Please, add your self in my guestbook...

Minggu, September 09, 2007

PILONIAN (8) : Matematika Sedekah

PILONIAN (8) : Matematika Sedekah
Oleh Ray Asmoro

Dalam harta kita terdapat hak-hak orang miskin dan kaum dhuafa. Begitulah firman Tuhan, fatwa Rasul, dan peringatan para kyai dan ustadz. Indah sekali. Kita diajarkan untuk care terhadap sesama, saling tolong-menolong dan berbagi. Yang kuat mengangkat yang lemah dan bukan sebaliknya, yang kuat menginjak-injak dan menistakan yang lemah.

Sayangnya manusia (lebih-lebih saya) memiliki kecenderungan untuk tamak, aku Sariman. Maunya mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, jika mungkin seluruh isi jagad raya ini bisa dimilikinya, bahkan tuhan pun ingin di belinya. Subhanallah…

Sedekah (shodaqoh) adalah sebuah bentuk tindakan (amal) dimana seseorang menyisihkan sebagian “hartanya” untuk kemaslahatan. Dalam syari’at, ada kalkulasi matematik, seberapa besar yang wajib kita sedekahkan. Seperti juga halnya zakat atau warisan, semua ada kalkulasi matematiknya. Di sisi lain, kata Sariman, sedekah ini adalah sebuah manifestasi dari rasa syukur atas limpahan rizki dari Tuhan. Ada pembelajaran yang sangat agung disini. Ketika kita sedang di lapangkan rizkinya, kita wajib berbagi kegembiraan itu. Ketika kita di beri kesuksesan, hmmm… kira-kira enak apa nggak sih jika kita sukses sendirian?

Analoginya mungkin seperti ini. Andaikata anda naik gunung sendirian, berjuang mendaki sendirian, hingga di puncak gunung tidak ada satupun manusia, maka senikmat apa yang bisa anda rasakan ketika melihat pemandangan indah dari puncak gunung itu? Tentu saja akan lebih nikmat jika ada teman berbagi, bukan? Sebab itulah orang mendaki gunung tidak sendirian. Jikalau ada yang sendirian, hmmm… bisa jadi dia sedang pilon, linglung, stress, putus asa, atau mau bunuh diri. Artinya, tidak dengan perasaan suka-cita dan ikhlas.

Banyak saudara-saudara kita yang begitu ambisius menaiki tangga karir. It’s OK, ambisi itu tidak haram kok. Hanya saja banyak yang saking ambisiusnya, terus lupa dan tidak peduli pada teman sejawat dan lingkungannya. Apa saja dilakukan, segala cara di halalkan demi sebuah ambisi, demi sebuah gengsi. Komunikasi horisontal yang hangat dan mesra di abaikan, hubungan mutual tidak di bangun, ego berkuasa dan bertahta dalam diri. Hatinya tertutup tirai ketamakan. Kemudian yang dilakukan ya menjilat dan menjilat. “Mencari muka”. Ini yang pilon. Mencari muka kok didepan atasan, kenapa tidak “mencari-muka” di hadapan Tuhan? Dalam konteks politik kekuasaan, juga demikian. Jika anda wahai penguasa, ingin “mencari-muka” dihadapan Tuhan, anda harus dengar suara rakyatmu. Bukankah suara rakyat itu suara Tuhan?

Ketika ambisi tergapai, kekayaan bertumpuk, gengsi telah terbeli, puncak karir dan kekuasaan telah dipijak, sementara komunikasi dan hubungan interpersonal tidak di bangun, cuek pada tetangga, maka kita tentu saja bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi. Materi telah membutakan mata hatinya, kekuasaan telah menguburkan kesalehan sosialnya, gengsi telah memenjarakannya dalam kesunyian. Ini yang seringkali terjadi. (Makanya kalau mau sukses, ajak-ajak yang lain, biar nggak kesepian…)

Itulah makna sedekah. Ia mengajarkan kita untuk berbagi. Jika itu dilakukan secara ikhlas sebagai manifestasi rasa syukur mendalam, maka Tuhan akan menambah nikmatmu dengan berlipat-lipat. Jadi kalau ente mau rizki berlipat-lipat itu mudah coy! Lipat-gandakan saja sedekah ente. Itulah matematika sedekah.

Dalam ilmu matetamatika konvensional jika 10 dikurangi 2 maka hasilnya tinggal 8. Tapi dalam matematika sedekah, 10 harta kita, kita ambil 2 untuk di sedekahkan secara ikhlas maka (percaya atau tidak), hasilnya bisa 14, 20, atau bahkan tak terhingga. Tuhan sendiri kok yang menjanjikan. Wallahua’lam.

Kita semua yang beragama pasti mahfum soal itu. Hanya entah mengapa kita suka pura-pura lupa, pura-pura tidak tahu, belagak pilon. Ingin rizki berlipat-lipat tapi ogah bersedekah. Ingin hidup sejahtera tapi enggan mensyukuri nikmat. Yang lebih pilon, banyak diantara kita (lebih-lebih saya, Masya Allah…) yang berat hati dan kalaupun mau bersedekah itu pun hanya seminimal-minimalnya. Contoh konkret, kalau kita punya selembar uang 10.000an dan selembar uang 1.000an, maka kalaupun kita mau sedekah pasti yang 1.000an lah yang kita sedekahkan. Kalau kita punya dua lembar 100.000an dan selembar 1.000an, maka kalaupun kita mau sedekah, jujur sajalah, kira-kira yang kita berikan selembar 100.000an atau selembar 1.000an? (Saya tebak, selembar 1.000an lah pilihannya, itupun meberikannya dengan tangan kiri, dengan sedikit ngedumel tapi setelahnya kita cerita-ceritakan dengan bangga di tetangga-tetangga kita. Dasar pilon!).

Kalau saja anda punya 5 lembar 100.000an dan dua lembar 10.000an, maka kalau pun anda mau sedekah, apakah anda akan berikan dua lembar 10.000an? Saya yakin, tidak. Saya yakin anda hanya akan memberikan selembar 10.000an. Hmmm… ya tidak? Kenapa tidak selembar 100.000an? (Anda sendiri yang tahu jawabannya). Itulah anehnya. Yang recehan lah prioritas sedekah kita. Tapi jika untuk sebuah jabatan atau kekuasaan, ratusan milyar pun di keluarkan. (Konon, itu sudah menjadi rahasia umum dalam politik kita dalam pemilu, pilkada ataupun jabatan strategis-politis lainnya).

Begitulah, kata Sariman. Mental kita ini memang mental recehan. Dan pilon-nya, kita justru bangga dengan recehan. Ampuuun Di-Je…


Jakarta, 10 September 2007
www.rayasmoro.blogspot.com
www.rayasmoro.com

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters