Please, add your self in my guestbook...

Senin, Desember 17, 2007

PILONIAN 12 : Global Warming

PILONIAN 11 : Global Warming

(by : Ray Asmoro)


Dua minggu belakangan, di koran-koran, di TV-TV ramai diberitakan tentang pemanasan global dan dampaknya terhadap ekosistem bumi. Isu pemanasan global sedemikian hebat dan menakutkan, sehingga kita yang mendengar beritanya sampai merinding.

Semua orang merinding, tapi tidak Sariman. Dia mah, adem-ayem saja. Bukan lantaran dia cuek bebek terhadap lingkungan tetapi… dengarkan petikan wawancara saya dengan Sariman.

Saya : Mas Sariman ini piye toh kok adem-ayem saja. Padahal saat ini semua ramai menyimak isu pemanasan global

Sariman : Saya tidak adem-ayem, saya peduli. Tetapi apa ya harus terus menyikapi itu semua secara emosional? Begini lho dik…Pemanasan global ini bukan isu baru, bertahun-tahun lalu juga pernah diangkat. Bahkan kenapa dinosurus itu sampai punah? Ya salah satu penyebabnya adalah pemanasan global, sehingga ekosistem bumi berubah dan mereka tidak adaptif terhadap perubahan itu.

Saya : Tetapi mengapa minggu-minggu ini begitu ramai diperbincangkan, Mas?

Sariman : Lha disitulah letak pilon-nya. Kenapa baru sekarang, karena tiga hal. Pertama, ke-pilon-an manusia. Maksudnya, manusia bereaksi setelah ada akibat yang tidak menguntungkan. Pilon kan itu namanya. Kita kan diberikan akal pikiran, punya kemampuan analisis yang luar biasa, seharusnya mampu menghitung dan mengukur apa-apa yang bakal terjadi, ya hitungannya mungkin tidak persis tepat, tapi dengan begitu kita bisa melakukan tindakan-tindakan preventif.

Kalau kita mengendarai mobil atau motor kita kan bisa perkirakan (walaupun tidak persis tepat) seberapa jauh jarak aman kita dengan kendaraan di depan. Kalau jarak kita dengan kendaraan didepan hanya 2 meter, sedangkan kecepatan kita dan kecepatan kendaraan didepan kita sama-sama 80 km/jam, maka jika kendaraan didepan kita berhenti mendadak maka bisa dipastikan kita akan nabrak. Kalau ndak mau kecelakaan, ya jaga jarak aman dong… bukan terus menyalahkan kendaraan didepan kita atau pak polisi.

Nah ini tidak ada kesadaran seperti itu. Pemanasan global itu sudah dibicarakan sejak lama, bahkan oleh Negara-negara maju seperti AS itu. Tapi karena dulu dampaknya belum cukup bisa membuat merinding, maka ya terus lenyap isu itu. Lalu itu hanya menjadi isu bagi LSM-LSM lingkungan yang (maaf) seringkali kurang memiliki kekuatan politis untuk melakukan perubahan.

Kedua, ini seperti ajang ‘show-off’, dua minggu sebelum ada konferensi di Bali itu, sepertinya belum terjadi pemanasan global toh? Tidak ada koran atau televisi yang mengangkat topik pemanasan global dalam head-line nya. Tapi begitu petinggi dan pakar dari banyak Negara berkumpul di Bali, bicara tentang pemanasan global, sekonyong-konyong, ujug-ujug, terjadilah pemanasan global itu. Kemudian koran dan televisi ramai memasang topik pemanasan global sebagai headline beritanya. Ada yang menyajikan liputan dampak pemanasan global bagi nelayan dan petani. Kenapa baru sekarang coy…? Tahu kenapa? Karena petinggi dan pakar itulah yang menyebabkan pemanasan global, jadi mereka itu seperti tuhan, menentukan apa yang terjadi. Coba saja petinggi dan pakar dari berbagai negara itu tidak berkumpul di Bali, mungkin saja pemanasan global tidak terjadi. Jadi pesannya, jangan macam-macam sama para petinggi dan pakar itu. Dasar pilon! Dan saya kira, setelah konferensi di Bali selesai, maka selesai pulalah pemanasan global di bumi ini ha..ha..ha...

Itulah alasannya…

Saya : Tadi katanya ada tiga hal, mas Sariman baru sebutin dua hal, terus hal ketiga apa dong Mas?

Sariman : Hmm.. iya ya. Hal ketiga, ini murni politis. Negara-negara berkembang macam kita ini di paksa untuk melakukan pelestarian lingkungan, sementara negara maju sibuk mengotori dunia dengan segala macam dan bentuk pembangunan. Ini kan un-fairness. Padahal kan sama-sama butuh. Amerika butuh udara segar, kita butuh mengejar ketinggalan dengan banyak pembangunan. Lha kalau kita tidak boleh “mengorbankan” lingkungan, terus Amerika mau kasih kontribusi apa? Dia ndak boleh diam saja. Itu lhoh intinya.

Saya : Ok, I get the point. Terus apa yang sebaiknya dilakukan oleh warga Negara Indonesia, Mas?

Sariman : Seharusnya ya peduli. Bahkan sebetulnya itu fardhu’ain hukumnya. Kepedulian itu bisa dimulai dari lingkungan terkecil, dari hal-hal remeh. Misalnya memisahkan sampah organik dan non-organik. Tapi… (Sariman diam agak lama, ekspresinya aneh, tidak jelas apakah ia sedang berpikir atau bingung)

Saya : Tapi apa Mas..?

Sariman : Capek deh…

Saya : Maksudnya?

Sariman : Bangsa kita ini kan sebenarnya kaya raya, masyarakat kita ini sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Tapi ya itu, kalau kita sadari. Masalahnya banyak yang ndak sadar sih. Padahal instansi departemen penerangan sudah membuat program penerangan dan penyuluhan walaupun efektifitasnya dipertanyakan, para kyai, pendeta, biksu, ulama, motivator, guru, tokoh masyarakat, semua juga sudah sering mengingatkan akan kesadaran itu. Soal kebersihan saja misalnya, tapi tetap saja kotor. Lha saya jadi mikir mungkin memang harus Tuhan yang turun tangan, dan pemanasan global ini mungkin salah satu cara Tuhan untuk memberikan peringatan. Tapi seberapa banyak dari 270 juta penduduk Indonesia ini yang menyadari? Not more than 10%, I think.

Padahal itu juga bukan kepentingan Tuhan. Kita peduli atau tidak terhadap lingkungan, Tuhan tidak merasa rugi. Bahkan kita tidak menyembah Tuhan pun, Tuhan tidak rugi. Tapi ingat Tuhan pernah bilang, kalau kalian tidak ikut aturan-Ku (kata Tuhan), ya silakan menyingkir dari bumi-Ku. Lha anda terus mau kemana?

Jakarta, Desember 2007

Minggu, Desember 09, 2007

EKSEKUSI MATI UNTUK MORGAN

EKSEKUSI MATI UNTUK MORGAN

Cerpen Ray Asmoro

Ada dua lelaki di ruangan itu. Selebihnya hanya nyamuk dan kecoa.

Seorang lelaki setengah baya bertubuh tegap, duduk di sudut meja dengan sikap yang superior. Lengan bajunya dilipat hingga ke pangkal siku. Kancing pertama dibiarkan terbuka. Sorot matanya tajam. Suaranya dalam dan berwibawa. Seorang lagi duduk di kursi kayu. Tangannya terborgol. Pada beberapa bagian wajahnya terlihat biru lebam. Darah menitik dari hidung dan ujung bibirnya.

Lampu pijar empat puluh watt tergantung di langit-langit ruangan, dengan kap lampu berbentuk corong, bergoyang-goyang, menciptakan suasana yang spesifik. Bias cahayanya memperkuat gambaran pada pemuda itu sebagai pesakitan. Entah, sudah berapa hari yang telah dilewatinya dalam tahanan dengan berbagai bentuk penyiksaan. Direndam di comberan, disekap dalam kamar sempit dan gelap, dihajar hingga babak belur bahkan disetrum. Semua dijalaninya dengan gagah berani.

Pemuda pesakitan yang bernama Morgan itu tertunduk.

“Morgan, ini kasus besar yang menjadi sorotan banyak pihak, bahkan dunia internasional. Ada yang bilang kamu ada dalam barisan orang-orang yang sakit hati. Ada yang mengatakan kamu salah satu bukti kekuatan masa lalu. Ada yang berpendapat kamu sebagai kambing hitam dari kekuatan militer yang ingin duduk di kursi kekuasaan. Ada yang menyebutmu sebagai ekstrimis kiri atau kanan. Bahkan ada yang mengkaitkanmu dengan jaringan teroris internasional. Dimana posisimu sebenarnya.”

Morgan mendongakkan wajah, menatap tajam pada mata lelaki di hadapannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Dengar, Morgan. Negeri ini sudah kacau. Ledakan kerusuhan terjadi dimana-mana. Ledakan demi ledakan terjadi setiap saat. Bahkan negeri ini pun hampir meledak. Tidak lagi utuh. Terkotak-kotak. Kami sudah capek. Masyarakat selalu mencerca kami tidak becus bekerja. Mereka tidak menyadari bahwa ada banyak kekuatan dibalik setiap ledakan. Dan untuk mengusutnya, kami selalu dibentur-benturkan dengan banyak kekuatan dan opini yang terbangun ditengah-tengah masyarakat. Sekarang katakan, siapa yang ada dibalik asap ledakan itu.”

Morgan tersenyum tipis. “Bolehkah saya minta sebatang rokok?” katanya. Aparat itu memberikan sebatang dan menyulutkan api. Morgan menghisapnya dalam-dalam. “Dari awal saya sudah menjawabnya. Sayalah pelaku peledakan itu dan tidak ada seorang pun yang berdiri di belakang saya. Saya meledakkan bom karena saya ingin melakukannya. Hanya itu. Saya tidak peduli kalau akhirnya saya di cap sebagai apa atau di belakang siapa. Kalau mau, silakan buat berita acara bahwa saya adalah bagian dari kekuatan tertentu. Dengan demikian lembaga bapak akan terhindar dari segala tudingan masyarakat. Bahkan saya bisa di jadikan martir bagi pemerintah untuk memukul balik lawan-lawannya, bukan?”

Tidak ada ceritanya seorang maling mengakui dirinya maling. Biasanya, para maling justru berteriak maling. Namun kali ini ada seorang pemuda, dengan terang-terangan bahkan dengan bangga mengakui dirinya sebagai pelaku peledakan bom yang meluluhlantakkan sebuah supermarket lima lantai di pusat kota itu. Akibatnya, ratusan orang meninggal, ratusan lainnya luka-luka, selebihnya adalah tangis pilu duka-cita berbalut dendam atas kebiadaban itu.

Perbuatannya adalah sebuah tindak kejahatan kelas satu. Pelakunya layak diberikan hukuman setimpal ; eksekusi mati! Sesederhana itukah? Tentu saja tidak. Apalagi peristiwa itu terjadi ketika negeri itu dilanda kemelut sejak beberapa tahun lalu. Gerakan kaum separatis, pertikaian antar etnis, pembakaran tempat-tempat ibadah dan masih banyak lagi, membuat rawan integritas negeri itu. Semua kasus tidak pernah terungkap dan terselesaikan secara tuntas. Ditambah lagi adanya tarik-menarik kepentingan antar elit politik yang kolokan, semakin menajamkan sembilu yang siap dihunjamkan pada setiap uluhati rakyatnya. Ah, mereka memang selalu di korbankan.

Tidak ada seorangpun yang tahu banyak tentang pemuda yang bernama Morgan itu. Orang-orang menganggapnya sebagai seniman. Seniman yang kesepian. Sutradara tanpa aktor. Aktor tanpa penonton. Dan layaknya seniman, ada kegelisahan-kegelisahan di kepalanya. Selalu ada dorongan dan keinginan untuk mencipta. Bahkan dalam pengakuannya, peledakan supermarket itu sebagai sebuah pertunjukan thrue theatre-nya. Tidak ada yang tahu-menahu ihwal Morgan. Ia memang bukan seorang yang populer. Ayumi, perempuan yang diceraikannya lima bulan lalu pun tidak banyak tahu tentang Morgan. Darinya tidak didapat informasi yang berarti.

Dua jam berlalu sia-sia. Aparat tidak mendapatkan apa-apa dari proses interogasi itu. Morgan selalu mengatakan jawaban-jawaban yang sama. Interogator itu jadi emosi. Ia menggebrak. Ia tampar kap lampu yang tergantung di tengah ruangan. Lampu bergoyang-goyang. Sinarnya membias kesana-kemari. Dengan gerakan cepat, ia mencabut rokok yang terselip di bibir Morgan. Tangan kirinya menjambak rambut Morgan tanpa sedikitpun perlawanan.

“Katakan siapa yang ada di belakang ini semua. Katakan!” bentaknya.

“Tidak ada.” Jawab morgan singkat.

“Aku akan membunuhmu, keparat!” gertaknya sambil mencekik leher Morgan lebih keras lagi.

“Silakan. Sekarang atau nanti, sama saja. Toh aku akan mati juga.” tantang Morgan dengan suara tersengal-sengal.

* * *

Setelah melewati proses yang panjang, melelahkan sekaligus menyakitkan, hakim memutuskan vonis hukuman mati pada Morgan. Keputusan itu sangat memuaskan masyarakat. Orang sebiadab itu memang layak mendapat ganjaran setimpal. Morgan sendiri menerima keputusan itu dengan biasa saja. Tanpa rasa gentar sedikitpun. Morgan telah memilih cara kematiannya tanpa harus disebut sebagai pahlawan. Nama dan gambarnya di ekspose semua media masa sebagai pecundang. Sampah plastik!

Pada hari yang sudah ditentukan, petugas menjemputnya di sel tahanan. Morgan masuk dalam ruang eksekusi dengan tenang. Sejenak ia pandangi kursi listrik yang akan menyengatnya hingga ke ubun-ubun.

Petugas mendudukkannya diatas kursi listrik itu dan mengikatkan kain hitam penutup mata. Tangan dan tubuhnya dikunci pada kursi itu. Sebuah alat seperti mangkuk telah dipasang di kepalanya. Ia pandangi wajah-wajah murka para saksi dan beberapa anggota keluarga korban akibat ulahnya, yang turut menyaksikan jalannya eksekusi.

Diawali dengan pembacaan dosa-dosanya dalam sebuah upacara kecil, kepala penjara memberikan komando untuk menarik tuas listrik. Arus listrik bertegangan tinggi mengalir ke kursi pesakitan itu. Seketika tubuh Morgan terguncang-guncang, mengejang, urat-urat di wajah dan lehernya nampak keluar menahan sakitnya. Lampu ruangan itu jadi terang-redup. Sangat dramatis.

Lima belas detik kemudian, ia terlihat tidak bergerak lagi. Kepalanya menunduk. Lagu kematian pun menggema. Namun belum habis lagu kematian itu, tiba-tiba Morgan mendongakkan kepala. Tangannya bergerak membuka kain hitam penutup kepalanya. Semua yang ada diruangan itu jadi tercengang. Membelalakkan mata. Perlahan-lahan Morgan berdiri dari kursi listrik itu, tersenyum dan tertawa penuh kemenangan.

“Aku belum mati dan tidak akan pernah mati. Karena tugasku belum selesai. Waspadalah kalian, akan ada ledakan yang lebih dahsyat lagi di negeri ini!”

Lampu panggung pelan-pelan padam. Suara tepuk tangan menggemuruh seiring dengan turunnya layar hitam yang menutup panggung pertunjukan. Lampu ruangan dinyalakan. Ratusan penonton yang memenuhi ruang pertunjukan, beranjak dari tempat duduknya. Beberapa ada yang masuk ke belakang panggung untuk memberikan ucapan selamat kepada sutradara, aktor dan kru pertunjukan drama malam itu. Selebihnya, penonton meninggalkan gedung pertunjukan. Pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan was-was. [Jakarta, 19 Oktober 2002 ; 15.54wib]

------------------

Catatan : Cerpen ini berdasarkan naskah drama (teater) dengan judul EKSEKUSI yang ditulis oleh penulis yang sama pada tahun 2001, dan pernah di pentaskan oleh Teater Hom Pim Pah – Malang di beberapa Kota, terilhami oleh kasus peledakan gedung federal di Oklahoma oleh John Mc.Veigh mantan tentara perang teluk yang dijatuhi hukuman mati pada bulan Juni 2001, disaksikan oleh para keluarga korban dan disiarkan melalui jaringan televisi kabel.

Minggu, Desember 02, 2007

Ada Cinderela Di Kepalaku

ADA CINDERELA DI KEPALAKU

Cerpen Ray Asmoro

Sehari sebelum hari ini, jam ini, persis tiga tahun yang lalu, aku menemukannya di pojok senjakala, di bawah lampu temaram, ketika gerimis datang, tanah-tanah becek. Mendung tebal terlihat di matanya yang bulat dan menghiba.

“Rengkuhlah aku, pahlawanku” katanya lirih, seolah energinya hanya cukup untuk mengucapkan kalimat itu, lalu jatuh pingsan.

Aku angkat gadis belia itu dari lumpur. Menidurkannya di atas ranjang dengan mimpi-mimpi yang tak pernah usai. Tentang masa kanak-kanak yang selalu indah untuk dikenang, tentang masa depan yang selalu indah dalam angan-angan.

Ketika aku terbangun esoknya, Matahari sudah cukup jauh meninggalkan garis cakrawala. Sinar cemerlangnya menembus kaca jendela kamar, menyilaukan mataku. Aku segera bangkit untuk menghadapi kenyataan hari ini. Dan…

Oo, aku tak menemukan gadis itu diatas ranjang!

Aku terdiam sejenak. “Kalau engkau telah pergi, bahkan tanpa sedikitpun pesan, semoga engkau selalu berada ditempat yang penuh rahmat” gumamku dalam hati.

Aku segera mencoba melupakannya. Menganggapnya sebagai bagian dari mimpi burukku. Tetapi ketika aku keluar dan turun untuk mengambil minuman, aku lihat berbagai hidangan tersaji di atas meja makan dan seorang wanita duduk dikursi. Wanita yang berbungkus kemeja putihku, pemberian Diana, perempuan yang hinggap disalah satu sisi belahan dadaku dengan sebuah komitmen yang masih rawan.

Kancing pertama dan kedua dibiarkan terbuka. Wajahnya bercahaya, matanya berbinar-binar, keanggunan yang sempurna. Cerahnya sinar pagi pun tersaingi.

“Engkau Cinderela?” tanyaku dalam ketergagaban.

Ia menatapku, rambutnya yang hitam pekat sebahu bergerai. Lalu ia lemparkan sebuah senyum yang tak bisa aku tangkap maknanya.

“Waktunya makan pagi. Aku akan melayanimu” katanya kemudian.

Ia menjemput dan membimbingku duduk di kursi, dihadapan hidangan hangat yang tersaji. Aku yang masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, patuh begitu saja pada kehendaknya. Ia perlakukan aku seperti bayi. Seolah mengusap ingus sendiripun aku tak bisa. Sebuah perlakuan yang sebenarnya tak pantas bagi lelaki usia tiga puluhan. Tapi aku menikmatinya walaupun beribu-ribu pertanyaan tumpang tindih dalam kepalaku dan tak bisa aku muntahkan. Kenyataan ini terlalu sedap untuk dilewatkan.

Ku teguk segelas air pelepas dahaga. Ku telan segala apa yang disuapkan kedalam mulutku. Sungguh, camar-camar yang genit dan bebatuan karang yang angkuh akan patah hati, andaikata menyaksikan semua ini.

Belum usai ketergagabanku, satu lagi suguhan yang hampir saja menghentikan aliran darah dan denyut jantungku. Ketika ia dekatkan wajahnya sambil menatap mataku. Seribu helai rambutnya, ujungnya menyentuh dadaku yang telanjang, menciptakan sensasi tersendiri. Lalu bibirnya menyentuh bibirku dan seketika darahku mengalir deras, jantungku berdegub kencang bertalu-talu. Jasadnya lekat di jasadku. Aku menggigil. Buliran keringat dingin terbit dari pori-pori kulitku satu per satu. Tiba-tiba aku merasa seperti berada diatas kuda pacuan yang perkasa ditengah-tengah savana. Ku tarik tali kekangnya, ku lecut pantatnya, aku terguncang-guncang diatasnya.

Ia membawaku menjelejahi surga bumi. Semakin lama ku pacu, semakin aku tak mengerti dimana titik permulaannya. Tapi aku tak lagi peduli. Aku hanya ingin tahu dimana ujung perjalanan ini. Maka ku pacu dan terus ku pacu. Aku terguncang-guncang diatasnya. Sekelebat, aku melihat bayangan ibu, adik perempuan dan beberapa perempuan yang pernah memberikan ombak dan pantai tempat kapalku berlabuh. Ya, hanya sekelebat dan tak pernah ku sesali, lalu...

Oh, inilah ujung dari perjalanan ini! Ternyata semuanya berawal dari meja makan dan berakhir di tempat yang sama. Aku mendapati jasad kami diatas meja. Seperti dua ekor kalkun bakar bumbu kecap pedas. Kami mendesis-desis, mengatur napas. Saling pandang dan tersenyum. Tuntas sudah semua hidangan yang tersaji. Semua cita-rasanya telah kami isap bersama-sama tanpa sisa. Kami telah membuat kesan yang indah dalam diri kami masing-masing. Tiada sedikitpun cela.

Begitulah pada mulanya.

Esoknya pengalaman itu terlulang kembali dengan menu hidangan yang berbeda tetapi sama lezatnya. Aku tidak punya pilihan lain kecuali menikmatinya. Ia mengajari aku bagaimana memberi arti pada sebuah sentuhan atau isyarat sekalipun.

Pada hari ketiga, setelah menyantap semua hidangan, tiada bersisa seperti hari hari sebelumnya, tiba-tiba ia berucap “Aku harus pergi.” katanya.

“Aku tak bisa lebih lama lagi disini” imbuhnya.

“Berikan satu alasan padaku untuk bisa melepas kepergianmu dengan kerelaan” sergahku.

“Kau belum mengenalku”

“Aku? Bukankah tiga hari telah kita lewati bersama dengan sangat berkesan? Bukankah selama ini kita bahagia?”

“Kau tidak kenal aku”

“Aku kenal. Aku tahu setiap lekuk tubuhmu. Bahkan aku tahu berapa jumlah tahilalat yang kau punya.”

Kami terdiam sejenak. Seketika suasana menjadi hening dan beku. Aku memandanginya secermat mungkin. Ia menatap jauh kedepan seolah tidak sedang berada dalam ruang yang bersekat tembok semen. Tidak sedikitpun gerakan kulihat. Seperti patung lilin tanpa nyawa. Jasad tanpa rasa. Lalu tanganku bergerak hendak menyentuh pipinya. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri, namun ia menampiknya.

“Aku ingin sendiri. Tinggalkan aku sendiri disini. Please…” katanya pelan.

Ada sesuatu yang mendorongku untuk bangkit dan meninggalkan ruang makan. Tapi apa sesuatu itu, aku tidak pernah tahu. Perlahan aku meninggalkannya ke ruang atas. Aku berdiri dibalik jendela memandang jalanan di bawah sana. Banyak kendaraan bermotor mondar-mandir, orang-orang lalu-lalang di trotoar, beberapa ada yang bergerombol hendak menyeberang jalan. Tidak ada yang istimewa.

Cukup lama aku mematung di sana, hingga tiba-tiba aku melihat seseorang menunggang kuda dan berhenti tepat didepan pintu rumahku. Tidak bisa ku lihat wajahnya. Kepalanya tertutup topi baja, hanya bagian mata, hidung dan mulutnya saja yang berlubang. Bajunya juga dari lempengan baja lengkap dengan rumbai-rumbai dan jubah hitamnya, seperti ksatria atau panglima perang kekaisaran Romawi jaman dulu yang sering ku lihat di film. Di pinggangnya terselip sebilah pedang panjang. Dalam hati aku mengagumi kegagahannya.

Sesaat kemudian aku melihat Cinderelaku dari pintu rumahku, melompat naik ke punggung kuda yang ditunggangi ksatria itu. Aku cemburu. Ya, kata itulah yang paling pantas untuk menggambarkan perasaanku. Bahkan aku merasa patah hati ketika ksatria itu menarik tali kekang kudanya. Celakanya, aku tidak mampu berbuat apa-apa.

Cinderelaku masih sempat memandang kearahku. Tangan kanannya memeluk pinggang ksatria itu, sementara tangan kirinya melambai kearahku sambil berucap “Terimakasih, pahlawanku!” lalu mereka segera berlalu. Cinderela telah dijemput Sang Pangeran pujaan hatinya. Dan aku, hanya seorang lelaki yang kehilangan. Kenyataan pahit memang.

* * *

Sehari sebelum hari ini, jam ini, persis tiga tahun yang lalu, aku menemukannya dipojok senjakala, dibawah lampu temaram, ketika gerimis datang, tanah-tanah becek dan mendung tebal terlihat di matanya yang bulat dan menghiba.

Sudahlah, aku telah melupakannya. Walaupun tidak benar-benar lupa. Ada saat-saat aku menghadirkannya dalam kenangan. Ini jadi rahasia kecilku. Tidak pernah kuceritakan kisah ini pada siapapun, juga pada istriku. Bukankah setiap orang selalu menyimpan rahasia-rahasia kecil yang tak perlu dibagi? Dan malam ini aku sudah batalkan semua janji. Aku harus segera pulang. Diana sudah menunggu. Ia masak spesial. Pasti ia sudah mengganti taplak meja makan, menyalakan lilin diatasnya dan menyemprot ruangan dengan pengharum beraroma melati. Ia pasti juga sudah mengenakan gaun hitam panjangnya, dengan belahan agak lebar dibagian dada, yang ku belikan tempo hari. Hari ini ulang tahun pertama pernikahan kami. Aku akan bersikap romantis malam ini. Sebelum pulang aku harus mampir ke toko bunga, membelikan seikat mawar kesukaannya.


[
Jkt, 30.09.02]

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters