Please, add your self in my guestbook...

Jumat, Januari 11, 2008

PILONIAN 31 : Harga Sebuah "Maaf" (?)

PILONIAN 31 :

Harga Sebuah “Maaf” ?

(by Ray Asmoro)


Ada cerita tentang kawan saya, Si Anu. Kawan saya itu saat ini sedang di gugat cerai istrinya, setelah tujuh tahun mengarungi hidup bersama dan telah memiliki dua orang anak yang cantik dan ganteng, plus mereka sangat pintar dan lucu, membuat setiap orang gemes bahkan iri. Sungguh, mereka adalah karunia terindah dari Tuhan. Tetapi itu tak cukup kuat untuk menyurutkan kemauan Si Anu untuk menceraikan istrinya.


Sebenarnya persoalannya sepele. Suatu malam ketika Si Anu dan istrinya sedang ‘pemanasan’, tiba-tiba ada SMS masuk ke handphone Si Anu, tidak diketahui namanya, isinya bernada mesra. Seperti istri-istri pada umumnya, istri Si Anu langsung sewot, marah-marah. Bahkan ‘pemanasan’ malam itu langsung dihentikan. Si Anu (menurut pengakuannya) mencoba jujur bahwa itu SMS nyasar, ia tak kenal pengirimnya. “Berani sumpah pocong deh…” katanya.


Tapi istrinya tetap tidak percaya. Malam itu mereka tidur saling membelakangi. Esok pagi tiada tegur sapa. Si Anu mencoba menjelaskan sekali lagi. Tapi istrinya tidak menggubris, bahkan malah menjadi-jadi. Biasanya jadi orang rumahan, istrinya kini sering pergi sendirian ke mall atau ke disko sama teman-temannya tanpa permisi pada suami. Ketika Si Anu coba bertanya, kenapa jadi berubah seperti itu, malah dijawab “kamu yang memulainya, dan aku masih terhormat tidak melakukan perselingkuhan”. Begitulah awal mulanya.


Pernah mereka pergi ke psikiater untuk memperbaiki hubungan. “Apa? Saya harus minta maaf ke dia? Nggak sudi!” kata istrinya. “Minta maaf? Apa salah saya? Dialah yang salah, enak aja”, kata Si Anu.


“Saya bukan tidak mau memperbaiki hubungan ini, kalau dia tidak meminta maaf dulu dengan sungguh-sungguh, saya tidak akan pernah memaafkannya!” kata istrinya lagi. “Emang saya salah apa? Saya sudah menjelaskan yang sesungguhnya, dia tetap tidak percaya. Sekarang saya harus minta maaf? Atas sesuatu yang tidak saya perbuat? Sorry ye!” kata Si Anu.


Psikiater dan bahkan orang tua, saudara dan sahabat-sahabatnya semua menyayangkan keputusan mereka. “mbok ya salah satu mengalah, kasihan anak-anak, mereka ndak tau apa-apa malah jadi korban” kata mereka. Tapi Si Anu dan istrinya terlalu keras kepala untuk menerima nasehat ‘mengalah’ seperti itu. Ego sudah bersarang di kepala mereka dan tumbuh subur hingga sesak diseluruh rongga badannya.


Hanya karena ego, gengsi, mereka mau mengorbankan arti tujuh tahun kebersamaan mereka membangun rumah tangga, mengorbankan anak-anaknya, apa ndak pilon itu namanya?


Bukankah sebenarnya permasalahan itu dipicu oleh hal sepele dan bisa di selesaikan dengan cara yang paling sederhana? Hanya dengan mengucap “Maaf” maka selesai perkara.


Dulu ketika terjadi perang dingin antara AS dan Uni Soviet, keduanya terlibat dalam perseteruan yang hampir saja membuat malapetaka bagi seluruh penghuni dunia ini. Bahkan konon, AS sudah mengaktifkan 70.000 senjata berkepala nuklir yang diarahkan ke Uni Soviet. Tinggal tekan satu tombol maka populasi manusia di bumi diperkirakan hanya tinggal sepertiganya. Upaya penyelesaian perseteruan sudah sedemikian gencar tapi tak kunjung ada kata sepakat dan ternyata perseteruan itu selesai dengan sangat sederhana. Konon Ronald Reagen presiden AS saat itu bertemu dengan Mikhael Gorbachev dan Reagen menjabat tangan Chev seraya berkata “call me Ron”. Sesudahnya konflik itupun reda, perang dunia ketiga tidak terjadi. (Sebut saja itu permaafan tingkat tinggi, tidak ada kata ‘maaf’ tapi terbina keakraban dan saling memaafkan, tidak ada yang merasa direndahkan).


Ketika Si Anu tadi meminta pendapat Sariman tentang persoalan gugat cerai yang dihadapinya. Sariman seperti biasanya ia melakukan pendekatan yang agak berbeda. Ia mulai dengan pertanyaan “ente dulu kuliah jurusan apa?”.


Si Anu menjawab “akuntansi”.


“Terus, ente sekarang kerja di bagian apa?”


“Finance”


“Nah, yang saya tanyakan, kalau saja “maaf” itu harus dimasukkan ke dalam laporan keuangan, berapa nilainya” lanjut Sariman.


Ndak ada lah itu”


“Saya bilang, kalau. Dalam akuntansi semua harus ada nilainya kan?”


“Ya, kalau harus ada, berarti nilainya nol”


Hmmm… interesting, brilliant answer”


“Maksud loh?”


“Kamu sudah tahu jawabannya, pilon!”, kata Sariman sambil meneguk kopinya.


Jadi kalau “maaf” itu nilainya nol, kenapa kita pelit? Kalaupun kita berikan seribu atau bahkan sejuta maaf kepada orang apakah kita dirugikan? Toh seribu atau sejuta kalau dikalihan nilai ‘maaf’ yang hanya nol, maka jadinya nol juga. Jadi berapapun banyaknya ‘maaf’ tidak akan membuat kita rugi apalagi jatuh miskin.


Ego, gengsi, benci, iri-dengki, nilainya berapa dalam akuntansi? Nol juga kan? Jadi apa untungnya kita menumpuk ego, gengsi atau kebencian, toh nilainya cuma nol. Menumpuk ego sebanyak-banyaknya juga tidak membuat kita ‘jatuh kaya’ kan? Jangan suka belagak pilon deh…


Jadi kalau Pak Harto kita beri per-maaf-an (dalam konteks kemanusiaan) apakah kita rugi? Kalau kita membecinya apakah lantas kita untung? Tidak juga kan? Kita tidak ada masalah dengan manusianya kan? Yang kita permasalahkan kan soal penegakan hukum. Itu dua hal yang berbeda karenanya perlu perlakuan atau pendekatan yang berbeda pula. Tentu anda boleh setuju atau menolak. Hanya saja apakah dengan membenci atau menghujatnya lantas kekayaannya berpindah ke rekening anda? Hmmm… saya rasa mustahil, kata Sariman. Kalau kita memaafkannya, manakala hukum harus ditegakkan, itu semata-mata demi hukum dan keadilan, bukan karena kebencian, gitu lhoh…


Kembali soal “maaf” tadi, hebatnya, walaupun ‘maaf’ itu nilainya nol tapi impact-nya luar biasa. Ingat perseteruan AS dan Soviet tadi, dan banyak contoh-contoh lainnya. Pelajaran ‘maaf’ lainnya adalah agar kita bisa menjadi orang yang pemurah. Tuhan saja maha pemurah, masa kita pelit sih? Dzalim itu namanya, kata Sariman. Kalau kita menjadi pemurah maka balasannya juga akan setimpal. Ingat teori “give and rechieve”, hukum sebab akibat, atau hukum tabur-tuai.


Nah sekarang kita punya pilihan, apakah kita memilih menjadi orang pilon dengan menumbuhsuburkan ego, gensi atau kebencian yang sebanyak apapun anda tumpuk nilainya juga nol dan tidak membuat anda kaya raya dan bahagia, malah mengurangi kadar kemurnian kemanusiaan anda. Atau, menjadi pemurah dengan ‘permaafan’ yang walaupun nilainya nol tapi ‘daya ledak’nya sangat dahsyat dan luar biasa, dan anda tidak akan dirugikan satu sen pun, biarpun anda memberikannya kepada seribu, sejuta atau kepada seluruh umat manusia dimuka bumi ini sekalipun.


It’s your choice!


-------------------

Gate 6, Bandara Juanda Surabaya,

5 Januari 2008; 17:15wib

3 komentar:

Anonim mengatakan...

cerita yang.. umm.. hwee... gitu deh.. jadi bercermin pada diri sendiri.. ^^

Ray Asmoro mengatakan...

wah.. saya minta maaf.. bukan maksud saya untuk menyindir lhoh...

Anonim mengatakan...

maaf...
memang susah minta maaf...
apalagi orang gengsian...
tapi yang jelas,,,
kalo salah yah,,,
minta maaf...
hehehe
tapi masalahnya,,,
gmn kalo gak nyadar salah ya???

hm,,,

kalo itu mungkin agak susah ya...
tapi menurut Ola...
dalam cerita ini,,,
harusnya si Anu n istrinya,,,
harus ngalah...
kalo bisa ke2nya...
hahaha

kan kasian anak2nya...
masak dah 7 taon nikah tetep gak ada rasa saling percaya...

aduh
aduh

nasihat Ola ni,,,
buat Anu nistrinya...
baikan deh...
kalo gak coba aja telpon k no yg sms tu,,,
sapa tw bisa dpt kejelasan lbh,,,
^^

Rujuk ya,,,
^^

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters