Please, add your self in my guestbook...

Selasa, April 01, 2008

YANG LANGKA, YANG BIASA

(Metafora Berita Koran Pagi)


Beberapa waktu lalu minyak tanah sempat mengalami kelangkaan yang konon imbas dari menurunnya produksi dan naiknya harga minyak dunia. Lagi-lagi, masyarakat bawahlah yang terdampak langsung olehnya.

Cak Man penjual gorengan mengeluhkan sulitnya mendapatkan minyak tanah. Padahal kalau nggak dapat minyak tanah dia nggak bisa jualan. Bang Dul yang biasanya setiap malam keliling komplek perumahan dimana saya tinggal, sambil mendorong gerobak nasi gorengnya, sudah tidak terlihat beberapa malam ini. Usut punya usut, sebab musababnya Bang Dul tidak kebagian minyak tanah sehingga tidak bisa jualan. Jelas itu membuat kami penggemar nasi gorengnya jadi kecewa berat. Lha terus bagaimana pula nasib keluarga Cak man dan Bang Dul jika mereka tidak jualan, sementara hanya dari jualan itulah nafkah keluarganya dicukupi (baca: dicukup-cukupkan).

Pemerintah tampaknya juga cukup responsif terhadap persoalan Cak man dan Bang Dul tadi. Buktinya begitu melihat tren harga minyak dunia yang semakin melambung tinggi tak terkendali, pemerintah membuat program nyata yaitu penggunaan minyak tanah bagi industri kecil dan rumah tangga dialihkan ke gas elpiji. Lalu dengan masifnya, pemerintah membagi-bagikan gas dan tabung elpiji secara gratis kepada masyarakat. Ya, tidak perlu diutarakan disini seberapa banyak anggaran pengadaan tabung gas yang di korup, atau berapa banyak penyelewengan yang terjadi dalam proses distribusinya. Yang penting niatnya baik. Inna a’malu bil-niat lah. Nggak perlu juga di ungkapkan disini seberapa sering kasus kompor gas mleduk lantaran belum familiernya masyarakat dengan teknologi kompor gas atau lantaran kualitas kompor dan selang regulatornya yang dibawah standar?

Setelah beberapa malam Bang Dul tidak terlihat jualan nasi goreng, tadi malam Bang Dul terlihat lagi dengan senyumnya yang khas. Bang Dul is back! Tentu saja itu mengobati kerinduan kami pada citarasa nasi gorengnya yang mak nyusss itu. Eits! Ada yang baru kami lihat, Bang Dul tidak lagi menggunakan kompor minyak, tapi dia menggunakan tabung gas elpiji. “Yah lumayan irit pak, apalagi gratis, hanya saja saya belum terbiasa saja, jadi agak kaku” kata Bang Dul ketika saya tanya tentang kesannya pakai tabung elpiji dan kompor gas.

Badai sudah berlalu! Setelah sebelumnya masyarakat resah karena minyak tanah langka dan sejurus kemudian pemerintah membagi-bagikan kompor dan tabung gas elpiji gratis, suara-suara ‘resah’ masyarakat nyaris tak terdengar lagi. Benarkah persoalan minyak ini telah teratasi? Benarkah badai telah berlalu?

Belum juga kering bibir kita membicarakan kelangkaan minyak tanah dan hal-hal lain tentang distribusi kompor dan tabung gas gratis, kita sudah dihadapkan pada mulai langkanya tabung dan elpiji di pasaran! Harga gas 12 kg yang resminya Rp. 52.000,- kini hingga mencapai Rp. 70.000,- Halah.. halaaaaah...!

“Sepertinya yang ngurusin negara ini ndak bener-bener serius!” begitu kata tetangga saya tadi malam ditempat kami biasa nongkrong di pinggir jalan sambil ngopi bersama. “Pengalihan minyak tanah ke gas elpiji itu ya bagus-bagus saja, tapi mbok ya sebelumnya dipersiapkan dan diperhitungkan dengan matang. Kira-kira gas elpiji itu efektif apa ndak, efisien apa ndak, terus ketersediaannya apakah bisa di jamin, seberapa besar kapasitas produksi dan berapa besar kebutuhan masyarakat, semua itu kan bisa di hitung. Apa dulu pemimpin-pemimpin kita itu bodoh-bodoh matematikanya ya. Ini mah bukan menyelesaikan persoalan, tapi membuat persoalan baru. Bener-bener ndak serius! Gitu kok pada laku ya jadi pemimpin?” kata yang lainnya.

Eits! Kalau soal bodoh dalam berhitung saya tidak heran karena dari dulu ‘penyakit’ kita ya itu, gagal melakukan kalkulasi, terhadap apa saja. Bisnis lah, investasi lah, politik lah. Bukankan carut-marut yang terjadi dinegeri ini penyebabnya karena kita tidak mampu mengkalkulasi permasalahan dan kemungkinan-kemungkinan? Sehingga sejarah kegagalan selalu terulang dan terulang lagi.

Tapi, kalau dikatakan “Gitu kok pada laku ya jadi pemimpin?”, pertanyaan retoris ini cukup menarik. Tapi saya perlu waktu merenungi pertanyaan itu. Sebaiknya anda juga merenungkanya. Siapa sih yang memilih mereka.


1 april 2008

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters