Please, add your self in my guestbook...

Jumat, Januari 11, 2008

PILONIAN 22 : Let It Flow...!!!

PILONIAN 22 :

Let It Flow…!!!

(by Ray Asmoro)


Hidup ini seperti air mengalir, begitu kata para pujangga dan orang-orang bijak. Bagi Sariman ungkapan bijak itu masih harus diperdebatkan secara serius karena menurutnya mengandung dua persepsi yang berseberangan dan bisa membawa kita kedalam keterjebakan paradigma yang tak selazimnya, alias pilon.


Pertama, bahwa benar kehidupan ini seperti air mengalir dari hulu ke muara. Untuk sampai ke muara dalam pengertian ini berarti harus melalui jalan yang berkelok-kelok, proses yang berliku-liku, gesekan daan benturan-benturan, panjang atau pendeknya sebuah proses hanya masalah waktu. Namun dalam pengertian ini paling tidak setiap pelaku proses (manusia) mengerti atau sadar betul bahwa ia sedang berproses untuk upaya mempersempit jarak menuju muara kehidupan masing-masing (yang setiap orang bisa jadi tidak sama muaranya).


Kedua, persepsi yang sangat sempit, yang mengartikan bahwa tanpa harus tahu kemana muaranya yang penting mengalir, toh nanti akhirnya sampai juga (tidak ada jaminan). Menurut Sariman istilah “let it flow” lebih condong kepada persepsi yang kedua ini.


Perbedaan antara persepsi pertama dan kedua sebenarnya hanya terletak pada “muara”, tujuan, visi atau goal. Pada persepsi pertama jelas proses tersebut didasari oleh kesadaran visi atau tujuan yang jelas. Hanya saja jika dalam perjalanan mewujudkan visi atau mencapai tujuannya harus melewati proses yang berliku-liku atau mengalir seperti air, itu hanya sebuah pilihan serta konsekwensi yang mengiringinya.


Suatu ketika Saridin, kawan Sariman, pernah melewati sepenggal cerita kehidupan yang kurang beruntung dari sisi prosesnya. Misalnya ia dalam prosesnya harus ‘terdampar’ di Jakarta yang sesak itu tanpa sanak famili, tanpa jaminan pekerjaan. Namun demikian ia ikuti saja iramanya, mengalir saja, dengan keyakinan bahwa suatu ketika ia akan mampu ‘menundukkan’ kepongahan Jakarta.


Tahun pertama dan kedua kehidupannya tidak menentu. Namun dalam kesadarannya yang paling dalam (yang hanya ia sendiri yang menyadari) ia memiliki tujuan pasti, ia tahu dermaga mana tempatnya berlabuh. Dan ia sadar betul, walaupun ia tahu pasti arah tujuannya tetapi karena beberapa ‘keterbatasan’ yang dimilikinya, ia tidak bisa langsung menuju sasaran. Ia harus ikut arus dulu, kadang jalannya memutar dan panjang bahkan secara logika seolah justru menjauh dari sasaran. Tapi kadang begitulah sebuah proses berlangsung. Dan benar setelah lima tahun mengikuti arus kehidupan Jakarta yang sesak itu, akhirnya ia sampai (atau paling tidak mendekati) pada titik yang ia tuju ; saat ini ia memiliki kehidupan yang lebih mapan, mempunyai kejelasan status, dan bahkan prestise yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.


Tentu cerita Saridin, berbeda dengan Marwan, sahabat Sariman yang lainnya. Sama-sama ‘tersesat’ di Jakarta, malah si Marwan sedikit lebih beruntung karena ada satu-dua sanak famili yang bisa di tumpangi, sekedar numpang makan dan tidur. Prinsipnya ya itu tadi “let it flow”. Biarkan kehidupan ini mengalir. Maka ia ia pun mengalir seperti air sungai. Yang terjadi kemudian, ia mengalami benturan-benturan, gesekan-gesekan, jatuh-bangun, timbul-tenggelam, megap-megap, beberapa saat kadang ia merasa layak berharap, tapi sesaat kemudian ia jatuh-bangun lagi, megap-megap lagi. Singkat cerita ia akhirnya ‘menyerah’ dan pulang ke kampungnya menjadi pengangguran juga. Pilon!


Jadi, kata Sariman, istilah “let it flow” itu bisa menyesatkan. Walaupun sah-sah saja dilakukan. Toh sebenarnya tanpa goal atau tujuan pun orang bisa bekerja atau melakukan aktifitas, bisa jalan-jalan ke mall, bisa melakukan ini-itu. Tetapi dengan memiliki visi atau goal yang jelas maka setiap aktifitas adalah upaya untuk bisa lebih dekat kearah tujuan. Contoh konkretnya adalah Bram dan Bimo, keduanya kawan Sariman yang bekerja disebuah perusahaan jasa yang cukup bonafid.


Sebagai staf, Bram setiap hari bekerja. Berangkat dari rumah jam enam pagi, sampai kantor jam delapan. Jam lima sore ia pulang kantor dan sampai rumah jam tujuh malam. Sudah lima tahun Bram bekerja di perusahaan itu dan tetap menjadi staf biasa. Tidak ada tawaran promosi, tidak ada kenaikan gaji yang berarti. Ia jalani saja kenyataan itu. Let it flow!


Bimo dulu juga staf biasa di perusahaan itu, ia diterima sebagai staf tiga bulan setelah Bram bekerja. Tetapi saat ini (setelah lima tahun bekerja di perusahaan itu) Bimo sudah memiliki usaha jasa sendiri yang cukup pesat perkembangannya dan saat mempekerjakan lima puluh orang karyawan dan tentu saja penghasilannya puluhan kali lipat dari penghasilan Bram.


Usut punya usut yang membedakan keduanya adalah (lagi-lagi) tentang visi atau goal. Bram tidak memiliki visi. Menjadi apa ia lima tahun kedepan tidak pernah terpikirkan. Berapa penghasilannya lima tahun kedepan sama sekali tidak ada target untuk itu. Dasar pilon!


Sedangkan Bimo, dari awal ia punya visi yang jelas. Lima tahun yang akan datang ia harus memiliki usaha sendiri. Maka ketika ia bekerja di perusahaan tadi, ia gali pengetahuan bisnis sebanyak-banyaknya, ia pelajari bagaima cara menjual jasa yang efektif, ia amati bagaimana sebaiknya pola pengembangan sumberdaya manusia, ia ikuti beberapa pelatihan bisnis walaupun harus dengan biaya sendiri, hitung-hitung investasi pengetahuan, ketika staf yang lain berencana kumpul-kumpul dan senang-senang, Bram malah sibuk mematangkan visinya dan seterusnya. Bekerja sambil belajar atau belajar tapi di bayar, itu prinsipnya.


Sariman mengingatkan, hati-hati dengan prinsip “let it flow”. Alih-alih ingin bertindak arif dan bijak, malah tersesat dalam ketidakpastian. Kemudian Sariman memaparkan sebuah cerita fiktif tapi terasa kental sekali pilon-nya, tentang seseorang yang tidak memiliki tujuan jelas.


Kisahnya begini. Ada seseorang melakukan perjalanan, ia mengendarai sepeda motor. Sudah cukup lama dan jauh ia berkendara di jalan yang lurus, hingga kemudian ia sampai pada sebuah persimpangan jalan. Ia berhenti karena di depannya ada dua jalan, satu ke kiri, satunya ke kanan. Ia bingung, mau ambil kiri atau kanan. Lalu ia putuskan untuk bertanya kepada penjual minuman di pinggir jalan itu.


“Maaf Pak, saya harus ambil jalan yang ke kiri atau ke kanan?”


“Maaf, tujuan anda kemana, Bung?”


“Wah ndak tahu Pak, saya sih let it flow saja pak”


“Ya kalau anda tidak punya tujuan jelas mau kemana, ndak penting anda mau ambil jalan ke kiri atau ke kanan, sama saja Bung!”


Pilon nggak sih?



Jakarta, 10 januari 2008

1 Muharram 1429H

It’s time to Change!

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters