Please, add your self in my guestbook...

Senin, Juni 16, 2008

KEMISKINAN YANG TERPELIHARA !

KEMISKINAN YANG TERPELIHARA


Ada orang yang tidak sadar dirinya miskin, berlagak kaya dan tidak mau disebut miskin. Kemiskinan menjadi aib baginya. Ia berusaha tampil layaknya orang kaya, belagak mentraktir teman-temannya walaupun untuk itu harus rela hutang, faktanya ia tetap miskin. Dan semua orang disekitarnya tahu percis fakta itu, mereka menganggapnya orang yang sok kaya, ngga tau diri. “Miskin aja belagu!” kata mereka.


Ada orang miskin yang bangga disebut miskin dan kemudian oleh para politisi pinggiran di provokasi dan dibuatkan wadah ‘gerombolan orang-orang miskin’ untuk melegitimasi kemiskinannya, yang kemudian menjadi komoditas politik semata. Karena kemiskinan sebagai komoditi maka mereka tidak rela jika kemiskinan itu dihapuskan, karena jika demikian mereka tidak memiliki nilai jual dan nilai tawar secara politis.

Ada yang kaya raya tapi pura-pura miskin. Tujuannya adalah untuk menghindar dari pajak dan investigasi KPK. Ada juga yang tadinya miskin terus ujug-ujug jadi kaya, kemudian mengalami mental shock, mentalnya tidak siap jadi orang kaya, gayanya jadi wagu, lucu dan culun. Walaupun sudah melakukan perubahan penampilan dan belajar mannerism tetap saja jiwa miskinnya masih terbawa-bawa.


Ada juga yang miskin dan ia sadar akan kemiskinannya tapi ia tetap berdiri tegak, baginya kemiskinan hanyalah ujian, ia jalani itu dengan rasa syukur. Kemiskinan ataupun kekayaan sama-sama sebagai ujian. Ia tidak mengeluh, tidak juga meng-aduh. Ia tidak terprovokasi oleh propaganda politik. Ia selalu tersenyum menghadapi dunia ini. Semua ia jalani dengan penuh kesadaran. Ia boleh miskin harta, tapi ia memiliki kekayaan bathin yang tak terkirakan.


* * *


Data BPS (Biro Pusat Statistik) menunjukkan angka 37,17 juta orang miskin di Indonesia pada tahun 2007 (16,58% dari total penduduk Indonesia). Jumlah itu lebih kecil dibandingkan dengan data penduduk miskin tahun 2006, sebesar 39,30 juta jiwa (17,75%). Garis kemiskinan itu diukur dari pendapatan perkapita perbulan yaitu pada angka Rp. 166.697,- (maret 2007). Artinya, orang dikatakan miskin jika pendapatan perharinya sama dengan atau lebih kecil dari Rp. 5.556,- Jika lebih dari itu maka tidak masuk dalam kategori miskin. (Rp. 5.556 perhari, bisa dapat apa ya?).


Sudahlah, cukup segitu saja soal data-data tentang kemiskinan. Yang jelas jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun sangat fluktuatif. Kadang naik kadang pula turun. Kenyataannya tidak pernah bisa di tekan secara signifikan. Salah satu kunci untuk menekan angka kemiskinan terletak pada angka garis kemiskinan. Jika garis kemiskinan Rp. 5,556 perkapita perhari, diturunkan menjadi Rp. 5.000,- perkapita perhari, maka akan ada penurunan cukup drastis jumlah penduduk miskin. (Bukankah itu semu?). Demikian pula sebaliknya, jika angka itu dinaikkan. Maka kenaikannya berbanding lurus dengan naiknya jumlah penduduk miskin.


* * *


Dalam ranah politik, kemiskinan bisa menjadi alat propaganda yang ampuh, tapi sekaligus bisa menjadi batu sandungan yang menyakitkan. Coba saja lihat dan dengarkan setiap kali ada pemilu atau pilkada, salah satu janji mereka adalah mengurangi kemiskinan, memberikan lapangan kerja, dan seterusnya. Kemiskinan digunakan sebagai propaganda politik bagi gerombolan tertentu untuk memuluskan jalannya menuju tahta kekuasaan. Disisi lain, penguasa selalu ‘gagap’ jika ditagih janjinya. Dan angka kemiskinan selalu mengenaskan.


Tentu saja kemiskinan bukan hanya persoalan satu Negara didunia. Tapi saya rasa hanya ada satu Negara di dunia yang dalam Undang-Undang Dasarnya memaklumatkan untuk melestarikan kemiskinan. Ada pasal yang berbunyi “fakir miskin, anak-nak terlantar, para dhu’afa, gelandangan dan pengemis, dipelihara oleh Negara”.


Inilah akar persoalan sesungguhnya. Jadi pemberantasan kemiskinan itu sebuah kemustahilan. Karena Negara dan pemerintah harus menjalankan Undang-Undang yang mengharuskan memelihara kemiskinan itu tadi. Yang namanya “dipelihara” itu kan artinya di rawat, dilestarikan. Yang ada bukan menghapus kemiskinan, justru sebaliknya, menumbuhsuburkan kemiskinan, karena begitulah amanat Undang-Undang Dasarnya.


Mungkin akan beda jika Undang-Undang mengamanatkan “Negara memberikan penghidupan yang layak kepada fakir miskin, anak-anak terlantar, kaum dhu’afa, gelandangan dan pengemis, dan mengentaskan mereka dari keadaannya menuju keadaan yang lebih baik” misalnya, akan lain perkaranya.




Kamis, Juni 05, 2008

TANAH TOEMPAH DARAHKOE


TANAH TOEMPAH DARAHKOE


Dahulu, siapapun yang masih berada di bangku pendidikan (SD-SMA) setiap hari senin pagi diwajibkan melakukan upacara bendera. Acara intinya adalah pengibaran Sang Saka Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya dengan sikap hormat. Indonesia Tanah Airku / Tanah Tumpah Darahku / Disanalah Aku Berdiri / Jadi Pandu Ibuku…”. Dan menancaplah semangat kebangsaan, mengalir disetiap selang nadi putra-putri pertiwi. Kemudian disusul pembacaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Teks Pancasila.


Sekarang, entah masih tersisa atau bahkan sudah punah semangat kebangsaan dan kebhinnekaan itu. Realitanya ini Negara jadi kian membingungkan. Ada dekadensi atas nasionalisme. Sadar atau tidak kita melakukan pemunahan nasionalisme itu secara missal, perlahan-lahan, tapi terasa kini efeknya. Kita terbelah dan terkotak-kotak dalam kelompok-kelompok. Kelompok yang lemah di tindas oleh gerombolan yang lebih kuat. Dan Negara tidak sigap memahami dan memecahkan persoalan itu. Terakhir Presiden mengatakan “Negara tidak boleh kalah. Hukum harus ditegakkan…”. Mengapa baru sekarang ada pernyataan seperti itu? Mengapa setelah terjadi huru-hara di Monas (1 Juni 2008) pemerintah baru mengatakan itu? Jika saja ketegasan sebagai pemegang amanat kekuasaan itu benar-benar dilakukan mungkin peristiwa bentrokan atau pembantaian di Banyuwangi, Sampit, Poso, dan daerah-daerah lainnya, tidak perlu terjadi. Dan kasus-kasus seperti tragedi trisakti 98 hingga peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa Unas (2008) bisa segera diusut tuntas.


Tadi malam saya melihat sebuah acara di televisi swasta, di acara dialog itu ada Pak Andi Malarangeng, Pak Fajrul Rahman, dan aktivis serta mahasiswa sebagai audience-nya. Pak Fajrul (yang pernah jadi korban pemerintahan yang represif dijaman orba) mengecam Pak Andi Malarangeng, ‘habis-habis’an. Kurang lebih dikatakan, bahwa pemberian bantuan dana pendidikan bagi 400 ribu mahasiswa kurang mampu adalah sebuah tindakan pemerintah untuk ‘membungkam’ suara mahasiswa, karena itu dilakukan setelah eskalasi gerakan mahasiswa meninggi lantaran pemerintah menaikkan harga BBM. Lebih lanjut dikatakan, bahwa dana bantuan pendidikan itu adalah dana ‘haram’ karena diambil dari anggaran yang seharusnya dipergunakan untuk rakyat miskin. (Maaf kalau interpretasi saya salah). Kemudian dengan nada provokatif, Pak Fajrul mengarahkan hujatan kepada Pak Andi Malarangeng dengan menuding-nudingkan telunjuknya, dan mahasiswa menyambutnya. Dan menurut saya tidak ada data dan bukti yang cukup valid atas pernyataan “dana haram itu”. Mungkin saja benar tapi mungkin saja tidak.


Saya tidak sedang membahas tentang validitas data BLT dan Bantuan Pendidikan itu. Yang saya lihat adalah kok kita ini jadi bangsa yang aneh ya. Senang menjatuhkan orang, senang menghujat orang, dengan kedok demokrasi dan kebebasan berpendapat. Apa ya begitu demokrasi seharusnya dijalankan? Kerdil amat kita ini!!! Jika memang harus begitu, siapapun yang jadi pemegang amanah kekuasaan negeri ini tidak akan sepi oleh kritik, hujatan dan cacimaki.


Kini setiap stasiun TV mengangkat headline tentang peristiwa 1 Juni 2008 di Monas, amuk masa suatu gerombolan terhadap gerombolan lainnya. Entah mengapa tiba-tiba saya teringat sebuah cerita yang pernah saya baca, Imam Al-Ghazali berkisah ; Ada sorang anggota keluarga nasrani yang simpati dengan islam, setiap hari ia mendengar ayat-ayat suci alquran dilantunkan, hatinya jadi tentram… dan orang nasrani itu berkeinginan untuk masuk islam. Tapi… kemudian dia mendengar suara adzan yang sember, urakan dan asal keras. Sehingga memekakkan telinga. Niat sang bilal adalah memanggil orang-orang untuk sholat berjamaah. Niatnya baik. Tapi efeknya, si nasrani yang mau masuk islam itu akhirnya mengurungkan niatnya karena tidak simpatik dengan cara bilal melakukan adzan dengan cara arogan dan mengganggu ketenangan.


Dakwah dan menegakkan kalimat tauhid itu harus dan fardhu’ain bagi setiap muslim. Namun demikian arogansi dan kekerasan justru menjadi bentuk pengingkaran atas kalimat tauhid itu sendiri. Anehnya, (meminjam istilahnya Cak Nun) kita menolak penindasan dengan melakukan penindasan dan penistaan, kita melaknat pencurian dengan mengatakan ‘mengapa bukan kita yang maling’, kita hujat-hujat penguasa dengan berusaha keras menggantikannya dan melakukan hal-hal yang dahulu kita kritik sendiri…


Indonesia tanah airku

Tanah tumpah darahku…


Tidak ada yang salah dengan syair Indonesia Raya itu. Tapi baris kedua “tanah tumpah darahku” bisa dipersepsikan berbeda. Bukan dimaknai sebagai semangat nasionalisme, cinta tanah air dan rela berkorban demi nusa bangsa. Tapi “tanah tumpah darahku” bisa di persepsikan sebagai tanah dimana darah akan selalu tumpah.


Akankah darah kembali tumpah, mengalir ditanah pertiwi ini???



me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters