan menjadi negatif atau positif tergantung kita menempatkannya pada konteks apa. Kalau kita rajin melakukan hal-hal negatif ya hasilnya akan negatif walaupun judulnya "rajin". Bayangkan kalau pemimpin-pemimpin kita hanya rajin menebar janji, tapi melupakan amanahnya. Kalau pejabat dan birokrat rajin nilep uang negara dan melupakan tanggungjawabnya. Kalau karyawan rajin main fesbuk dan mengabaikan tugas-tugasnya. Kalau pelajar dan mahasiswa rajin nongkrong di mal dan tidak lagi memiliki gairah belajar. Maka yang rajin-rajin diatas tentu menjadi sangat destruktif"

"Nah sekarang tentang malas yang selama ini disebut-sebut sebagai biang kehancuran, penyebab tidak tercapainya target, akar dari kegagalan. Apakah tetap menjadi negatif jika kita malas untuk menyebar fitnah, malas untuk ngerasani dan ngomongin yang buruk-buruk tentang orang lain, malas untuk berbuat dzalim. Kalau diminta mengambil yang bukan haknya, ia bilang "ah malas ah, ogah!". Kalau dipengaruhi untuk tidak setia pada janji dan amanahnya, ia bilang "ah males ah, ogah!" Kalau diajak untuk mengkonsumsi miras dan obat-obat terlarang, ia bilang "ah malas ah, mending ikut majelis ta'lim!" Bukankah kemalasan tidak selalu negatif...?" Kata Sariman.

Hmmm... Ternyata selalu ada dua sisi yang berbeda. Tergantung dari 'angel' yang mana kita melihatnya. Dan itu pilihan.

Selasa, April 07, 2009

ORANG BODOH mempertanyakan demokrasi...

Hampir semua dari kita pasti bisa melihat korelasi antara demokrasi dan uang. Padahal demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang konon di yakini banyak orang sebagai yang terbaik yang pernah ada. Tetapi ongkos yang harus dikeluarkan untuk demokrasi ini sedemikian besar. Apalagi di saat-saat menjelang pemilu seperti sekarang.

Cobalah anda hitung (saya sih males hitungnya), seberapa besar dana yang dikeluarkan oleh parpol untuk belanja iklan, seberapa besar dana yg dikeluarkan para caleg untuk memperkenal-kenalkan wajah culunnya itu kepada khalayak ramai... (karena saya tidak menyukai matematika, walaupun saya suka duit, jadi saya males menghitung2 hal2 seperti itu) Konon kabarnya sangat besar.. sebesar apa? Mbuh, jangan nanya lebih jauh soal hitung2an itu pada saya.Seperti jajak pendapat yg dimuat Kompas hari ini (16 maret 2009), "Kampanye Tiba, Uang Pun Bicara".

Pemikiran saya begini, kegiatan kampanye itu tidak ada korelasinya sama kesejahteraan rakyat, kalaupun ada, ya terlalu jauh. Kampanye lebih dekat di hubungkan dengan cara menuju ke kursi kekuasaan, kedudukan, seperti itulah. Saya bilang kegiatan kampanye jauh korelasinya dari 'kesejahteraan rakyat' karena walaupun mereka bilang 'siap berjuang untuk rakyat' tetapi tidak ada garansi sama sekali kalau mereka sampai pada kursi parlemen terus mereka keingetan dengan slogan-slogan yang mereka tebar di setiap sudut jalan itu. Prekkk!

Tapi ya begitulah mekanisme demokrasi. Kampanye, perebutan kursi kekuasaan, propaganda politik, tarik-menarik kepentingan, dsb., itu semua bagian dari demokrasi, dan celakanya ongkosnya sangat besar. Uang lah yang menentukan. Bahkan di Kompas tadi itu disebutkan "KEKUATAN UANG BAHKAN TERBUKTI MAMPU 'MEMBELI' WAJAH KOLOM-KOLOM SURAT KABAR DAN ARAH EDITORIAL MEDIA". Apa ndak hebat itu?

Jadi sebenernya kita itu menganut paham apa? Lha kalau demokrasi sedemikian mahal ongkosnya sementara tidak ada pula jaminan kesejahteraan bagi ummatnya, sodara-sodara kita di Porong juga tetep saja terlantar, sodara-sodara kita yang petani juga tetep saja megap-megap karena harga gabah tidak memuaskan sementara pupuk langka, minyak tanah di konversi ke elpiji tapi di pasaran tidak ada pasokan elpiji, katanya negeri kaya melimpah bahkan ada yang bilang saking indah dan melimpahnya kekayaan Indonesia, di ibaratkan Indonesia ini penggalan dari surga, tapi tidak memiliki kemandirian ekonomi.. lha terus apa sebenarnya yang di dapatkan dari demokrasi ini?

Tenang...! Tenang...!

"Tenang, tenang, dengkulmu sempal!" kata Sariman.

Setelah masa kampanye 21 hari berlangsung dan telah terlewati, kini kita memasuki Masa Tenang. Atribut-atribut parpol dan caleg diturunkan, dibersihkan dari jalanan. Pembersihan atribut tersebut menjadi tanggungjawab dari peserta yang memasang, kata salah satu anggota bawaslu. "Lhah tembok pagar rumah saya ditempelin stiker caleg dari PK*, membuat pemandangan jadi nggak sedap, mending kalau fotonya ganteng atau cantik.. udah muka ancur gitu, sok-sok terlihat alim lagi. ini tanggung jawab siapa? Saya cat rumah saya dengan penuh perasaan, saya tuangkan seluruh kemampuan estetika saya untuk mempercantik pagar rumah saya, eee.. caleg2 ini malah nggak tau diri, nemelin stiker seenak udelnya sendiri, atau jangan-jangan pada sudah nggak punya udel ya.. Kagak ada otaknya kali ya tuh orang?!" kata Sariman, ngedumel.

Jelas dimasa tenang ini Sariman malah jadi nggak tenang. Tapi yang tidak tenang ternyata banyak juga. Sariman tidak sendirian rupanya. Bahkan kata SINDO, "Elite Parpol Tegang hadapi Pemilu" (7 april 2009, hal.3). Disuruh pada tenang kok malah tegang.. di suruh rileks kok pada malah ereksi (maaf, baca : tegang).

Sebenarnya masa tenang ini untuk siapa? Saudara-saudara kita di situ gintung pada resah, bagaimana mereka bisa tenang lha wong rumah dan harta benda mereka sdh ludes dan pemimpinnya hanya bisa saling tuding dan lempar tanggungjawab. Saudara-saudara kita di porong juga masih berharap-harap cemas soal ganti rugi lahan yang terendam lumpur panas lapindo, bagaimana bisa tenang? Sekian juta sarjana menganggur, bagaimana bisa tenang? Dan jika sedemikian banyak yang menganggur, kata para sosiolog hal itu bisa memicu penyakit/kerawanan sosial seperti pencurian, pencopetan, maling, rampok, penipuan dsb, lha bagaimana masyarakat bisa tenang? Akibat tidak adanya kemandirian ekonomi, krisis global mulai terasa imbasnya disini, ratusan ribu karyawan ter-PHK, sementara mereka harus tetap menghidupi anak istri, memikirkan pendidikan dan kesehatan, dan pengusahanya juga merasa dilematis, bagaimana mereka bisa tenang?

Dengan ketidaktenangan-ketidaktenangan seperti itu apakah akan berpengaruh pada meningginya angka GOLPUT dibanding pemilu sebelumnya? Itu jelas butuh pembuktian. Bagi Pak Sukemi, "Tidak Ada Alasan Untuk Golput" katanya di Koran SINDO, 7 april 2009, hal.3. Tapi tidak ada jaminan sama sekali bahwa dengan banyaknya partai peserta pemilu yang juga berarti banyak juga pilihan, akan bisa menurunkan angka Golput. Tidak ada garansi bahwa dengan mengenal caleg dari jutaan caleg yang ada terus kita percaya dan memilih mereka. Lha kalau terus menentukan pilihan itu di jadikan kewajiban.. lha wong kewajibannya sebagai pemimpin saja belum sepenuhnya dijalankan. Ini soal hukum sebab-akibat. Kewajiban itu adalah sebuah sebab, jika merasa berhak dipercayai dan dipilih, ya tunaikan dulu kewajibannya. Orang kok mau enaknya saja. Mau hasilnya doang, tapi prosesnya ogah jalanin. Mau hasil akhir yang bagus, tapi prosesnya sembarangan.. mana bisa..

Dan saya pikir, kata Sariman, caleg-caleg itu bagaimana bisa tenang dimasa tenang ini.. mereka sudah mengeluarkan duit sedemikian besar.. iya kalau kepilih, kalau tidak? hmmm... kelaut ajeee...!!!

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters