Please, add your self in my guestbook...

Rabu, Agustus 22, 2007

PILONIAN (6) : Masyarakat "Untung"

PILONIAN (6)
By : Ray Asmoro - http://www.rayasmoro.com/

Sariman termangu-mangu, nggumun, oleh tingkah polah masyarakat sekitarnya yang punya fleksibilitas atau kelenturan dan sikap yang nrimo. Disatu sisi ia merasa bahwa sikap itu sebagai sesuatu yang positif karena sikap itu justru menunjukkan bahwa masyarakat kita memiliki daya tahan yang luar biasa. Dipojokkan disudut sesempit apapun, di tekan sekeras apapun, di himpit dalam keterdesakan sekuat apapun, bahkan di permainkan semau-maunya oleh yang empunya otoritas kebijakan segila apapun, masyarakat kita masih bisa nrimo dan berlapang dada. Luar Biasa kan?

Lho kok? Jangan “lho kok”, ini sungguh-sungguh, serius ini! Kata sariman. Bagaimana tidak, masyarakat kita sudah sedemikian kenyang oleh perlakuan-perlakuan yang kurang adil, misalnya saja tiba-tiba minyak tanah menghilang dari pasar, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, harga BBM dan TDL juga meresahkan, harga gabah rendah tak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkannya untuk mencangkuli dan menggarap sawahnya, biaya pendidikan dan rumah sakit semakin tidak bersahabat, dan puluhan bentuk keterdesakan lainnya, dan mereka masih bisa nrimo, tetap adem-ayem seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Lebih parah lagi masyarakat kita yang merasakan himpitan itu di kelompokkan dalam istilah (yang disebut) “rakyat kecil” alias wong cilik. Bukankah itu salah satu bentuk penistaan yang sangat terang-terangan? Dasar pilon!

Jika ada kategori “rakyat kecil” maka logikanya ada “rakyat besar”. Bagaimana bisa disebut kecil jika tidak ada yang besar. Jika rakyat kecil adalah masyarakat yang mengalami keterdesakan secara sistemik, maka logikanya rakyat besar adalah yang terbebas dari keterdesakan itu dan (kemungkinan besar) rakyat besarlah yang membuat sistem itu. Tetapi istilah “rakyat besar” sama sekali tidak populer, bahkan cenderung tidak ada. Dan istilah “rakyat kecil” biasanya disebut “rakyat” saja. Jadi para pembesar itu siapa? Rakyat atau bukan? Jika sama-sama rakyat mengapa harus di kotak-kotakkan?

Anehnya, jika sudah memasuki masa-masa kampanye pemilihan anggota dewan, pilkada, atau apapunlah namanya, mereka ramai-ramai dan berteriak sangat lantang, mengaku-aku dirinya sebagai “rakyat”. Dasar pilon!

Saya jadi ingat sebuah film yang berjudul “The Last King From Scotland” yang mengkisahkan sepak terjang seorang Idi Amin, diktator dari Uganda yang telah membantai lebih dari 400.000 rakyatnya. Dalam film itu Idi Amin berpidato didepan rakyatnya, dan berkata (kurang-lebih) seperti ini : “…saya berdiri disini, menggunakan pakaian jendral, tetapi didalam pakaian kebesaran ini saya adalah pribadi sederhana, seperti halnya kalian semua…coba tanya para prajuritku, saya akan makan jika semua prajuritku telah kenyang…Kita akan bangun afrika menjadi lebih maju, kita akan bangun rumah-rumah, sekolah-sekolah, bagi masyarakat. Kita harus bangkit menjadi bangsa yang besar…” Lalu semua masyarakat menyambutnya dengan suka-cita, terbius oleh propaganda dan janji-janji politik, kemudian mereka mengelu-elukannya, “Amin! Amin! Amin!” Luar biasa, bukan?

Begitu juga yang terjadi disini. Mmasyarakat kita nrimo dan legowo jika pemimpin yang didukung dan dipilihnya menjadi “Idi Amin” dikemudian hari. Siapa pilon? Dan pemimpin-pemimpin itu juga aneh, begitu terpilih dan duduk di kursi empuk, lantas lupa bahwa kemarin mulutnya baru saja mengaku sebagai “rakyat kecil”.

Seharusnya, kata Sariman. Mereka “rakyat besar” itu jangan melupakan sejarah eksistensinya. Bahwa mereka juga pernah atau memohon-mohon menjadi bagian dari “rakyat kecil”. Seharusnya mereka itu lebih peka terhadap persoalan-persoalan “rakyat”, lebih lembut dan manusiawi dalam memperlakukan “rakyat” yang kenyataannya sebagai kaum mayoritas.

Tapi itulah realitanya. Masyarakat kita tetap saja adem-ayem. Kalaupun ada yang protes, itupun hanya dalam hati, sambil diam-diam ngumpet dikamar. Kalaupun ada pengerahan masa hingga turun ke jalan berjuang untuk terbebas dari keterdesakan, masyarakat yang lain malah menggerutu, “Bikin jalan macet saja”, atau “Alaaah, paling-paling hanya massa bayaran” atau komentar-komentar miring lainnya. Tidak pernah ada kebulatan tekad, kebulatan prinsip dan persepsi, kebulatan kepentingan, kebulatan kesadaran sesama masyarakat, yang sebenarnya sama-sama tertindas. Piye to mas…?

Kesimpulannya ya itu tadi, bahwa masyarakat kita ini memiliki daya tahan yang luar biasa. Sikap nrimo dan kelenturan masyarakat ini mestinya di jadikan asset. Anda yang jadi pembesar seharusnya senang dan segera berpikir keras, kalau perlu sampai botak, untuk kepentingan masyarakat banyak. Jangan tunggu sampai macan tidur itu terbangun. Oceh Sariman.

Sikap lentur dan nrimo itu sangat positif di satu sisi. Anda pasti sering mendengar misalnya, ada orang kecelakaan kendaraan hingga kakinya terkilir, dan mereka masih bisa bilang “untung hanya kaki terkilir, coba kalau sampai patah…” atau “untung Cuma kaki terkilir, untungnya bukan kepala saya yang pecah”. Ada orang bisnis kemudian mengalami kerugian, dan masih bisa bilang “untung kerugiannya baru 100 juta, coba kalau kemarin saya setorkan modal 1 milyar kan bisa berabe”.

Cerita lainnya, ada orang udik datang ke Jakarta naik bus, kemudian tiba-tiba dia hendak turun dan bilang sama kenek-nya “Bang saya turun disini” kata Si Udik tadi.

“Tunggulah sebentar, biar busnya minggir dulu” Kemudian bus itu mulai ke pinggir, dan seperti biasanya bus-bus disini kan tidak ada yang taat asas, berhenti sekenanya, belok minggir seenaknya, dan menurunkan penumpang tanpa harus menghentikan kendaraan, dasar pilon!, “Sekarang kau boleh turun disini” kata kenek itu, “Turun kaki kiri dulu, pak” kenek mengingatkan.

Si Udik jengkel, tujuannya sudah lewat tiga ratus meter, bus masih berjalan, dan dia disuruh turun. Sudah begitu, keneknya pakai ngatur-ngatur, harus turun dengan kaki kiri dulu. Si Udik ngedumel dalam hati. Kenapa saya harus percaya pada kenek ini, lha wong saya minta berhenti disana tadi malah kebablasan hingga lebih dari tiga ratus meter jauhnya. Enak saja nyuruh-nyuruh orang, sok ngatur, memangnya saya ini orang bodoh apa? Si Udik terus ngedumel. Lalu ia melompat turun dari bus dengan kaki kanan terlebih dulu. Dan apa yang terjadi kemudian, begitu kaki kanannya menjejak tanah, dia kehilangan keseimbangan, dan terjatuh terlentang, parahnya saat terjatuh kepala bagian belakangnya nyungsep di kotoran kerbau yang ada dipinggir jalan itu.

Melihat kejadian itu, si kenek malah mengolok-olok, “Yeee, kan udah dibilang turun pakai kaki kiri dulu, nekad. Nyungseplah kau sekarang di tai kerbo”.

Mendengar olok-olok itu si udik bilang, “He! Untung saya lompat turun kaki kanan dulu. Kalau saya turun kaki kiri dulu, bukan kepala belakang saya yang kena tai kerbo, tapi muka saya, dasar pilon!”.

Begitulah, sudah kecelakaan motor, jelas-jelas rugi 100 juta, terjatuh hingga nyungsep di tai kerbo, masih bilang “untung”. Dasar pilon! Tetapi disitulah letak kekuatannya. Artinya masyarakat kita ini memiliki kemampuan menghibur diri sendiri, memiliki rasa humor yang tinggi, selalu penuh rasa syukur, mampu menertawai diri sendiri, bisa bercanda dengan segala situasi, setiap peristiwa, ironi ataupun tragedi dianggap sebagai sebuah parodi. Top banget!

Dengan sikap seperti itu, masyarakat kita tidak mudah patah. Tidak bisa ditekan-tekan, dihimpit-himpit, atau didesak-desak. Jadi, wahai penguasa, engkau perlakukan seperti apapun, engkau pojokkan dengan kebijakan apapun, engkau tindih dengan beban harga sembako, tarif BBM dan TDL semahal apapun, engkau tikam dengan propaganda politik sebusuk apapun, engkau perdayakan senista apapun, engkau adu-domba sesengit apapun, engkau injak-injak sehina apapun, engkau khianati hingga selaknat apapun, jangan harap mampu membuat masyarakat tersinggung atau marah, apalagi mencabut amanatnya. Jangan harap. Karena engaku berhadapan dengan masyarakat “untung”. Lho?

Terus sisi negatif dari sikap “untung” itu apa, Man?

“Yang negatif-negatif apa perlu dikemukanan? Nanti saya malah dibilang provokasi. Masyarakat kita sudah pada pinter kok. Sudah bisa bedakan mana positif mana negatif. Kalaupun terperosok ke dalam hal-hal negatif, toh pada akhirnya mereka akan bilang “masih untung begini daripada begitu”, memang terasa agak pilon sih…, tapi jangan buru-buru berkesimpulan begitu. Karena bisa jadi mereka hanya pura-pura pilon, dan ketika mereka sudah tidak mau “pura-pura” lagi… hmmm, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi”.


Jakarta, 23 Agustus 2007

Minggu, Agustus 19, 2007

"Anjing Perempuan Itu..."

ANJING PEREMPUAN ITU
Cerpen Ray Asmoro


Berbahagialah menjadi anjing. Ketika tiba masanya kawin, ya kawin saja. Tidak perlu pesta-pestaan. Kalau mau kencing, ya kencing saja. Tidak perlu sungkan-sungkan. Angkat sedikit kaki sebelah lalu, currr… tidak peduli di tempat umum sekalipun.

Seperti halnya manusia, dalam per-anjing-an juga berlaku istilah strata sosial atau kasta. Ada anjing penjaga, anjing liar, anjing pasar, anjing sirkus dan sebagainya. Diantara kasta anjing itu, anjing rumahanlah yang menempati kasta tertinggi. Tinggal seatap dengan manusia. Makan sudah disediakan, bahkan kandungan gizi dan kalorinya melebihi makanan yang dijual di warteg-warteg. Perlakuannya sangat istimewa. Dibelai-belai, diciumi, dipeluk, bahkan dikeloni oleh tuannya yang cantik dan seksi. Dasar anjing!

Setiap kali melewati satu jalan di kawasan elit itu, Morgan selalu melihat seorang perempuan tua bersama seekor anjing. Hitam warna bulunya. Ia tidak berumah. Tidurnya di luar pagar rumah orang kaya. Orang menyebutnya gembel. Ada juga yang menganggapnya gila. Tidak jelas darimana asal usulnya, punya sanak keluarga atau tidak, juga mengapa ia selalu mengenakan baju merah.

Ketika melewati jalan itu, perempuan berbaju merah itu kadang terlihat sedang menyapu trotoar, duduk diam seperti menghayalkan sesuatu, memberi makan anjingnya, atau sedang bercanda dengan anjingnya. Mengelusnya, menggendongnya atau mengajaknya jalan-jalan. Bahkan sesekali Morgan melihatnya sedang membaca koran bekas dan menulis surat.

Apa sih sebenarnya perempuan itu?

“Rupanya ia menyukai anjing. Mengapa ia lebih suka berteman dengan anjing, ya?” tanya Timbul pada Morgan ketika melewati jalan itu.

“Karena menurutnya, anjing lebih manusia dari manusia.” Morgan menerka-terka jawaban atas petanyaan Timbul, temannya.

“Apa dia tidak punya sanak saudara?”

“Mungkin saja ada. Dan mereka tidak lebih baik dari anjing itu dalam memperlakukannya.”

“Ah!”

***

Perempuan itu sudah terlihat tua. Andaikata ia hidup normal dan bersuami, mungkin sudah punya dua cucu. Tapi siapa bilang itu tidak normal? Bisa jadi itu hanya sebuah sensasi atau gaya hidup yang eksentrik. Siapa tahu kalau sebenarnya ia seorang milyarder tapi ia tidak mau menunjukkan harta kekayaannya dan memilih hidup dengan cara seperti itu. Dan tanpa kita tahu, di kantong plastik hitam yang ditentengnya kesana-kemari itu tersimpan sebuah laptop dan telepon satelit yang dipakainya bertransaksi bisnis lewat internet saat malam sepi, misalnya. Kira-kira, mungkin tidak?

O, mengapa tidak. Logikanya, seperti halnya banyak orang yang sebenarnya gembel dan kere tapi berlagak kaya. Atau, seperti para pejabat yang berebut untuk disebut miskin, dan untuk itu, hanya sebagain kecil saja dari harta kekayaannya yang dilaporkan. Padahal pundi-pundi hartanya tersimpan dan tercecer berserakan dimana-mana. Atau, pernahkah anda mendengar ada seorang pejabat negara yang profesi sesungguhnya adalah sales, kerjanya menjual aset-aset negara? Hmm… Saya pernah mendengarnya.

Lantas apa sih sebenarnya perempuan itu? Dan mengapa ia menyukai anjing?

“Sudahlah, Morgan. Masih banyak persoalan penting yang harus dipikirkan daripada sekedar berpikir tentang perempuan berbaju merah dengan anjingnya itu.” komentar Arif dengan logat timurnya ketika Morgan mencoba mendiskusikan fenomena perempuan dan anjingnya.

Suatu hari, ketika melewati jalan itu, Morgan tidak mendapati perempuan berbaju merah dengan anjingnya di tempat biasa. Morgan mengernyitkan dahi. Orang-orang tidak ada yang merasa kehilangan. Toh, keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Dalam teori, eksistensi manusia diukur dari seberapa besar kontribusi yang diberikan pada sesamanya. Semakin sedikit yang diperbuat, semakin meniadakan eksistensinya.

Lalu kemanakah gerangan perempuan berbaju merah dan anjingnya itu? Pertanyaan itu sempat hinggap di kepala Morgan. Mungkinkah perempuan tua dan anjingnya itu sudah menyingkir atau tersingkir dari sini? Mengapa menyingkir dan siapa yang menyingkirkan? Barangkali tidak menyingkir dan tidak disingkirkan. Ia hanya pergi atau jalan-jalan ke suatu tempat, menikmati suasana baru. Seperti kebanyakan kita yang seringkali butuh suasana baru. Bahkan perselingkuhan dan poligami diartikan sebagai bentuk suasana baru. Dasar!

***

Hari-hari berikutnya, perempuan tua berbaju merah itu terlihat lagi dikawasan itu lengkap dengan anjingnya. Seperti biasanya ia memperlakukan anjingnya seperti anak kandungnya sendiri. Suatu ketika Morgan lewat kawasan itu, anjing perempuan itu sedang bermain-main di trotoar jalan. Tapi Morgan merasa risih dengan anjing, ia takut anjing. Selucu apapun yang namanya anjing, tetap saja menakutkan bagi Morgan. Morgan berhenti sejenak di ujung trotoar, menghentikan langkahnya. Rupanya perempuan tua pemilik anjing itu menyadari ada seseorang yang hendak lewat trotoar jalan itu tapi takut dengan anjingnya, lantas perempuan itu memanggil anjingnya.

“Morgan, sini! Jangan nakal ya!”

Anjing itu menurut dan langsung menghampiri perempuan tua itu. Morgan tercengang sesaat. Lalu ia melanjutkan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sanwacana tentang PILONIAN

SANWACANA Tentang PILONIAN

Pilonian, istilah ini mungkin hal baru bagi anda. Namun ketahuilah, sebenarnya tidak sama sekali!. The Pilonian Syndrome ini ada dan mewabah disekitar kita dengan atau tanpa kita sadari, bahkan mungkin anda (kita) sendiri mengalaminya, terjangkiti yang namanya The Pilonian Syndrome. Masalahnya seberapa kronis anda terjangkit The Pilonian Syndrome ini. Waspadalah! Waspadalah!

Istilah The Pilonian Syndrome tentu tidak akan anda temukan dalam kamus atau teori psikologi. Syndrome adalah sebuah kecenderungan psikis bahkan dalam teori psikologi itu termasuk “penyakit” kejiwaan. Tentu anda pernah mendengar istilah Post Power Syndrome, itu adalah sebuah kondisi psikis tertentu dimana orang merasa ada yang hilang dan tidak rela karenanya setelah kehilangan kedudukan dan pengaruhnya. Akibatnya orang itu melakukan hal-hal yang kadang tidak masuk akal agar eksistensinya tetap diakui dan tetap mendapatkan puja-puji, tepuk tangan meriah, kalung rangkaian bunga dan hal-hal yang menggelikan lainnya.

Banyak syndrome yang telah diteorikan dan diakui secara masal. Namun The Pilonian Syndrome ini dimunculkan bukan untuk mendapat pengakuan itu. Pilonian ini adalah sebuah syndrome dimana orang seringkali bertindak kebodoh-bodohan alias ke-pilon-pilonan. Anda sering mendengar ungkapan “jangan belagak pilon”, bukan?

Pilon disitu memiliki dua kemungkinan arti. Pertama, pura-pura bego. Yang namanya pura-pura bego itu tidak benar-benar bego, bukan? Mengetahui sesuatu lantas pura-pura tidak tahu, menguasai sesuatu lalu pura-pura tidak berdaya, memiliki sesuatu kemudian pura-pura tidak menyadarinya. Dasar Pilon!

Kedua, ya memang benar-benar bego, pilon, culun (pinjam bahasanya Tukul) katro! Sudah culun, polos, bego lagi. Udah tampangnya miskin, dompetnya kosong pikirannya kusut lagi. Udah tampangnya bego, nggak punya kompetensi yang bisa diandalkan dan parahnya nggak nyadar lagi. Dasar Pilon!

Kalau dicarikan padanan katanya, pilon ini mungkin setara dengan kata bloon, bego, culun dan sejenisnya.

Menariknya, ketika orang mengatakan “jangan belagak pilon”, itu biasanya diungkapkan dalam penegasan yang mengambang. Antara ya dan tidak, antara serius dan bercanda. Dan yang jadi sasaran ungkapan itu biasanya juga tidak marah ataupun tersinggung, paling-paling cuma cengar-cengir. Jadi Pilonian ini adalah sebuah parodi untuk merespon realitas. Layaknya sebuah parodi, Pilonian ini dipakai sebagai alat respon sederhana dan praktis agar urat-urat syaraf kita tidak terlalu tegang.

Kan ada istilah Life Is Fun. Begitu juga dengan pilon. Pilon Is Fun! Dengan semangat Pilonian ini orang lebih santai menyikapi realita dari sisi yang paling lentur, elastis dan ndagel.

Kadang-kadang sikap Pilon ini diambil untuk menyelamatkan diri. Memposisikan diri pada status quo, sehingga bisa “cuci tangan”, lepas dari tanggungjawab. Ya bagaimana anda bisa meminta pertanggungjawaban dari orang pilon? Jika anda begitu, jangan-jangan anda sendiri yang bloon. Namun menariknya sikap Pilon ini sudah mewabah ke seluruh sendi-sendi dan pori-pori kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi siapa yang harus dipersalahkan? Kalau kita menyalah-nyalahkan jangan-jangan kita malah dianggap pilon, lha wong mereka sebenarnya cuma belagak pilon. Nah lu!

Pesan saya, jika anda membaca tulisan-tulisan saya ini, cobalah untuk rileks, kendurkan urat-urat syaraf anda, tahan emosi anda dan jangan takut menertawakan diri sendiri jika anda merasa “tersindir”. Cobalah melihat sisi humornya pada hal-hal yang selama ini kita anggap serius, biar hidup ini terasa lebih enteng sehingga kerutan-kerutan penuaan tidak cepat terlihat diwajah anda. Jika anda merespon tulisan saya ini secara serius, jangan-jangan anda sudah terjangkit The Pilonian Syndrome.

Dalam tulisan-tulisan pilonian, saya memunculkan tokoh bernama Sariman. Alasannya, kalau saya memakai anda sebagai tokoh pilon saya kuatir anda tidak terima, tersinggung dan marah-marah terus purik. Padahal diawal kan saya sudah bilang nggak usah terlalu serius menyikapi realita. Lha kalau anda kemudian terbawa emosi, jadi siapa yang pilon?. Dan lagi, Sariman ini luar biasa. “Sari” itu artinya inti atau sejati atau hakikat. Man itu artinya manusia. Jadi Sariman ini adalah manusia sejati (ini ilmu otak-atik-gathuk).

Dalam proses menuju kesejatiannya sebagai manusia dia kadang harus melewati fase dimana dia harus berperilaku dan bertindak pilon. Nah, kita harus sepaham dulu soal ini, bahwa Pilonian ini adalah sebuah proses dan fase menuju kesejatian, tapi bukan berarti anda harus pilon dan berusaha mati-matian untuk menjadi pilon. Maksud saya adalah, jika disekitar anda banya sekali ke-pilon-an, tidak ada salahnya jika kita memberikan sedikit ruang dan pengertian. Sederhananya, untuk bertindak benar kadang kita harus pernah salah, untuk mengerti dan paham kita kadang harus menjadi pilon. Kan ada ungkapan “jika anda ingin mendapatkan fajar pagi, anda harus melakukan perjalanan malam”.

“Fajar Pagi” dalam konteks itu bisa di asosiasikan sebagai pencerahan alias clarity, dimana anda mendapatkan jalan terang, cakrawala kehidupan anda terbentang dan anda bisa melihat jelas masa depan anda, lebih PD dan arif dalam bertindak, bersikap dan berperilaku. Sedangkan “Perjalanan Malam” adalah sebuah idiom tentang kepekatan dan hitam-merahnya lika-liku kehidupan bahkan sebuah kesalahan yang fatal, kebenaran-kebenaran yang tak sempat tersampaikan, lembah-lembah kenistaan dan sebagainya. Jika “perjalanan malam” itu bisa kita menangkan, bisa terlewati, bersiap-siaplah untuk sebuah pencerahan.

Terimakasih.

Ray Asmoro

www.rayasmoro.com

PILONIAN (4) : Eker-ekeran

PILONIAN (4)
oleh Ray Asmoro - http://www.rayasmoro.com/

“Saya punya cerita”, kata Sariman suatu ketika disebuah acara yang dihadiri oleh semua warga RW 07 (yang terdiri dari dari RT 01 hingga RT 12) di komplek tempat tinggalnya, “Saya akan paparkan sebuah cerita dan tolong bantu saya, temukan siapa yang paling bersalah dalam kasus dalam cerita yang akan saya ceritakan. Masing-masing anda boleh berbeda pendapat, dan masing-masing anda hanya boleh menentukan satu pihak saja yang salah, oke?” lalu semua warga RW 07 berseru “Okeeee!!!”

Ceritanya begini : ini kisah cinta Romeo dan Juliet versi Sariman. Kita semua tahu, Romeo dan Juliet adalah sepasang kekasih, yang cintanya tak akan pernah layu oleh perbedaan, tak akan pernah lapuk oleh waktu.

Saban hari Romeo bertandang (ngapel) ke rumah Juliet. Suatu ketika Romeo berpikir ingin mendapatkan bukti cinta Juliet terhadapnya. “Apa yang engkau minta dariku, duhai kekasih hati, belahan jiwaku” Tanya Juliet kepada Romeo kekasihnya.

“Setiap hari aku bertandang ke rumahmu, sekarang aku ingin engkau menunjukkan cintamu padaku, sekali saja engkau yang datang ke rumahku. Itu saja pintaku kepadamu, duhai kekasih pujaan hatiku. Jika engkau tak datang berarti engkau tidak sungguh-sungguh mencintai dan mengharapkanku, maka tamat sudah cerita cinta diantara kita”.

Juliet setuju. Pada malam minggu berikutnya Juliet bersiap-siap pergi ke rumah Romeo yang berada di desa seberang sungai. Hari sudah semakin gelap, jubah sang malam telah menyelimuti desa-desa ketika Juliet sampai di pinggir sungai seorang diri. Untuk sampai ke rumah Romeo ia harus menyeberangi sungai yang cukup luas dan dalam itu. Tidak ada jembatan penghubung disana. Dan disungai itu banyak sekali buaya-buaya ganas yang siap memangsa. Matanya selalu siaga mengamati mangsanya. Maka tak mungkin bagi Juliet menyeberangi sungai itu dengan berenang.

Beruntung, ada penjual jasa pengantaran. Seorang setengah baya dengan rakitnya siap mengantarkan siapa saja yang hendak menyeberang sungai itu dengan rakitnya. Juliet pun meminta kepada tukang rakit untuk menyeberangkannya. “Tapi engkau harus membayar jasaku, nona”. Kata tukang rakit itu.

“Berapun uang yang engkau pinta, aku akan bayarkan asal aku bisa mnyeberang sungai ini dan sampai ke dekapan Romeo kekasih hati, belahan jiwaku”
“Hmmm, aku tidak menginginkan uangmu, nona”.
“Lalu?”
“Aku akan menyeberangkanmu dengan satu syarat. Jika syarat itu engkau penuhi, aku akan dengan senang hati menyeberangkanmu. Tetapi jika syaratku tidak engkau penuhi, engkau tak akan bisa memaksaku. Dan jangan harap engkau akan bertemu kekasihmu, karena akulah satu-satunya tukang rakit disungai ini, dan tak mungkin juga engkau berenang menyeberangi sungai ini, karena buaya-buaya itu siap memangsa sewaktu-waktu”.
“Apa yang engkau inginkan dariku”.
“He he he… aku menginginkan keperawananmu. Engkau harus “memuaskan hasrat kelelakianku” terlebih dahulu, he he he…”

Mulanya Juliet menolak. Bagaimana mungkin ia menyerahkan kehormatannya kepada tukang rakit itu. Mahkota kesuciannya hanyalah untuk Romeo kekasihnya. Tetapi jika ia tidak menyeberang, maka Romeo akan menganggap Juliet tidak sungguh-sungguh mencintainya. Jika demikian maka Romeo akan meninggalkannya. Juliet tak mau kehilangan Romeo, tapi ia juga tidak mau mengorbankan kehormatannya kepada tukang rakit itu.

Juliet berpikir panjang. Menimbang-nimbang. Hingga Juliet sampai pada sebuah keputusan. Ia harus menyeberang untuk mendapatkan cintanya, untuk membuktikan kepada kekasihnya betapa cinta dan kesungguhannya melebihi apapun. Ia mungkin akan kehilangan keperawanannya tapi ia akan mendapatkan cinta sejatinya, pikirnya. Maka ia serahkan keperawanannya kepada si tukang rakit itu, dan beberapa saat kemudian sampailah ia ke seberang.

Ketika sampai dihadapan Romeo. Juliet yang nampak kusut membuat Romeo bertanya-tanya, “Ada apakah gerangan duhai kekasih pujaan hatiku, apa yang membuat hatimu gundah sehingga wajah cantikmu terlihat begitu murung”.

Lalu Juliet menceritakan semuanya. Ia ingin menunjukkan betapa besar cintanya pada Romeo bahkan apapun ia korbankan untuk kekasih tercintanya itu. Tapi Romeo tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia merasa di khianati. Romeo menganggap Juliet tak pantas lagi untuk menerima tulus cintanya karena tak mampu menjaga kemurnian dan kesuciannya. Lalu ia usir Juliet dari hadapannya.

Nah, sekarang siapa diantara mereka yang paling bersalah. Romeo, Juliet, Tukang Rakit, atau Buaya-buaya di sungai?, Tanya Sariman kepada semua warga RW 07.

Seorang wanita paruh baya dari RT 01 menjawab tegas, “Romeo lah yang salah”. Tapi seorang pemuda dari RT 09 menyangkal, “Romeo tidak salah, Juliet lah yang salah. Kenapa ia mau menyerahkan keperawanannya. Hina sekali dia”. Seorang bapak-bapak dari RT 05 menyangkal, “Bukan Romeo atau Juliet yang salah, tapi si Tukang Rakit itu lah yang salah”. Seorang ibu-ibu muda dari RT 11 menyangkal, “Bukan salah mereka! Tapi yang salah adalah buaya-buaya disungai itu. Jika buaya-buaya itu tidak disungai itu, Juliet masih punya pilihan lain dengan berenang tanpa harus menyerahkan keperawanannya”.

Suasana semakin ramai. Semua memiliki argumen sendiri-sendiri. Setiap argumen coba dipatahkan oleh yang lainnya, setiap alasan selalu di tentang oleh yang lainnya, setiap gagasan selalu di serang oleh yang lainnya. Semakin lama semakin sengit. Semakin lama semakin panas. Setiap RT memiliki pendapatnya sendiri-sendiri. Tidak ada toleransi ataupun kelenturan. Semua dari mereka ingin benar sendiri-sendiri. Tidak ada yang mau mengalah.
Suasana semakin panas. Adu argumentasi tidak pernah sampai pada satu kesimpulan yang bisa disepakati bersama. Kemudian setiap kelompok RT mulai panas. Terbakar oleh fanatisme kelompokknya, tersulut oleh kebenaran kelompoknya yang belum tentu benar menurut lainnya. Lalu mereka saling memaki dan menghujat-hujat. Mula-mula hanya sebatas cemoohan, lama-lama menjadi kontak fisik. Mereka saling menjatuhkan dengan memukul, menampar, menyikut. Bahkan ada yang mulai mengambil pisau dapur dirumahnya, ada yang membawa pentungan, ada yang melempar dengan batu, demi mempertahankan pendapatnya, demi kebenaran kelompoknya. Suasana menjadi chaos! Tidak peduli lagi dengan kebersamaan yang dulu pernah ada, tidak peduli lagi dengan ras persaudaraan, tak peduli lagi dengan tepo sliro, gotong royong, toleransi, atau apaun namanya. Yang mereka pedulikan sekarang adalah kebenarannya sendiri-sendiri. Kelompoknya sendiri-sendiri. Lalu mereka tawuran demi fanatisme sempit dan kekanak-kanakan.

“Stoooop…!!!” teriak Sariman memecah kebisingan. “Kalian ini sudah pada pilon apa? Hanya gara-gara Romeo-Juliet yang kalian tidak kenal dan tidak mengerti, kalian rela membunuh sesama saudara” kata Sariman kepada seluruh warga. “Siapa diantara kalian yang kenal dengan Romeo? Apakah ada diantara kalian yang memiliki hubungan darah dengan Juliet?”
“Tentu tidak…!” kata warga
“Lantas kenapa kalian saling bertikai. Dasar pilon semua!” sariman mulai geregetan,”Kalian tidak tahu dan tidak mengenal Romeo-Juliet, tapi kalian eker-ekeran. Kalian rela memukul, menyikut bahkan membunuh saudara sendiri demi sesuatu yang kalian tidak pahami. Apa itu bukan pilon namanya? Apakah Romeo-Juliet yang tidak kalian pahami itu lebih berharga dari kebersamaan dan persaudaraan sesama warga? Apakah Romeo-Juliet yang tidak kalian kenal itu lebih berharga daripada keutuhan bangsa ini? Apakah Romeo-Juliet yang tidak pernah memikirkan kalian, tidak pernah memberikan kalian apa-apa, juga tidak pernah memperjuangkan nasib kalian dan keluarga kalaian, lebih berharga daripada harga diri kalian? Apakah Romeo-Juliet yang tidak pernah melakukan apa-apa untuk perbaikan ekonomi rakyat, untuk mengangkat derajat para buruh, kaum miskin dan papa, untuk memberikan pendidikan dan jaminan kesehatan yang cukup pada anak cucu kita, untuk membebaskan bangsa ini dari korupsi, perjudian dan kemaksiatan, apakah itu semua melebihi kesadaran dan cinta kalian kepada Tuhan? Dasar pilon!”.

Semua menjadi hening untuk beberapa saat. Lalu ada yang bertanya kepada Sariman, “Lalu siapa yang salah dari cerita Romeo-Juliet tadi?”

Emang gue pikirin? Buat apa mikirin sesuatu yang tidak berguna. Jika kita sudah memutuskan siapa benar siapa salah apa lantas hidup kita jadi sentosa? Apakah jika kita membenarkan Romeo, Juliet atau lainnya, lantas Romeo dan lainnya itu akan memberikan kita jaminan bahwa periuk nasi di dapur kita akan bisa ngebul setiap saat? Mampukan mereka memberikan jaminan terhadap biaya pendidikan anak-anak kita, terhapusnya kesenjangan ekonomi, pemerataan kesejahteraan hingga ke pelosok-pelosok kampung, pemerintahan dijalankan dengan bersih dan jujur, jalanan tidak macet, bisakah mereka memberikan jaminan rasa aman dan nyaman bagi semua warga? Tentu saja tidak. Lalu kenapa kita harus saling sikut? Dasar pilon!”.

“Lantas, bagaimana?”

Ndak penting siapa yang benar, siapa yang salah dalam cerita Romeo-Juliet. Yang penting kita tidak eker-ekeran. Bisa saling berpelukan, bergandengan tangan dengan mesra, tidak terprovokasi oleh jargon-jargon politik, tidak tergoda oleh fatwa-fatwa yang menyesatkan yang membuat kita jadi anarkis, tidak terlena oleh janji-janji pemimpin bangsa, tidak terlelap oleh kidung pembangunan yang semu, tidak terhasut oleh bisikan-bisikan nafsu. Yang terpenting kita harus menyatukan derap langkah kita, kita kuatkan ikatan kebersamaan dan persaudaraan kita, lalu bersama-sama kita berjuang untuk masa depan gemilang”.

“??!!$$@**?##”

Jkt, 20 Agt 2007

Kamis, Agustus 16, 2007

PILONIAN (3) : Menunggu ?

PILONIAN (3)
(Ray Asmoro)

Menunggu. Hmmm, hampir semua orang mengatakan menunggu adalah pekerjaan paling membosankan. Tapi Sariman justru mempertanyakan keabsahan pernyataan khalayak ramai itu. Bukankah dunia ini seperti ruang tunggu yang sangat besar? Dan bukankah banyak orang yang mencintai dunia ini melebihi apapun bahkan Tuhan dan keabadiannya? Lalu mengapa mereka bilang membosankan? Siapakah yang menyangkal bahwa kita semua sedang menunggu datangnya kematian yang syahdu? Dasar pilon!

Para motivator, trainer, coaches, selalu mengatakan, “Jangan menunggu! Kesempatan tidak bisa diraih dengan menunggu, action now!” Wow… Fantasctic!

Sebenarnya itu hanya soal cara menunggu. Dalam hal ini tiga macam orang. Pertama, orang yang dalam masa menunggunya tidak mau diam, setelah do something tidak lantas diam tapi melakukan daya-upaya dari sisi lain, menjalankan strategi dan taktik yang lain, agar yang ditunggu-tunggu segera datang menghampiri, atau dalam pengertian lain, agar memuluskan dan mempercepat sampai ditujuan.

Nah ini sama dengan yang dilakukan Sariman waktu kecil. Saat kecil ia ingin punya mobil-mobilan seperti milik temannya yang menggunakan remote control. Maka yang dilakukan oleh Sariman adalah meminta baik-baik kepada orang tuanya. Walaupun mereka setuju tapi Sariman tidak diberi kepastian kapan itu direalisasikan. Kemudian Sariman mulai menyusun strategi. Mula-mula ia berubah menjadi anak rajin. Selesai makan bersama langsung mengambil inisiatif untuk mencuci piring. Bangu tidur langsung menyapu lantai sekaligus mengepelnya hingga bersih mengkilap. Pokoknya ia lakukan hal-hal yang hanya menjadi komoditas anak yang dikategorikan rajin dan sholeh. Seminggu Sariman berlaku seperti itu, belum juga terealisasi keinginannya. Lantas ia jalankan taktik lainnya. Kalau menjadi anak rajin juga tidak mampu mencuri perhatian orang tuannya, mungkin jika melakukan kenakalan-kenakalan malah bisa memberikan daya desak yang nyata kepada orang tuannya untuk segera merealisasikan keinginannya. Dan benar, ketika ia mulai cengeng, tidak mau disuruh-suruh, malas belajar, mengurung diri di kamar, orang tuannya mulai bingung dan segera memenuhi permintaan Sariman. Aneh, menjadi baik tidak dihargai, justru kenakalan malah dihadiahi. Siapa pilon?

Kedua, orang yang sudah merasa melakukan sesuatu, lalu diam menunggu sambil santai-santai dirumah, menikmati kicau burung perkututnya. Biasanya orang begini selalu bilang “Saya sudah berusaha kok”, walaupun hanya sekali, “Ya kalau itu menjadi kenyataan ya alhamdulillah, kalau tidak ya mungkin memang nasib baik belum memihak saya”. Pilon nggak sih?

Belum seberapa. Ada yang lebih pilon. Ketiga, orang yang tidak mau atau malas melakukan upaya-upaya secara massif, tapi segala yang diinginkannya maunya langsung terealisasi. Kalau ia bilang, “Aku ingin mobil”. Cling! Langsung ada mobil didepannya. Kalau ia berdoa “Tuhan berikan aku keuntungan besar dalam usaha”. Gubrak! Seketika angka-angka dalam neraca dan laporan rugi-labanya berubah dari minus menjadi surplus tanpa harus menjalankan strategi bisnis apapun. Edan!

Orang macam ini biasanya susah di beritahu, suka ngotot. Kalau di nasehati malah sok tau. “Saya kan sudah meminta melalui doa-doa saya, dan Tuhan kan sudah janji, barang siapa meminta niscaya akan Dia perkenankan”. Mas, kalau belajar agama jangan sepenggal-sepenggal, kata Sariman (yang kadang suka sok agamis). Ente hanya punya dasar satu ayat, ente lihat dong ayat-ayat yang lain. Enak saja, maunya minta ini dipenuhi, minta itu dikabulkan, minta anu di jabanin, Emang ente kira Tuhan itu karyawanmu? Dasar pilon permanent!

Saat ini, detik ini, ada saudara-saudara kita yang mungkin sedang menunggu-nunggu panggilan kerja setelah mengirimkan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus lamaran kerja. Ada yang sedang menunggu datangnya jodoh. Ada yang menunggu promosi kenaikan jabatan atau kenaikan gaji. Ada yang menunggu kelahiran anak. Ada yang menunggu keputusan hakim. Ada yang menunggu kekasih yang telah sekian lama pergi tiada kabar berita. Ada yang sedang menunggu bis di halte. Ada yang sedang menunggu seseorang yang telah berjanji bertemu di suatu tempat. Ada yang sedang menunggu rembulan jatuh dipangkuannya. Menungu. Menunggu. Dan semua orang sedang dalam masa penantian.

Yang lebih aneh atau malah pilon, adalah ketika yang ditunggu datang, saat yang diharap-harap telah tiba, saat yang di nanti-nanti menjelang, malah sewot, ngambek, marah, protes, misuh-misuh, ngedumel. Kenapa anda mengirim lamaran jika anda kemudian menolaknya. Jika anda tidak tau posisi yang ditawarkan kenapa anda begitu yakin dan mengharap-harapkannya.

Ada yang setelah mengirim lamaran kerja yang seabreg, dan setelah menunggu agak lama, datanglah panggilan kerja. Ketika datang ternyata ditawarkan pekerjaan sebagai sales. Ee, malah sewot. “Kalau sales mah ogah, gue kan maunya jadi manajer anu” seolah-olah pekerjaan sales itu hina sekali. Padahal semua pekerja adalah salesman (begitu menurut Pak Hermawan). Dan keberhasilan berusaha harus didasari dengan pengetahuan dan aplikasi salesmanship yang bagus. Bagaimana menghadapi orang, bagaimana mempengaruhi orang, bahkan sampai menggunakan hypnosis, bagaimana melakukan negosiasi, menyusun time table dan skala prioritas, melakukan segmentasi, targeting, positioning, bagaimana menjaga customer satisfaction, bagaimana menciptakan customer retention, bagaimana melakukan branding produk, bagaimana etika bertelepon, dan sebagainya. Semua itu komoditas seorang salesman. Dan itu semua kunci keberhasilan sebuah bisnis atau usaha. Begitu kok dibilang remeh dan hina.

Ada yang setelah menikan beberapa tahun baru dikaruniai anak. Ketika lahir, keluarlah bayi laki-laki. Ee, malah sewot karena sebenarnya ingin anak perempuan, dan bahkan telah menyiapkan keperluan bayi yang serba pink. Kemudian menyalah-nyalahkan Tuhan lagi. Orang jawa bilang “dikasih ampela malah minta hati”. Alias tidak berteimakasih, tidak mensyukuri. Dilaknat kau nanti.

Memang kamu ini siapa, kok mau mendikte Tuhan. Lagian, belum tahu jenis kelamin bayimu mengapa sudah yakin yang keluar bakal bayi perempuan lalu belanja perlengkapan bayi yang serba pink. Aneh… Dasar pilon!

Pertanyaan selanjutnya adalah kapan berakhirnya masa tunggu itu. Sariman menjawab tidak tahu. Siapa yang pilon? Ya yang bertanya. Kenapa harus bertanya kepada Sariman.

Yang jelas, kata Sariman lagi, memang benar Tuhan sudah berjanji kalau ummatnya meminta pasti akan diperkenankan. Tapi sabar dong… (sifat sok agamisnya mulai kumat). Coba deh kita pahami cara berfikirnya Tuhan. Jika Tuhan sudah berjanji pasti akan ditepati, kan Tuhan itu maha menepati janji, nggak kayak kita yang suka ngaret. Lha kalau kita merasa sudah meminta dan berusaha keras dan tidak kunjung menjadi kenyataan jangan buru-buru timpakan kesalahan pada Tuhan.

Pertama yang –mungkin—harus kita sadari, kata Sariman, adalah dimensi waktu dunia dengan dimensi keabadian tidak sama. Dalam dimensi keabadian tidak ada batasan waktu, karenanya tidak ada siang-malam, pagi-sore, tidak ada hukum relatifitas, tidak ada hukum sebab-akibat, semuanya absolute, pasti. Sedangkan kita yang dialam dunia dilingkupi oleh ruang dan waktu, maka semua yang didunia bersifat fana dan sementara. Berlaku hukum relatifitas dan sebab-akibat. Menunggu sehari, seminggu, sebulan, setahun, sewindu mungkin terasa lama bagi kita tapi itu waktu yang sangat pendek dialam keabadian. Jadi kalau kita meminta kepada Tuhan lalu kita telah berupaya keras dengan berbagai cara namun juga tidak kunjung datang, mungkin karena ada determinasi waktu antara alam dunia dan alam keabadian.

Kedua, Tuhan memang sengaja menunda apa yang kita minta. Tentu dengan alasan yang Tuhan sendirilah yang tahu. Mungkin saja jika permintaan kita dikabulkan ternyata bathin kita belum siap, justru menjadikan kita kufur dan takabur, justru malah mendatangkan kemudhorotan bagi diri sendiri maupun lingkungan, maka Tuhan bersedia menunggu sampai kita benar-benar siap menerimanya. Lho apa ngga baik Tuhan itu. Tuhan saja bersedia menunggu kok kenapa kita jadi kemrungsung?

Ketiga, mungkin karena yang kita minta irealistic, mengada-ada, diluar batas kemampuan kita. Tuhan kan memberikan sesuatu bahkan bencana sesuai kemampuan kita. Lha kalau Tuhan belum memberikan yang kita pinta, mungkin yang kita minta sesungguhnya diluar batas kemampuan kita. Persoalannya banyak diantara kita yang terlalu PD, ge-er, merasa yang paling mampu, yang paling tahu, yang paling bisa, padahal aslinya mbelgedhes.Nah, Tuhanlah satu-satunya yang tahu seberapa takaran keimanan kita, kesungguh-sungguhan kita, dan keikhlasan kita, karena Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan kan tidak pilon. Kita saja yang sering pilon, berbuat sesuatu tapi tidak tau esensinya, melakukan sesuatu tapi tidak paham hakikatnya.

Keempat, mungkin Tuhan punya rencana lain terhadap kita. Bukannya bermaksud mengingkari janjinya tapi Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita. Maka ketika kita meminta sesuatu dan ternyata menurut kalkulasi Tuhan itu “tidak baik” bagi kita, bisa saja Tuhan men-subtitusi-kannya dengan hal yang lain yang lebih pas dengan kita.

Itulah enaknya punya Tuhan, brur! Dia itu penuh kalkulasi, penuh perhitungan, tahu detil dari segala hal, jadi jangan kuatir. Tuhan tidak pernah salah atau tertukar. Yang seharusnya Si Ani jodohnya Si Anu, tertukar dengan Si Itu, Impossible.

Maka menunggu itu seharusnya tidak perlu merasa bosan. Karena itu salah satu kodrat kita sebagai manusia yang hidup dilingkupi ruang dan waktu. Maka persoalannya adalah, kita manfaatkan bagaimana masa tunggu kita ini? Dengan kesadaran bagaimana seharusnya kita hadapi masa tunggu ini? Agar ketika yang ditunggu-tunggu datang kita bisa tersenyum, penuh suka-cita. Dan itulah kematian yang syahdu, kematian yang disambut dengan suka-cita, dengan senyum.

Tapi kenapa kemarin kami uring-uringan, Man…

“Bagaimana saya tidak uring-uringan, saya lagi mengerjakan tugas kantor hingga larut, pulang dari kantor larut, hingga saya lupa memberi kabar istri, ditambah lagi handphone saya sedang drop. Begitu sampai rumah jam 12 malam disambut dengan muka kusut istri saya, dia bilang : Papa ini ya tidak tahu orang resah apa, tidak tahu kalau istri dirumah ini menunggu dengan perasaan kuatir dan cemas, takut kalau ada apa-apa di jalan… bla-bla-bla… Lha kan saya jadi bingung. Siapa yang pilon dalam hal ini. Saya kah yang pilon karena tidak memberikan kabar karena harus pulang larut? Atau istri saya?”

“Jelas kamu yang pilon, Man. Kamu yang salah”

“Oke, saya memang salah dalam satu sisi. Tapi aneh apa tidak jika sesuatu yang tidak kita inginkan untuk terjadi ternyata benar tidak terjadi lalu kita malah marah-marah?”

“Maksudmu?”

“Istri saya kan resah menunggu saya pulang hingga larut. Kemudian karena resah, cemas, maka di pikirannya tergambar hal-hal yang mengada-ada, yang di karang-karang sendiri, ditipu oleh perasaannya dan percaya, misalnya kalau orang pulang telat berarti ada beberapa kemungkinan. Bisa jadi karena pekerjaan belum selesai, bisa jadi ngelayap kemana-mana, atau jangan-jangan kecelakaan di jalan, jangan-jangan dirampok terus dibunuh, di iris-iris, di mutilasi dan sebagainya. Dan sepertinya yang negatif-negatif itulah yang dipercaya. Tapi anehnya lagi, ketika saya datang selamat, tidak kurang suatu apapun termasuk kesetiaanku terhadap istriku tercinta itu, eee… masih marah-marah, ngomel-ngomel. Aneh tho?”

Oalah Man… Man…

Jumat, Agustus 10, 2007

PILONIAN (2) : Universalitas Universitas (?)

PILONIAN (2)
(Ray Asmoro)

Sariman sudah melewati beberapa semester disebuah universitas yang cukup ternama. Dalam hatinya bergejolak antara dua hal; bangga dapat menikmati jenjang pendidikan tinggi yang tidak semua anak Indonesia dapat merasakannya, dan bingung setengah mampus.

Kenapa bingung? Nanti dulu. Sabar mas…

Sebelum masuk universitas itu, Sariman yang masih SMU pernah protes. Kata guru ngajinya, murid itu artinya yang berkehendak. Tapi kenyataannya sewaktu jadi murid Sariman merasa dikekang, dipasung, kemerdekaan berkehendaknya di rampas. Yang ada malah di kehendaki, harus begini-begitu, seperti ini seperti itu, sesuai kehendak udelnya guru.

Dulu saat masih menjadi murid TK, ia ingat betul. Bu guru menyuruhnya menggambar pemandangan, dan Sariman menggambar pemandangan, tapi disalahkan oleh bu guru dan dapat nilai 4. Sariman jadi bingung. Dengan sedikit rasa takut ia beranikan diri bertanya kepada Bu Guru, kenapa gambarnya dibilang jelek dan dapat nilai 4 sementara teman-temannya yang lain dapat 8 atau 9.

Ketika Sariman bertanya hal itu, Bu Guru malah marah, “Sariman kamu ini ya bandelnya minta ampyuuun… Bu Guru kan minta kamu gambar pemandangan, kenapa kamu malah menggambar sepasang sandal? Pemandangan itu ada gunungnya dua, ada jalanannya, ada mataharinya, ada sawahnya, ada lautnya, ada awannya… Dasar pilon

Dibilang begitu, Sariman diam saja, walaupun dalam hatinya ingin berontak. Ini kan namanya pembodohan struktural. Orang sekolah itu kan belajar untuk menjadi lebih pinter dan bukan belajar menjadi pilon! Apa tidak pilon namanya kalau semua orang diharuskan berpikir dan berpandangan yang seragam, ide harus seragam, apa namanya kalau bukan pembodohan alias pilon? Pemandangan itu kan segala sesuatu yang dapat dipandang oleh mata. Ketika itu Sariman memvisualisasikan sepasang sandal, ya itulah pemandangan menurut gagasan pikiran Sariman saat itu. lalu digambarlah sepasang sandal itu. Kalau besoknya disuruh menggambar pemandangan lagi, bisa jadi Sariman akan menorehkan gagasan-gagasan pemandangan yang lain yang tervisualisasikan dalam pikirannya saat itu. Bisa jadi ia akan menggambar tikus atau superman terbang diatas kota atau malah gambar betisnya bu guru yang seperti tales Bogor itu.

Inilah yang dimaksud Sariman dengan hilangnya kebebasan berkehendak. Mustinya pada pendidik itu juga belajar filsafat pendidikan, biar ngerti makna filosofi apa itu murid, apa itu murad, apa itu pendidik, apa itu kebebasan berkehendak, apa itu kreatifitas berpikir dan sebagainya.

Nah begitu juga yang terjadi di perguruan tinggi, di universitas dimana Sariman menimba ilmu. Dalam hati ia misuh-misuh. Diamput! Lihat saja betapa mahasiswa-mahasiswa ini hanya dijadikan sebagai komoditi. Di iming-imingi ilmu semu yang diharapkan dapat menciptakan masa depan cerah dikemudian hari, mendapatkan kerjaan enak di kota, gaji besar, orang kantoran, berdasi dengan sepatu mengkilap, di hormati tetangga, kalau pulang kampung disanjung-sanjung. Cuihhh!

Santai Man… Jangan emosional begitu… (Maaf, Sariman kita ini kadang suka emosional dan kaku untuk beberapa hal). Ambil napas Man… Kendurkan urat-urat syaraf… Jangan tegang begitu…

Menurut saya, mmm… (berpikir sejenak) Sariman ada benarnya juga. Dari buku yang saya baca, katanya universitas itu kan berasal dari kata universal yang artinya menyeluruh, global, luas, tidak terpetak-petak. Sehingga universitas itu seharusnya mengajak mahasiswanya menjadi manusia yang universal, jangan lantas mengajarkan mereka untuk bersikap, berperilaku, berpandangan dan berpikir parsial.

Tapi itu kan bukan hanya tanggungjawab pengurus universitas, produk kebijakan pemerintah dulu seperti NKK/BKK itu kan juga salah satu indikasi bahwa memang tidak ada ruang universalitas dalam universitas kita. Terus siapa yang pilon dalam hal ini? Entahlah. Dan sangat mungkin sayalah yang pilon.

Lha kalau kemudian ada mahasiswa akuntansi misalnya, mau mengadakan kegiatan kebudayaan atau kesenian ya jangan ditentang. Kalau ada mahasiswa ilmu politik misalnya, mengadakan kegiatan lomba tanjidor atau nasyid ya dukunglah. Kalau ada mahasiswa teknik misalnya, mengadakan kegiatan sunatan massal, ya berilah ruang. Biar teman-teman mahasiswa itu mengukur nilai universalitas dalam dirinya sendiri menurut caranya, asal tidak melanggar norma-norma etik yang berlaku. Beres.

Coba bayangkan, mahasiswa akuntansi misalnya, setiap hari dijejali oleh kertas-kertas kerja akuntasi, dicekoki pikiran-pikiran ekonomi kapitalistik dan teori-teori ekonomi yang fokusnya hanya profit semata. Sementara pemerintah juga lembaga universitas itu tidak pernah menjamin mahasiswanya akan menjadi akuntan atau ekonom. Kalau mereka lulus nanti dan kembali ke masyarakat mereka akan tergagap-gagap, karena tidak memiliki kelenturan, fleksibilitas, dan kelembutan. Dan ketika salah satu atau salah banyak dari mereka mendapat kesempatan menjadi pejabat Negara, atau direktur perusahaan, pastinya mereka akan cenderung melakukan segala macam cara untuk profit baik itu dalam konteks keuntungan individu maupun golongan. Kan cilaka.

Tetapi saya juga tidak bilang bahwa Sariman sepenuhnya benar. Mahasiswa yang rata-rata masih muda dan sangat trengginas (kalau tidak boleh disebut emosional), juga tidak sepenuhnya benar. Mahasiswa-mahasiswa kita sekarang ini pada melempem seperti krupuk dalam toples yang lupa ditutup beberapa hari.

(Mendengar itu Sariman angkat tangan, mau interupsi)

Sabar Man… Ya memang tidak semua mahasiswa melempem. Ada yang luar biasa wawasan, paradigma, serta retorikanya. Tapi buuuanyak juga yang ndlahom. Coba deh Tanya beberapa teman mahasiswa, apa motivasi mereka kuliah. Pasti kebanyakan diantara mereka akan menjawab, “Agar nanti lebih mudah dapat pekerjaan”, “Biar nanti bisa menjadi orang sukses” atau malah ada yang bilang “Biar keren, coy..!” lebih parah lagi ada yang jawab “Biar dapat jodoh”. Weleh, weleh, weleh…

Maaf ya Man, bukannya saya mau menggurui. Saya hanya mau sharing saja. Kuliah di universitas tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, sukses, keren-kerenan, atau jodoh. Memang banyak yang setelah lulus (malah ada yang belum lulus) terus ditawari pekerjaan yang oke, ada yang setelah lulus terus berwiraswasta dan sukses. Tapi itu prosentasenya kecil sekali Man, mayoritas setelah lulus teman-teman kita itu lantas bingung, dulunya aja keren berstatus mahasiswa, begitu lulus kerjaannya hanya nongkrong, atau melototin lowongan kerja di Koran. Ada yang dapat jodoh begitu lulus dan menikah bingung mencukupi kebutuhan rumahtangganya. Kalau sudah begitu terus menyalah-nyalahkan keadaan. Karena universitasnyalah yang nggak bener, karena pemerintahlah yang nggak bisa beri kesempatan kerja, karena inilah, itulah, cape’ deh… Dulu ngapain aja sewaktu kuliah? Melakukan banyak hal tidak? Belajar banyak hal tidak? Dasar pilon!

Saya bukannya terus merekomendasikan bahwa tidak ada gunanya kuliah. Itu sangat penting. Tapi lebih penting temen-temen mahasiswa itu juga harus merubah paradigma berpikirnya, dari yang fakultatif menuju yang universal. Jadi bukan salah universitas jika lulusannya tidak diterima kerja, karena universitas tidak mencetak pekerja, tugasnya adalah membangun manusia utama yang memiliki pemikiran, sikap, tindakan dan kesadaran yang universal.

(10-08-2007)

Kamis, Agustus 09, 2007

Oops...!

OOOPS…!

Selasa, 7 Agustus 2007 di Probisnis Harian Rakyat Merdeka memuat profilku seluas seperempat halaman dengan title “Ray Asmoro, Managing Director PT. Ponny Ekspress. Kunci Suksesnya, Banyak Membaca”. WOW… Funtastic!

Sungguh dalam hati kecil saya agak bingung menyikapinya. Haruskah aku sikapi sebagai sesuatu yang membanggakan atau sebagai olok-olok yang pantas untuk ditertawakan, atau… (entahlah).

Pagi-pagi seorang karyawan memberitahukan kepadaku, “Pak, tadi saya sempat baca Koran, ada Pak Ray dimuat profilnya. Serius!” katanya. Tentu saya tidak bisa memperkirakan apakah ia memberitahukan itu dengan perasaan bangga bahwa pimpinannya diekspose di Koran atau malah sebaliknya, dalam hati sebenarnya meremeh-temehkan? I don’t care…

Karena penasaran aku beli Korannya. Hmm… ya itu tadi, aku jadi bingung menyikapinya. Sementara sebagian besar karyawan/staff saya pada ribut, hanya gara-gara profil seorang Ray Asmoro dimuat di Koran. Ada yang nanya, kok bisa? Gimana ceritanya? Ada yang menyalami, kasih selamat, ada yang meledek minta tandatangan seolah-olah saya ini lantas jadi selebriti begitu muka culun saya terpajang di Koran. Oalaaah…

Saya merespon temen-temen hanya dengan senyam-senyum seperti biasanya karena hanya itu yang saya bisa, dan hanya itu modal saya. Senyam-senyum, tidak lebih, tidak kurang.

Jujur saja, setelah saya coba identifikasi perasaan saya berulang-ulang, bolak-balik, inilah yang sebenarnya saya rasakan. Pertama : Tidak semua orang warga Negara Indonesia ini yang berkesempatan nongol di Koran. Apalagi kemunculannya berupa berita baik alias good news. Coba deh baca Koran, apa saja. Disana mayoritas terekspose berita miring. Kalau tidak kriminal, perkosaan, pencopetan, perampokan, ya korupsi, money politic, perselingkuhan, demonstrasi, sikat-sikut elit politik, gosip kacangan, dan sebagainya. (Jangan-jangan memang cuma itulah yang dimiliki bangsa ini. Masya Allah…)

Nah, Atas fakta itu saya mustinya berhak untuk sedikit berbangga dong… bahwa yang terekspose dari saya di Koran bukan sesuatu yang miring atau negatif. Lebih-lebih lagi di Koran itu disebutkan bahwa saya ini berasal dari Banyuwangi, hijrah ke Jakarta tahun 2001 dan tinggal di masjid dikawasan Menteng selama 6 bulan pertama. Wah, sepertinya itu cukup dramatik (tanpa bermaksud untuk mendramatisir keadaan, karena memang begitulah adanya). Tentu ini cukup menggiurkan saya untuk berbangga hati, sungguh bukan karena saya dimuat di Koran, tetapi lebih karena adanya unsur dakwahnya disitu.

Maksud saya begini. Saya ini sama sekali nggak penting. Jadi kalau anda membaca berita saya di Koran itu, tolong fokus perhatiannya jangan kepada Ray Asmoro-nya. Kenapa? Ya karena Ray Asmoro hanya manusia biasa, hanya seonggok ciptaan Gusti Allah yang bahkan seringkali alpha terhadap penciptanya, seringkali pura-pura budeg kalau mendengar seruan adzan, panggilan dariNya, yang tangannya terasa berat merogoh uang dikantongnya untuk kepentingan masjid atau kemaslahatan lainnya dan justru bersemangat merogoh uang dikantong untuk hal-hal yang mudhorot, fana dan sementara. Lha jika demikian, apa saya berhak untuk bangga apalagi sombong? Jelas ndak toh…

Kembali soal dakwah tadi, dengan munculnya berita saya (sekali lagi tolong jangan terfokus pada saya) langsung atau tidak, sadar atau tidak, waras atau tidak, orang yang baca mustinya mikir, bahwa wong ndeso macam saya, dari keluarga petani biasa, yang tumbuh besar dengan fasilitas yang minim, bisa “menggeliat”. Bukan berarti saya hendak bilang, kalau saya bisa kenapa anda tidak. Bukan begitu maksud saya. Saya hanya ingin mengetuk pintu hati saudara-saudaraku yang mungkin saat ini juga dalam kesempitan, terlilit keputusasaan hanya karena masalah ekonomi (yang sifatnya fana dan sementara itu) dan merasa minder untuk menjadi manusia. Ayolah bangun. Janganlah berburuk sangka pada diri sendiri, janganlah merendahkan diri sendiri. Nanti Gusti Allah murka. Lha gimana nggak murka, kita ini diturunkan ke bumi ini untuk menjadi kholifatul fil ardh kok malah loyo, letoy kayak terong rebus. Gusti Allah menurunkan kita di bumi ini agar kita menyadari segenap potensi kita lalu dengan segala daya upaya kita bangun peradaban di muka bumi ini, bukannya malah mengutuk diri sendiri, menyerah pada realitas semu, minder, apalagi sampai bunuh diri. Dosa itu! (begitu yang pernah aku dengar di sebuah perhelatan yang diasuh oleh kyai yang cukup sableng).

Kedua : Sungguh saya telah menepis segala rasa bangga karena berita itu (saya takut jadi takabur nanti dilaknat Tuhan). Hanya saja hal itu membuat keluarga saya khususnya ibu dan bapak saya lah yang bangga. (Dan mungkin istri saya juga bangga. Hmm, kelihatannya sih memang begitu). Orangtua saya tidak pernah meminta apapun dari saya, bahkan kalau saya memberi pasti dikembalikan. “Pokoke kowe iso dadi wong, aku wis bungah” (Pokoknya kamu bisa jadi “orang”, aku sudah bahagia). Lha ini yang berat. Menjadi “orang” ini lho yang nggak main-main.

Benar sih kita dilahirkan dalam konsep fisik sebagai manusia atau orang. Tetapi dalam kosmos bathin atau non-fisik bisa jadi kita bukan orang. Ini lah yang saya takutkan. Jangan-jangan selama ini saya ini hanya sebagai orang dalam tataran fisik saja. Jangan-jangan luarnya berbentuk orang tetapi dalamnya berbentuk setan, iblis, atau genderuwo. Iya juga sih. Kadang ketika saya makan, saya tidak peduli bahwa beberapa meter dari tempat makan banyak orang-orang yang merintih kelaparan. Ketika saya ngebut dan slintat-slintut di jalan, banyak orang yang merasa terganggu dan saya nggak peduli. Ketika tetangga pada kerja bhakti bersih-bersih lingkungan, saya malah molor seharian. Ketika ada teman mendapatkan promosi, saya malah asik mempergunjingkannya dengan segala kedengkian. Jangan-jangan begitu selama ini. Saya harus segera bercermin. Anda, tentu saja bebas, mau ikut bercermin untuk melakukan identifikasi terhadap diri sendiri apakan anda benar-benar manusia atau tidak, terserah anda.

Ketiga : (ini yang terakhir) Sebenarnya saya malu diberitakan di Koran itu. Saya ini merasa belum membuktikan apapun. Tapi saya juga seringkali bertanya, apasih yang perlu dibuktikan? Siapa yang perlu pembuktian saya? Semakin kuat keinginan saya untuk membuktikan sesuatu kepada dunia atau siapapun, saya merasa semakin lemah dan rendah. Dan kini saya menyadari (mudah-mudahan tidak salah, dan kalau salah mudah-mudahan ada yang memberikan alternative yang benar) bahwa satu-satunya yang harus dibuktikan adalah tentang kemanusiaan saya sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan hamba Tuhan. Dan berita dikoran itu belumlah membuktikan apa-apa. Karena individualitas saya sepertinya masih lebih kuat daripada kesadaran sosial dan kesadaran sebagai hamba Tuhan. Bahkan seringkali Tuhan di nomer-sekiankan. Duh Gusti…

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters