Please, add your self in my guestbook...

Kamis, September 06, 2007

PILONIAN (7) : Mental "Take and Give"

PILONIAN (7) : Mental “Take and Give”
Oleh Ray Asmoro

Istilah “take and give” sangat lah populer. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan cinta, hubungan interpersonal, bisnis, bahkan politik, istilah tersebut seringkali dipakai. Bahkan ada yang menggunakan istilah itu dalam hubungannya dengan Tuhan. “Take and Give”. Hmmm…

Dalam kamus bahasa inggris, “take” berarti mengambil, mendapatkan. Sedangkan “give” berarti memberi. Jadi “take and give” ini berarti mengambil dan memberi. Ini lah yang menurut Sariman, terdengar agak pilon. Konsep “take and give” ini konotasinya adalah mengambil dulu baru memberi. Seperti ini, kita tidak akan memberikan apapun jika kita belum mendapatkan sesuatu. Kita tidak akan membantu orang jika orang itu tidak mendatangkan keuntungan apapun pada kita. Kita tidak akan sudi melakukan shalat, menyembah-nyembah Tuhan jika Tuhan belum memberikan apa yang kita mau. Hmmm, pilon tidak?

Itu sih masih mendingan, kata Sariman. Yang lebih pilon adalah konsep “take and give” yang di anut justru di khianati sendiri. Ingat kalimat itu berbunyi “take and give” dan bukan “take or give”, maka itu menjadi satu paket karena disambung dengan kata “and” (dan). Artinya ketika kita sudah mengambil atau mendapatkan sesuatu maka konsekuensi logisnya ya kita harus (fardhu ‘ain hukumnya) memberikan sesuatu. Berbeda dengan “take or give”. “Or” (atau) menunjukkan pilihan. Boleh A, boleh B. Kalau sudah A, yang B menjadi sunnah atau bukan keharusan. Malah dalam hukum legal ada istilah “dan/atau” yang artinya, mau A saja boleh, B saja ya oke lah, mau A dan B juga monggo kerso, silakan.

Nah, yang dimaksud dengan adanya pengkhianatan tadi adalah banyak orang memegang konsep “take and give”, tapi begitu sudah “take” lupa “give, bahkan pura-pura lupa, belagak pilon! Ada yang tadinya hidupnya susah, lalu rajin berdoa, bersujud sampai tersungkur di tanah meminta-minta pada Tuhan, “Ya Tuhan, beri saya rizki melimpah, kalau saya di berikan rizki melimpah sebagian akan saya dermakan untuk kemaslahatan umat”, tapi setelah mendapatkan limpahan rizki tiada tara jadi lupa, bahkan pura-pura miskin.

Saya jadi ingat cerita Cak Nun tentang orang Madura yang bepergian naik pesawat. Orang Madura ini baru pertama naik pesawat, ia hendak pergi ke Jakarta, dia harus naik pesawat karena ada proyek mendadak, 2 jam lagi bertemu orang yang mau memberi proyek besar. Dia sebenarnya takut naik pesawat apalagi berita kecelakaan pesawat begitu sering terdengar. Maka ketika dia mau masuk pesawat dia berdoa “Ya Allah, beri saya keselamatan, kalau saya selamat nanti saya akan sembelih 1 sapi untuk dibagi-bagikan ke tetangga”. Begitu pesawat sudah take-off dan mulai menembus awan, pesawat terasa bergoyang-goyang, dia takut dan berdoa kembali “Ya Allah, beri saya keselamatan dan saya akan sembelih 2 sapi Ya Allah…” beberapa saat kemudian pesawat tenang kembali. Ketika dia ngobrol dengan penumpang yang duduk disebelahnya diceritakan bahwa saat yang paling sulit adalah saat mendaratkan pesawat. Nah ketika di umumkan pesawat sebentar lagi mau mendarat, keringat dinginnya keluar sebiji-biji jagung, lalu dia berdoa kembali “Ya Allah… ndak jadi 2 sapi. 3 sapi Ya Allah...”. Begitu pesawan semakin dekat dengan bumi, ia melihat ke luar lewat jendela dan ia semakin takut, “4 sapi Ya Allah…”. Dan begitu roda pesawat mulai menyentuh landasan, guncangannya terasa semakin menakutkannya, “5 sapi Ya Allah… bukan, 6 Ya Allah…, 7… eh 8 sapi Ya Allah…”, ketika pesawat benar-benar berhenti dan tidak terjadi suatu apapun, dia cengengesan, kemudian dia bilang “Ya Allah, emang kalau saya ndak sembelih sapi, mau apa?” Dasar pilon!

Begitu juga yang sering kita jumpai. Apalagi di ranah politik. Bahkan konsep “take and give” itu sangat melekat dalam birokrasi kita. Coba deh anda mengurus dokumen di sebuah departemen atau instansi pemerintah, bisa dipastikan satu dokumen perijinan saja misalnya, tidak akan selesai dalam tempo satu bulan padahal persyaratan sudah lengkap, pejabat yang berwenang tanda-tangan juga ada ditempat. Mereka akan “give” anda dokumen yang anda butuhkan jika mereka sudah “take” sesuatu dari anda. Saya tidak bilang soal suap lho, tapi begitulah mental “take and give”. Tuhan saja di permainkan apalagi anda.

Di dunia pekerjaan juga demikian. Dengan konsep “take and give”, pekerja di pakai tenaga dan pikirannya, sebulan kemudian baru perusahaan memberikan gajinya. Wajar. Tidak menjadi wajar apabila pekerja tidak diberikan hak-haknya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Jadi apabila pekerja anda demo, mogok, protes, mulai malas-malasan, anda harus segera cek apakah anda sudah “give” hak-hak pekerja anda secara wajar sebagaimana mestinya.

Sariman punya pendapat lain. Ia sama sekali menolak konsep “take and give”. Baginya “take and give” itu sangat tendensius dan kadar keikhlasannya nyaris tidak ada. Bahkan konsep “take and give” ini bertentangan dengan hukum sebab-akibat atau sunatullah. Jika “take” itu sebuah sebab, maka “give” itu sebuah akibat. Jika anda ingin memberi maka anda harus mengambil. Kata “mengambil” ini kan multipersepsi, bisa jadi mengambil secara terang-terangan, mengambil gelap-gelapan, mengambil secara sembunyi-sembunyi, bisa korupsi, maling, ngrampok, nodong, nyopet, ngutil, pokoknya mengambil, ndak peduli benar atau salah. Kesimpulannya, konsep “take and give” ini sangat berbahaya.

Di usulkanlah sebuah konsep yang sangat logis dan masuk akal, tidak menyimpang dari sunatullah, memenuhi syarat hukum sebab akibat, tidak tendensius dan sangat mendidik, konsep itu adalah “give and rechieve” (memberi dan menerima).

Kaitannya dengan hukum sebab akibat, sangat relevan. Jika “give” adalah sebab maka “rechieve” adalah sebuah akibat. If you want to “rechieve” than you must to “give”. Ini sama seperti doktrin “jika engkau ingin mendapatkan hak-hakmu maka tunaikan kewajibanmu”. Jika anda ingin uang melimpah ya anda tidak cukup ongkang-ongkang kaki saja, anda harus bekerja. Jika anda ingin orang lain respect pada anda, maka anda harus memberikan kepedulian dan penghargaan pada orang lain. Kalau anda ingin di promosikan dari jabatan anda, maka anda harus ledih dahulu memberi bukti prestasi kerja kepada pimpinan. Jika anda ingin memiliki anak yang sholeh dan sholehah maka anda harus memberi teladan sebagai orang tua yang sholeh dan sholehah. Jika anda ingin karyawan anda lebih giat bekerja agar omset dan profit margin anda meningkat, maka anda harus memberikan “perhatian” lebih kepada karyawan anda. Jika anda ingin pelanggan anda setia maka anda harus perlakukan pelanggan anda seperti pacar anda. Jika anda ingin suami atau istri anda sayang pada anda maka anda harus terlebih dahulu memberikan cinta dan kasih sayang tulus pada istri atau suami anda. Jika anda ingin terpilih jadi presiden tahun 2009 nanti, ya anda harus mati-matian membela rakyat, harus memiliki program konkret bagi peningkatan kesejahteraan rakyat miskin, menyediakan lebih banyak lapangan kerja, mengungkap skandal pembunuhan Munir, segera memburu dan mengadili para koruptor dan menyelesaikan kasus Lapindo secara adil. Dan jika anda ingin Tuhan memberikan apa yang anda pinta, ya anda harus terlebih dulu melaksanakan perintah-perintahnya secara ikhlas.

Lalu apa jaminannya jika sudah memberi pasti akan menerima? (Sariman diam sejenak sambil garuk-garuk kepala).

Dalam hal “give and rechieve” Tuhan sudah berjanji, “…barang siapa melakukan perbuatan baik sebesar biji dzarah sekalipun, maka ia akan mendapatkan bagian (pahala) yang setimpal…” Sudah jelas, bukan? If you do something, than you will get something. Untuk mendapatkan sesuatu (have) kita harus melakukan sesuatu (do). Hanya saja dalam konteks tertentu kita tidak bisa langsung menerima sesuatu dalam wujud fisik. Kita mengeluarkan uang untuk menolong orang, bisa jadi bukan uang yang kita terima sebagai balasan tapi bisa respect atau persaudaraan atau kepuasan bathin. Kita memuji sales kita karena ia telah kerja dengan sangat antusias, bukan uang yang kita berikan tapi dia bisa memberikan kita uang dengan mencetak angka penjualan yang fantastis karena merasa diperhatikan dan dihargai.

Sekarang apa jadinya jika kita selalu memberi caci maki kepada staf kita atau selalu bersikap sinis dengan teman sekitar atau selalu memberi penilaian buruk kepada orang lain atau selalu memberi ancaman kepada anak kita atau selalu memberikan cemooh atau hinaan terhadap karya orang lain? Bisa dipastikan kita akan mendapatkan (rechieve) sesuatu yang negatif.

Kesimpulannya, kata Sariman, jika selama ini banyak orang yang membenci kita, banyak yang diam-diam ngrasanin kita dengan hal-hal buruk, banyak yang sinis dan apatis sama kita, banyak orang yang menjauhi kita, banyak yang tidak mau menerima pendapat dan ajakan kita, banyak yang mengabaikan kita, banyak orang yang mengutuk kita, banyak orang yang tidak senang dengan kehadiran kita, banyak orang yang tidak mau bekerjasama dengan kita, banyak orang yang tidak mau membeli barang di toko kita, banyak tetangga yang tidak mau menyapa kita, dan masih banyak lagi, maka satu-satunya hal yang harus kita pikir dan kita pertanyakan pada diri kita sendiri adalah “apa yang telah kita berikan kepada orang lain? Sesuatu yang baik atau sebaliknya?”.

Pikirkan, tanyakan dan temukan jawabannya di kesadaran anda.



Jakarta, 4 September 2007
www.rayasmoro.com

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters