Please, add your self in my guestbook...

Minggu, Januari 13, 2008

Sir Edmund Hillary (?)

Mengenang Sir Edmund Hillary
(by Ray Asmoro)

Di Kompas hari ini, senin 14 januari 2008, saya baca sebuah berita tentang meninggalnya Sir Edmund Hillary. Bagi saya ini lebih menarik untuk diberikan "catatan" daripada "ikut-ikutan" mengkomentari keadaan kritis Pak Harto. Ya maaf-maaf saja, beliau itu mau anda hujat, mau anda maafkan, mau anda cacimaki, mau anda doa-doakan, sanjung-sanjung, puji-puji atau anda bela-bela, tetap saja akan mati. Tinggal tunggu waktu yang tepat saja kok. Sama seperti Sir Edmund Hillary yang meninggal jumat kemarin.

Sir Edmund, seperti yang kita tau, dialah orang pertama yang menakhlukkan puncak everest pada tanggal 29 Mei 1953. Prestasi 'kepetualangan'nya tidak hanya itu, masih banyak lagi. Dan karenanya lah dia di kenang.

Yang perlu di catat adalah, pertama, Sir Edmun dikenang karena meninggalkan prestasi (bahkan itu menjadi prestise). Prestasinya adalah melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain ketika itu. Jadi sederhananya, kalau kita mau berprestasi atau dikenang atau sukses, maka kita lakukan sesuatu yang orang belum bisa lakukan. kita ciptakan sesuatu yang orang belum ciptakan. kita rubah sesuatu yang orang lain belum kuasa merubahnya. kita sejahterakan rakyat yang pemimpin2 pendahulu kita belum bisa melakukannya dengan baik. dan seterusnya dalam artian yang positif.

Pak Harto menurut banyak pihak memiliki dua sisi yang pantas untuk dikenang baik dan wajib dimintai pertanggungjawaban publik didepan hukum. Maka Pak Harto ini sudah 'balance' antara kebaikan dan keburukannya. Karena memang pada era Pak Harto dulu, dalam APBN juga menggunakan neraca anggaran berimbang. Imbang antara aktiva dan pasiva, dosa dan pahala, hehehe... (siapa yang pilon?)

Kedua, Sir Edmund memang disebut2 sebagai orang pertama yang mampu menundukkan gunung everest yang setinggi 8.848 meter dari permukaan laut, tetapi ingat untuk bisa sukses ia dibantu oleh pemandu (sherpa). Mereka lah yang mengantarkan Edmun (gelar Sir, diberikan setelah berhasil menundukkan everest) sampai ke puncah everest.

Pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa ternyata kesuksesan itu butuh teman, butuh orang lain. tidak bisa diraih sendirian. Ini sebenarnya yang di sebut dengan istilah "leverage"; devide to multiply! Membagi beban untuk lompatan yang lebih jauh kedepan. Dengan catatan yang dibagi tidak merasa terbebani. jadi bukan memanfaatkan kekuatan orang lain dalam arti pemerasan / memperdayai tetapi dalam arti memberdayakan.

Ketiga, saya sebenarnya cukup sangsi atas prestasi Sir Edmund yang disebut2 sebagi orang pertama yang menginjakkan kaki dipuncak everest. Logikanya begini, dia mendaki gunung dengan pemandu (sherpa), nah dimana-mana yang namanya pemandu itu menunjukkan jalan. Saya curiga sebenarnya yang pertama menginjakkan kaki di everest itu justru pemandunya. Saya bayangkan, pemandunya ada di puncak duluan, lalu ia ulurkan tangan ke Edmund, kemudian menariknya ke atas.

Tapi kesangsian itu tidak penting, toh tidak pernah ada gugatan atas hal itu dari para sherpa. Namun dari situ justru kita belajar bahwa untuk sebuah tujuan yang agung kita harus menyadari posisi kita, tidak harus menjadi yang didepan. tetapi memberikan kontribusi bagi sebuah prestasi sukses. Jadi kemudian saya yakin. Dalam benak sherpa yang memandu Sir Edmund pasti ada semangat seperti ini : "saya ingin menjadi Sherpa pertama yang mampu mengantarkan orang sampai ke pucak everest". Saya rasa sherpa ini harus mendapat penghormatan yang setimpal.

Sayangnya semangat seperti itu jarang kita jumpai di sini (Indonesia). Disini semua orang maunya di depan, semua mau jadi pemimpin, mulailah bikin partai, yang sudah punya partai mulai menyusun trik dan strategi untuk menuju puncak kepemimpinan dan puncak prestasi kepemimpinan itu sayangnya tidak diukur dengan prestasi atas kemampuan mensejahterakan rakyat tapi diukur dengan sebatas memenangkan pemilu atau pilpres atau pilkada. Dasar Pilon!

Sepertinya hanya segelintir orang (karena saya yakin masih ada) yang sadar akan posisi dan potensinya serta mampu menjaga nafsu untuk berkuasa. Mereka-mereka ini seolah justru malah tidak di 'hargai'. mereka malah dicurigai. Pilon ngga sih? Padahal mereka sebenarnya memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan masyarakat. Ada yang bergerak di pemberdayaan ekonomi, ada yang aktif dalam pendidikan dan penyadaran politik, ada yang secara massive memberikan pencerahan spiritual, ada yang sangat konsisten dalam pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan sosial, dan sebagainya.

Sir Edmund Hillary telah wafat dalam usia 88 tahun, meninggalkan gema prestasi yang abdi dan akan dikenang orang sepanjang masa. Pak Harto (mungkin) maaf sebentar lagi menyusul apakah kita perlu mempertanyakan apa (dosa atau pahala, kebaikan atau keburukan) yang beliau tinggalkan? kalau perlu bagaimana kita mempertanyakannya? dengan kelembutan dan cinta atau dengan hujatan dan makian? atau dengan permaafan?

Terserah ente.

14 januari 2008
(kantor)



1 komentar:

astrid savitri mengatakan...

sir Edmund Hillary vs Pak Harto? Hmm..penyejajaran yg lumayan eksentrik! Tp feminis spt saya (ckckck) masih lebih suka pak Harto setidaknya dia monogamis. Sir Edmund Hillary..hmm, rumornya dia doyan daun muda..tapi, setiap org punya sisi gelap, bukan? (hehe..jd ingat Darth Vader)

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters