Please, add your self in my guestbook...

Minggu, Desember 09, 2007

EKSEKUSI MATI UNTUK MORGAN

EKSEKUSI MATI UNTUK MORGAN

Cerpen Ray Asmoro

Ada dua lelaki di ruangan itu. Selebihnya hanya nyamuk dan kecoa.

Seorang lelaki setengah baya bertubuh tegap, duduk di sudut meja dengan sikap yang superior. Lengan bajunya dilipat hingga ke pangkal siku. Kancing pertama dibiarkan terbuka. Sorot matanya tajam. Suaranya dalam dan berwibawa. Seorang lagi duduk di kursi kayu. Tangannya terborgol. Pada beberapa bagian wajahnya terlihat biru lebam. Darah menitik dari hidung dan ujung bibirnya.

Lampu pijar empat puluh watt tergantung di langit-langit ruangan, dengan kap lampu berbentuk corong, bergoyang-goyang, menciptakan suasana yang spesifik. Bias cahayanya memperkuat gambaran pada pemuda itu sebagai pesakitan. Entah, sudah berapa hari yang telah dilewatinya dalam tahanan dengan berbagai bentuk penyiksaan. Direndam di comberan, disekap dalam kamar sempit dan gelap, dihajar hingga babak belur bahkan disetrum. Semua dijalaninya dengan gagah berani.

Pemuda pesakitan yang bernama Morgan itu tertunduk.

“Morgan, ini kasus besar yang menjadi sorotan banyak pihak, bahkan dunia internasional. Ada yang bilang kamu ada dalam barisan orang-orang yang sakit hati. Ada yang mengatakan kamu salah satu bukti kekuatan masa lalu. Ada yang berpendapat kamu sebagai kambing hitam dari kekuatan militer yang ingin duduk di kursi kekuasaan. Ada yang menyebutmu sebagai ekstrimis kiri atau kanan. Bahkan ada yang mengkaitkanmu dengan jaringan teroris internasional. Dimana posisimu sebenarnya.”

Morgan mendongakkan wajah, menatap tajam pada mata lelaki di hadapannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Dengar, Morgan. Negeri ini sudah kacau. Ledakan kerusuhan terjadi dimana-mana. Ledakan demi ledakan terjadi setiap saat. Bahkan negeri ini pun hampir meledak. Tidak lagi utuh. Terkotak-kotak. Kami sudah capek. Masyarakat selalu mencerca kami tidak becus bekerja. Mereka tidak menyadari bahwa ada banyak kekuatan dibalik setiap ledakan. Dan untuk mengusutnya, kami selalu dibentur-benturkan dengan banyak kekuatan dan opini yang terbangun ditengah-tengah masyarakat. Sekarang katakan, siapa yang ada dibalik asap ledakan itu.”

Morgan tersenyum tipis. “Bolehkah saya minta sebatang rokok?” katanya. Aparat itu memberikan sebatang dan menyulutkan api. Morgan menghisapnya dalam-dalam. “Dari awal saya sudah menjawabnya. Sayalah pelaku peledakan itu dan tidak ada seorang pun yang berdiri di belakang saya. Saya meledakkan bom karena saya ingin melakukannya. Hanya itu. Saya tidak peduli kalau akhirnya saya di cap sebagai apa atau di belakang siapa. Kalau mau, silakan buat berita acara bahwa saya adalah bagian dari kekuatan tertentu. Dengan demikian lembaga bapak akan terhindar dari segala tudingan masyarakat. Bahkan saya bisa di jadikan martir bagi pemerintah untuk memukul balik lawan-lawannya, bukan?”

Tidak ada ceritanya seorang maling mengakui dirinya maling. Biasanya, para maling justru berteriak maling. Namun kali ini ada seorang pemuda, dengan terang-terangan bahkan dengan bangga mengakui dirinya sebagai pelaku peledakan bom yang meluluhlantakkan sebuah supermarket lima lantai di pusat kota itu. Akibatnya, ratusan orang meninggal, ratusan lainnya luka-luka, selebihnya adalah tangis pilu duka-cita berbalut dendam atas kebiadaban itu.

Perbuatannya adalah sebuah tindak kejahatan kelas satu. Pelakunya layak diberikan hukuman setimpal ; eksekusi mati! Sesederhana itukah? Tentu saja tidak. Apalagi peristiwa itu terjadi ketika negeri itu dilanda kemelut sejak beberapa tahun lalu. Gerakan kaum separatis, pertikaian antar etnis, pembakaran tempat-tempat ibadah dan masih banyak lagi, membuat rawan integritas negeri itu. Semua kasus tidak pernah terungkap dan terselesaikan secara tuntas. Ditambah lagi adanya tarik-menarik kepentingan antar elit politik yang kolokan, semakin menajamkan sembilu yang siap dihunjamkan pada setiap uluhati rakyatnya. Ah, mereka memang selalu di korbankan.

Tidak ada seorangpun yang tahu banyak tentang pemuda yang bernama Morgan itu. Orang-orang menganggapnya sebagai seniman. Seniman yang kesepian. Sutradara tanpa aktor. Aktor tanpa penonton. Dan layaknya seniman, ada kegelisahan-kegelisahan di kepalanya. Selalu ada dorongan dan keinginan untuk mencipta. Bahkan dalam pengakuannya, peledakan supermarket itu sebagai sebuah pertunjukan thrue theatre-nya. Tidak ada yang tahu-menahu ihwal Morgan. Ia memang bukan seorang yang populer. Ayumi, perempuan yang diceraikannya lima bulan lalu pun tidak banyak tahu tentang Morgan. Darinya tidak didapat informasi yang berarti.

Dua jam berlalu sia-sia. Aparat tidak mendapatkan apa-apa dari proses interogasi itu. Morgan selalu mengatakan jawaban-jawaban yang sama. Interogator itu jadi emosi. Ia menggebrak. Ia tampar kap lampu yang tergantung di tengah ruangan. Lampu bergoyang-goyang. Sinarnya membias kesana-kemari. Dengan gerakan cepat, ia mencabut rokok yang terselip di bibir Morgan. Tangan kirinya menjambak rambut Morgan tanpa sedikitpun perlawanan.

“Katakan siapa yang ada di belakang ini semua. Katakan!” bentaknya.

“Tidak ada.” Jawab morgan singkat.

“Aku akan membunuhmu, keparat!” gertaknya sambil mencekik leher Morgan lebih keras lagi.

“Silakan. Sekarang atau nanti, sama saja. Toh aku akan mati juga.” tantang Morgan dengan suara tersengal-sengal.

* * *

Setelah melewati proses yang panjang, melelahkan sekaligus menyakitkan, hakim memutuskan vonis hukuman mati pada Morgan. Keputusan itu sangat memuaskan masyarakat. Orang sebiadab itu memang layak mendapat ganjaran setimpal. Morgan sendiri menerima keputusan itu dengan biasa saja. Tanpa rasa gentar sedikitpun. Morgan telah memilih cara kematiannya tanpa harus disebut sebagai pahlawan. Nama dan gambarnya di ekspose semua media masa sebagai pecundang. Sampah plastik!

Pada hari yang sudah ditentukan, petugas menjemputnya di sel tahanan. Morgan masuk dalam ruang eksekusi dengan tenang. Sejenak ia pandangi kursi listrik yang akan menyengatnya hingga ke ubun-ubun.

Petugas mendudukkannya diatas kursi listrik itu dan mengikatkan kain hitam penutup mata. Tangan dan tubuhnya dikunci pada kursi itu. Sebuah alat seperti mangkuk telah dipasang di kepalanya. Ia pandangi wajah-wajah murka para saksi dan beberapa anggota keluarga korban akibat ulahnya, yang turut menyaksikan jalannya eksekusi.

Diawali dengan pembacaan dosa-dosanya dalam sebuah upacara kecil, kepala penjara memberikan komando untuk menarik tuas listrik. Arus listrik bertegangan tinggi mengalir ke kursi pesakitan itu. Seketika tubuh Morgan terguncang-guncang, mengejang, urat-urat di wajah dan lehernya nampak keluar menahan sakitnya. Lampu ruangan itu jadi terang-redup. Sangat dramatis.

Lima belas detik kemudian, ia terlihat tidak bergerak lagi. Kepalanya menunduk. Lagu kematian pun menggema. Namun belum habis lagu kematian itu, tiba-tiba Morgan mendongakkan kepala. Tangannya bergerak membuka kain hitam penutup kepalanya. Semua yang ada diruangan itu jadi tercengang. Membelalakkan mata. Perlahan-lahan Morgan berdiri dari kursi listrik itu, tersenyum dan tertawa penuh kemenangan.

“Aku belum mati dan tidak akan pernah mati. Karena tugasku belum selesai. Waspadalah kalian, akan ada ledakan yang lebih dahsyat lagi di negeri ini!”

Lampu panggung pelan-pelan padam. Suara tepuk tangan menggemuruh seiring dengan turunnya layar hitam yang menutup panggung pertunjukan. Lampu ruangan dinyalakan. Ratusan penonton yang memenuhi ruang pertunjukan, beranjak dari tempat duduknya. Beberapa ada yang masuk ke belakang panggung untuk memberikan ucapan selamat kepada sutradara, aktor dan kru pertunjukan drama malam itu. Selebihnya, penonton meninggalkan gedung pertunjukan. Pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan was-was. [Jakarta, 19 Oktober 2002 ; 15.54wib]

------------------

Catatan : Cerpen ini berdasarkan naskah drama (teater) dengan judul EKSEKUSI yang ditulis oleh penulis yang sama pada tahun 2001, dan pernah di pentaskan oleh Teater Hom Pim Pah – Malang di beberapa Kota, terilhami oleh kasus peledakan gedung federal di Oklahoma oleh John Mc.Veigh mantan tentara perang teluk yang dijatuhi hukuman mati pada bulan Juni 2001, disaksikan oleh para keluarga korban dan disiarkan melalui jaringan televisi kabel.

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters