Please, add your self in my guestbook...

Minggu, September 02, 2007

PILONIAN (5) : Penyesalan

PILONIAN (5) : Penyesalan
Oleh : Ray Asmoro

Banyak orang, kyai, pendeta, ustadz, biku, psikolog, trainer, motivator, coach, yang mengatakan “apa yang telah terjadi, jangan di sesali”. Sariman menemukan keganjilan dalam pernyataan itu. Benarkah kita tidak perlu menyesal? Benarkah penyesalan itu tiada berguna? Benarkah?

Ada gadis remaja yang di tinggal pacarnya. Lantas ia menyesal, mengapa orang yang begitu di cintai meninggalkannya padahal segala bentuk perhatian dan sayang telah di curahkannya. Saat ia curhat pada orang lain, ia di nasehati “Yang sudah ya sudah, ndak perlu disesali…Penyesalan dan airmata tiada berguna…”, katanya.

Seorang businessman datang kepada konsultannya, ia membeberkan kerugian investasinya. Gara-garanya adalah ia salah membaca situasi dan terbujuk oleh rayuan manis seseorang culas yang ingin memanfaatkannya. Apa yang dikatakan konsultannya kemudian? “Bapak, yang terjadi tidak bisa di tarik kembali, jadi buat apa di sesali?...”

Seorang bapak separuh baya datang ke psikiater, ia menumpahkan seluruh problematika keluarganya. Sambil sesenggukan ia bercerita bahwa hubungannya dengan istrinya sedang dilanda bdai prahara. Istrinya ada “main” dengan pria lain. Anak-anak dirumah jadi tidak terurus. Tapi dialah yang mengawali semuanya, ketika ia mulai sering tidak pulang dengan bermacam-macam alasan. Istri dan anak tidak diperhatikan lagi, malah sibuk membuat jadwal “lembur” dengan sekretarisnya. Kini sekretarisnya hamil dan menuntut pertanggungjawabannya, bla-bla-bla… Sambil memberikan selembar tisu, psikiater itu menasehati “Apakah bapak, bisa merubah segala sesuatu yang sudah terjadi? Jika menurut bapak itu tidak mungkin, mengapa harus menyesal, karena itu tidak akan merubah apapun…”

Ada remaja SMU yang tidak naik kelas. Kemudian ia curhat kepada teman karibnya. “Jack, gue malu nggak naik kelas. Orang tua gue pasti juga malu. Nyesel gue. Kenapa dulu gue males belajar ya…” terus kemudian karibnya menasehati, “Penyesalan itu selalu datang di kemudian hari Bro, dan itu tidak lantas merubah keadaan… Sudahlah Bro terima saja kenyataannya, nggak perlu disesali…”

Satu lagi. Seorang pria muda resah lantaran ia di PHK dari perusahaan tempat selama ini ia bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga. Sebab musababnya, ia menggerakkan aksi demonstrasi, menuntut kenaikan gaji 30%. Padahal kinerja dia standar aja, dan perusahaan belum mampu memenuhi tuntutannya. Maka perusahaan mem-PHKnya dan meng-hire orang baru untuk menggantikan posisinya. Walaupun ia dapat pesangon tapi ia tetap merasa rugi. Pesangon yang diterima mungkin akan habis dalam waktu 4 sampai 6 bulan, setelah itu? Hmmm, itulah yang membuatnya resah. Pekerjaan baru belum juga di dapat, mau usaha sendiri tidak punya cukup nyali, mau protes ke perusahaan… Apa haknya? Perusahaan telah memberikan haknya. Seandainya dulu ia tidak menggerakkan aksi demontrasi, pasti sekarang ia masih bekerja, punya status, dan untung-untung perusahaan mau mempromosikannya karena ia tergolong karyawan yang cukup senior, begitu pikirnya.

Dalam duka resahnya itu, ia datang kepada seorang ustadz di lingkungan rumahnya. Setelah ia ceritakan semua detil kejadiannya, si ustadz menasehati dengan nasehat standar, “Mas, hidup ini bagaikan roda yang berputar, kadang dibawah, kadang diatas. Saat diatas kita tidak boleh semena-mena, saat dibawah kita harus sabar… Orang sabar itu di sayang Tuhan. Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, jadi mas tidak perlu menyesalinya, hadapi saja realitanya, ingat lho mas, Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar…”

Sabar, sabar, dengkulmu ambles!, kata Sariman. Bagaimana bisa bersabar, sementara kita dikejar-kejar oleh keharusan pemenuhan kebutuhan. Bersabar seperti apa, jika anak-anak kita menangis teriak-teriak karena lapar dan istri kita terisak-isak karena tidak ada sejumput beraspun yang bisa di masak. Sabar itu perlu. Sabar itu adalah bentuk pengkondisian bathin menuju ketenangan, sehingga kita tidak kemrungsung. Dengan bersabar, bathin tenang, pikiran lebih jernih, sehingga bisa menentukan langkah-langkah selanjutnya.

Jadi nasehat “sabar” itu benar, tapi itu masih koma. Seharusnya di jelaskan kenapa harus sabar, bagaimana bersabar itu, efeknya apa, daya letupnya sebesar apa, itu tidak pernah di nasehatkan. Ini yang kadang-kadang terdengar pilon. Maka ya jangan salahkan jika orang mempersepsikan “sabar” itu sebagai sesuatu yang pasif dan defensif. Padahal tidak sama sekali. Orang sabar, bukan lantas diam menerima keadaan, tapi ia melakukan aktifasi sistem inderawi untuk menata kembali pola kesadaran. Cara dan mekanismenya bisa dengan berbagai cara.

Tetapi sabar yang seperti itupun juga belum cukup. Tidak akan memiliki daya letup apapun. Ketika bathin sudah menjadi tenang, pola kesadaran telah berjalan secara ritmis, pikiran menjadi lebih jernih, maka kita akan menemukan jawabannya. Hanya dibutuhkan nyali untuk bertindak untuk merubah keadaan itu. Sudah bersabar, sudah tenang, sudah menemukan jalan keluarnya, tapi tidak mau action, ya pilon namanya.

Kembali soal “penyesalan”, kata Sariman. Benarkah penyesalan itu tiada berguna?

Sariman geleng-geleng, “Dasar pilon!”. Penyesalan itu justru penting. Penyesalan itu adalah sebuah akibat dari sebuah sebab. Akibat yang tidak sesuai dengan kehendak itulah yang mendatangkan penyesalan. Artinya, jika akibat yang yang ada tidak seperti yang di kehendaki, berarti ada yang salah pada sisi sebabnya. Maka penyesalan itu datangnya selalu belakangan, lantaran ia hanya akibat.

Karena ada yang salah pada sisi sebabnya, maka penyesalan itu menjadi penting. Penyesalan itu sebuah kondisi dimana seseorang telah menyadari kekeliruannya. Telah menemukan bottle neck nya. Menginsyafi bahwa apa yang telah dilakukannya salah dan merugikan dirinya. Ketika kita dilarang menyesali keadaan, maka sama artinya kita dilarang menginsyafi dan menyadari kesalahan-kesalahan kita. Pilon tidak?

Koruptor-koruptor kita, maling-maling, bandar narkoba, yang telah keluar dari penjara akan tetap melakukan korupsi, akan terus mencuri, akan terus mengedarkan narkoba, karena sebuah paradigma “penyesalan tiada berguna”. Mereka mau menyesal, mau menginsyafi bahwa yang dilakukannya adalah salah besar, tapi kita malah menasehati “yang sudah-ya sudah, tidak usah di sesali”. Dasar Pilon!

Seharusnya kita berikan ruang penyesalan itu. Taubat atau pertobatan itu tidak akan terjadi jika tidak diawali dengan sebuah penyesalan, bukan? Karena ia sadar bahwa ia berbuat salah, karena ia menginsyafi bahwa ia telah men-dzalimi banyak orang, dan itu semua merugikan diri sendiri dan banyak orang, maka ia menyesal dan bertobat serta tidak akan melakukannya lagi. Begitu kan urut-urutannya? Karena itulah “penyesalan” itu adalah pintu menuju pertobatan”, kata Sariman.

Jadi mungkin saja itulah penyebabnya mengapa koruptor tetap setia menjadi koruptor, pemimpin mencederai amanatnya, bangsa menjadi kerdil dan tak berdaya memberikan rasa aman, tentram, dan kebanggaan, nasionalisme menciut, ekonomi kita di setir oleh orang asing, westernisasi dianggap bahaya tapi tidak terbendung, masyarakat bingung di ping-pong oleh permainan politik, kerumunan massa di jalanan semakin penuh menuntut hak-haknya, Lumpur di Sidoarjo dijadikan komoditas politik, semua itu karena kita tidak pernah sadar oleh apa yang telah kita lakukan, tidak pernah belajar dari kesalahan, tidak pernah kapok oleh hukuman, tidak jera oleh pengalaman pahit, dan itu semua lantaran kita selalu merasa benar sendiri tanpa pernah ada sedikitpun penyesalan sehingga pintu pertobatan selalu terkunci rapat.

Lantas siapa yang pilon? Yang pilon adalah kita yang selalu mengajarkan bahwa “penyesalah itu tiada berguna”. Sesalilah…


Jakarta, 3 Sept 2007
http://www.rayasmoro.com/

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters