Please, add your self in my guestbook...

Kamis, Maret 27, 2008

Negara Yang "GAGAL"


NEGARA YANG "GAGAL" ?
(Metafora Berita Koran Pagi)

Berita-berita pilu di media masa, mempertegas betapa masih banyak hal yang menjadi PR bagi negara ini. Banyak ironi yang terjadi. Ada berita tentang busung lapar di negeri agraris yang kaya sumberdaya dan kekayaan alam ini. Ada ibu yang membunuh anaknya sendiri lantaran dan beban hidup yang teramat berat hingga tidak bisa diurai dengan logika. Ditiap perempatan jalan di kota-kota besar semakin banyak anak-anak menjual nyanyian iba, menawarkan senandung hidup yang pilu. Dan masih banyak lagi berita yang menyayat hati dan wajah bopeng kita sekaligus!

Menurut para pemikir kita, buruknya taraf hidup ekonomi masyarakat itu bisa menimbulkan penyakit sosial. Jadi, jika banyak berita tentang perampokan, penjambretan, penodongan, tidak lagi mengagetkan kita. (Tapi benarkah itu disebabkan oleh keterdesakan ekonomi? Lalu bagaimana dengan penyakit sosial seperti korupsi yang dilakukan oleh pejabat yang tentu saja tidak dalam keterdesakan ekonomi).

Beberapa waktu lalu kita mengenal istilah "Jaring Pengaman Sosial" atau JPS. Program ini sebagai langkah pemerintah atau negara untuk menata, mengelola, memberdayakan (bukan memperdayakan) masyarakat. Hanya saja telinga kita juga sering mendengar bahwa dana JPS itu banyak yang di selewengkan. Benar atau tidak, Wallahua'lam. Tapi paling tidak Program itu menjadi salah satu bentuk tanggungjawab negara/pemerintah untuk memperbaiki kondisi yang ada di masyarakat khususnya pada level grassroot. Pertanyaannya, efektifkah program itu? (Maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, silakan anda menilai sendiri dengan data-data empirik atau dengan perasaan, terserah anda).

Dalam sebuah naskah drama yang pernah saya tulis (BURONAN-1995 dan pernah dimainkan beberapa kali di malang dan jakarta); "Kalau saja Tuhan tidak menciptakan rasa lapar mungkin dunia ini akan damai, tidak ada perang, tidak ada penindasan, tidak ada iri dengki, tidak ada pemerkosaan..." Dalam frase itu saya hanya membuat kesimpulan sementara bahwa akar persoalan itu adanya di perut. Bukankah manusia pada dasarnya memiliki sifat rakus. Apa saja di makan. Dari mulai mi instan, hingga laut dan hutan dilahap, istri atau suami orangpun dimakan pula. Busyet dah! Karena sifatnya yang rakus maka masing-masing menjaga dan mengamankan kepentingan perutnya sendiri-sendiri, kalau perlu harus sodok sana sodok sini, bahkan saling jegal dan membunuh. Tidak ada kata cukup dalam kamus hidup kita. Kita tidak pernah selesai dengan dunia. Ndak peduli perut orang lain keroncongan kek, mau nge-rock kek, mau seriosa-an kek, sebodo teuing. Maka yang terjadi kemudian adalah berlakunya kembali hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang menang, siapa yang memiliki kekuasaan dialah yang akan mendapatkan banyak 'kenikmatan'. Semakin besar kekuasaannya semakin besar pula 'kenikmatan' yang bisa di kecapnya. Dan sebaliknya semakin lemah ia, semakin tidak dapat bagian apa-apa. Makanya ada yang bilang "Penguasa itu cenderung korup".

Masalahnya kemudian jika yang tidak kebagian apa-apa itu merintih-rintih, yang masih mampu berteriak ya berteriak, yang masih segar malah bertindak anarkhis. Kalau jumlahnya sedikit mungkin alat kekuasaan dan bedil bisa menyumpal mulut dan melumpuhkan langkah mereka. Tapi jika yang tidak kebagian apa-apa itu berjumlah besar dan menjadi mayoritas, lalu dengan sisa-sisa kesadarannya mereka menggalang kekuatan, merapatkan barisan untuk melawan para raja rimba, wah saya tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi.

Oke, oke, cukup disitu dulu penggambarannya. Selanjutnya, sebenarnya siapa yang bertanggungjawab atas kondisi seperti ini? Ya, tepat sekali. Semua elemen bangsa ini memikul tanggungjawab itu. Idealnya begitu lah. Hanya saja dalam konteks komunal kenegaraan jelas negara dan pemerintahlah yang paling bertanggungjawab untuk memperbaiki tata kehidupan masyarakat. Maka seyogyanya pemimpin-pemimpin kita itu tidak hanya sibuk dengan membangun benteng-benteng kekuasaan, sibuk membuat strategi pemenangan pemilu dan pilpres, sehingga persoalan-persoalan mendasar tentang pemenuhan hajat hidup orang banyak terabaikan.

Dengan kompleksnya persoalan yang membelit bangsa ini, mulai dari kondisi ekonomi yang tidak stabil, politik yang carur-marut, struktur-infrastruktur yang kurang memadai, pemberantasan korupsi hanya sebatas propaganda, daya beli masyarakat sedemikian rendah sementara harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi, kriminalitas seolah menjadi hobi setiap orang, dan masih banyak lagi, apakah itu berarti negara ini sudah gagal?

Menurut studi yang dilakukan World Economi Forum dan Harvard University tahun 2002 terhadap 59 negara di dunia, yang disitir oleh Meutthia Ganie-Rochman dalam artikelnya (Kompas) ciri atau karakteristik negara yang gagal antara lain : tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi merajalela, miskinnya opini publik dan terkungkung dalam suasana ketidakpastian. Lebih lanjut di kemukakan bahwa kegagalan itu biasanya diawali oleh kegagalan di bidang ekonomi, ketidakefisienan yang parah dalam mengatur dan mengelola modal dan tenaga kerja, ketidakbecusan melakukan pengadaan dan distribusi pelayanan dan barang kebutuhan dasar bagi masyarakat.

Jika gagal dan tidaknya negara mengacu pada hasil studi tersebut tentu negara ini boleh dibilang 'gagal'. Tetapi, saya yakin seyakin-yakinnya, kata Sariman, mayoritas penduduk negara ini tidak akan rela disebut 'gagal' dan pemimpin kita pasti juga nggak mau jika harus meminta maaf kepada publik karena telah menjadi negara yang 'gagal'. "Kita ini belum gagal, hanya saja kita belum berhasil menjadi negara ideal seperti impian kita. Kita dalam proses mewujudkan cita-cita bersama, proses itu butuh waktu dan kesadaran bersama. Gagal itu kalau kita tidak mau berusaha" begitulah kalimat yang saya duga akan diucapkan oleh kita dan para pemimpin bangsa ini. Kalimat yang sangat klise tapi benar.

Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang seharusnya berada di garda terdepan dalam perubahan menjadi negara seperti yang kita impikan bersama? Ya, tentu saja pemimpin-peminpin negara ini lah yang seharusnya menjadi agen perubahan itu. Keberhasilan negara mutlak membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tangguh. Di pundak merekalah nasib 'gagal' atau 'berhasil' nya negara ini dipikul. Di tangan merekalah amanat untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial tergenggam.

Kata orang, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang matanya mampu melihat cakrawala masa depan gemilang, yang telinganya mampu menangkap suara dan harapan umatnya, yang tangannya selalu terbuka dan dengan ikhlas merangkul dan mengangkat yang lemah dan teraniaya, yang kakinya selalu melangkah kejalan kebenaran, yang mulutnya terjaga dari dusta, yang kepalanya diliputi kesadaran untuk melayani, yang hatinya dipenuhi oleh cinta kasih.

"Ya Allah, pinjamkan matamu, pinjamkan tanganmu, pinjamkan kakimu, pinjamkan telingamu, pinjamkan mulutmu, pinjamkan hatimu, kepada para pemimpin kami"

Selasa, Maret 25, 2008

KAPSUL (4)

Setiap kita berpotensi menjadi jujur. Bahkan secara ekstrim bisa dikatakan bahwa kebohongan itu tidak benar-benar ada. Penipuan itu tidak sungguh-sungguh ada. Karena ketika kita berbohong sebenarnya kita tahu bahwa kita bohong, dan hati kecil kita mengakui dusta kita. Ketika kita menipu sebenarnya kita tahu bahwa itu kita sedang berbuat culas. Jadi kebohongan ataupun penipuan itu tidak sungguh-sungguh ada.

Yang ada adalah kebenaran-kebenaran yang tak sempat tersampaikan, tak sempat terucapkan. Kejujuran yang tidak kita beri ruang keleluasaan untuk menunjukkan eksistensinya. Dan dusta adalah rekayasa nyata atas kebenaran-kebenaran. (R)

KAPSUL (3)

Ketika seseorang akan di tilang pak polisi karena melanggar rambu lalu linta, dia berkata "tolonglah pak, minta kebijaksanaan dari bapak, saya tidak sengaja". ketika hendak dipecat dari perusahaan karena lalai dalam tugas, dia bilang "mohon kebijaksanaan bapak, saya akan memperbaiki kesalahan saya". Jadi apa itu bijaksana?

apakah bijaksana itu berarti menghalalkan aturan dan hukum di langgar dan di injak-injak? apakah bijaksana itu memberikan ruang permakluman bagi setiap kesalahan? apakah bijaksana itu membela yang salah dan memberikan celah bagi pelaku pelanggaran untuk bebas? apakah bijaksana itu membutakan mata hati dari kebenaran dan aturan main?

(R)

Minggu, Maret 09, 2008

KAPSUL (2)

Kita ini hidup di dunia citra, dunia yang salah-kaprah. Kita tahu ungkapan "dont judge the book from the cover" tetapi selalu saja kita menilai orang dari tampilan luarnya tanpa terlebih dulu menggali kedalaman pikiran dan kelapangan hatinya. Bahkan ada yang seperti kalkulator, begitu melihat orang langsung bisa dihitung berapa harga sepatunya, bajunya, dasinya, kemejanya, kacamatanya... semuanya. Semakin besar jumlah totalnya maka semakin ia layak diberi respect.

Di dunia citra (image), segala yang buruk bisa di sulap menjadi menarik, dan yang bagus bisa direkayasa menjadi busuk. Di dunia citra, bungkus lebih penting daripada isi. bungkus lebih berharga ketimbang esensinya. ironi memang, tapi itulah dunia kita, dunia tipudaya. maka yang akan tampil sebagai pemenang bukan orang yang memiliki kemampuan berpikir dan kesadaran spiritual tetapi (bisa jadi) yang berhasil membangun pencitraan-pencitraan atas dirinya. wah-wah-wah...
(R)

Minggu, Maret 02, 2008

KAPSUL (1)

Jika kita melihat pemandangan dari balik jendela dan merasa pemandangan itu tampak buram, jangan buru-buru berkesimpulan pemandangannyalah yang jelek. Karena siapa tahu justru kaca cendela kita yang buram.

Jadi, jika dunia kita, hidup kita, visi kita, karir kita, pergaulan kita, semua nampak buram dan gelap, maka jangan buru-buru menyalahkan dunia atau keadaan. Karena mungkin jendela hati kita lah yang perlu dibersihkan.
(R)

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters