Please, add your self in my guestbook...

Selasa, Januari 29, 2008

No Choice : Be Abnormal

No Choice : BE ABNORMAL !

Manusia, dimasyarakat modern membedakan antara waras dan gila, normal dan abnormal, secara transparan. Untuk itu kemudian ada rumah sakit jiwa bagi yang gila. Pada era pra-modern tidak ada rumah sakit jiwa, orang gila dibiarkan hidup bersama masyarakat. Orang waras dan gila sama-sama diterima di masyarakat.

Apa sih waras-gila, normal-abnormal itu?

Tulisan ini jelas tidak dimaksudkan menjawab pertanyaan itu. Waras dan Gila, menurut Sariman jaraknya tipis sekali. Orang dianggap waras jika orang tersebut berperilaku sesuai kepatutan umum, maka penyimpangan terhadap kepatutan itu disebut tidak waras atau gila. Nah ini yang kadang-kadang membuat kita jadi pilon. Bagaimana tidak, kepatutan itu dimasyarakat sangat relatif.

Dahulu, lima belas atau sepuluh tahun lalu, jika ada sepasang laki-laki perempuan jalan bergandengan tangan dikampung saya, maka itu akan di cemooh banyak orang karena dianggap melakukan perbuatan yang tidak patut, tapi sekarang masyarakat sangat permisif dengan hal semacam itu, mau bergandengan tangan kek, mau berciuman kek, mau peluk-pelukan didepan umum kek, patut-patut saja. Huhhh!!!

Orang-orang yang sekarang menghuni rumah sakit jiwa itu, apakah mereka benar gila? Atau hanya karena cara berpikir dan berperilakunya yang tidak sesuai kepatutan umum tadi? Mereka lantas kita anggap gila. Kira-kira apa penilaian mereka yang gila itu terhadap anda-anda yang waras? Bisa jadi menurut mereka justru anda lah yang gila karena anda tidak berperilaku dan bersikap menurut standar kepatutan mereka.

Banyak orang yang disebut waras yang melakukan hal-hal gila. Misalnya suami yang mengkhianati istri, istri yang serong dengan sopir pribadinya, mengkonsumsi minuman keras berlebihan, mengkonsumsi narkoba, mengebiri hak-hak rakyat, menaikkan harga sembako diatas kemapuan daya beli masyarakat, mengorbankan kepentingan bersama demi kepentingan pribadi, menjual aset-aset Negara, itu semua kan sungguh-sungguh nyata melanggar kepatutan, tapi mengapa tidak terima jika dibilang tidak waras atau gila? Dasar pilon!

Demikian juga dengan normal-abnormal. Orang dibilang normal jika perilaku, sikap dan tindakannya sesuai kelaziman pada umumnya. Orang kerja dapat uang atau imbalan, itu normal. Orang berpikir mendapat solusi, itu normal. Untuk bisa menjadi orang sukses harus sekolah, kemudian kerja atau membangun usaha, itu normal. Jadi kalau ada orang tidak berpendidikan tapi bisa sukses maka itu abnormal, bukan?

Ada sebuah kalimat yang pada intinya adalah sebuah ajakan untuk menjadi abnormal, begini “jika anda ingin menjadi luar biasa maka lakukan hal-hal yang luar biasa”. Jadi kalau kita melakukan yang normal-normal saja (standar) maka hasilnya juga biasa saja. Tetapi kalau kita melakukan hal yang luar biasa dalam arti diluar kebiasaan umumnya atau sesuatu yang orang lain belum bisa atau belum pernal lakukan (abnormal), maka kita akan menjadi luar biasa. Nah, hal biasa pun bisa menjadi luar biasa apabila ditangan orang abnormal ini.

Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, itu luar biasa karena ia melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh banyak orang. Mereka itu abnormal. Thomas Alfa Edison, Kolonel Sanders, Julius Tahija, Andrie Wongso, Ciputra, Iwan Fals, Slank, dan lain-lain, mereka itu adalah orang-orang yang melakukan sesuatu secara berbeda dari yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya. Abnormal juga. Hanya orang-orang pilon saja yang memilih menjadi orang normal, kata Sariman tegas.

Normal itu umum, standar. Maka abnormal itu memiliki dua kemungkinan, dibawah atau diatas standar umum. Dua-duanya abnormal juga. Jadi anda yang abnormal jangan gede rasa dulu, salah-salah anda bisa termasuk yang dibawah standar. Padahal kunci keberhasilan itu adalah ketika kita bisa melampaui batas standar itu tadi, semakin tinggi kita lampaui semakin sukses kita.

Di perusahaan dan dunia kerja ini mutlak. Orang-orang yang kerjanya standar-standar saja, tidak mendapatkan penghargaan. Ingat sebenarnya ketika sebuah perusahaan hendak merekrut pegawai sebenarnya mereka ingin mancari karyawan yang minimal ‘bagus’ (good), syukur-syukur dapat yang “excellent” atau “outstanding” yang mau dibayar “fair”. ‘Cukup’ (fair) saja tidak cukup. Artinya perusahaan mencari orang-orang yang diatas rata-rata, diatas normal alias abnormal.

Kalau anda sudah tiga tahun bekerja dan belum mendapat kenaikan gaji yang cukup berarti sementara pertumbuhan bisnisnya cukup berkembang, belum juga mendapat promosi, maka itu artinya anda hanya pekerja normal. Boss anda tidak akan mengucapkan ‘terimakasih’ kepada anda, karena memang untuk itu anda dibayar. Jika anda di depak dari jabatan anda karena target tidak achieved, atau anda di demosi karena anda kerjanya lelet, itu artinya anda abnormal tapi yang dibawah standar. Dari sisi perusahaan, keberadaan anda hanya menjadi beban. Dan hanya orang-orang abnormal (yang diatas rata-rata) yang layak mendapatkan penghargaan, kenaikan gaji atau promosi. Orang-orang ini, adalah orang-orang yang bisa melakukan turn-around, memutar balikkan keadaan dari rugi menjadi laba, dari inefisien menjadi efisien, dari uncontrol menjadi controllable, dari chaos menjadi konstruktif, Jadi apakah anda akan tetap keukeuh menjadi orang normal?

Saya jelas abnormal, kata Sariman. Saya tidak mau hidup saya standar-standar saja, lahir, tumbuh, sekolah, kerja, menikah, punya anak, tua dan mati. Itu bukan kehidupan yang saya impikan. Saya ingin menjadi teman sekerja Tuhan, saya ingin menjadi rahmat bagi seluruh alam, saya ingin mengubah dunia ini menjadi penuh warna dan penuh cinta kasih, hidup hanya sekali harus berarti. Dan saya sadar itu perlu pemikiran, tindakan, langkah-langkah, strategi yang berbeda dengan yang dilakukan orang normal pada umumnya.

Bagaimana dengan anda?

Minggu, Januari 13, 2008

Sir Edmund Hillary (?)

Mengenang Sir Edmund Hillary
(by Ray Asmoro)

Di Kompas hari ini, senin 14 januari 2008, saya baca sebuah berita tentang meninggalnya Sir Edmund Hillary. Bagi saya ini lebih menarik untuk diberikan "catatan" daripada "ikut-ikutan" mengkomentari keadaan kritis Pak Harto. Ya maaf-maaf saja, beliau itu mau anda hujat, mau anda maafkan, mau anda cacimaki, mau anda doa-doakan, sanjung-sanjung, puji-puji atau anda bela-bela, tetap saja akan mati. Tinggal tunggu waktu yang tepat saja kok. Sama seperti Sir Edmund Hillary yang meninggal jumat kemarin.

Sir Edmund, seperti yang kita tau, dialah orang pertama yang menakhlukkan puncak everest pada tanggal 29 Mei 1953. Prestasi 'kepetualangan'nya tidak hanya itu, masih banyak lagi. Dan karenanya lah dia di kenang.

Yang perlu di catat adalah, pertama, Sir Edmun dikenang karena meninggalkan prestasi (bahkan itu menjadi prestise). Prestasinya adalah melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain ketika itu. Jadi sederhananya, kalau kita mau berprestasi atau dikenang atau sukses, maka kita lakukan sesuatu yang orang belum bisa lakukan. kita ciptakan sesuatu yang orang belum ciptakan. kita rubah sesuatu yang orang lain belum kuasa merubahnya. kita sejahterakan rakyat yang pemimpin2 pendahulu kita belum bisa melakukannya dengan baik. dan seterusnya dalam artian yang positif.

Pak Harto menurut banyak pihak memiliki dua sisi yang pantas untuk dikenang baik dan wajib dimintai pertanggungjawaban publik didepan hukum. Maka Pak Harto ini sudah 'balance' antara kebaikan dan keburukannya. Karena memang pada era Pak Harto dulu, dalam APBN juga menggunakan neraca anggaran berimbang. Imbang antara aktiva dan pasiva, dosa dan pahala, hehehe... (siapa yang pilon?)

Kedua, Sir Edmund memang disebut2 sebagai orang pertama yang mampu menundukkan gunung everest yang setinggi 8.848 meter dari permukaan laut, tetapi ingat untuk bisa sukses ia dibantu oleh pemandu (sherpa). Mereka lah yang mengantarkan Edmun (gelar Sir, diberikan setelah berhasil menundukkan everest) sampai ke puncah everest.

Pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa ternyata kesuksesan itu butuh teman, butuh orang lain. tidak bisa diraih sendirian. Ini sebenarnya yang di sebut dengan istilah "leverage"; devide to multiply! Membagi beban untuk lompatan yang lebih jauh kedepan. Dengan catatan yang dibagi tidak merasa terbebani. jadi bukan memanfaatkan kekuatan orang lain dalam arti pemerasan / memperdayai tetapi dalam arti memberdayakan.

Ketiga, saya sebenarnya cukup sangsi atas prestasi Sir Edmund yang disebut2 sebagi orang pertama yang menginjakkan kaki dipuncak everest. Logikanya begini, dia mendaki gunung dengan pemandu (sherpa), nah dimana-mana yang namanya pemandu itu menunjukkan jalan. Saya curiga sebenarnya yang pertama menginjakkan kaki di everest itu justru pemandunya. Saya bayangkan, pemandunya ada di puncak duluan, lalu ia ulurkan tangan ke Edmund, kemudian menariknya ke atas.

Tapi kesangsian itu tidak penting, toh tidak pernah ada gugatan atas hal itu dari para sherpa. Namun dari situ justru kita belajar bahwa untuk sebuah tujuan yang agung kita harus menyadari posisi kita, tidak harus menjadi yang didepan. tetapi memberikan kontribusi bagi sebuah prestasi sukses. Jadi kemudian saya yakin. Dalam benak sherpa yang memandu Sir Edmund pasti ada semangat seperti ini : "saya ingin menjadi Sherpa pertama yang mampu mengantarkan orang sampai ke pucak everest". Saya rasa sherpa ini harus mendapat penghormatan yang setimpal.

Sayangnya semangat seperti itu jarang kita jumpai di sini (Indonesia). Disini semua orang maunya di depan, semua mau jadi pemimpin, mulailah bikin partai, yang sudah punya partai mulai menyusun trik dan strategi untuk menuju puncak kepemimpinan dan puncak prestasi kepemimpinan itu sayangnya tidak diukur dengan prestasi atas kemampuan mensejahterakan rakyat tapi diukur dengan sebatas memenangkan pemilu atau pilpres atau pilkada. Dasar Pilon!

Sepertinya hanya segelintir orang (karena saya yakin masih ada) yang sadar akan posisi dan potensinya serta mampu menjaga nafsu untuk berkuasa. Mereka-mereka ini seolah justru malah tidak di 'hargai'. mereka malah dicurigai. Pilon ngga sih? Padahal mereka sebenarnya memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan masyarakat. Ada yang bergerak di pemberdayaan ekonomi, ada yang aktif dalam pendidikan dan penyadaran politik, ada yang secara massive memberikan pencerahan spiritual, ada yang sangat konsisten dalam pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan sosial, dan sebagainya.

Sir Edmund Hillary telah wafat dalam usia 88 tahun, meninggalkan gema prestasi yang abdi dan akan dikenang orang sepanjang masa. Pak Harto (mungkin) maaf sebentar lagi menyusul apakah kita perlu mempertanyakan apa (dosa atau pahala, kebaikan atau keburukan) yang beliau tinggalkan? kalau perlu bagaimana kita mempertanyakannya? dengan kelembutan dan cinta atau dengan hujatan dan makian? atau dengan permaafan?

Terserah ente.

14 januari 2008
(kantor)



Jumat, Januari 11, 2008

PILONIAN 31 : Harga Sebuah "Maaf" (?)

PILONIAN 31 :

Harga Sebuah “Maaf” ?

(by Ray Asmoro)


Ada cerita tentang kawan saya, Si Anu. Kawan saya itu saat ini sedang di gugat cerai istrinya, setelah tujuh tahun mengarungi hidup bersama dan telah memiliki dua orang anak yang cantik dan ganteng, plus mereka sangat pintar dan lucu, membuat setiap orang gemes bahkan iri. Sungguh, mereka adalah karunia terindah dari Tuhan. Tetapi itu tak cukup kuat untuk menyurutkan kemauan Si Anu untuk menceraikan istrinya.


Sebenarnya persoalannya sepele. Suatu malam ketika Si Anu dan istrinya sedang ‘pemanasan’, tiba-tiba ada SMS masuk ke handphone Si Anu, tidak diketahui namanya, isinya bernada mesra. Seperti istri-istri pada umumnya, istri Si Anu langsung sewot, marah-marah. Bahkan ‘pemanasan’ malam itu langsung dihentikan. Si Anu (menurut pengakuannya) mencoba jujur bahwa itu SMS nyasar, ia tak kenal pengirimnya. “Berani sumpah pocong deh…” katanya.


Tapi istrinya tetap tidak percaya. Malam itu mereka tidur saling membelakangi. Esok pagi tiada tegur sapa. Si Anu mencoba menjelaskan sekali lagi. Tapi istrinya tidak menggubris, bahkan malah menjadi-jadi. Biasanya jadi orang rumahan, istrinya kini sering pergi sendirian ke mall atau ke disko sama teman-temannya tanpa permisi pada suami. Ketika Si Anu coba bertanya, kenapa jadi berubah seperti itu, malah dijawab “kamu yang memulainya, dan aku masih terhormat tidak melakukan perselingkuhan”. Begitulah awal mulanya.


Pernah mereka pergi ke psikiater untuk memperbaiki hubungan. “Apa? Saya harus minta maaf ke dia? Nggak sudi!” kata istrinya. “Minta maaf? Apa salah saya? Dialah yang salah, enak aja”, kata Si Anu.


“Saya bukan tidak mau memperbaiki hubungan ini, kalau dia tidak meminta maaf dulu dengan sungguh-sungguh, saya tidak akan pernah memaafkannya!” kata istrinya lagi. “Emang saya salah apa? Saya sudah menjelaskan yang sesungguhnya, dia tetap tidak percaya. Sekarang saya harus minta maaf? Atas sesuatu yang tidak saya perbuat? Sorry ye!” kata Si Anu.


Psikiater dan bahkan orang tua, saudara dan sahabat-sahabatnya semua menyayangkan keputusan mereka. “mbok ya salah satu mengalah, kasihan anak-anak, mereka ndak tau apa-apa malah jadi korban” kata mereka. Tapi Si Anu dan istrinya terlalu keras kepala untuk menerima nasehat ‘mengalah’ seperti itu. Ego sudah bersarang di kepala mereka dan tumbuh subur hingga sesak diseluruh rongga badannya.


Hanya karena ego, gengsi, mereka mau mengorbankan arti tujuh tahun kebersamaan mereka membangun rumah tangga, mengorbankan anak-anaknya, apa ndak pilon itu namanya?


Bukankah sebenarnya permasalahan itu dipicu oleh hal sepele dan bisa di selesaikan dengan cara yang paling sederhana? Hanya dengan mengucap “Maaf” maka selesai perkara.


Dulu ketika terjadi perang dingin antara AS dan Uni Soviet, keduanya terlibat dalam perseteruan yang hampir saja membuat malapetaka bagi seluruh penghuni dunia ini. Bahkan konon, AS sudah mengaktifkan 70.000 senjata berkepala nuklir yang diarahkan ke Uni Soviet. Tinggal tekan satu tombol maka populasi manusia di bumi diperkirakan hanya tinggal sepertiganya. Upaya penyelesaian perseteruan sudah sedemikian gencar tapi tak kunjung ada kata sepakat dan ternyata perseteruan itu selesai dengan sangat sederhana. Konon Ronald Reagen presiden AS saat itu bertemu dengan Mikhael Gorbachev dan Reagen menjabat tangan Chev seraya berkata “call me Ron”. Sesudahnya konflik itupun reda, perang dunia ketiga tidak terjadi. (Sebut saja itu permaafan tingkat tinggi, tidak ada kata ‘maaf’ tapi terbina keakraban dan saling memaafkan, tidak ada yang merasa direndahkan).


Ketika Si Anu tadi meminta pendapat Sariman tentang persoalan gugat cerai yang dihadapinya. Sariman seperti biasanya ia melakukan pendekatan yang agak berbeda. Ia mulai dengan pertanyaan “ente dulu kuliah jurusan apa?”.


Si Anu menjawab “akuntansi”.


“Terus, ente sekarang kerja di bagian apa?”


“Finance”


“Nah, yang saya tanyakan, kalau saja “maaf” itu harus dimasukkan ke dalam laporan keuangan, berapa nilainya” lanjut Sariman.


Ndak ada lah itu”


“Saya bilang, kalau. Dalam akuntansi semua harus ada nilainya kan?”


“Ya, kalau harus ada, berarti nilainya nol”


Hmmm… interesting, brilliant answer”


“Maksud loh?”


“Kamu sudah tahu jawabannya, pilon!”, kata Sariman sambil meneguk kopinya.


Jadi kalau “maaf” itu nilainya nol, kenapa kita pelit? Kalaupun kita berikan seribu atau bahkan sejuta maaf kepada orang apakah kita dirugikan? Toh seribu atau sejuta kalau dikalihan nilai ‘maaf’ yang hanya nol, maka jadinya nol juga. Jadi berapapun banyaknya ‘maaf’ tidak akan membuat kita rugi apalagi jatuh miskin.


Ego, gengsi, benci, iri-dengki, nilainya berapa dalam akuntansi? Nol juga kan? Jadi apa untungnya kita menumpuk ego, gengsi atau kebencian, toh nilainya cuma nol. Menumpuk ego sebanyak-banyaknya juga tidak membuat kita ‘jatuh kaya’ kan? Jangan suka belagak pilon deh…


Jadi kalau Pak Harto kita beri per-maaf-an (dalam konteks kemanusiaan) apakah kita rugi? Kalau kita membecinya apakah lantas kita untung? Tidak juga kan? Kita tidak ada masalah dengan manusianya kan? Yang kita permasalahkan kan soal penegakan hukum. Itu dua hal yang berbeda karenanya perlu perlakuan atau pendekatan yang berbeda pula. Tentu anda boleh setuju atau menolak. Hanya saja apakah dengan membenci atau menghujatnya lantas kekayaannya berpindah ke rekening anda? Hmmm… saya rasa mustahil, kata Sariman. Kalau kita memaafkannya, manakala hukum harus ditegakkan, itu semata-mata demi hukum dan keadilan, bukan karena kebencian, gitu lhoh…


Kembali soal “maaf” tadi, hebatnya, walaupun ‘maaf’ itu nilainya nol tapi impact-nya luar biasa. Ingat perseteruan AS dan Soviet tadi, dan banyak contoh-contoh lainnya. Pelajaran ‘maaf’ lainnya adalah agar kita bisa menjadi orang yang pemurah. Tuhan saja maha pemurah, masa kita pelit sih? Dzalim itu namanya, kata Sariman. Kalau kita menjadi pemurah maka balasannya juga akan setimpal. Ingat teori “give and rechieve”, hukum sebab akibat, atau hukum tabur-tuai.


Nah sekarang kita punya pilihan, apakah kita memilih menjadi orang pilon dengan menumbuhsuburkan ego, gensi atau kebencian yang sebanyak apapun anda tumpuk nilainya juga nol dan tidak membuat anda kaya raya dan bahagia, malah mengurangi kadar kemurnian kemanusiaan anda. Atau, menjadi pemurah dengan ‘permaafan’ yang walaupun nilainya nol tapi ‘daya ledak’nya sangat dahsyat dan luar biasa, dan anda tidak akan dirugikan satu sen pun, biarpun anda memberikannya kepada seribu, sejuta atau kepada seluruh umat manusia dimuka bumi ini sekalipun.


It’s your choice!


-------------------

Gate 6, Bandara Juanda Surabaya,

5 Januari 2008; 17:15wib

PILONIAN 22 : Let It Flow...!!!

PILONIAN 22 :

Let It Flow…!!!

(by Ray Asmoro)


Hidup ini seperti air mengalir, begitu kata para pujangga dan orang-orang bijak. Bagi Sariman ungkapan bijak itu masih harus diperdebatkan secara serius karena menurutnya mengandung dua persepsi yang berseberangan dan bisa membawa kita kedalam keterjebakan paradigma yang tak selazimnya, alias pilon.


Pertama, bahwa benar kehidupan ini seperti air mengalir dari hulu ke muara. Untuk sampai ke muara dalam pengertian ini berarti harus melalui jalan yang berkelok-kelok, proses yang berliku-liku, gesekan daan benturan-benturan, panjang atau pendeknya sebuah proses hanya masalah waktu. Namun dalam pengertian ini paling tidak setiap pelaku proses (manusia) mengerti atau sadar betul bahwa ia sedang berproses untuk upaya mempersempit jarak menuju muara kehidupan masing-masing (yang setiap orang bisa jadi tidak sama muaranya).


Kedua, persepsi yang sangat sempit, yang mengartikan bahwa tanpa harus tahu kemana muaranya yang penting mengalir, toh nanti akhirnya sampai juga (tidak ada jaminan). Menurut Sariman istilah “let it flow” lebih condong kepada persepsi yang kedua ini.


Perbedaan antara persepsi pertama dan kedua sebenarnya hanya terletak pada “muara”, tujuan, visi atau goal. Pada persepsi pertama jelas proses tersebut didasari oleh kesadaran visi atau tujuan yang jelas. Hanya saja jika dalam perjalanan mewujudkan visi atau mencapai tujuannya harus melewati proses yang berliku-liku atau mengalir seperti air, itu hanya sebuah pilihan serta konsekwensi yang mengiringinya.


Suatu ketika Saridin, kawan Sariman, pernah melewati sepenggal cerita kehidupan yang kurang beruntung dari sisi prosesnya. Misalnya ia dalam prosesnya harus ‘terdampar’ di Jakarta yang sesak itu tanpa sanak famili, tanpa jaminan pekerjaan. Namun demikian ia ikuti saja iramanya, mengalir saja, dengan keyakinan bahwa suatu ketika ia akan mampu ‘menundukkan’ kepongahan Jakarta.


Tahun pertama dan kedua kehidupannya tidak menentu. Namun dalam kesadarannya yang paling dalam (yang hanya ia sendiri yang menyadari) ia memiliki tujuan pasti, ia tahu dermaga mana tempatnya berlabuh. Dan ia sadar betul, walaupun ia tahu pasti arah tujuannya tetapi karena beberapa ‘keterbatasan’ yang dimilikinya, ia tidak bisa langsung menuju sasaran. Ia harus ikut arus dulu, kadang jalannya memutar dan panjang bahkan secara logika seolah justru menjauh dari sasaran. Tapi kadang begitulah sebuah proses berlangsung. Dan benar setelah lima tahun mengikuti arus kehidupan Jakarta yang sesak itu, akhirnya ia sampai (atau paling tidak mendekati) pada titik yang ia tuju ; saat ini ia memiliki kehidupan yang lebih mapan, mempunyai kejelasan status, dan bahkan prestise yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.


Tentu cerita Saridin, berbeda dengan Marwan, sahabat Sariman yang lainnya. Sama-sama ‘tersesat’ di Jakarta, malah si Marwan sedikit lebih beruntung karena ada satu-dua sanak famili yang bisa di tumpangi, sekedar numpang makan dan tidur. Prinsipnya ya itu tadi “let it flow”. Biarkan kehidupan ini mengalir. Maka ia ia pun mengalir seperti air sungai. Yang terjadi kemudian, ia mengalami benturan-benturan, gesekan-gesekan, jatuh-bangun, timbul-tenggelam, megap-megap, beberapa saat kadang ia merasa layak berharap, tapi sesaat kemudian ia jatuh-bangun lagi, megap-megap lagi. Singkat cerita ia akhirnya ‘menyerah’ dan pulang ke kampungnya menjadi pengangguran juga. Pilon!


Jadi, kata Sariman, istilah “let it flow” itu bisa menyesatkan. Walaupun sah-sah saja dilakukan. Toh sebenarnya tanpa goal atau tujuan pun orang bisa bekerja atau melakukan aktifitas, bisa jalan-jalan ke mall, bisa melakukan ini-itu. Tetapi dengan memiliki visi atau goal yang jelas maka setiap aktifitas adalah upaya untuk bisa lebih dekat kearah tujuan. Contoh konkretnya adalah Bram dan Bimo, keduanya kawan Sariman yang bekerja disebuah perusahaan jasa yang cukup bonafid.


Sebagai staf, Bram setiap hari bekerja. Berangkat dari rumah jam enam pagi, sampai kantor jam delapan. Jam lima sore ia pulang kantor dan sampai rumah jam tujuh malam. Sudah lima tahun Bram bekerja di perusahaan itu dan tetap menjadi staf biasa. Tidak ada tawaran promosi, tidak ada kenaikan gaji yang berarti. Ia jalani saja kenyataan itu. Let it flow!


Bimo dulu juga staf biasa di perusahaan itu, ia diterima sebagai staf tiga bulan setelah Bram bekerja. Tetapi saat ini (setelah lima tahun bekerja di perusahaan itu) Bimo sudah memiliki usaha jasa sendiri yang cukup pesat perkembangannya dan saat mempekerjakan lima puluh orang karyawan dan tentu saja penghasilannya puluhan kali lipat dari penghasilan Bram.


Usut punya usut yang membedakan keduanya adalah (lagi-lagi) tentang visi atau goal. Bram tidak memiliki visi. Menjadi apa ia lima tahun kedepan tidak pernah terpikirkan. Berapa penghasilannya lima tahun kedepan sama sekali tidak ada target untuk itu. Dasar pilon!


Sedangkan Bimo, dari awal ia punya visi yang jelas. Lima tahun yang akan datang ia harus memiliki usaha sendiri. Maka ketika ia bekerja di perusahaan tadi, ia gali pengetahuan bisnis sebanyak-banyaknya, ia pelajari bagaima cara menjual jasa yang efektif, ia amati bagaimana sebaiknya pola pengembangan sumberdaya manusia, ia ikuti beberapa pelatihan bisnis walaupun harus dengan biaya sendiri, hitung-hitung investasi pengetahuan, ketika staf yang lain berencana kumpul-kumpul dan senang-senang, Bram malah sibuk mematangkan visinya dan seterusnya. Bekerja sambil belajar atau belajar tapi di bayar, itu prinsipnya.


Sariman mengingatkan, hati-hati dengan prinsip “let it flow”. Alih-alih ingin bertindak arif dan bijak, malah tersesat dalam ketidakpastian. Kemudian Sariman memaparkan sebuah cerita fiktif tapi terasa kental sekali pilon-nya, tentang seseorang yang tidak memiliki tujuan jelas.


Kisahnya begini. Ada seseorang melakukan perjalanan, ia mengendarai sepeda motor. Sudah cukup lama dan jauh ia berkendara di jalan yang lurus, hingga kemudian ia sampai pada sebuah persimpangan jalan. Ia berhenti karena di depannya ada dua jalan, satu ke kiri, satunya ke kanan. Ia bingung, mau ambil kiri atau kanan. Lalu ia putuskan untuk bertanya kepada penjual minuman di pinggir jalan itu.


“Maaf Pak, saya harus ambil jalan yang ke kiri atau ke kanan?”


“Maaf, tujuan anda kemana, Bung?”


“Wah ndak tahu Pak, saya sih let it flow saja pak”


“Ya kalau anda tidak punya tujuan jelas mau kemana, ndak penting anda mau ambil jalan ke kiri atau ke kanan, sama saja Bung!”


Pilon nggak sih?



Jakarta, 10 januari 2008

1 Muharram 1429H

It’s time to Change!

Ayumi (cerpen)

A Y U M I

Cerpen Ray Asmoro

LIBRA ; Pada minggu ini akan ada sebuah pertemuan yang tidak disangka-sangka bakal terjadi sebelumnya. Berikan kesan terbaik. Ingat, kesan pertama menentukan langkah berikutnya. Pembawaan anda yang tenang dan arif membuat lawan jenis merasa aman bila didekat anda. Jangan tergoda oleh bentuk luarnya. Jangan biarkan mata jelalatan. KEUANGAN ; Banyak pengeluaran tak terduga minggu ini. ASMARA ; Ini saatnya bunga-bunga bermekaran. HARI BAIK ; Senin dan Kamis. ANGKA KEBERUNTUNGAN ; 1 dan 8.

* * *

Orang macam mana yang bisa begitu saja percaya sepenuhnya dengan ramalan-ramalan zodiak seperti itu. Walaupun aku tidak percaya, ramalan itu kadang sangat menghibur disaat iseng. Apalagi kalau dibaca beramai-ramai sambil saling memberi komentar. Bisa jadi seru dan lucu. Aku sebenarnya percaya dengan isyarat alam dan astrologi, tapi aku tidak percaya pada ramalan zodiak seperti yang sering dimuat di media masa, walaupun katanya, itu juga didasarkan pada ilmu perbintangan.

Ramalan yang didasarkan pada ilmu perbintangan atau astrologi itu, katanya sudah ada sejak jaman Yunani kuno dulu, jauh sebelum kakek moyangku lahir. Bintang sebagai salah satu fenomena dalam kosmologi semesta alam, memang dipercaya memiliki makna atau isyarat yang dapat dipakai sebagai referensi dalam bertindak dan mengambil keputusan. Itu bagi yang percaya, seperti nelayan yang lebih percaya pada bintang dalam menentukan arah mata angin, karena mereka tidak mengenal kompas. Atau para petani yang percaya dengan kemunculan beberapa rasi bintang sebagai penanda musim, sehingga mereka tahu kapan saat menebar benih, kapan saat menanam, apa yang cocok ditanam, padi atau palawija, dan sebagainya. Bahkan di kampungku, kalau ada pemilihan kepala desa, pada malam menjelang pemilihan, beberapa orang termasuk yang pasang taruhan, sengaja melek, menunggu isyarat bintang. Dan percaya atau tidak, diantara mereka ada yang melihat bintang jatuh. Seperti bola api yang melesat secepat kilat. Pada arah dimana bintang itu jatuh, dipercaya sebagai isyarat bahwa orang itu akan jadi kepala desa.

Karenanya tidak mengherankan juga kalau ada yang percaya dengan ramalan-ramalan zodiak seperti itu. Mungkin karena mereka butuh semacam ‘the second opinion’. Itulah kenapa peran paranormal atau dukun masih diperlukan di jaman kosmopolitan seperti sekarang. Dan Morgan, termasuk salah seorang yang percaya. Meskipun tidak sepenuhnya percaya, namun ada satu atau beberapa yang dirasakannya sebagai sebuah kebenaran. Aku sendiri menganggapnya sebagai suatu kebetulan, jika memang benar terjadi. Tapi bagi Morgan, itu punya pengaruh besar dalam menghadirkan sugesti dan harapan-harapan dalam dirinya.

Ketika Morgan membaca ramalan zodiak minggu ini yang dimuat pada sebuah tabloid. Ada beberapa kalimat yang menjadikannya berharap banyak hal itu bakal benar-benar terjadi. Sebuah pertemuan yang tak disangka-sangka, akan banyak pengeluaran tak terduga dan saatnya bunga-bunga bermekaran, adalah beberapa kalimat dari ramalan zodiaknya minggu ini yang melekat dalam kesadarannya dan menjadi sebuah pengharapan. Mulanya ia menandai kalimat itu dalam pikirannya, lalu ia pakai ilmu otak-atik-gathuk, begitu istilah orang jawa. Itu adalah jurus menghubung-hubungkan satu hal dengan hal lainnya. Yang mulanya tidak berhubungan, dicari alasan dan pembenaran-pembenaran atau dibuat benang merahnya sehingga berbagai hal yang tadinya tidak berhubungan bisa menjadi sebuah hipotesa sebab akibat yang diklaim sebagai kebenaran.

Begitu juga dengan Morgan ketika usai membaca ramalan zodiaknya. Pertemuan yang tak disangka-sangka. Ya. Itu sekalimat yang sangat sensasional menurutnya. Apalagi yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya adalah Ayumi. Angan-angannya melambung. Membayangkan sebuah pertemuan dengan Ayumi secara tak sengaja di plasa atau supermarket, di dalam gedung bioskop, di halte bus, di kafé, di jalanan saat macet, di tengah aksi demonstrasi, atau di rumah sakit ketika bezoek temannya. Tanpa disadari, Morgan sudah membuat sangkaan pertemuan dengan Ayumi. Namun ia tidak bisa menyangka dimana, bagaimana dan kapan pertemuan itu akan terjadi.

“Itu karena kamu memang ingin bertemu dengan Ayumi.” kataku.

“Ya. Dan menurut ramalan ini, pertemuan itu akan datang dengan tak disangka-sangka.” dalihnya.

Kemudian ia menurunkan sebuah hipotesa dengan jurus otak-atik-gathuk-nya yang maut itu.

“Begini. Dalam minggu ini, aku akan bertemu dengan Ayumi dengan tak disangka-sangka. Misalnya, ketika aku sedang nonton konser musik, saat berjingkrak-jingkrak, secara tidak sengaja aku menyenggol seorang perempuan dan perempuan itu ternyata Ayumi, lalu kami bertegur sapa dan berjingkra-jingkrak bersama. Selanjutnya menurut ramalan ini, akan banyak pengeluaran tak terduga. Nah, setelah pertemuan yang tak disangka-sangka tadi itu, membawa kami ke peretemuan-pertemuan berikutnya. Misalnya, setelah nonton konser musik, kami berjanji untuk ketemu lagi esoknya. Lalu kami jalan-jalan ke mal, nonton film, ke kebun binatang atau ke dunia fantasi. Itu banyak ongkosnya kan? Nah, pertemuan-pertemuan itu memberi kesan dalam diri kami masing-masing. Kemudian menurut ramalan, ini saatnya bunga-bunga bermekaran, Bung! Ah, kamu pasti selalu paham soal ini.” katanya

“Tapi bagaimana kamu bisa pastikan bahwa pertemuan tak disangka-sangka itu pertemuanmu dengan Ayumi? Dan bagaimana kamu bisa membuat praduga-praduga atas pengeluaran yang tak terduga itu?”

* * *

Tubuh setinggi seratus enam puluh lima sentimeter dengan berat badan seimbang itu terbungkus gaun hitam. Rambut hitam sebahu, terurai dan tampak sehat terawat. Wajahnya berseri. Matanya bersinar, menyala seperti lampu pijar seribu watt. Kulitnya bersih. Gayanya sederhana namun terlihat anggun dan bersahaja. Senyumnya renyah seperti kerupuk udang yang gurih. Sungguh, sebuah gambaran ideal perempuan ras Asia. Begitulah yang digambarkan Morgan padaku tentang Ayumi.

“Morgan, bagaimana?” aku bertanya.

“Bagaimana apanya?” sahut Morgan.

“Ini kan hari Sabtu, sudah bertemu Ayumi, belum?”

Tidak ada sepatah katapun jawaban atas pertanyaanku. Morgan hanya menggeleng. Mungkin ia merasa dibohongi. Tapi apa salahnya sebuah ramalan jika tidak menjadi kenyataan? Namanya juga ramalan. Dan aku yakin yang membuatnyapun tidak ada maksud membohongi calon pembacanya, toh itu juga didasarkan pada astrologi yang dipercayanya. Ramalan itu memang mengandung prinsip relativitas. Tidak semua tanda atau isyarat mampu diuraikan secara benar. Manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam memberi makna pada fenomena alam. Bagaimanapun, Morgan tidak bisa menuntut pembuat ramalan itu secara pidana, apalagi perdata. Tidak mungkin. Dan Ayumi? Paling tidak ia pernah menjadi sebuah harapan bagi Morgan. Harapan-harapan macam itulah yang membuat orang jadi lebih kuat, punya optimisme untuk tetap survive. Negeri yang sudah carut-marut inipun tidak dikatakan bangkrut karena disetiap diri kita masih memiliki pengharapan untuk menjadi lebih baik. Sekecil apapun itu.

“Atau mungkin pertemuan yang tak disangka-sangka lainnya tapi bukan dengan Ayumi?” tanyaku kemudian.

“Tidak juga” jawabnya pelan. “Satu-satunya yang benar, yang dikatakan ramalan itu adalah ini saatnya bunga-bunga bermekaran” imbuhnya.

“Maksudmu, kamu menemukan sekuntum bunga? Kamu sedang jatuh cinta?”

“Tidak juga. Tapi bunga-bunga yang kutanam di pot, di teras rumahku, pada bermekaran.” katanya.

Itulah relatifitas kebenaran sebuah ramalan. Tidak ada seorangpun yang mampu menguraikan sebuah isyarat dengan tepat kecuali nabi Yusuf ketika membaca arti mimpi Sang Raja yang memenjarakannya kala itu.

Pagi-pagi esoknya, aku sempatkan ke kios koran dan majalah yang ada di pinggir-pinggir jalan. Tidak seperti biasa, aku membeli sebuah tabloid seperti milik Morgan minggu lalu. Biasanya aku membeli koran harian. Aku tidak pernah membaca tabloid itu sebelumnya. Tapi sekarang ada keinginan kuat untuk membelinya.

Di rumah, aku mulai membuka-buka tabloid. Dari halaman pertama aku hanya menemukan berita-berita gosip tentang kehidupan dan gaya hidup artis dan selebritis. Itulah hebatnya para artis dan selebritis, ulasan tentang kehidupan dan gaya hidupnya bisa dijual, dan laris seperti kacang goreng. Nah, baru pada halaman belakang, dua halaman sebelum halaman belakang, aku menemukan sebuah rubrik “Zodiak Anda”.

Aku tidak tertarik untuk tahu bagaimana isi ramalan zodiakku. Aku lebih tertarik membaca zodiak Morgan, Libra. Minggu ini zodiaknya berbunyi :

Libra ; Tidak perlu berputus asa. Kesempatan itu masih ada. Teman dekat anda mungkin bisa membantu menyelesaikan persoalan yang tengah anda alami. Cobalah membuka diri. Sikap anda yang percaya diri itu baik, tapi harus tetap di kontrol. Kalau romantisme itu hanya sebuah mimpi mengapa tidak segera bangun dari tidur? Keuangan ; Akan ada pemasukan yang tak terduga. Asmara ; Teman dekat anda bisa menjadi musuh dalam selimut. Hari Baik ; Rabu dan Jumat. Angka Keberuntungan ; 5 dan 2.

Selalu ada harapan, kawan.

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters