PILONIAN 22 :
Let It Flow…!!!
(by Ray Asmoro)
Hidup ini seperti air mengalir, begitu kata para pujangga dan orang-orang bijak. Bagi Sariman ungkapan bijak itu masih harus diperdebatkan secara serius karena menurutnya mengandung dua persepsi yang berseberangan dan bisa membawa kita kedalam keterjebakan paradigma yang tak selazimnya, alias pilon.
Pertama, bahwa benar kehidupan ini seperti air mengalir dari hulu ke muara. Untuk sampai ke muara dalam pengertian ini berarti harus melalui jalan yang berkelok-kelok, proses yang berliku-liku, gesekan daan benturan-benturan, panjang atau pendeknya sebuah proses hanya masalah waktu. Namun dalam pengertian ini paling tidak setiap pelaku proses (manusia) mengerti atau sadar betul bahwa ia sedang berproses untuk upaya mempersempit jarak menuju muara kehidupan masing-masing (yang setiap orang bisa jadi tidak sama muaranya).
Kedua, persepsi yang sangat sempit, yang mengartikan bahwa tanpa harus tahu kemana muaranya yang penting mengalir, toh nanti akhirnya sampai juga (tidak ada jaminan). Menurut Sariman istilah “let it flow” lebih condong kepada persepsi yang kedua ini.
Perbedaan antara persepsi pertama dan kedua sebenarnya hanya terletak pada “muara”, tujuan, visi atau goal. Pada persepsi pertama jelas proses tersebut didasari oleh kesadaran visi atau tujuan yang jelas. Hanya saja jika dalam perjalanan mewujudkan visi atau mencapai tujuannya harus melewati proses yang berliku-liku atau mengalir seperti air, itu hanya sebuah pilihan serta konsekwensi yang mengiringinya.
Suatu ketika Saridin, kawan Sariman, pernah melewati sepenggal cerita kehidupan yang kurang beruntung dari sisi prosesnya. Misalnya ia dalam prosesnya harus ‘terdampar’ di
Tahun pertama dan kedua kehidupannya tidak menentu. Namun dalam kesadarannya yang paling dalam (yang hanya ia sendiri yang menyadari) ia memiliki tujuan pasti, ia tahu dermaga mana tempatnya berlabuh. Dan ia sadar betul, walaupun ia tahu pasti arah tujuannya tetapi karena beberapa ‘keterbatasan’ yang dimilikinya, ia tidak bisa langsung menuju sasaran. Ia harus ikut arus dulu, kadang jalannya memutar dan panjang bahkan secara logika seolah justru menjauh dari sasaran. Tapi kadang begitulah sebuah proses berlangsung. Dan benar setelah
Tentu cerita Saridin, berbeda dengan Marwan, sahabat Sariman yang lainnya. Sama-sama ‘tersesat’ di
Jadi, kata Sariman, istilah “let it flow” itu bisa menyesatkan. Walaupun sah-sah saja dilakukan. Toh sebenarnya tanpa goal atau tujuan pun orang bisa bekerja atau melakukan aktifitas, bisa jalan-jalan ke mall, bisa melakukan ini-itu. Tetapi dengan memiliki visi atau goal yang jelas maka setiap aktifitas adalah upaya untuk bisa lebih dekat kearah tujuan. Contoh konkretnya adalah Bram dan Bimo, keduanya kawan Sariman yang bekerja disebuah perusahaan jasa yang cukup bonafid.
Sebagai staf, Bram setiap hari bekerja. Berangkat dari rumah jam enam pagi, sampai kantor jam delapan. Jam
Bimo dulu juga staf biasa di perusahaan itu, ia diterima sebagai staf tiga bulan setelah Bram bekerja. Tetapi saat ini (setelah
Usut punya usut yang membedakan keduanya adalah (lagi-lagi) tentang visi atau goal. Bram tidak memiliki visi. Menjadi apa ia
Sedangkan Bimo, dari awal ia punya visi yang jelas.
Sariman mengingatkan, hati-hati dengan prinsip “let it flow”. Alih-alih ingin bertindak arif dan bijak, malah tersesat dalam ketidakpastian. Kemudian Sariman memaparkan sebuah cerita fiktif tapi terasa kental sekali pilon-nya, tentang seseorang yang tidak memiliki tujuan jelas.
Kisahnya begini.
“Maaf Pak, saya harus ambil jalan yang ke kiri atau ke kanan?”
“Maaf, tujuan anda kemana, Bung?”
“Wah ndak tahu Pak, saya sih let it flow saja pak”
“Ya kalau anda tidak punya tujuan jelas mau kemana, ndak penting anda mau ambil jalan ke kiri atau ke kanan, sama saja Bung!”
Pilon nggak sih?
1 Muharram 1429H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar