Please, add your self in my guestbook...

Minggu, Mei 18, 2008

Dokter dan Cah Angon


Dokter & Cah Angon
(kebangkitan pilonesia)


Sejarah mencatat ditahun 1908 (tepatnya 20 Mei 1908) terlahir sebuah organisasi yang dijadikan tonggak kebangkitan bangsa ini. Organisasi itu bernama Boedi Oetomo, sebuah organisasi pergerakan yang di didirikan oleh kaum cendekia untuk memajukan pendidikan, begitulah pada mulanya sebelum organisasi tersebut terjun secara aktif di bidang politik.

Yang menarik adalah, organisasi Boedi Oetomo tersebut (yang dijadikan titik tonggak kebangkitan bangsa, bahkan tanggal 20 Mei ditetapkan dan diperingati sebagai Hari kebangkitan Nasional) didirikan oleh para dokter. Jadi ternyata semangat kebangkitan bangsa ini terlahir tidak dari tangan dukun beranak, bukan juga dari paranormal, birokrat, teknokrat, atau lainnya, tapi terlahir dari tangan para dokter.

Para dokter inilah yang menolong 'persalinan' dan lahirnya kembali semangat kebangsaan, nasionalisme indonesia lahir ditangan dokter.
Sebuah prosesi kelahiran yang sudah semestinya. Di tangan dokter sebuah persalinan secara medis tentu lebih save, karena memang merekalah ahlinya. Lain jika prosesi kelahiran dilakukan oleh dukun beranak. Kemungkinan terjadi infeksi dan kegagalan tentu lebih besar. Apalagi jika yang menangani persalinan adalah teknokrat, seniman atau penulis, akan lebih parah akibatnya. Artinya kelahiran semangat nasionalisme Indonesia lahir dari tangan yang tepat, dari ahlinya; Dokter!

Lebih jauh lagi, Dokter adalah manusia yang telah mempelajari anatomi tubuh manusia, mempelajari tentang berbagai macam penyakit dan gejalanya, sehingga mereka mampu membuat diagnosa-diagnosa. Kalau begini berarti sakitnya ini, obatnya ini dan ini. Kalau begitu berarti sakit itu, obatnya itu dan itu.


Masalahnya sekarang adalah semua orang mengklaim dirinya
sebagai Dokter, tapi tidak memiliki kemampuan diagnosa atas persoalan bangsa, tidak memiliki jiwa melayani, yang dimiliki hanyalah ideologi kepentingan yang sempit.

Berikutnya, yang menarik dari Boedi Oetomo adalah bahwa organisasi pergerakan ini memulai gerakannya di bidang pendidikan. Jika bangsa ini ingin maju maka bangsa ini perlu semakin banyak kaum cendekia. Boedi Oetomo itu berasal dari kata 'budi' dan 'utama', artinya berbudi pekerti luhur. Memiliki attitude yang baik. Berjiwa besar. Menyayangi sesama dan tidak pernah menghalalkan pertikaian antar manusia. Lalu apa yang terjadi sekarang? Para kaum cendekia kita justru asik menyusun barisan untuk kepentingan gerombolannya, mereka membuat skenario-skenario perpecahan, mereka ramai-ramai masuk dalam sekat-sekat politik dan kecendikiawanannya tertutup oleh tirai fanatisme kelompok. Dan lihat betapa tragis nasib dunia pendidikan kita, Undang-undang memaklumatkan 20% APBN untuk pendidikan tapi bagaimana realitanya? Banyak sekolah-sekolah yang roboh, fasilitas sekolah sangat minim bahkan banyak yang seperti kandang ayam dan guru-guru tidak dihormati dengan memberikan penghargaan yang layak. Oalaaahhh...

Saya jadi ingat Cak Nun dan Kyai Kanjeng ketika mengupas lagu 'ilir-ilir'nya sunan ampel. Di syair lagu sang sunan itu ada lirik yang mengatakan :
"...bocah angon, bocah angon, penekno blimbing kuwi. lunyu-lunyu penekno kanggo sebo mengko sore...". Apapun persepsi anda tentang buah blimbing yang berkikir lima, tapi yang berhak memanjatnya adalah bocah angon alias penggembala, bukan jendral, teknokrat, budayawan ataupun kyai. Siapapun yang memanjat harus memiliki jiwa penggembala, harus mampu mengayomi dan melayani.

Jelas sekarang, tidak penting siapa yang memimpin negeri ini, dari profesi apapun, datang darimanapun, dari suku apapun, apapun agamanya, ia haruslah memiliki predikat sebagai
bocah angon, penggembala. Yang mampu melayani dan mengayomi rakyatnya.

20 mei 2008



Senin, Mei 12, 2008

Ganti Rugi


Ganti Rugi ;
Win-win Solution ?

(paradigma PILON)

Saudara-saudara kita yang tanah dan pekarangannya di sulap menjadi jalan tol, diberi ganti rugi. Yang merasa berhak tapi tidak menerima, menuntut pemerintah memberi ganti rugi kepada mereka. Saudara-saudara kita yang di Porong Sidoarjo, yang rumah, pekarangan, sawahnya tertimbun lumpur dijanjikan akan diberikan ganti rugi (walaupun dalam prosesnya begitu alot). Kemudian yang lagi jadi bahan perbincangan saat ini di seminar-seminar, di pangkalan ojek, di warung-warung kopi, di ujung gang, tentang rencana kenaikan BBM. Atas rencana kenaikan BBM itu, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai ganti rugi.

Terlepas dari perdebatan setuju-tidak setuju atas rencana kenaikan BBM tersebut, ganti rugi dalam konteks apapun jelas bukan win-win solution. Namanya saja ganti rugi, ya memang ada penggantian tapi tetap saja rugi. Jadi saudara-saudara kita yang lahannya di pakai jadi jalan tol, yang lahan dan rumahnya terkena lumpur panas, mereka mendapatkan penggantian, tapi ya tetap saja rugi. Lha wong namanya saja ganti rugi.

Dalam kaitannya dengan rencana kenaikan BBM dan pemberian BLT, apakah pemberian BLT itu menguntungkan dan rejeki bagi rakyat miskin? Seperti yang pernah dikatakan pak yusuf kalla (wapres RI) "...setiap ada demonstrasi menyatakan tidak setuju (kenaikan BBM) sama halnya dengan mengurangi rezeki orang miskin..." (Kompas, 8 Mei 2008, hal. 18). Pernyataan Yang Terhormat Pak Yusuf Kalla itu mempunyai arti dan menegaskan bahwa BLT itu menguntungkan bagi rakyat miskin. Nah, sekarang mari kita berhitung! BLT yang ditetapkan sebesar Rp. 100.000,- per kepala keluarga, per bulan, ditambah bantuan beras, gula dan minyak goreng. Cukup menarik memang, tetapi coba bandingkan dengan kenaikan BBM yang 30%, kemudian beberapa supir angkot juga berencana menaikkan tarif hingga 100%, harga sayur mayur dan lauk pauk juga tak terkendali, harga gas elpiji meroket, minyak tanah langka, dan seterusnya. Maka BLT yang diberikan tentu saja tidak menjawab permasalahan pemenuhan kebutuhan hidup layak, bahkan masih tekor. Alias rugi. Ya tapi mau apa, namanya saja ganti rugi, bukan ganti untung!

Sekali lagi ini bukan persoalan setuju atau tidak setuju atas rencana kenaikan BBM. Tidak setuju-pun BBM akan tetap naik. Tetapi paradigma ganti rugi itulah yang "menyesatkan". Sehingga selalu saja penerima kebijakan lah yang merugi.

Kalau anda misalnya mengendarai mobil baru anda dijalanan, kemudian anda di serempet oleh kendaraan lain yang mengakibatkan kendaraan anda penyok. Kemudian orang yang menyerempet anda tadi memberikan ganti rugi dengan menanggung biaya perbaikan hingga kembali seperti semula, apakah anda diuntungkan oleh ganti rugi itu? Hmmm, saya yakin anda tidak merasa untung, karena anda harus mengorbankan (minimal) waktu dan tenaga anda untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu. Yang seharusnya anda janji bertemu dengan calon klien atau menyelesaikan pekerjaan kantor atau kegiatan lainnya, semua itu harus tertunda karena anda harus ikut ke bengkel untuk perbaikan mobil anda. Apalagi itu mobil baru anda, pasti anda akan kecewa, kemudian kalaupun hendak dijual nantinya harganya akan turun karena pernah kecelakaan. Belum lagi kalau yang menyerempet anda orangnya suka ngeyel dan merasa benar, anda harus perang urat syaraf dulu untuk mendapatkan ganti rugi yang tidak menguntungkan itu.

Ya namanya saja ganti rugi jadi jangan berharap untung.

[R]

Kamis, Mei 08, 2008

O.M.B.


OMB (Orang Miskin Baru)

Yang sering kita dengar adalah istilah OKB alias Orang Kaya Baru. Istilah itu diperuntukkan kepada orang-orang yang (seolah-olah) 'ujug-ujug' jadi orang yang berlimpah harta. Ada yang tadinya setiap hari kesana-kemari naik bis kota, berdesak-desak didalamnya, kemudian tiba-tiba keadaan berubah, tidak pernah naik angkutan umum lagi, kini kesana-kemari mengendarai 'X-Trail' misalnya. Atau orang yang tadinya biasa-biasa saja secara ekonomi, kemudian menikah dengan janda kaya raya, maka sekonyong-konyong berubahlah hidupnya. Atau, beberapa tahun lalu masih jadi avonturir, tidak jelas status dan pekerjaannya, kemudian aktif di partai politik dan setelah pemilu ia terpilih jadi anggota parlemen, sekarang punya gaji besar, tunjangannya banyak, setiap rapat ada insentifnya, rumah dinas ia punya bahkan diam-diam membeli beberapa rumah di komplek perumahan elit, mobil dinas ia ada tapi kemana-mana pakai 'Lexus', kemaren ia 'apa adanya' sekarang berubah jadi 'apa-apa ada'. Masih banyak lagi cerita-cerita yang menggambarkan OKB.

Ada OKB, bagus-bagus saja. Hanya kemudian sangat disayangkan disisi lain juga muncul yang disebut OMB alias Orang Miskin Baru. (ini mungkin saya juga termasuk) Tapi termasuk atau tidak kita harus sepakat dulu tentang ukuran kemiskinan ini. Karena ada orang kaya yang selalu merasa belum kaya biarpun jelas-jelas gaya bergaya hidup jet-set, aset dimana-mana dan seterusnya. Ada orang kaya yang pura-pura miskin. Ada yang miskin tapi sok kaya, jalannya
petentang-petenteng, padahal duit ndak megang, status juga ndak jelas. Saya sebenarnya tidak setuju dengan istilah kaya-miskin ini. Suatu kali saya bertemu orang yang secara fisik terlihat agak kumal, bajunya juga apa adanya, kerja serabutan, pengahsilan tidak tentu, kadang cukup buat makan sekeluarga kadang juga kurang, tapi anehnya dia menolak disebut miskin. Kenapa? "Enak saja dibilang miskin. Saya emang kurang berkecukupan secara ekonomi. Tapi saya syukuri semua yang saya dapat. Dapat rejeki dikit saya syukuri, dapet banyak saya juga syukuri. Selagi saya masih mampu mensyukuri nikmat ini saya tidak miskin. Yang miskin itu yang gagal mensyukuri nikmat!" begitu katanya. Kita harus hargai pendapat bapak itu.

Dan saya seratus persen setuju dengan itu. Tapi tanpa mengurangi rasa hormat saya dan tanpa bermaksud merendahkan siapapun, dalam pembahasan ini saya perlu memberikan sekat kaya-miskin dalam konteks kemampuan ekonomi. Jadi ada baiknya biar tulisan ini cepat selesai dan anda tidak terlalu panjang membacanya, bersepakatlah bahwa orang yang memiliki tabungan (termasuk bisnis, saham, deposito, dsb) sekecil apapun dia tidak bisa dikategorikan miskin, sedangkan yang tidak memiliki tabungan (saving) kita kategorikan miskin, kita asumsikan apa yang mereka dapat tidak ada sisa untuk
saving. Konsekwensinya, kalau ada manajer bergaji 7 juta, tapi pengeluarannya dalam sebulan 7,5 juta, maka kita sebut dia miskin. Tapi jika ada karyawan bergaji 1.2 juta tapi setiap bulan bisa nabung 200 ribu maka kita sebut dia lebih kaya daripada manajer tadi.

Kembali soal OMB tadi. Jika benar begitu rasanya saya sebentar lagi bisa jadi OMB. Apa pasalnya? Setiap bulan saya bisa saving 500 ribu. Bukankah saya kaya? karena banyak saudara-saudara kita yang belum punya 'sisa' untuk saving. Tapi sebentar lagi (dan sekarang sudah mulai terasa) keadaan itu bisa jadi segera berubah. Rencana kenaikan harga BBM membuat harga-harga barang lain tidak terkendali. Istri tetangga saya terlihat manyun, pasalnya setiap pagi biasanya belanja sayur paling banter 20 ribu, sekarang butuh 45 ribu, padahal menunya itu-itu juga. Harga elpiji 15 kg Rp. 180.000, Di Sukabumi harga beras terus naik, harga telur Rp.2.000 per kg naik menjadi Rp. 13.000 (baca Kompas 8 Mei 2008 hal. 22 & 25). BUSYEEET...!!! Itu baru kebutuhan rumahtangga dapur, belum lagi kebutuhan lainnya.

Jadi ketika harga barang-barang kebutuhan pokok naik (bahkan naik sebelum harga BBM naik) maka mau tidak mau 500 ribu anggaran tabungan saya tadi harus saya konversi menjadi anggaran belanja untuk mengawal inflasi dan naiknya anggaran saya dan sepertinya belum mencukupi juga, artinya saya menjadi tidak punya tabungan dan menjadi miskin. Ternyata kaya dan miskin bukan tuhan yang menentukan tapi sebuah kebijakan pemerintah. Ck, ck,ck... Tapi saya tetap tenang, di Headline Kompas 8 Mei 2008, disebut "Bisa Ada 15,68 juta Orang Miskin Baru". Ternyata saya tidak sendiri.


Maka kepada teman dan sahabat yang mungkin mengalami nasib yang sama dengan saya, saya mengucapkan SELAMAT MENJADI O.M.B !


Selasa, Mei 06, 2008

Narkoba


15% PENDUDUK JAKARTA PECANDU NARKOBA *)
(metafora dari berita koran pagi)

Data dari Badan Narkotika Provinsi (BNP) DKI Jakarta, disebut sekitar 15% penduduk Jakarta (atau sekitar 150.000 orang penduduk) adalah PECANDU NARKOBA! Hmmm... sejumlah itu baru perkiraan untuk kategori pecandu, padahal ada yang disebut pemakai tapi belum pada tingkat kecanduan, ada yang pada taraf coba-coba karena penasaran atau ingin dianggap gaul. Jadi pengguna narkoba di DKI Jakarta tentu angkanya jauh diatas angka 150.000 itu.

Persoalan ini tentu saja dapat dikaji dari beberapa aspek, baik moral, kultural, ekonomis, maupun hukum. Dari dahulu kala hingga saat ini, detik ini, upaya pemberantasan penggunaan Narkoba tidak pernah berhasil. Mengapa? Ya, "mengapa?" itulah pertanyaan kita semua. Saya bukan orang yang paling bermoral sehingga saya merasa tidak pantas melihat itu dari aspek moral, saya juga bukan budayawan atau antroplog sehingga tidak tepat kalau saya mengkajinya secara sosio-kultural, saya juga bukan pakar ekonomi sehingga saya kesulitan menemukan titik korelasinya antara faktor ekonomi dengan maraknya penggunaan narkoba, apalagi jika saya harus melihat sisi hukumnya, saya justru lebih buta lagi soal itu. Tetapi sebagai manusia yang hidup disalah satu sudut di tanah nusantara ini, saya merasa perlu ikut bersuara tentang Narkoba ini, tanpa memperdulikan suara saya ini memiliki implikasi positif terhadap masyarakat atau justru diabaikan dan dianggap tidak ada.

Sebelum lebih jauh, saya jadi ingat beberapa bulan lalu, salah satu pemimpin kita dengan sangat "jeli" melihat korelasi antara kemacetan dan penggunaan AC sebagai indikasi naiknya tingkat ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, semakin macet berarti masyarakat kita semakin kaya, karena banyak orang yang mampu membeli mobil. Listrik "byar-pet" itu juga sebuah indikasi bahwa masyarakat kita semakin sejahtera karena banyak rumahtangga yang menggunakan AC dirumahnya. Sebuah analisis yang LUAR BIASA, bukan?

Jika kita coba memberikan analisa atas tingginya pemakai narkoba dengan pendekatan analisa seperti yang dilontarkan salah satu pemimpin bangsa kita itu, maka semakin banyak pengguna narkoba seharusnya kita semakin bangga dan serta-merta harus mengucap "alhamdulillah", karena hal itu juga bisa dikatakan sebagai indikasi bahwa masyarakat kita semakin makmur, sehingga kebutuhan primer dan sekundernya sudah tercukupi bahkan berlebih hingga bisa membeli barang-barang haram itu (narkotika dan zat adiktif lainnya) yang harganya tidak murah! (tentu saja banyak orang yang tidak setuju dengan analisa "PILON" ini, bukan?)

Disisi lain, ada pepatah yang mengatakan "gajah di pelupuk mata tidak terlihat, 'kutu kupret' diseberang lautan terlihat jelas". Artinya sesuatu yang negatif itu mudah di ingat, mudah dilihat, akhirnya paradigma berpikir kita menjadi negatif pula. Betapa kita semua juga pers di negeri ini setiap hari selalu membicarakan hal-hal negatif, kegagalan-kegagalan pemerintah, kemudian menghujat, mencaci-maki, sumpah serapah, dan seterusnya. Yang positif tidak mendapatkan ruang pemberitaan yang cukup berarti. Lihat saja bagaimana perjuangan heroik seorang Siti Fadilah Supari (Menkes RI) melawan WHO dalam menegakkan keadilan, meneguhkan harkat martabat bangsa dan itu untuk kepentingan umat, dan menang! (apakah berita itu sampai di telinga anda?). Mengapa begitu? jawabnya adalah karena berita seperti itu tidak "seksi" dalam wacana pers kita. Tidak 'marketable'.

Lantas apa hubungannya semakin maraknya peredaran narkoba dengan kecenderungan orang melihat sisi negatif itu?

Sesuatu yang negatif lebih mudah diterima, lebih mudah diingat dan itu menimbulkan efek penasaran. Ketika kita mengatakan kepada anak kita "jangan nakal ya!" anehnya anak kita semakin nakal. Kita pajang tulisan "jangan buang sampah disini", justru semakin menumpuk sampah disitu. "Hanya monyet yang boleh kencing disini", tulisan itu pernah saya lihat di salah satu ujung gang, tetapi setiap hari bau pesing-nya semakin menyengat (mungkin memang banyak orang yang merasa bagian dari keluarga monyet itu). Begitulah. Ditambah lagi ada ungkapan yang mengatakan "peraturan itu dibuat untuk dilanggar", semakin memperparah keadaan. Maka ketika kita bilang "SAY NO TO DRUGS", kira-kira reaksi apa saja yang akan terjadi pada pembaca slogan itu? Seberapa banyak yang mungkin justru penasaran, "hmmm.. say no to drugs? emang ada apa sih dengan drugs? kenapa harus say no?", ia penasaran lalu untuk bisa bilang "no" maka ia perlu pembuktian, apalagi bagi orang-orang yang sangat skeptik. Jadi semakin banyak kita menulis "Say No To Narkoba" maka justru banyak orang semakin penasaran untuk mencoba, agar menemukan jawabannya. Kemudian kita ganti dengan slogan "Hidup Bahagia Tanpa Narkoba", ini sama saja, bisa membuat orang penasaran juga. Apalagi bagi yang belum pernah mengkonsumsi narkoba. Jadi semakin banyak slogan menggunakan kata "tidak" atau "jangan" atau kata-kata negatif, maka semakin itu mudah masuk dalam ingatan dan kesadaran manusia. Semakin banyak kita tuliskan kata "narkoba" maka narkoba semakin populer, padahal manusia itu memiliki kecenderungan untuk mengejar popularitas.

Sebuah dilema memang.


*) judul tulisan ini diambil dari Koran SINDO, 7 Mei 2008, hal.28


Tokoh Baru ?

Mana Tokoh Baru Kita ?

Sejudul berita di Kompas hari ini (6 mei 2008) di halaman 2, terbaca "PILPRES 2009 ; Tidak Ada Tokoh Yang Baru" rasanya cukup menggelitik walaupun sebenarnya tidak aneh dan wajar-wajar saja. Tidak aneh dan wajar karena itu seperti film india atau hollywood yang mudah ditebak jalan cerita maupun ending-nya. Begitu juga dengan hingar-bingar panggung politik kita. Sisi 'menggelitik'nya adalah beberapa waktu lalu, para tokoh (yang mengaku) pemuda mengadakan perhelatan dan cukup banyak diekspose media masa, dan para tokoh pemuda itu memajang sebuah kalimat yang cukup provokatif, "Saatnya Pemuda Memimpin".

Kategori pemuda dalam panggung politik ini sangat relatif. Dari pusar keatas boleh tua, tapi dari pusar ke bawah tetap muda (hahaha...). Jika menilik usia, kita biasa mengkategorikan usia seperti ini : 0-5 tahun disebut balita, 5-12 tahun disebut anak-anak, 12-19 tahun disebut remaja, 20-40 tahun disebut dewasa, diatas 40 seharusnya disebut tua. sedangkan usia produktif adalah usia 19-55 tahun (55 tahun adalah usia pensiun). Lha terus usia berapa yang layak disebut pemuda? entahlah, silakan diperdebatkan sendiri (saya ndak ikut-ikut soal itu).

Hasil survey dari berbagai lembaga dan berita-berita di media menyebut tokoh-tokoh lama seperti Hamengkubuwono X, Wiranto, SBY, Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Sutiyoso, Megawati, Gus Dur, masih memiliki potensi untuk maju dan mencalonkan diri dan itu di 'amin'-i oleh para responden yang juga memilih nama-nama itu.

Dari dasar itu, bisakah kita menyimpulkan bahwa terjadi kemandegan dalam proses regenerasi pemimpin bangsa ini? atau sebenarnya proses regenarasi itu berlangsung tetapi tidak ada Pemuda yang siap dan memiliki kompetensi? atau dengan kata lain, Apakah Pemuda-nya tidak ada yang punya nyali, beraninya hanya membuat provokasi dan pernyataan media, padahal tendensinya hanya sekedar 'menjual' dirinya agar masuk dalam bursa pencalonan atau dipinang oleh partai-partai besar? atau juga lantaran Pemuda itu hanya bisa berangan-angan dan bermimpi bisa menjadi pemimpin padahal realitanya tidak ada kompetensi dan daya dukung dibelakangnya? Oalaaah.. pemuda...

Banyak dari kita mengkritik pedas, mencaci bahkan menghujat-hujat pemimpin dan tokoh-tokoh tua, kemudian setelah mendapatkan kesempatan justru berada diposisi yang dulu mereka kritik tanpa bisa melakukan perubahan menjadi lebih baik. Angkatan 66 begitu kritis terhadap rezim Soekarno, namun begitu mereka memimpin kritik kepada mereka juga tidak pernah sepi bahkan dianggap gagal melakukan perbaikan, kemudian muncul reformasi. Anak-anak orde reformasi ini kemudian memegang kendali, tetapi mereka tidak lebih baik dari yang sebelumnya mereka kritik dan hujat-hujat. Akankah sejarah seperti itu terulang kembali?

Bagi Sariman sudah jelas, "Mau tokoh lama kek, mau tokoh baru kek, mau tua kek, mau muda kek, mau laki-laki kek, mau perempuan kek, mau partisan kek, mau independen kek, ndak penting. Yang penting ia harus...."

Senin, Mei 05, 2008

Pilih Mana?

PILIH MANA, Demokrasi atau Otokrasi ?
( kasak-kusuk dari obrolan di ujung gang )

Dirumah, seorang Bapak (sebagai pemimpin keluarga) menganggap semua anak-anaknya harus patuh terhadap aturan ketat yang dibuatnya, dan aturan itu sudah ditentukan dan diputuskan serta didengar oleh semua anggota keluarga. Jika melanggar harus mendapat 'hukuman', tidak peduli kepada anaknya yang 17 tahun atau yang baru 2 tahun, jika mereka melanggar harus 'dihukum'. Tentu saja yang menentukan benar-salah adalah Pemimpin keluarga alias Bapak.

Bagi Bapak ketegasan itu harus diambil untuk menjaga keluarganya, menumbuhkan sikap disiplin dan tanggungjawab kepada anak-anaknya. Tentu saja itu niat mulia. Namun bagi anak-anak, sering tindakan Bapak itu sangat represif rasanya. Bahkan tidak jarang pula anak-anak menganggap Bapak kejam, Bapak jahat, Bapak otoriter dan tidak demokratis!

Dalam konteks tertentu terdapat kerancuan antara demokrasi dan otokrasi. Kadang kita berkoar-koar tentang demokrasi tapi perilaku dan tindakan kita sangat otoriter. Ketika keputusan diambil secara demokratis, diperlukan ketegasan, sehingga kita sering dipaksa bertindak otoriter. Ketika si Bapak tadi misalnya hendak menghukum si kecil 2 tahun yang berbuat salah, apakah ia harus menanyakan 'perlu tidak hukuman di berikan?'. Jika pertanyaan itu dilontarkan kepada istri dan kakak anak itu bisa jadi mereka akan membela anak itu karena kasihan dan karenanya hukum menjadi tumpul dan tercederai.

Demokrasi sebagai sistem bernegara, begitu diagung-agungkan sebagai yang paling baik. Indonesia sendiri dalam sejarah telah mencatat banyak perubahan sistem yang dipakai dalam berbangsa dan bernegara, mulai dari sistem monarchi (kerajaan), demokrasi terpimpin, hingga akhirnya demokrasi. dan ternyata yang terakhir itu juga 'abu-abu' warnanya. Seperti pendapat Pak Daniel Sparingga dalam wawancaranya dengan sebuah media cetak terkenal, beliau mengatakan "..sistem demokrasi ujungnya adalah memastikan seluruh kebijakan publik harus dimintakan persetujuannya lebih dulu kepada yang terkena kebijakan itu, ini yang dinamakan kedaulatan rakyat. Dan hal tersebut di sangga oleh dua tiang, satu adalah parlementarisme yang paketnya adalah Parpol, Pemilu, dan Anggota Parlemen sebagai representasi rakyat dalam mengawasi bagaimana kekuasaan pemerintahan dijalankan... tapi orang sering lupa tiang penyangga kedua, yaitu civil liberties... rakyat memungkinkan bisa mewarnai proses kebijakan publik dari waktu-kewaktu, setiap saat, tanpa menunggu pemilu... ini menjadikan proses demokrasi kita kurang produktif.. wibawa parpol tidak cepat berkembang... parpol tidak punya resonansi dan legitimasi atau basis dukungan kuat dikalangan rakyat... bahkan digerus oleh civil liberties. Ketidakpercayaan kedua tiang ini sangat tinggi sehingga tidak ada sinergi, justru saling menghancurkan... demokrasi itu ada tapi semu"

Dari pendapat Pak Daniel diatas (dan realitanya memang begitu) tentu saja membuat kita bingung. Faktanya, rakyat di negara demokrasi ini juga mulai kehilangan kepercayaan pada parlemennya, kepada yang mewakilinya. Sementara yang duduk di parlemen terus merayu-rayu khalayak ramai untuk mendukung dan memilih mereka demi mempertahankan kedudukannya. Kalaupun ada yang diperjuangkan, tentu saja perjuangkan untuk kelompok dan golongannya saja. Dan hukum atau perangkat lainnya yang dipakai sebagai alat penegak demokrasi pun tidak dilaksanakan secara adil dan konsisten.

Nah sekarang cobalah hitung sendiri berapa banyak "ongkos" untuk sebuah demokrasi yang semu ini. Dari sejak Negara ini menganut demokrasi seberapa besar "ongkos" yang harus kita bayar untuk sesuatu yang menjadikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara justru tidak lebih baik ini?

Sedangkan otokrasi / sistem yang otoriter selalu dianggap buruk dan jahat. Seperti juga halnya kata "hostes" yang sebenarnya memiliki arti harafiah tidak negatif (positif) tetapi kata itu selalu di konotasikan buruk sehingga setiap orang men-cap jelek pada hostes. Lainnya adalah hipnotis, yang selalu di anggap sebagai sesuatu yang buruk dan kriminal, padahal hipnotis bisa juga sebagai terapi. Dan masih banyak contoh lainnya tentang sesuatu yang sengaja atau tidak sengaja memiliki citra buruk padahal tidak begitu adanya.

Salah satu organisasi atau lembaga yang kental muatan otokrasinya adalah militer. Dan kenyataannya organisasi itu jauh lebih baik, lebih berkarakter, lebih tangguh, daripada lembaga atau organisasi yang selalu mengatasnamakan demokrasi.

Dalam pengertian yang kita kenal hingga kini, demokrasi berarti kedaulatan rakyat. Menilik orientasinya, demokrasi lebih ke people (people oriented) sedangkan otokrasi lebih ke task oriented. Dalam demokrasi manusia menjadi subyek sedangkan dalam otokrasi manusia sebagai obyek. Bisa dibayangkan, apabila misalnya sebuah bisnis dijalankan dengan sistem demokrasi, semua memiliki kepentingan dan keinginan berbeda padahal yang punya modal adalah pemilik. Dalam bisnis tentu saja manusia (mau tidak mau, suka tidak suka) adalah obyek. Karena dalam pekerjaan (pada jam kerja) menyelesaikan tugas dan tanggungjawab harus didahulukan daripada menyelesaikan urusan pribadi. Perusahaan 'tidak peduli' apakah kita (karyawan) punya masalah dirumah, sedang terlilit beban utang dengan tetangga, atau lainnya diluar pekerjaan, tetapi tugas dan tanggungjawabnya di perusahaan harus selesai. Perusahaan tidak perlu meminta pendapat dan persetujuan soal ini, bukan? Jika tidak mau, maka tamatlah riwayatmu. Bukankah ini berkesan sangat otoriter? tapi begitulah adanya.

Tidak ada sistem yang sempurna. Demokrasi (yang people oriented) memiliki keunggulan dan kelemahan sekaligus. Begitu juga dengan otokrasi (yang task oriented). Dalam demokrasi segala sesuatunya diserahkan kepada khalayak ramai yang tentu didalam setiap kepala mereka ada keinginan dan tendensi yang berbeda. Bayangkan betapa pusingnya jika harus mendengar dan mengikuti setiap keinginan dan kemauan 270 juta kepala. Sedangkan otokrasi, khalayak dipaksa untuk menjalankan sesuatu yang ditetapkan.

Soeharto, seringkali di cap sebagai pemimpin otoriter, tapi disisi lain banyak masyarakat bawah yang mengatakan "wah, kalau begini keadaannya mendingan jaman pak harto, cari duit lebih gampang, barang-barang juga murah. katanya perubahan, reformasi, demokrasi, tapi kok malah menginjak-injak dan membelit rakyatnya..."

Coba kita dengar pendapat Sariman. Dia bilang, "Mau demokrasi kek, mau otokrasi kek, mau liberal kek, mau sekuler kek, gak penting jika tidak membuat kehidupan menjadi lebih baik. Menurut saya yang terpenting adalah para pemimpinnya. Kalau pemimpinnya baik, berakal-budi, memiliki cinta, berorientasi melayani umat, maka mau demokrasi atau otorioter sekalipun tidak masalah. Demokrasi kalau dijalankan oleh orang-orang bodoh yang tidak memiliki kepemimpinan yang baik juga malah jadi semrawut. Mendingan otokrasi tapi pemimpinnya harus berhatinurani dan memihak kepada umat, tidak memiliki nafsu untuk menguasai serta orientasinya semata untuk kesejahteraan bersama, gak peduli parpol, agama atau suku-nya beda"


me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters