Please, add your self in my guestbook...

Minggu, September 16, 2007

PILONIAN (9) : Anak Shaleh

PILONIAN (9) : Anak Shaleh
Oleh Ray Asmoro

Sesaat setelah kelahiran anak pertamanya, Sariman mendapat hujan SMS. Kerabat, teman, sahabat, rekan kerja, partner, kenalan, mantan pacar, semuanya seperti sudah janjian untuk mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Sariman. Satu-dua SMS sempat dibacanya, selebihnya ia hanya lihat siapa pengirimnya lalu “delete message”, apa pasalnya? Ya, buat apa di baca, toh semua inti isinya sama, standar, “Selamat, semoga menjadi anak yang shaleh (shalehah)”.

Bagaimanapun Sariman tak lupa mengucapkan terimakasih dan meng-amini doa-doa yang dikirm via SMS itu. Orang tua mana yang tidak mengharapkan anaknya menjadi shaleh, orang tua mana yang tak bangga jika anaknya menjadi anak yang pintar, berbhakti dan berbudi pekerti terpuji. Tapi Sariman merasa ada yang agak ganjil dengan doa-doa itu.

Doa, tentu saja baik. Kata Sariman, bukan doa namanya jika bukan tentang kebaikan. Maka jika orang mendoakan yang lain agar celaka, menyumpah-serapahi, itu bukan doa. Kutukan namanya. “Aku doakan kamu di srempet bajaj” atau “aku doakan kamu jadi kodok” misalnya, kalimat itu jelas bukan doa walaupun menggunakan kata “doa”, maka kalimat yang benar, seharusnya “aku kutuk kamu agar di srempet bajaj” atau “aku kutuk kamu menjadi kodok”. Karena yang namanya doa selalu tentang kebaikan. Sederhananya, doa itu selalu positif dan yang negatif itu disebut kutukan. Titik. Jadi jangan dicampuradukkan, jangan belagak pilon deh…

Kembali soal keganjilan tadi. Yang dimaksud Sariman bukan doanya yang ganjil atau salah. Tetapi paradigmanya yang terasa nyleneh. Begini, anak itu kan (katanya) titipan illahi, amanah. Jika anak tumbuh menjadi begundal, ya jangan salahkan anak sepenuhnya, karena kita orangtuanya lah yang diberi amanat. Ingat setiap manusia lahir dengan sifat hanif atau kebaikan.

Misalkan saja, anda yang kerja di Kota menitipkan segepok uang kepada kenalan untuk diberikan kepada sanak keluarga di kampung, lalu ketika diterima yang berhak ternyata uang itu berkurang jumlahnya, maka siapa yang salah? Jelas bukan uangnya, karena uang tidak bisa menjaga dirinya. Apalagi ada pameo “Jika anda titip uang, bisa jadi akan berkurang. Jika anda titip omongan, bisa jadi akan berlebih”.

Jika anda belajar matematika, guru matematikanya menyenangkan dan teknik mengajarnya sangat mengasyikkan, teman-teman anda yang lain dapat nilai sembilan dan hanya anda sendiri yang dapat nilai empat, maka jelas bukan salahnya matematika, bukan? Andaikata anda seorang sopir angkot, anda mengangkut dua-belas orang penumpang, di jalan anda kecelakaan karena anda tidak fokus, kendaraan rusak, sehingga penumpang tidak sampai ditujuan, maka jelas bukan salahnya penumpang, bukan?

Kalau pemimpin di percaya (diberi amanat) untuk memperbaiki derajat dan taraf hidup rakyat, tapi rakyat tetap saja teraniaya dan malah kalap karena pemimpinnya justru tidak berpihak pada rakyat, tidak memiliki program konkret untuk kesejahteraan rakyat, maka apakah rakyat yang salah? Hmmm, suka pada pilon sih…

Maka itu, anak menjadi apa, menjelma siapa ia kelak, tergantung orangtuanya, si pemegang amanat. Kita ingin anak-anak kita menjadi pintar, tapi kita tidak pernah terlihat oleh anak sedang baca buku atau belajar sesuatu. Kita ingin anak-anak kita rajin mengaji tapi kita tidak pernah sekalipun terdengar dan terlihat oleh anak kita melantunkan ayat-ayat ilahi. Kita ingin anak kita menjadi anak yang santun kepada orang lain, menyayagi dan menghargai teman, tapi dirumah ia selalu kita suguhi menu-menu pertengkaran, tidak pernah kita tunjukkan bagaimana menghargai perbedaan pendapat. Kita ingin anak-anak kita bisa bertutur kata lembut dan sopan penuh kasih, tapi setiap hari kita cekokin dia dengan hinaan, cercaan atau makian. Kita ingin anak-anak kita menjadi anak yang shaleh tapi sikap, tindakan dan kata-kata kita justru jauh dari keshalehan. Kita ingin anak-anak kita menjadi pemimpin tapi kita tidak pernah memberikan teladan tentang kedisiplinan dan tanggungjawab. Apa namanya itu? - “Like father like son, Pilon!”

Siapakah “orang tua” pemegang amanat itu? Ada dua orang tua, orangtua biologis dan non-biologis. Orangtua biologis jelas bapak-ibu kita yang karena lantaran mereka kita ada. Mereka pemegang amanat itu, bahkan peletak fondasi mental anak, seperti kata para pakar-pakar itu, lingkungan keluarga adalah pintu pertama penentu perkembangan mental dan kepribadian anak.

Sedangkan orangtua non-biologis adalah orang (lingkungan) yang memiliki intensitas pengaruh cukup kuat kepada seseorang, bahkan orang tua non-biologis ini bisa juga sebuah faham (isme), mazhab, ataupun ideologi. Orang tua non-biologis ini bisa guru, atasan, pimpinan, boss, pemuka agama, cendekiawan, pakar, begawan, atau bisa juga sebuah faham atau aliran : demokrasi, ahmadiyah, ahlu sunnah wal jama’ah, liberalisme, marxisme, komunisme, pancasialisme, barbarianisme, atau lainnya, (bahkan pilonianisme!).

Serunya, “orangtua” ini juga memiliki sejarah sebagai anak. Ada hirarki sejarah yang saling kait-mengkait. Jika teman-teman pemuda dan mahasiswa yang juga anak-anak bangsa itu berunjuk rasa teriak-teriak di jalan, kadang usil dan kurang sopan, menghujat, memaki, ya karena pemimin bangsanya tidak pernah memberikan teladan yang baik, malah menteladankan perilaku arogan, sikut-sikutan, mau menang sendiri, tidak membumi, dan malah membuat jarak. Siapa pilon?

Soal SMS doa tadi, paradigma Sariman sedikit berbeda, mengapa mendoakan anaknya? Bukankah anak itu amanah orang tua?

Suatu ketika Sariman mendapat kabar ada temannya yang baru saja melahirkan seorang anak, karena Sariman belum ada kesempatan menjenguk maka ia mendoakan melalui pesan singkat (SMS) : “Selamat! Semoga menjadi orangtua yang shaleh dan shalehah, Amin…”


Jakarta, 7 September 2007
www.rayasmoro.blogspot.com

Kamis, September 13, 2007

"Rela Pada Ketentuan Allah" (syair Imam Asy-Syafi'i)

Rela Pada Ketentuan Allah

Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa

Jangan berkeluh-kesah atas musibah di malam hari
Tiada musibah yang kekal di muka bumi
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi
Berlakulah pema’af selalu menepati janji

Jika banyak aibmu di mata manusia
Sedang engkau berharap menutupinya
Bersembunyilah engkau di balik derma
Dengan derma aibmu tertutup semua

Jangan pernah terlihat lemah di depan musuhmu
Sungguh malapetaka jika musuh menertawaimu

Jangan berharap dari orang kikir kemurahan
Di neraka tiada air bagi orang yang kehausan
Rizkimu tidak berkurang karena kerja wajar perlahan
Berlelah-lelah tidak menambah rizki seseorang

Tiada kesedihan yang kekal tidak pula kebahagiaan
Tiada kesulitan yang abadi tidak pula kemudahan

Jika engkau berhati puas dan mudah menerima
Sungguh, antara engkau dan raja dunia tiada beda

Barangsiapa kematian datang menjemputnya
Langit dan bumi tak kan mampu melindunginya

Bumi Allah begitu lapang luas membentang
Namun seakan sempit kala ajal menjelang

Biarkanlah hari-hari ingkar janji setiap saat
Kematian tak mungkin dicegah dengan obat


oleh : Imam Asy-Syafi'i

"MERANTAULAH" (Syair Imam Asy-Syafi'i)

Merantaulah

Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Pergilah 'kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan teman
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak dia 'kan keruh menggenang
Singa tak kan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak kan kena sasaran
Jika saja matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tak kan menunggu saat munculnya datang

Biji emas bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan
Kayu gahru tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan
Jika dibawa ke kota berubah mahal jadi incaran hartawan

Oleh: Al-imam asy-Syafi'i

Minggu, September 09, 2007

PILONIAN (8) : Matematika Sedekah

PILONIAN (8) : Matematika Sedekah
Oleh Ray Asmoro

Dalam harta kita terdapat hak-hak orang miskin dan kaum dhuafa. Begitulah firman Tuhan, fatwa Rasul, dan peringatan para kyai dan ustadz. Indah sekali. Kita diajarkan untuk care terhadap sesama, saling tolong-menolong dan berbagi. Yang kuat mengangkat yang lemah dan bukan sebaliknya, yang kuat menginjak-injak dan menistakan yang lemah.

Sayangnya manusia (lebih-lebih saya) memiliki kecenderungan untuk tamak, aku Sariman. Maunya mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, jika mungkin seluruh isi jagad raya ini bisa dimilikinya, bahkan tuhan pun ingin di belinya. Subhanallah…

Sedekah (shodaqoh) adalah sebuah bentuk tindakan (amal) dimana seseorang menyisihkan sebagian “hartanya” untuk kemaslahatan. Dalam syari’at, ada kalkulasi matematik, seberapa besar yang wajib kita sedekahkan. Seperti juga halnya zakat atau warisan, semua ada kalkulasi matematiknya. Di sisi lain, kata Sariman, sedekah ini adalah sebuah manifestasi dari rasa syukur atas limpahan rizki dari Tuhan. Ada pembelajaran yang sangat agung disini. Ketika kita sedang di lapangkan rizkinya, kita wajib berbagi kegembiraan itu. Ketika kita di beri kesuksesan, hmmm… kira-kira enak apa nggak sih jika kita sukses sendirian?

Analoginya mungkin seperti ini. Andaikata anda naik gunung sendirian, berjuang mendaki sendirian, hingga di puncak gunung tidak ada satupun manusia, maka senikmat apa yang bisa anda rasakan ketika melihat pemandangan indah dari puncak gunung itu? Tentu saja akan lebih nikmat jika ada teman berbagi, bukan? Sebab itulah orang mendaki gunung tidak sendirian. Jikalau ada yang sendirian, hmmm… bisa jadi dia sedang pilon, linglung, stress, putus asa, atau mau bunuh diri. Artinya, tidak dengan perasaan suka-cita dan ikhlas.

Banyak saudara-saudara kita yang begitu ambisius menaiki tangga karir. It’s OK, ambisi itu tidak haram kok. Hanya saja banyak yang saking ambisiusnya, terus lupa dan tidak peduli pada teman sejawat dan lingkungannya. Apa saja dilakukan, segala cara di halalkan demi sebuah ambisi, demi sebuah gengsi. Komunikasi horisontal yang hangat dan mesra di abaikan, hubungan mutual tidak di bangun, ego berkuasa dan bertahta dalam diri. Hatinya tertutup tirai ketamakan. Kemudian yang dilakukan ya menjilat dan menjilat. “Mencari muka”. Ini yang pilon. Mencari muka kok didepan atasan, kenapa tidak “mencari-muka” di hadapan Tuhan? Dalam konteks politik kekuasaan, juga demikian. Jika anda wahai penguasa, ingin “mencari-muka” dihadapan Tuhan, anda harus dengar suara rakyatmu. Bukankah suara rakyat itu suara Tuhan?

Ketika ambisi tergapai, kekayaan bertumpuk, gengsi telah terbeli, puncak karir dan kekuasaan telah dipijak, sementara komunikasi dan hubungan interpersonal tidak di bangun, cuek pada tetangga, maka kita tentu saja bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi. Materi telah membutakan mata hatinya, kekuasaan telah menguburkan kesalehan sosialnya, gengsi telah memenjarakannya dalam kesunyian. Ini yang seringkali terjadi. (Makanya kalau mau sukses, ajak-ajak yang lain, biar nggak kesepian…)

Itulah makna sedekah. Ia mengajarkan kita untuk berbagi. Jika itu dilakukan secara ikhlas sebagai manifestasi rasa syukur mendalam, maka Tuhan akan menambah nikmatmu dengan berlipat-lipat. Jadi kalau ente mau rizki berlipat-lipat itu mudah coy! Lipat-gandakan saja sedekah ente. Itulah matematika sedekah.

Dalam ilmu matetamatika konvensional jika 10 dikurangi 2 maka hasilnya tinggal 8. Tapi dalam matematika sedekah, 10 harta kita, kita ambil 2 untuk di sedekahkan secara ikhlas maka (percaya atau tidak), hasilnya bisa 14, 20, atau bahkan tak terhingga. Tuhan sendiri kok yang menjanjikan. Wallahua’lam.

Kita semua yang beragama pasti mahfum soal itu. Hanya entah mengapa kita suka pura-pura lupa, pura-pura tidak tahu, belagak pilon. Ingin rizki berlipat-lipat tapi ogah bersedekah. Ingin hidup sejahtera tapi enggan mensyukuri nikmat. Yang lebih pilon, banyak diantara kita (lebih-lebih saya, Masya Allah…) yang berat hati dan kalaupun mau bersedekah itu pun hanya seminimal-minimalnya. Contoh konkret, kalau kita punya selembar uang 10.000an dan selembar uang 1.000an, maka kalaupun kita mau sedekah pasti yang 1.000an lah yang kita sedekahkan. Kalau kita punya dua lembar 100.000an dan selembar 1.000an, maka kalaupun kita mau sedekah, jujur sajalah, kira-kira yang kita berikan selembar 100.000an atau selembar 1.000an? (Saya tebak, selembar 1.000an lah pilihannya, itupun meberikannya dengan tangan kiri, dengan sedikit ngedumel tapi setelahnya kita cerita-ceritakan dengan bangga di tetangga-tetangga kita. Dasar pilon!).

Kalau saja anda punya 5 lembar 100.000an dan dua lembar 10.000an, maka kalau pun anda mau sedekah, apakah anda akan berikan dua lembar 10.000an? Saya yakin, tidak. Saya yakin anda hanya akan memberikan selembar 10.000an. Hmmm… ya tidak? Kenapa tidak selembar 100.000an? (Anda sendiri yang tahu jawabannya). Itulah anehnya. Yang recehan lah prioritas sedekah kita. Tapi jika untuk sebuah jabatan atau kekuasaan, ratusan milyar pun di keluarkan. (Konon, itu sudah menjadi rahasia umum dalam politik kita dalam pemilu, pilkada ataupun jabatan strategis-politis lainnya).

Begitulah, kata Sariman. Mental kita ini memang mental recehan. Dan pilon-nya, kita justru bangga dengan recehan. Ampuuun Di-Je…


Jakarta, 10 September 2007
www.rayasmoro.blogspot.com
www.rayasmoro.com

Kamis, September 06, 2007

PILONIAN (7) : Mental "Take and Give"

PILONIAN (7) : Mental “Take and Give”
Oleh Ray Asmoro

Istilah “take and give” sangat lah populer. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan cinta, hubungan interpersonal, bisnis, bahkan politik, istilah tersebut seringkali dipakai. Bahkan ada yang menggunakan istilah itu dalam hubungannya dengan Tuhan. “Take and Give”. Hmmm…

Dalam kamus bahasa inggris, “take” berarti mengambil, mendapatkan. Sedangkan “give” berarti memberi. Jadi “take and give” ini berarti mengambil dan memberi. Ini lah yang menurut Sariman, terdengar agak pilon. Konsep “take and give” ini konotasinya adalah mengambil dulu baru memberi. Seperti ini, kita tidak akan memberikan apapun jika kita belum mendapatkan sesuatu. Kita tidak akan membantu orang jika orang itu tidak mendatangkan keuntungan apapun pada kita. Kita tidak akan sudi melakukan shalat, menyembah-nyembah Tuhan jika Tuhan belum memberikan apa yang kita mau. Hmmm, pilon tidak?

Itu sih masih mendingan, kata Sariman. Yang lebih pilon adalah konsep “take and give” yang di anut justru di khianati sendiri. Ingat kalimat itu berbunyi “take and give” dan bukan “take or give”, maka itu menjadi satu paket karena disambung dengan kata “and” (dan). Artinya ketika kita sudah mengambil atau mendapatkan sesuatu maka konsekuensi logisnya ya kita harus (fardhu ‘ain hukumnya) memberikan sesuatu. Berbeda dengan “take or give”. “Or” (atau) menunjukkan pilihan. Boleh A, boleh B. Kalau sudah A, yang B menjadi sunnah atau bukan keharusan. Malah dalam hukum legal ada istilah “dan/atau” yang artinya, mau A saja boleh, B saja ya oke lah, mau A dan B juga monggo kerso, silakan.

Nah, yang dimaksud dengan adanya pengkhianatan tadi adalah banyak orang memegang konsep “take and give”, tapi begitu sudah “take” lupa “give, bahkan pura-pura lupa, belagak pilon! Ada yang tadinya hidupnya susah, lalu rajin berdoa, bersujud sampai tersungkur di tanah meminta-minta pada Tuhan, “Ya Tuhan, beri saya rizki melimpah, kalau saya di berikan rizki melimpah sebagian akan saya dermakan untuk kemaslahatan umat”, tapi setelah mendapatkan limpahan rizki tiada tara jadi lupa, bahkan pura-pura miskin.

Saya jadi ingat cerita Cak Nun tentang orang Madura yang bepergian naik pesawat. Orang Madura ini baru pertama naik pesawat, ia hendak pergi ke Jakarta, dia harus naik pesawat karena ada proyek mendadak, 2 jam lagi bertemu orang yang mau memberi proyek besar. Dia sebenarnya takut naik pesawat apalagi berita kecelakaan pesawat begitu sering terdengar. Maka ketika dia mau masuk pesawat dia berdoa “Ya Allah, beri saya keselamatan, kalau saya selamat nanti saya akan sembelih 1 sapi untuk dibagi-bagikan ke tetangga”. Begitu pesawat sudah take-off dan mulai menembus awan, pesawat terasa bergoyang-goyang, dia takut dan berdoa kembali “Ya Allah, beri saya keselamatan dan saya akan sembelih 2 sapi Ya Allah…” beberapa saat kemudian pesawat tenang kembali. Ketika dia ngobrol dengan penumpang yang duduk disebelahnya diceritakan bahwa saat yang paling sulit adalah saat mendaratkan pesawat. Nah ketika di umumkan pesawat sebentar lagi mau mendarat, keringat dinginnya keluar sebiji-biji jagung, lalu dia berdoa kembali “Ya Allah… ndak jadi 2 sapi. 3 sapi Ya Allah...”. Begitu pesawan semakin dekat dengan bumi, ia melihat ke luar lewat jendela dan ia semakin takut, “4 sapi Ya Allah…”. Dan begitu roda pesawat mulai menyentuh landasan, guncangannya terasa semakin menakutkannya, “5 sapi Ya Allah… bukan, 6 Ya Allah…, 7… eh 8 sapi Ya Allah…”, ketika pesawat benar-benar berhenti dan tidak terjadi suatu apapun, dia cengengesan, kemudian dia bilang “Ya Allah, emang kalau saya ndak sembelih sapi, mau apa?” Dasar pilon!

Begitu juga yang sering kita jumpai. Apalagi di ranah politik. Bahkan konsep “take and give” itu sangat melekat dalam birokrasi kita. Coba deh anda mengurus dokumen di sebuah departemen atau instansi pemerintah, bisa dipastikan satu dokumen perijinan saja misalnya, tidak akan selesai dalam tempo satu bulan padahal persyaratan sudah lengkap, pejabat yang berwenang tanda-tangan juga ada ditempat. Mereka akan “give” anda dokumen yang anda butuhkan jika mereka sudah “take” sesuatu dari anda. Saya tidak bilang soal suap lho, tapi begitulah mental “take and give”. Tuhan saja di permainkan apalagi anda.

Di dunia pekerjaan juga demikian. Dengan konsep “take and give”, pekerja di pakai tenaga dan pikirannya, sebulan kemudian baru perusahaan memberikan gajinya. Wajar. Tidak menjadi wajar apabila pekerja tidak diberikan hak-haknya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Jadi apabila pekerja anda demo, mogok, protes, mulai malas-malasan, anda harus segera cek apakah anda sudah “give” hak-hak pekerja anda secara wajar sebagaimana mestinya.

Sariman punya pendapat lain. Ia sama sekali menolak konsep “take and give”. Baginya “take and give” itu sangat tendensius dan kadar keikhlasannya nyaris tidak ada. Bahkan konsep “take and give” ini bertentangan dengan hukum sebab-akibat atau sunatullah. Jika “take” itu sebuah sebab, maka “give” itu sebuah akibat. Jika anda ingin memberi maka anda harus mengambil. Kata “mengambil” ini kan multipersepsi, bisa jadi mengambil secara terang-terangan, mengambil gelap-gelapan, mengambil secara sembunyi-sembunyi, bisa korupsi, maling, ngrampok, nodong, nyopet, ngutil, pokoknya mengambil, ndak peduli benar atau salah. Kesimpulannya, konsep “take and give” ini sangat berbahaya.

Di usulkanlah sebuah konsep yang sangat logis dan masuk akal, tidak menyimpang dari sunatullah, memenuhi syarat hukum sebab akibat, tidak tendensius dan sangat mendidik, konsep itu adalah “give and rechieve” (memberi dan menerima).

Kaitannya dengan hukum sebab akibat, sangat relevan. Jika “give” adalah sebab maka “rechieve” adalah sebuah akibat. If you want to “rechieve” than you must to “give”. Ini sama seperti doktrin “jika engkau ingin mendapatkan hak-hakmu maka tunaikan kewajibanmu”. Jika anda ingin uang melimpah ya anda tidak cukup ongkang-ongkang kaki saja, anda harus bekerja. Jika anda ingin orang lain respect pada anda, maka anda harus memberikan kepedulian dan penghargaan pada orang lain. Kalau anda ingin di promosikan dari jabatan anda, maka anda harus ledih dahulu memberi bukti prestasi kerja kepada pimpinan. Jika anda ingin memiliki anak yang sholeh dan sholehah maka anda harus memberi teladan sebagai orang tua yang sholeh dan sholehah. Jika anda ingin karyawan anda lebih giat bekerja agar omset dan profit margin anda meningkat, maka anda harus memberikan “perhatian” lebih kepada karyawan anda. Jika anda ingin pelanggan anda setia maka anda harus perlakukan pelanggan anda seperti pacar anda. Jika anda ingin suami atau istri anda sayang pada anda maka anda harus terlebih dahulu memberikan cinta dan kasih sayang tulus pada istri atau suami anda. Jika anda ingin terpilih jadi presiden tahun 2009 nanti, ya anda harus mati-matian membela rakyat, harus memiliki program konkret bagi peningkatan kesejahteraan rakyat miskin, menyediakan lebih banyak lapangan kerja, mengungkap skandal pembunuhan Munir, segera memburu dan mengadili para koruptor dan menyelesaikan kasus Lapindo secara adil. Dan jika anda ingin Tuhan memberikan apa yang anda pinta, ya anda harus terlebih dulu melaksanakan perintah-perintahnya secara ikhlas.

Lalu apa jaminannya jika sudah memberi pasti akan menerima? (Sariman diam sejenak sambil garuk-garuk kepala).

Dalam hal “give and rechieve” Tuhan sudah berjanji, “…barang siapa melakukan perbuatan baik sebesar biji dzarah sekalipun, maka ia akan mendapatkan bagian (pahala) yang setimpal…” Sudah jelas, bukan? If you do something, than you will get something. Untuk mendapatkan sesuatu (have) kita harus melakukan sesuatu (do). Hanya saja dalam konteks tertentu kita tidak bisa langsung menerima sesuatu dalam wujud fisik. Kita mengeluarkan uang untuk menolong orang, bisa jadi bukan uang yang kita terima sebagai balasan tapi bisa respect atau persaudaraan atau kepuasan bathin. Kita memuji sales kita karena ia telah kerja dengan sangat antusias, bukan uang yang kita berikan tapi dia bisa memberikan kita uang dengan mencetak angka penjualan yang fantastis karena merasa diperhatikan dan dihargai.

Sekarang apa jadinya jika kita selalu memberi caci maki kepada staf kita atau selalu bersikap sinis dengan teman sekitar atau selalu memberi penilaian buruk kepada orang lain atau selalu memberi ancaman kepada anak kita atau selalu memberikan cemooh atau hinaan terhadap karya orang lain? Bisa dipastikan kita akan mendapatkan (rechieve) sesuatu yang negatif.

Kesimpulannya, kata Sariman, jika selama ini banyak orang yang membenci kita, banyak yang diam-diam ngrasanin kita dengan hal-hal buruk, banyak yang sinis dan apatis sama kita, banyak orang yang menjauhi kita, banyak yang tidak mau menerima pendapat dan ajakan kita, banyak yang mengabaikan kita, banyak orang yang mengutuk kita, banyak orang yang tidak senang dengan kehadiran kita, banyak orang yang tidak mau bekerjasama dengan kita, banyak orang yang tidak mau membeli barang di toko kita, banyak tetangga yang tidak mau menyapa kita, dan masih banyak lagi, maka satu-satunya hal yang harus kita pikir dan kita pertanyakan pada diri kita sendiri adalah “apa yang telah kita berikan kepada orang lain? Sesuatu yang baik atau sebaliknya?”.

Pikirkan, tanyakan dan temukan jawabannya di kesadaran anda.



Jakarta, 4 September 2007
www.rayasmoro.com

Minggu, September 02, 2007

PILONIAN (5) : Penyesalan

PILONIAN (5) : Penyesalan
Oleh : Ray Asmoro

Banyak orang, kyai, pendeta, ustadz, biku, psikolog, trainer, motivator, coach, yang mengatakan “apa yang telah terjadi, jangan di sesali”. Sariman menemukan keganjilan dalam pernyataan itu. Benarkah kita tidak perlu menyesal? Benarkah penyesalan itu tiada berguna? Benarkah?

Ada gadis remaja yang di tinggal pacarnya. Lantas ia menyesal, mengapa orang yang begitu di cintai meninggalkannya padahal segala bentuk perhatian dan sayang telah di curahkannya. Saat ia curhat pada orang lain, ia di nasehati “Yang sudah ya sudah, ndak perlu disesali…Penyesalan dan airmata tiada berguna…”, katanya.

Seorang businessman datang kepada konsultannya, ia membeberkan kerugian investasinya. Gara-garanya adalah ia salah membaca situasi dan terbujuk oleh rayuan manis seseorang culas yang ingin memanfaatkannya. Apa yang dikatakan konsultannya kemudian? “Bapak, yang terjadi tidak bisa di tarik kembali, jadi buat apa di sesali?...”

Seorang bapak separuh baya datang ke psikiater, ia menumpahkan seluruh problematika keluarganya. Sambil sesenggukan ia bercerita bahwa hubungannya dengan istrinya sedang dilanda bdai prahara. Istrinya ada “main” dengan pria lain. Anak-anak dirumah jadi tidak terurus. Tapi dialah yang mengawali semuanya, ketika ia mulai sering tidak pulang dengan bermacam-macam alasan. Istri dan anak tidak diperhatikan lagi, malah sibuk membuat jadwal “lembur” dengan sekretarisnya. Kini sekretarisnya hamil dan menuntut pertanggungjawabannya, bla-bla-bla… Sambil memberikan selembar tisu, psikiater itu menasehati “Apakah bapak, bisa merubah segala sesuatu yang sudah terjadi? Jika menurut bapak itu tidak mungkin, mengapa harus menyesal, karena itu tidak akan merubah apapun…”

Ada remaja SMU yang tidak naik kelas. Kemudian ia curhat kepada teman karibnya. “Jack, gue malu nggak naik kelas. Orang tua gue pasti juga malu. Nyesel gue. Kenapa dulu gue males belajar ya…” terus kemudian karibnya menasehati, “Penyesalan itu selalu datang di kemudian hari Bro, dan itu tidak lantas merubah keadaan… Sudahlah Bro terima saja kenyataannya, nggak perlu disesali…”

Satu lagi. Seorang pria muda resah lantaran ia di PHK dari perusahaan tempat selama ini ia bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga. Sebab musababnya, ia menggerakkan aksi demonstrasi, menuntut kenaikan gaji 30%. Padahal kinerja dia standar aja, dan perusahaan belum mampu memenuhi tuntutannya. Maka perusahaan mem-PHKnya dan meng-hire orang baru untuk menggantikan posisinya. Walaupun ia dapat pesangon tapi ia tetap merasa rugi. Pesangon yang diterima mungkin akan habis dalam waktu 4 sampai 6 bulan, setelah itu? Hmmm, itulah yang membuatnya resah. Pekerjaan baru belum juga di dapat, mau usaha sendiri tidak punya cukup nyali, mau protes ke perusahaan… Apa haknya? Perusahaan telah memberikan haknya. Seandainya dulu ia tidak menggerakkan aksi demontrasi, pasti sekarang ia masih bekerja, punya status, dan untung-untung perusahaan mau mempromosikannya karena ia tergolong karyawan yang cukup senior, begitu pikirnya.

Dalam duka resahnya itu, ia datang kepada seorang ustadz di lingkungan rumahnya. Setelah ia ceritakan semua detil kejadiannya, si ustadz menasehati dengan nasehat standar, “Mas, hidup ini bagaikan roda yang berputar, kadang dibawah, kadang diatas. Saat diatas kita tidak boleh semena-mena, saat dibawah kita harus sabar… Orang sabar itu di sayang Tuhan. Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, jadi mas tidak perlu menyesalinya, hadapi saja realitanya, ingat lho mas, Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar…”

Sabar, sabar, dengkulmu ambles!, kata Sariman. Bagaimana bisa bersabar, sementara kita dikejar-kejar oleh keharusan pemenuhan kebutuhan. Bersabar seperti apa, jika anak-anak kita menangis teriak-teriak karena lapar dan istri kita terisak-isak karena tidak ada sejumput beraspun yang bisa di masak. Sabar itu perlu. Sabar itu adalah bentuk pengkondisian bathin menuju ketenangan, sehingga kita tidak kemrungsung. Dengan bersabar, bathin tenang, pikiran lebih jernih, sehingga bisa menentukan langkah-langkah selanjutnya.

Jadi nasehat “sabar” itu benar, tapi itu masih koma. Seharusnya di jelaskan kenapa harus sabar, bagaimana bersabar itu, efeknya apa, daya letupnya sebesar apa, itu tidak pernah di nasehatkan. Ini yang kadang-kadang terdengar pilon. Maka ya jangan salahkan jika orang mempersepsikan “sabar” itu sebagai sesuatu yang pasif dan defensif. Padahal tidak sama sekali. Orang sabar, bukan lantas diam menerima keadaan, tapi ia melakukan aktifasi sistem inderawi untuk menata kembali pola kesadaran. Cara dan mekanismenya bisa dengan berbagai cara.

Tetapi sabar yang seperti itupun juga belum cukup. Tidak akan memiliki daya letup apapun. Ketika bathin sudah menjadi tenang, pola kesadaran telah berjalan secara ritmis, pikiran menjadi lebih jernih, maka kita akan menemukan jawabannya. Hanya dibutuhkan nyali untuk bertindak untuk merubah keadaan itu. Sudah bersabar, sudah tenang, sudah menemukan jalan keluarnya, tapi tidak mau action, ya pilon namanya.

Kembali soal “penyesalan”, kata Sariman. Benarkah penyesalan itu tiada berguna?

Sariman geleng-geleng, “Dasar pilon!”. Penyesalan itu justru penting. Penyesalan itu adalah sebuah akibat dari sebuah sebab. Akibat yang tidak sesuai dengan kehendak itulah yang mendatangkan penyesalan. Artinya, jika akibat yang yang ada tidak seperti yang di kehendaki, berarti ada yang salah pada sisi sebabnya. Maka penyesalan itu datangnya selalu belakangan, lantaran ia hanya akibat.

Karena ada yang salah pada sisi sebabnya, maka penyesalan itu menjadi penting. Penyesalan itu sebuah kondisi dimana seseorang telah menyadari kekeliruannya. Telah menemukan bottle neck nya. Menginsyafi bahwa apa yang telah dilakukannya salah dan merugikan dirinya. Ketika kita dilarang menyesali keadaan, maka sama artinya kita dilarang menginsyafi dan menyadari kesalahan-kesalahan kita. Pilon tidak?

Koruptor-koruptor kita, maling-maling, bandar narkoba, yang telah keluar dari penjara akan tetap melakukan korupsi, akan terus mencuri, akan terus mengedarkan narkoba, karena sebuah paradigma “penyesalan tiada berguna”. Mereka mau menyesal, mau menginsyafi bahwa yang dilakukannya adalah salah besar, tapi kita malah menasehati “yang sudah-ya sudah, tidak usah di sesali”. Dasar Pilon!

Seharusnya kita berikan ruang penyesalan itu. Taubat atau pertobatan itu tidak akan terjadi jika tidak diawali dengan sebuah penyesalan, bukan? Karena ia sadar bahwa ia berbuat salah, karena ia menginsyafi bahwa ia telah men-dzalimi banyak orang, dan itu semua merugikan diri sendiri dan banyak orang, maka ia menyesal dan bertobat serta tidak akan melakukannya lagi. Begitu kan urut-urutannya? Karena itulah “penyesalan” itu adalah pintu menuju pertobatan”, kata Sariman.

Jadi mungkin saja itulah penyebabnya mengapa koruptor tetap setia menjadi koruptor, pemimpin mencederai amanatnya, bangsa menjadi kerdil dan tak berdaya memberikan rasa aman, tentram, dan kebanggaan, nasionalisme menciut, ekonomi kita di setir oleh orang asing, westernisasi dianggap bahaya tapi tidak terbendung, masyarakat bingung di ping-pong oleh permainan politik, kerumunan massa di jalanan semakin penuh menuntut hak-haknya, Lumpur di Sidoarjo dijadikan komoditas politik, semua itu karena kita tidak pernah sadar oleh apa yang telah kita lakukan, tidak pernah belajar dari kesalahan, tidak pernah kapok oleh hukuman, tidak jera oleh pengalaman pahit, dan itu semua lantaran kita selalu merasa benar sendiri tanpa pernah ada sedikitpun penyesalan sehingga pintu pertobatan selalu terkunci rapat.

Lantas siapa yang pilon? Yang pilon adalah kita yang selalu mengajarkan bahwa “penyesalah itu tiada berguna”. Sesalilah…


Jakarta, 3 Sept 2007
http://www.rayasmoro.com/

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters