Please, add your self in my guestbook...

Kamis, April 10, 2008

DPR "Nggak Berani" Gugat SLANK ?


DPR "Nggak Berani" GUGAT SLANK ?
(Metafora Berita Koran Pagi)



SLANK. Siapa tak kenal grup band satu ini? Kebangetan!

Bagi saya SLANK tidak hanya sekedar grup band yang hanya bisa gubah lagu, tulis lirik, nyanyi teriak-teriak dipanggung sambil jingkrak-jingkrak, bikin album, selesai konser dibayar lalu sudah. Lebih dari itu SLANK telah menjadi sebuah entitas sosial, bahkan (bisa jadi) bagi penggemar fanatiknya, SLANK itu levelnya hanya satu tingkat dibawah agama. SLANK menjadi trend, kiblat, ikon sosial yang tak terbantahkan.


Sebuah lelucon yang sama sekali nggak lucu, ketika tiba-tiba anggota dewan yang terhormat merasa tersinggung dengan lagu SLANK yang berjudul “Gosip Jalanan” yang dirilis tahun 2004 lalu itu, lalu berniat menggugat.


Walaupun gugatan dari anggota BK DPR itu urung dilakukan, tetapi tetap menarik untuk diberi catatan. Yang hendak dilakukan BK DPR kepada SLANK tentu saja mengingatkan kita kepada perlakuan pemerintahan masa lalu kepada IWAN FALS. Lagu-lagu Iwan Fals seperti “Tampomas II”, “Guru Oemar Bakrie”, “Wakil Rakyat”, “Satu-satu”, “Bongkar”, dan lain-lain, yang sangat polos dan jujur memotret realitas sosial dan politik yang ‘timpang’. Dan karenanya Iwan Fals (konon) sempat mendapat ‘tekanan’ dari pemerintahan saat itu.


Yang menarik dicermati adalah mengapa Iwan Fals (saat itu) dan SLANK (saat ini) begitu ‘di gandrungi’ publik? Saya duga jawabannya sederhana, ketika ruang berpendapat dan berbicara tersumbat, ketika aspirasi macet menabrak tembok birokrasi dan kekuasaan, ketika ketimpangan dan kebusukan terjadi dimana-mana dan tidak pernah menemukan solusinya, ketika harapan kepada penyelenggara pemerintahan tidak kunjung terjawab, maka musik dan lagu menjadi alternatif pilihan untuk menyuarakan aspirasi. Iwan Fals dan Slank yang begitu spontan, sederhana apa-adanya, akhirnya tidak hanya menjadi penyanyi tetapi juga ikon sosial yang harus diperhitungkan.


Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang membuat BK DPR urung melayangkan gugatan kepada SLANK? Tidak ada penjelasan secara gamblang soal ini. Niat gugatan itu tiba-tiba dan diurungkannya pun tiba-tiba. Karena tidak ada penjelasan, maka sah-sah saja kita membuat kemungkinan-kemungkinan alasan hingga gugatan itu urung dilakukan.


Kita semua tahu beberapa jam setelah niat gugatan itu, muncul kasus dugaan suap yang dilakukan Amin Nasution (dari PPP) yang di bongkar oleh KPK. Terbongkarnya kasus dugaan suap ini terjadi pada momentum yang pas, beberapa saat setelah BK DPR hendak menggugat SLANK. Bisa jadi BK DPR urung menggugat SLANK karena apa yang dikatakan SLANK lewat lagu “Gosip Jalanan” itu nyata terbukti. Masak mau menggugat sesuatu yang benar? PILON itu namanya.


Disamping itu, begitu BK DPR berniat menggugat, SLANK mendapat simpati dan dukungan dari banyak pihak, mulai dari media, advokat, Slank Fans Club (SFC) yang tersebar dimana-mana, termasuk fraksi di DPR. Sehingga BK DPR harus ‘berhitung’ ulang. Disamping dukungan dari luar, SFC yang keberadaan, kuantitas dan loyalitas konstituennya melebihi partai politik, ditambah misalnya dukungan solidaritas dari komunitas sejenis, seperti OI (Orang Indonesia) maka semakin besarlah barisan dibelakang SLANK yang menjadi ‘ancaman’ bagi BK DPR sebagai penggugat. (Sepertinya mereka kurang mempertimbangkan siapa ‘lawan’ yang bakal dihadapinya).


Ditambah lagi Wakil Ketua BK DPR Gayus Lumbuun ini berasal dari parpol oposisi pemerintah. Artinya ketika saat ini ia ‘berbenturan keras’ dengan masa maka akan sangat mempengaruhi perolehan suara di Pemilu 2009. Oleh karenanya mengurungkan niat gugatan itu menjadi pilihan (tapi saya kira nasi sudah jadi bubur, ini akan menjadi catatan bagi masyarakat, kepada siapa suaranya layak dititipkan).

Mengutip pendapat Gayus Lumbuun di sebuah harian nasional, “…jika masyarakat jeli dalam menyikapi persoalan ini, seharusnya setiap orang yang mendengarkan syair lagu Slank merasa jijik… liriknya sangat tidak sopan. Namun kita melihat respon publik kok menyerang DPR, bukan memahami… terjadi euforia untuk menyudutkan DPR” tandasnya.


Ada yang dilupakan oleh Gayus, bahwa publik lebih jijik melihat tingkah polah pejabat negara yang telah mengkhianati amanat rakyat, yang menyalahgunakan kedudukan dan jabatannya untuk keuntungan pribadi dan golongan, yang tidur saat rapat ketika membahas nasib rakyat, yang selalu ‘keluyuran’ ke luar negeri dengan dalih studi banding tapi hasilnya nol, yang memasang tarif saat merumuskan undang-undang, yang bicaranya tak sesuai dengan kelakuannya.

“Gosip Jalanan” bukan sekedar gosip. Sama halnya dengan ‘rahasia umum’, rahasia tapi semua orang sudah pada tahu. Maka marilah sama-sama kita nyanyikan “Gosip Jalanan” :


Pernah kah lo denger mafia judi,

Katanya banyak uang suap polisi,

Tentara jadi pengawal pribadi.

Apa lo tau mafia narkoba,

Keluar masuk jadi Bandar di penjara,

Terhukum mati tapi bisa ditunda.

Siapa yang tau mafia selangkangan,

Tempatnya lender-lendir berceceran,

Uang jutaan bisa dapat perawan.

Kacau balau, kacau balau negaraku ini.

Ada yang tau mafia peradilan,

Tangan kanan hokum dikiri pidana,

Dikasih uang habis perkara.

Apa bener ada mafia pemilu,

Entah gaptek apa manipulasi data,

Ujungnya beli suara rakyat.

Mau tau nggak mafia di senayan,

Kerjanya tukang buat peraturan,

Bikin UUD, ujung-ujungnya duit.

Pernahkah denger teriakan Allahu Akbar,

Pake peci tapi kelakuan bar-bar,

Ngerusakin bar orang ditampar-tampar.


(jakarta, 9 april 2008)

Rabu, April 09, 2008

TIDUR PAK ?


TIDUR PAK ?
(Metafora Berita Koran Pagi)


Kelakuan pejabat tidur disaat rapat itu jelas bukan berita aktual. Media massa seringkali mengekspose hal itu. Bahkan tahun delapan puluh sekian, Iwan Fals terang-terangan mengkritik wakil-wakil rakyat yang suka tidur justru pada saat membicarakan nasib rakyat. Tetapi yang baru dari soal kebiasaan tidur saat rapat adalah ketika seorang presiden menegur peserta rapat saat ia berpidato. "Anda ini dipilih langsung oleh rakyat. Malu pada rakyat. Anda malah tidur saat membicarakan rakyat. Jangan main-main dengan tanggungjawab!" begitu kira-kira teguran sang presiden.

Hmmm, tidurnya sih biasa. Tapi teguran kepada yang tidur di depan forum resmi dan dilakukan oleh presiden, seingat saya baru kali ini terjadi. Jadi soal tidur itu sudah basi, tapi soal teguran itu sangat faktual, bukan? Bahkan dalam 'emosi yang sesaat' presiden mengatakan "jangan diluluskan itu peserta yang tidur".

Marilah kita sedikit ber-emphati. Bagaimana rasanya bila anda seorang aktor, tapi ketika anda bermain di panggung penonton tidak memperhatikan anda. Atau bila anda seorang guru, dan murid-murid anda tidur saat anda memberikan pelajaran. Atau bila anda seorang mubaligh, dan jamaah majelis ta'lim yang mengundang anda sama sekali cuek dengan tausyiah yang anda sampaikan. Atau bila anda seorang pelatih sepak bola dan para pemain anda tidak mengindahkan instruksi anda. Atau bila anda seorang bapak dan anak anda mendengarkan nasehat-nasehat anda sambil main PS, sedangkan anda sedang serius dan marah. Atau bila anda seorang sahabat dan teman-teman anda yang lain tidak peduli dengan apa yang anda omongkan. Aatau bila anda seorang public speaker dan peserta seminar mendengarkan anda sambil asik ber-SMS-an. Atau bila anda seorang Direktur, Manager, Supervisor atau Team Leader, dan anak buah anda terkantuk-kantuk saat meeting tentang pencapaian target tahun ini. Pertanyaannya, kira-kira bagaimana perasaan anda?

Dugaan saya, anda pasti akan 'marah' merasa tidak dihargai, disepelekan, direndahkan. Itu juga mungkin yang dirasakan pak presiden. Entahlah...

Tapi bagi saya, jika orang tidak memperhatikan apa yang kita bicarakan, atau tidak tertarik dengan pembicaraan kita, mungkin itu disebabkan oleh setidaknya 5 hal : pertama, karena topik/temanya tidak menarik. Kenyataannya yang menarik bagi seseorang belum tentu menarik bagi orang lainnya. Ada orang yang suka dengan berita-berita politik, ada yang suka berita kriminal, tapi ada juga yang tidak mau ketinggalan sedetikpun acara infotainment dan gosip selebriti. Jadi, mungkin yang disampaikan pak presiden mungkin tidak termasuk dalam tema yang 'menarik' menurut peserta yang tidur itu.

Kedua, bisa jadi karena cara membawakannya atau cara mempresentasikannya. Ini bisa menyangkut soal bahasa verbal maupun fisiologis. Ada orang yang bahasanya menarik tapi fisiologisnya tidak menguatkan pesan yang ingin disampaikan. Ada yang fisiologisnya bergerak begitu atraktif tapi pesannya dangkal-dangkal saja. Yang pasti menarik adalah, jika kita bicara, menggunakan bahasa verbal yang bagus, tertata rapi, ada seriusnya, ada joke-nya, penekanan kalimatnya pas, kemudian padukan dengan bahasa tubuh (fisiologis) yang congruence. Nah, mungkin saja peserta rapat yang tidur tadi merasa bahwa pidato pak presiden datar-datar saja, biasa-biasa saja, sehingga tidak bisa mencuri perhatiannya.

Ketiga, mungkin karena lawan bicara atau yang mendengarkan kita sudah tahu apa yang kita bicarakan. Karena merasa sudah tau atau bahkan 'sok tau' maka lawan bicara kita mem-block inderanya. Bukankan anda sering dipotong pembicaraan anda oleh teman anda? kemudian teman anda bilang "Oke, itu saya sudah tahu". Padahal jika kita mau menyimak dan mendengarkan (walaupun kita sudah tahu) mungkin bisa mendapat ide atau gagasan baru. Dan bisa jadi peserta rapat yang tidur itu sudah 'ngelotok' diluar kepala atas hal-hal yang disampaikan pak presiden. (Jika benar demikian berarti sebenarnya ia termasuk orang hebat).

Keempat, karena nggak mudeng (tidak mengerti) apa yang disampaikan. Ini ada beberapa kemungkinan. Bisa jadi karena yang dibicarakan bukan hal-hal yang dikuasai atau karena cara dan bahasanya terlalu rumit atau memang karena (agak) pilon sehingga agak sulit mencerna informasi, alias lemot. Berarti ada kemungkinan peserta rapat yang tidur itu adalah member dari piloners atau bisa juga karena bahasan pak presiden terlalu sulit untuk dia mengerti.

Kelima, karena orang tidak suka pada kita sehingga apapun yang kita bicarakan, sebaik apapun nasehat kita, tidak akan didengarnya. Apakah mungkin peserta rapat yang tidur itu bukan dari parpol pendukung setia pak presiden atau dari parpol oposisi, musuh politik yang selalu menentang kebijakan presiden? atau dimatanya , pak presiden itu hanyalah seperti penjual obat yang menjajakan 'dusta'? entahlah...

Yang jelas dan yang terjadi adalah seorang kepala daerah tidur saat rapat yang membicarakan tentang rakyat, itu jelas-jelas menyimpang dari amanat rakyat. Tapi jangan buru-buru marah. Ada baiknya kita cermati mengapa seorang kepada daerah tertidur saat rapat.

Bisa jadi karena dia itu setiap detik waktunya dia gunakan untuk berpikir dan melakukan hal-hal untuk kepentingan rakyat sampai-sampai ia tidak memikirkan ketahanan fisiknya sehingga ketika acara pidato presiden ia sudah dalam puncak kelelahan fisik (tapi bathin dan jiwanya tetap berpihak kepada rakyat) sehingga ia pun tertidur dan dalam tidurnya yang singkat itupun ia memimpikan dan memikirkan kesejahteraan rakyat.

Jika itu yang terjadi apa kita mau marah dan menganggap ia tidak kredibel atau tidak amanah?

Atau... ya karena dia memang tidak peduli dengan rakyat. Agenda rapat di jakarta dia anggap sebagai piknik, sehingga rapat itu hanya untuk formalitas, diluar itu waktunya habis di pub atau discoteque atau keluyuran di dunia gemerlap jakarta yang sebelumnya ia hanya tahu dari cerita-cerita teman dan media. Masa bodo dengan amanat dan tanggungjawab.

Hmmm... kira-kira kecenderungan mana yang paling mungkin terjadi?


(Jkt, 9 April 2008)

Selasa, April 01, 2008

CELANA ROBEK


Siapa bilang pakaian itu tidak penting? Siapa?
Siapa bilang orang lebih menghargai persoanlity daripada pakaian? Siapa?
Siapa bilang bungkus itu tidak penting? Siapa?

Tentu saja tulisan saya ini sedikit mendebat ungkapan "don't judge the book from the cover". Jujur sajalah... (tidak usah munafik), setiap ketemu orang, penialaian pertama kita pada orang tersebut adalah dari performanya, tampilannya, yang kelihatan oleh mata. Bukan begitu?

Barang jelek, apkiran, kalau dikemas dengan bagus dan elegant dengan memberikan kesan kemewahan, ia akan laku mahal. Sedangkan barang sebagus apapun jika dibungkus seadanya, tak ada yang meminatinya.

Orang baik jika di telanjangi di pasar, maka hilang pula harga dirinya. Orang culas, kalau pakai jas bagus, berdasi, sepatu mengkilap, mondar-mandir di istana atau gedung parlemenpun tidak akan di suruhnya pergi, malah dihargai.

Dan saya sangat gusar ketika celana saya robek dibagian pantat. Kejadiannya saat hendak makan siang, saya meminta tolong OB di kantor untuk membelikan nasi bungkus. Begitu saya mau duduk hendak menyantap nasi bungkus, terdengarlah bunyi "wwweeekkk.." dan ternyata celanaku robek lebar sekali. Akhirnya aku duduk saja, karena kalau berdiri atau berjalan tentu akan "kelihatan" biarpun bajuku sudah aku keluarkan. Malukah aku? Hilangkah harga diriku?

Tentu saja tidak, karena tidak ada orang yang melihat kejadian itu. Walaupun kemudian aku ceritakan kejadian itu kepada beberapa kawan. dan itu membuat kawan-kawan saya senang mendengarnya, mereka tertawa terbahak-bahak. Begitulah, kita ini bangsa yang sangat menyukai humor slapstick macam itu. Maka kalau ada kawan atau sodara kita celaka kita tertawa. Ada saudara kita kebanjiran kita senyam-senyum. Ada saudara-saudara kita nganggur ngga dapat-dapat kerja, kita tertawa sambil bilang "alhamdulillah bukan saya".

Hanya saja saya berandai-andai, bagaimana jadinya jika kejadian robeknya celana itu terjadi saat di forum resmi, atau ketika bertemu dengan klien, atau saat presentasi di depan calon cutomer, atau ketika sedang membawakan training didepan umum, atau...

ENTAHLAH.. dan itu tidak terjadi




YANG LANGKA, YANG BIASA

(Metafora Berita Koran Pagi)


Beberapa waktu lalu minyak tanah sempat mengalami kelangkaan yang konon imbas dari menurunnya produksi dan naiknya harga minyak dunia. Lagi-lagi, masyarakat bawahlah yang terdampak langsung olehnya.

Cak Man penjual gorengan mengeluhkan sulitnya mendapatkan minyak tanah. Padahal kalau nggak dapat minyak tanah dia nggak bisa jualan. Bang Dul yang biasanya setiap malam keliling komplek perumahan dimana saya tinggal, sambil mendorong gerobak nasi gorengnya, sudah tidak terlihat beberapa malam ini. Usut punya usut, sebab musababnya Bang Dul tidak kebagian minyak tanah sehingga tidak bisa jualan. Jelas itu membuat kami penggemar nasi gorengnya jadi kecewa berat. Lha terus bagaimana pula nasib keluarga Cak man dan Bang Dul jika mereka tidak jualan, sementara hanya dari jualan itulah nafkah keluarganya dicukupi (baca: dicukup-cukupkan).

Pemerintah tampaknya juga cukup responsif terhadap persoalan Cak man dan Bang Dul tadi. Buktinya begitu melihat tren harga minyak dunia yang semakin melambung tinggi tak terkendali, pemerintah membuat program nyata yaitu penggunaan minyak tanah bagi industri kecil dan rumah tangga dialihkan ke gas elpiji. Lalu dengan masifnya, pemerintah membagi-bagikan gas dan tabung elpiji secara gratis kepada masyarakat. Ya, tidak perlu diutarakan disini seberapa banyak anggaran pengadaan tabung gas yang di korup, atau berapa banyak penyelewengan yang terjadi dalam proses distribusinya. Yang penting niatnya baik. Inna a’malu bil-niat lah. Nggak perlu juga di ungkapkan disini seberapa sering kasus kompor gas mleduk lantaran belum familiernya masyarakat dengan teknologi kompor gas atau lantaran kualitas kompor dan selang regulatornya yang dibawah standar?

Setelah beberapa malam Bang Dul tidak terlihat jualan nasi goreng, tadi malam Bang Dul terlihat lagi dengan senyumnya yang khas. Bang Dul is back! Tentu saja itu mengobati kerinduan kami pada citarasa nasi gorengnya yang mak nyusss itu. Eits! Ada yang baru kami lihat, Bang Dul tidak lagi menggunakan kompor minyak, tapi dia menggunakan tabung gas elpiji. “Yah lumayan irit pak, apalagi gratis, hanya saja saya belum terbiasa saja, jadi agak kaku” kata Bang Dul ketika saya tanya tentang kesannya pakai tabung elpiji dan kompor gas.

Badai sudah berlalu! Setelah sebelumnya masyarakat resah karena minyak tanah langka dan sejurus kemudian pemerintah membagi-bagikan kompor dan tabung gas elpiji gratis, suara-suara ‘resah’ masyarakat nyaris tak terdengar lagi. Benarkah persoalan minyak ini telah teratasi? Benarkah badai telah berlalu?

Belum juga kering bibir kita membicarakan kelangkaan minyak tanah dan hal-hal lain tentang distribusi kompor dan tabung gas gratis, kita sudah dihadapkan pada mulai langkanya tabung dan elpiji di pasaran! Harga gas 12 kg yang resminya Rp. 52.000,- kini hingga mencapai Rp. 70.000,- Halah.. halaaaaah...!

“Sepertinya yang ngurusin negara ini ndak bener-bener serius!” begitu kata tetangga saya tadi malam ditempat kami biasa nongkrong di pinggir jalan sambil ngopi bersama. “Pengalihan minyak tanah ke gas elpiji itu ya bagus-bagus saja, tapi mbok ya sebelumnya dipersiapkan dan diperhitungkan dengan matang. Kira-kira gas elpiji itu efektif apa ndak, efisien apa ndak, terus ketersediaannya apakah bisa di jamin, seberapa besar kapasitas produksi dan berapa besar kebutuhan masyarakat, semua itu kan bisa di hitung. Apa dulu pemimpin-pemimpin kita itu bodoh-bodoh matematikanya ya. Ini mah bukan menyelesaikan persoalan, tapi membuat persoalan baru. Bener-bener ndak serius! Gitu kok pada laku ya jadi pemimpin?” kata yang lainnya.

Eits! Kalau soal bodoh dalam berhitung saya tidak heran karena dari dulu ‘penyakit’ kita ya itu, gagal melakukan kalkulasi, terhadap apa saja. Bisnis lah, investasi lah, politik lah. Bukankan carut-marut yang terjadi dinegeri ini penyebabnya karena kita tidak mampu mengkalkulasi permasalahan dan kemungkinan-kemungkinan? Sehingga sejarah kegagalan selalu terulang dan terulang lagi.

Tapi, kalau dikatakan “Gitu kok pada laku ya jadi pemimpin?”, pertanyaan retoris ini cukup menarik. Tapi saya perlu waktu merenungi pertanyaan itu. Sebaiknya anda juga merenungkanya. Siapa sih yang memilih mereka.


1 april 2008

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters