Please, add your self in my guestbook...

Minggu, September 16, 2007

PILONIAN (9) : Anak Shaleh

PILONIAN (9) : Anak Shaleh
Oleh Ray Asmoro

Sesaat setelah kelahiran anak pertamanya, Sariman mendapat hujan SMS. Kerabat, teman, sahabat, rekan kerja, partner, kenalan, mantan pacar, semuanya seperti sudah janjian untuk mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Sariman. Satu-dua SMS sempat dibacanya, selebihnya ia hanya lihat siapa pengirimnya lalu “delete message”, apa pasalnya? Ya, buat apa di baca, toh semua inti isinya sama, standar, “Selamat, semoga menjadi anak yang shaleh (shalehah)”.

Bagaimanapun Sariman tak lupa mengucapkan terimakasih dan meng-amini doa-doa yang dikirm via SMS itu. Orang tua mana yang tidak mengharapkan anaknya menjadi shaleh, orang tua mana yang tak bangga jika anaknya menjadi anak yang pintar, berbhakti dan berbudi pekerti terpuji. Tapi Sariman merasa ada yang agak ganjil dengan doa-doa itu.

Doa, tentu saja baik. Kata Sariman, bukan doa namanya jika bukan tentang kebaikan. Maka jika orang mendoakan yang lain agar celaka, menyumpah-serapahi, itu bukan doa. Kutukan namanya. “Aku doakan kamu di srempet bajaj” atau “aku doakan kamu jadi kodok” misalnya, kalimat itu jelas bukan doa walaupun menggunakan kata “doa”, maka kalimat yang benar, seharusnya “aku kutuk kamu agar di srempet bajaj” atau “aku kutuk kamu menjadi kodok”. Karena yang namanya doa selalu tentang kebaikan. Sederhananya, doa itu selalu positif dan yang negatif itu disebut kutukan. Titik. Jadi jangan dicampuradukkan, jangan belagak pilon deh…

Kembali soal keganjilan tadi. Yang dimaksud Sariman bukan doanya yang ganjil atau salah. Tetapi paradigmanya yang terasa nyleneh. Begini, anak itu kan (katanya) titipan illahi, amanah. Jika anak tumbuh menjadi begundal, ya jangan salahkan anak sepenuhnya, karena kita orangtuanya lah yang diberi amanat. Ingat setiap manusia lahir dengan sifat hanif atau kebaikan.

Misalkan saja, anda yang kerja di Kota menitipkan segepok uang kepada kenalan untuk diberikan kepada sanak keluarga di kampung, lalu ketika diterima yang berhak ternyata uang itu berkurang jumlahnya, maka siapa yang salah? Jelas bukan uangnya, karena uang tidak bisa menjaga dirinya. Apalagi ada pameo “Jika anda titip uang, bisa jadi akan berkurang. Jika anda titip omongan, bisa jadi akan berlebih”.

Jika anda belajar matematika, guru matematikanya menyenangkan dan teknik mengajarnya sangat mengasyikkan, teman-teman anda yang lain dapat nilai sembilan dan hanya anda sendiri yang dapat nilai empat, maka jelas bukan salahnya matematika, bukan? Andaikata anda seorang sopir angkot, anda mengangkut dua-belas orang penumpang, di jalan anda kecelakaan karena anda tidak fokus, kendaraan rusak, sehingga penumpang tidak sampai ditujuan, maka jelas bukan salahnya penumpang, bukan?

Kalau pemimpin di percaya (diberi amanat) untuk memperbaiki derajat dan taraf hidup rakyat, tapi rakyat tetap saja teraniaya dan malah kalap karena pemimpinnya justru tidak berpihak pada rakyat, tidak memiliki program konkret untuk kesejahteraan rakyat, maka apakah rakyat yang salah? Hmmm, suka pada pilon sih…

Maka itu, anak menjadi apa, menjelma siapa ia kelak, tergantung orangtuanya, si pemegang amanat. Kita ingin anak-anak kita menjadi pintar, tapi kita tidak pernah terlihat oleh anak sedang baca buku atau belajar sesuatu. Kita ingin anak-anak kita rajin mengaji tapi kita tidak pernah sekalipun terdengar dan terlihat oleh anak kita melantunkan ayat-ayat ilahi. Kita ingin anak kita menjadi anak yang santun kepada orang lain, menyayagi dan menghargai teman, tapi dirumah ia selalu kita suguhi menu-menu pertengkaran, tidak pernah kita tunjukkan bagaimana menghargai perbedaan pendapat. Kita ingin anak-anak kita bisa bertutur kata lembut dan sopan penuh kasih, tapi setiap hari kita cekokin dia dengan hinaan, cercaan atau makian. Kita ingin anak-anak kita menjadi anak yang shaleh tapi sikap, tindakan dan kata-kata kita justru jauh dari keshalehan. Kita ingin anak-anak kita menjadi pemimpin tapi kita tidak pernah memberikan teladan tentang kedisiplinan dan tanggungjawab. Apa namanya itu? - “Like father like son, Pilon!”

Siapakah “orang tua” pemegang amanat itu? Ada dua orang tua, orangtua biologis dan non-biologis. Orangtua biologis jelas bapak-ibu kita yang karena lantaran mereka kita ada. Mereka pemegang amanat itu, bahkan peletak fondasi mental anak, seperti kata para pakar-pakar itu, lingkungan keluarga adalah pintu pertama penentu perkembangan mental dan kepribadian anak.

Sedangkan orangtua non-biologis adalah orang (lingkungan) yang memiliki intensitas pengaruh cukup kuat kepada seseorang, bahkan orang tua non-biologis ini bisa juga sebuah faham (isme), mazhab, ataupun ideologi. Orang tua non-biologis ini bisa guru, atasan, pimpinan, boss, pemuka agama, cendekiawan, pakar, begawan, atau bisa juga sebuah faham atau aliran : demokrasi, ahmadiyah, ahlu sunnah wal jama’ah, liberalisme, marxisme, komunisme, pancasialisme, barbarianisme, atau lainnya, (bahkan pilonianisme!).

Serunya, “orangtua” ini juga memiliki sejarah sebagai anak. Ada hirarki sejarah yang saling kait-mengkait. Jika teman-teman pemuda dan mahasiswa yang juga anak-anak bangsa itu berunjuk rasa teriak-teriak di jalan, kadang usil dan kurang sopan, menghujat, memaki, ya karena pemimin bangsanya tidak pernah memberikan teladan yang baik, malah menteladankan perilaku arogan, sikut-sikutan, mau menang sendiri, tidak membumi, dan malah membuat jarak. Siapa pilon?

Soal SMS doa tadi, paradigma Sariman sedikit berbeda, mengapa mendoakan anaknya? Bukankah anak itu amanah orang tua?

Suatu ketika Sariman mendapat kabar ada temannya yang baru saja melahirkan seorang anak, karena Sariman belum ada kesempatan menjenguk maka ia mendoakan melalui pesan singkat (SMS) : “Selamat! Semoga menjadi orangtua yang shaleh dan shalehah, Amin…”


Jakarta, 7 September 2007
www.rayasmoro.blogspot.com

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters