Please, add your self in my guestbook...

Senin, Desember 17, 2007

PILONIAN 12 : Global Warming

PILONIAN 11 : Global Warming

(by : Ray Asmoro)


Dua minggu belakangan, di koran-koran, di TV-TV ramai diberitakan tentang pemanasan global dan dampaknya terhadap ekosistem bumi. Isu pemanasan global sedemikian hebat dan menakutkan, sehingga kita yang mendengar beritanya sampai merinding.

Semua orang merinding, tapi tidak Sariman. Dia mah, adem-ayem saja. Bukan lantaran dia cuek bebek terhadap lingkungan tetapi… dengarkan petikan wawancara saya dengan Sariman.

Saya : Mas Sariman ini piye toh kok adem-ayem saja. Padahal saat ini semua ramai menyimak isu pemanasan global

Sariman : Saya tidak adem-ayem, saya peduli. Tetapi apa ya harus terus menyikapi itu semua secara emosional? Begini lho dik…Pemanasan global ini bukan isu baru, bertahun-tahun lalu juga pernah diangkat. Bahkan kenapa dinosurus itu sampai punah? Ya salah satu penyebabnya adalah pemanasan global, sehingga ekosistem bumi berubah dan mereka tidak adaptif terhadap perubahan itu.

Saya : Tetapi mengapa minggu-minggu ini begitu ramai diperbincangkan, Mas?

Sariman : Lha disitulah letak pilon-nya. Kenapa baru sekarang, karena tiga hal. Pertama, ke-pilon-an manusia. Maksudnya, manusia bereaksi setelah ada akibat yang tidak menguntungkan. Pilon kan itu namanya. Kita kan diberikan akal pikiran, punya kemampuan analisis yang luar biasa, seharusnya mampu menghitung dan mengukur apa-apa yang bakal terjadi, ya hitungannya mungkin tidak persis tepat, tapi dengan begitu kita bisa melakukan tindakan-tindakan preventif.

Kalau kita mengendarai mobil atau motor kita kan bisa perkirakan (walaupun tidak persis tepat) seberapa jauh jarak aman kita dengan kendaraan di depan. Kalau jarak kita dengan kendaraan didepan hanya 2 meter, sedangkan kecepatan kita dan kecepatan kendaraan didepan kita sama-sama 80 km/jam, maka jika kendaraan didepan kita berhenti mendadak maka bisa dipastikan kita akan nabrak. Kalau ndak mau kecelakaan, ya jaga jarak aman dong… bukan terus menyalahkan kendaraan didepan kita atau pak polisi.

Nah ini tidak ada kesadaran seperti itu. Pemanasan global itu sudah dibicarakan sejak lama, bahkan oleh Negara-negara maju seperti AS itu. Tapi karena dulu dampaknya belum cukup bisa membuat merinding, maka ya terus lenyap isu itu. Lalu itu hanya menjadi isu bagi LSM-LSM lingkungan yang (maaf) seringkali kurang memiliki kekuatan politis untuk melakukan perubahan.

Kedua, ini seperti ajang ‘show-off’, dua minggu sebelum ada konferensi di Bali itu, sepertinya belum terjadi pemanasan global toh? Tidak ada koran atau televisi yang mengangkat topik pemanasan global dalam head-line nya. Tapi begitu petinggi dan pakar dari banyak Negara berkumpul di Bali, bicara tentang pemanasan global, sekonyong-konyong, ujug-ujug, terjadilah pemanasan global itu. Kemudian koran dan televisi ramai memasang topik pemanasan global sebagai headline beritanya. Ada yang menyajikan liputan dampak pemanasan global bagi nelayan dan petani. Kenapa baru sekarang coy…? Tahu kenapa? Karena petinggi dan pakar itulah yang menyebabkan pemanasan global, jadi mereka itu seperti tuhan, menentukan apa yang terjadi. Coba saja petinggi dan pakar dari berbagai negara itu tidak berkumpul di Bali, mungkin saja pemanasan global tidak terjadi. Jadi pesannya, jangan macam-macam sama para petinggi dan pakar itu. Dasar pilon! Dan saya kira, setelah konferensi di Bali selesai, maka selesai pulalah pemanasan global di bumi ini ha..ha..ha...

Itulah alasannya…

Saya : Tadi katanya ada tiga hal, mas Sariman baru sebutin dua hal, terus hal ketiga apa dong Mas?

Sariman : Hmm.. iya ya. Hal ketiga, ini murni politis. Negara-negara berkembang macam kita ini di paksa untuk melakukan pelestarian lingkungan, sementara negara maju sibuk mengotori dunia dengan segala macam dan bentuk pembangunan. Ini kan un-fairness. Padahal kan sama-sama butuh. Amerika butuh udara segar, kita butuh mengejar ketinggalan dengan banyak pembangunan. Lha kalau kita tidak boleh “mengorbankan” lingkungan, terus Amerika mau kasih kontribusi apa? Dia ndak boleh diam saja. Itu lhoh intinya.

Saya : Ok, I get the point. Terus apa yang sebaiknya dilakukan oleh warga Negara Indonesia, Mas?

Sariman : Seharusnya ya peduli. Bahkan sebetulnya itu fardhu’ain hukumnya. Kepedulian itu bisa dimulai dari lingkungan terkecil, dari hal-hal remeh. Misalnya memisahkan sampah organik dan non-organik. Tapi… (Sariman diam agak lama, ekspresinya aneh, tidak jelas apakah ia sedang berpikir atau bingung)

Saya : Tapi apa Mas..?

Sariman : Capek deh…

Saya : Maksudnya?

Sariman : Bangsa kita ini kan sebenarnya kaya raya, masyarakat kita ini sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Tapi ya itu, kalau kita sadari. Masalahnya banyak yang ndak sadar sih. Padahal instansi departemen penerangan sudah membuat program penerangan dan penyuluhan walaupun efektifitasnya dipertanyakan, para kyai, pendeta, biksu, ulama, motivator, guru, tokoh masyarakat, semua juga sudah sering mengingatkan akan kesadaran itu. Soal kebersihan saja misalnya, tapi tetap saja kotor. Lha saya jadi mikir mungkin memang harus Tuhan yang turun tangan, dan pemanasan global ini mungkin salah satu cara Tuhan untuk memberikan peringatan. Tapi seberapa banyak dari 270 juta penduduk Indonesia ini yang menyadari? Not more than 10%, I think.

Padahal itu juga bukan kepentingan Tuhan. Kita peduli atau tidak terhadap lingkungan, Tuhan tidak merasa rugi. Bahkan kita tidak menyembah Tuhan pun, Tuhan tidak rugi. Tapi ingat Tuhan pernah bilang, kalau kalian tidak ikut aturan-Ku (kata Tuhan), ya silakan menyingkir dari bumi-Ku. Lha anda terus mau kemana?

Jakarta, Desember 2007

Minggu, Desember 09, 2007

EKSEKUSI MATI UNTUK MORGAN

EKSEKUSI MATI UNTUK MORGAN

Cerpen Ray Asmoro

Ada dua lelaki di ruangan itu. Selebihnya hanya nyamuk dan kecoa.

Seorang lelaki setengah baya bertubuh tegap, duduk di sudut meja dengan sikap yang superior. Lengan bajunya dilipat hingga ke pangkal siku. Kancing pertama dibiarkan terbuka. Sorot matanya tajam. Suaranya dalam dan berwibawa. Seorang lagi duduk di kursi kayu. Tangannya terborgol. Pada beberapa bagian wajahnya terlihat biru lebam. Darah menitik dari hidung dan ujung bibirnya.

Lampu pijar empat puluh watt tergantung di langit-langit ruangan, dengan kap lampu berbentuk corong, bergoyang-goyang, menciptakan suasana yang spesifik. Bias cahayanya memperkuat gambaran pada pemuda itu sebagai pesakitan. Entah, sudah berapa hari yang telah dilewatinya dalam tahanan dengan berbagai bentuk penyiksaan. Direndam di comberan, disekap dalam kamar sempit dan gelap, dihajar hingga babak belur bahkan disetrum. Semua dijalaninya dengan gagah berani.

Pemuda pesakitan yang bernama Morgan itu tertunduk.

“Morgan, ini kasus besar yang menjadi sorotan banyak pihak, bahkan dunia internasional. Ada yang bilang kamu ada dalam barisan orang-orang yang sakit hati. Ada yang mengatakan kamu salah satu bukti kekuatan masa lalu. Ada yang berpendapat kamu sebagai kambing hitam dari kekuatan militer yang ingin duduk di kursi kekuasaan. Ada yang menyebutmu sebagai ekstrimis kiri atau kanan. Bahkan ada yang mengkaitkanmu dengan jaringan teroris internasional. Dimana posisimu sebenarnya.”

Morgan mendongakkan wajah, menatap tajam pada mata lelaki di hadapannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Dengar, Morgan. Negeri ini sudah kacau. Ledakan kerusuhan terjadi dimana-mana. Ledakan demi ledakan terjadi setiap saat. Bahkan negeri ini pun hampir meledak. Tidak lagi utuh. Terkotak-kotak. Kami sudah capek. Masyarakat selalu mencerca kami tidak becus bekerja. Mereka tidak menyadari bahwa ada banyak kekuatan dibalik setiap ledakan. Dan untuk mengusutnya, kami selalu dibentur-benturkan dengan banyak kekuatan dan opini yang terbangun ditengah-tengah masyarakat. Sekarang katakan, siapa yang ada dibalik asap ledakan itu.”

Morgan tersenyum tipis. “Bolehkah saya minta sebatang rokok?” katanya. Aparat itu memberikan sebatang dan menyulutkan api. Morgan menghisapnya dalam-dalam. “Dari awal saya sudah menjawabnya. Sayalah pelaku peledakan itu dan tidak ada seorang pun yang berdiri di belakang saya. Saya meledakkan bom karena saya ingin melakukannya. Hanya itu. Saya tidak peduli kalau akhirnya saya di cap sebagai apa atau di belakang siapa. Kalau mau, silakan buat berita acara bahwa saya adalah bagian dari kekuatan tertentu. Dengan demikian lembaga bapak akan terhindar dari segala tudingan masyarakat. Bahkan saya bisa di jadikan martir bagi pemerintah untuk memukul balik lawan-lawannya, bukan?”

Tidak ada ceritanya seorang maling mengakui dirinya maling. Biasanya, para maling justru berteriak maling. Namun kali ini ada seorang pemuda, dengan terang-terangan bahkan dengan bangga mengakui dirinya sebagai pelaku peledakan bom yang meluluhlantakkan sebuah supermarket lima lantai di pusat kota itu. Akibatnya, ratusan orang meninggal, ratusan lainnya luka-luka, selebihnya adalah tangis pilu duka-cita berbalut dendam atas kebiadaban itu.

Perbuatannya adalah sebuah tindak kejahatan kelas satu. Pelakunya layak diberikan hukuman setimpal ; eksekusi mati! Sesederhana itukah? Tentu saja tidak. Apalagi peristiwa itu terjadi ketika negeri itu dilanda kemelut sejak beberapa tahun lalu. Gerakan kaum separatis, pertikaian antar etnis, pembakaran tempat-tempat ibadah dan masih banyak lagi, membuat rawan integritas negeri itu. Semua kasus tidak pernah terungkap dan terselesaikan secara tuntas. Ditambah lagi adanya tarik-menarik kepentingan antar elit politik yang kolokan, semakin menajamkan sembilu yang siap dihunjamkan pada setiap uluhati rakyatnya. Ah, mereka memang selalu di korbankan.

Tidak ada seorangpun yang tahu banyak tentang pemuda yang bernama Morgan itu. Orang-orang menganggapnya sebagai seniman. Seniman yang kesepian. Sutradara tanpa aktor. Aktor tanpa penonton. Dan layaknya seniman, ada kegelisahan-kegelisahan di kepalanya. Selalu ada dorongan dan keinginan untuk mencipta. Bahkan dalam pengakuannya, peledakan supermarket itu sebagai sebuah pertunjukan thrue theatre-nya. Tidak ada yang tahu-menahu ihwal Morgan. Ia memang bukan seorang yang populer. Ayumi, perempuan yang diceraikannya lima bulan lalu pun tidak banyak tahu tentang Morgan. Darinya tidak didapat informasi yang berarti.

Dua jam berlalu sia-sia. Aparat tidak mendapatkan apa-apa dari proses interogasi itu. Morgan selalu mengatakan jawaban-jawaban yang sama. Interogator itu jadi emosi. Ia menggebrak. Ia tampar kap lampu yang tergantung di tengah ruangan. Lampu bergoyang-goyang. Sinarnya membias kesana-kemari. Dengan gerakan cepat, ia mencabut rokok yang terselip di bibir Morgan. Tangan kirinya menjambak rambut Morgan tanpa sedikitpun perlawanan.

“Katakan siapa yang ada di belakang ini semua. Katakan!” bentaknya.

“Tidak ada.” Jawab morgan singkat.

“Aku akan membunuhmu, keparat!” gertaknya sambil mencekik leher Morgan lebih keras lagi.

“Silakan. Sekarang atau nanti, sama saja. Toh aku akan mati juga.” tantang Morgan dengan suara tersengal-sengal.

* * *

Setelah melewati proses yang panjang, melelahkan sekaligus menyakitkan, hakim memutuskan vonis hukuman mati pada Morgan. Keputusan itu sangat memuaskan masyarakat. Orang sebiadab itu memang layak mendapat ganjaran setimpal. Morgan sendiri menerima keputusan itu dengan biasa saja. Tanpa rasa gentar sedikitpun. Morgan telah memilih cara kematiannya tanpa harus disebut sebagai pahlawan. Nama dan gambarnya di ekspose semua media masa sebagai pecundang. Sampah plastik!

Pada hari yang sudah ditentukan, petugas menjemputnya di sel tahanan. Morgan masuk dalam ruang eksekusi dengan tenang. Sejenak ia pandangi kursi listrik yang akan menyengatnya hingga ke ubun-ubun.

Petugas mendudukkannya diatas kursi listrik itu dan mengikatkan kain hitam penutup mata. Tangan dan tubuhnya dikunci pada kursi itu. Sebuah alat seperti mangkuk telah dipasang di kepalanya. Ia pandangi wajah-wajah murka para saksi dan beberapa anggota keluarga korban akibat ulahnya, yang turut menyaksikan jalannya eksekusi.

Diawali dengan pembacaan dosa-dosanya dalam sebuah upacara kecil, kepala penjara memberikan komando untuk menarik tuas listrik. Arus listrik bertegangan tinggi mengalir ke kursi pesakitan itu. Seketika tubuh Morgan terguncang-guncang, mengejang, urat-urat di wajah dan lehernya nampak keluar menahan sakitnya. Lampu ruangan itu jadi terang-redup. Sangat dramatis.

Lima belas detik kemudian, ia terlihat tidak bergerak lagi. Kepalanya menunduk. Lagu kematian pun menggema. Namun belum habis lagu kematian itu, tiba-tiba Morgan mendongakkan kepala. Tangannya bergerak membuka kain hitam penutup kepalanya. Semua yang ada diruangan itu jadi tercengang. Membelalakkan mata. Perlahan-lahan Morgan berdiri dari kursi listrik itu, tersenyum dan tertawa penuh kemenangan.

“Aku belum mati dan tidak akan pernah mati. Karena tugasku belum selesai. Waspadalah kalian, akan ada ledakan yang lebih dahsyat lagi di negeri ini!”

Lampu panggung pelan-pelan padam. Suara tepuk tangan menggemuruh seiring dengan turunnya layar hitam yang menutup panggung pertunjukan. Lampu ruangan dinyalakan. Ratusan penonton yang memenuhi ruang pertunjukan, beranjak dari tempat duduknya. Beberapa ada yang masuk ke belakang panggung untuk memberikan ucapan selamat kepada sutradara, aktor dan kru pertunjukan drama malam itu. Selebihnya, penonton meninggalkan gedung pertunjukan. Pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan was-was. [Jakarta, 19 Oktober 2002 ; 15.54wib]

------------------

Catatan : Cerpen ini berdasarkan naskah drama (teater) dengan judul EKSEKUSI yang ditulis oleh penulis yang sama pada tahun 2001, dan pernah di pentaskan oleh Teater Hom Pim Pah – Malang di beberapa Kota, terilhami oleh kasus peledakan gedung federal di Oklahoma oleh John Mc.Veigh mantan tentara perang teluk yang dijatuhi hukuman mati pada bulan Juni 2001, disaksikan oleh para keluarga korban dan disiarkan melalui jaringan televisi kabel.

Minggu, Desember 02, 2007

Ada Cinderela Di Kepalaku

ADA CINDERELA DI KEPALAKU

Cerpen Ray Asmoro

Sehari sebelum hari ini, jam ini, persis tiga tahun yang lalu, aku menemukannya di pojok senjakala, di bawah lampu temaram, ketika gerimis datang, tanah-tanah becek. Mendung tebal terlihat di matanya yang bulat dan menghiba.

“Rengkuhlah aku, pahlawanku” katanya lirih, seolah energinya hanya cukup untuk mengucapkan kalimat itu, lalu jatuh pingsan.

Aku angkat gadis belia itu dari lumpur. Menidurkannya di atas ranjang dengan mimpi-mimpi yang tak pernah usai. Tentang masa kanak-kanak yang selalu indah untuk dikenang, tentang masa depan yang selalu indah dalam angan-angan.

Ketika aku terbangun esoknya, Matahari sudah cukup jauh meninggalkan garis cakrawala. Sinar cemerlangnya menembus kaca jendela kamar, menyilaukan mataku. Aku segera bangkit untuk menghadapi kenyataan hari ini. Dan…

Oo, aku tak menemukan gadis itu diatas ranjang!

Aku terdiam sejenak. “Kalau engkau telah pergi, bahkan tanpa sedikitpun pesan, semoga engkau selalu berada ditempat yang penuh rahmat” gumamku dalam hati.

Aku segera mencoba melupakannya. Menganggapnya sebagai bagian dari mimpi burukku. Tetapi ketika aku keluar dan turun untuk mengambil minuman, aku lihat berbagai hidangan tersaji di atas meja makan dan seorang wanita duduk dikursi. Wanita yang berbungkus kemeja putihku, pemberian Diana, perempuan yang hinggap disalah satu sisi belahan dadaku dengan sebuah komitmen yang masih rawan.

Kancing pertama dan kedua dibiarkan terbuka. Wajahnya bercahaya, matanya berbinar-binar, keanggunan yang sempurna. Cerahnya sinar pagi pun tersaingi.

“Engkau Cinderela?” tanyaku dalam ketergagaban.

Ia menatapku, rambutnya yang hitam pekat sebahu bergerai. Lalu ia lemparkan sebuah senyum yang tak bisa aku tangkap maknanya.

“Waktunya makan pagi. Aku akan melayanimu” katanya kemudian.

Ia menjemput dan membimbingku duduk di kursi, dihadapan hidangan hangat yang tersaji. Aku yang masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, patuh begitu saja pada kehendaknya. Ia perlakukan aku seperti bayi. Seolah mengusap ingus sendiripun aku tak bisa. Sebuah perlakuan yang sebenarnya tak pantas bagi lelaki usia tiga puluhan. Tapi aku menikmatinya walaupun beribu-ribu pertanyaan tumpang tindih dalam kepalaku dan tak bisa aku muntahkan. Kenyataan ini terlalu sedap untuk dilewatkan.

Ku teguk segelas air pelepas dahaga. Ku telan segala apa yang disuapkan kedalam mulutku. Sungguh, camar-camar yang genit dan bebatuan karang yang angkuh akan patah hati, andaikata menyaksikan semua ini.

Belum usai ketergagabanku, satu lagi suguhan yang hampir saja menghentikan aliran darah dan denyut jantungku. Ketika ia dekatkan wajahnya sambil menatap mataku. Seribu helai rambutnya, ujungnya menyentuh dadaku yang telanjang, menciptakan sensasi tersendiri. Lalu bibirnya menyentuh bibirku dan seketika darahku mengalir deras, jantungku berdegub kencang bertalu-talu. Jasadnya lekat di jasadku. Aku menggigil. Buliran keringat dingin terbit dari pori-pori kulitku satu per satu. Tiba-tiba aku merasa seperti berada diatas kuda pacuan yang perkasa ditengah-tengah savana. Ku tarik tali kekangnya, ku lecut pantatnya, aku terguncang-guncang diatasnya.

Ia membawaku menjelejahi surga bumi. Semakin lama ku pacu, semakin aku tak mengerti dimana titik permulaannya. Tapi aku tak lagi peduli. Aku hanya ingin tahu dimana ujung perjalanan ini. Maka ku pacu dan terus ku pacu. Aku terguncang-guncang diatasnya. Sekelebat, aku melihat bayangan ibu, adik perempuan dan beberapa perempuan yang pernah memberikan ombak dan pantai tempat kapalku berlabuh. Ya, hanya sekelebat dan tak pernah ku sesali, lalu...

Oh, inilah ujung dari perjalanan ini! Ternyata semuanya berawal dari meja makan dan berakhir di tempat yang sama. Aku mendapati jasad kami diatas meja. Seperti dua ekor kalkun bakar bumbu kecap pedas. Kami mendesis-desis, mengatur napas. Saling pandang dan tersenyum. Tuntas sudah semua hidangan yang tersaji. Semua cita-rasanya telah kami isap bersama-sama tanpa sisa. Kami telah membuat kesan yang indah dalam diri kami masing-masing. Tiada sedikitpun cela.

Begitulah pada mulanya.

Esoknya pengalaman itu terlulang kembali dengan menu hidangan yang berbeda tetapi sama lezatnya. Aku tidak punya pilihan lain kecuali menikmatinya. Ia mengajari aku bagaimana memberi arti pada sebuah sentuhan atau isyarat sekalipun.

Pada hari ketiga, setelah menyantap semua hidangan, tiada bersisa seperti hari hari sebelumnya, tiba-tiba ia berucap “Aku harus pergi.” katanya.

“Aku tak bisa lebih lama lagi disini” imbuhnya.

“Berikan satu alasan padaku untuk bisa melepas kepergianmu dengan kerelaan” sergahku.

“Kau belum mengenalku”

“Aku? Bukankah tiga hari telah kita lewati bersama dengan sangat berkesan? Bukankah selama ini kita bahagia?”

“Kau tidak kenal aku”

“Aku kenal. Aku tahu setiap lekuk tubuhmu. Bahkan aku tahu berapa jumlah tahilalat yang kau punya.”

Kami terdiam sejenak. Seketika suasana menjadi hening dan beku. Aku memandanginya secermat mungkin. Ia menatap jauh kedepan seolah tidak sedang berada dalam ruang yang bersekat tembok semen. Tidak sedikitpun gerakan kulihat. Seperti patung lilin tanpa nyawa. Jasad tanpa rasa. Lalu tanganku bergerak hendak menyentuh pipinya. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri, namun ia menampiknya.

“Aku ingin sendiri. Tinggalkan aku sendiri disini. Please…” katanya pelan.

Ada sesuatu yang mendorongku untuk bangkit dan meninggalkan ruang makan. Tapi apa sesuatu itu, aku tidak pernah tahu. Perlahan aku meninggalkannya ke ruang atas. Aku berdiri dibalik jendela memandang jalanan di bawah sana. Banyak kendaraan bermotor mondar-mandir, orang-orang lalu-lalang di trotoar, beberapa ada yang bergerombol hendak menyeberang jalan. Tidak ada yang istimewa.

Cukup lama aku mematung di sana, hingga tiba-tiba aku melihat seseorang menunggang kuda dan berhenti tepat didepan pintu rumahku. Tidak bisa ku lihat wajahnya. Kepalanya tertutup topi baja, hanya bagian mata, hidung dan mulutnya saja yang berlubang. Bajunya juga dari lempengan baja lengkap dengan rumbai-rumbai dan jubah hitamnya, seperti ksatria atau panglima perang kekaisaran Romawi jaman dulu yang sering ku lihat di film. Di pinggangnya terselip sebilah pedang panjang. Dalam hati aku mengagumi kegagahannya.

Sesaat kemudian aku melihat Cinderelaku dari pintu rumahku, melompat naik ke punggung kuda yang ditunggangi ksatria itu. Aku cemburu. Ya, kata itulah yang paling pantas untuk menggambarkan perasaanku. Bahkan aku merasa patah hati ketika ksatria itu menarik tali kekang kudanya. Celakanya, aku tidak mampu berbuat apa-apa.

Cinderelaku masih sempat memandang kearahku. Tangan kanannya memeluk pinggang ksatria itu, sementara tangan kirinya melambai kearahku sambil berucap “Terimakasih, pahlawanku!” lalu mereka segera berlalu. Cinderela telah dijemput Sang Pangeran pujaan hatinya. Dan aku, hanya seorang lelaki yang kehilangan. Kenyataan pahit memang.

* * *

Sehari sebelum hari ini, jam ini, persis tiga tahun yang lalu, aku menemukannya dipojok senjakala, dibawah lampu temaram, ketika gerimis datang, tanah-tanah becek dan mendung tebal terlihat di matanya yang bulat dan menghiba.

Sudahlah, aku telah melupakannya. Walaupun tidak benar-benar lupa. Ada saat-saat aku menghadirkannya dalam kenangan. Ini jadi rahasia kecilku. Tidak pernah kuceritakan kisah ini pada siapapun, juga pada istriku. Bukankah setiap orang selalu menyimpan rahasia-rahasia kecil yang tak perlu dibagi? Dan malam ini aku sudah batalkan semua janji. Aku harus segera pulang. Diana sudah menunggu. Ia masak spesial. Pasti ia sudah mengganti taplak meja makan, menyalakan lilin diatasnya dan menyemprot ruangan dengan pengharum beraroma melati. Ia pasti juga sudah mengenakan gaun hitam panjangnya, dengan belahan agak lebar dibagian dada, yang ku belikan tempo hari. Hari ini ulang tahun pertama pernikahan kami. Aku akan bersikap romantis malam ini. Sebelum pulang aku harus mampir ke toko bunga, membelikan seikat mawar kesukaannya.


[
Jkt, 30.09.02]

Minggu, September 16, 2007

PILONIAN (9) : Anak Shaleh

PILONIAN (9) : Anak Shaleh
Oleh Ray Asmoro

Sesaat setelah kelahiran anak pertamanya, Sariman mendapat hujan SMS. Kerabat, teman, sahabat, rekan kerja, partner, kenalan, mantan pacar, semuanya seperti sudah janjian untuk mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Sariman. Satu-dua SMS sempat dibacanya, selebihnya ia hanya lihat siapa pengirimnya lalu “delete message”, apa pasalnya? Ya, buat apa di baca, toh semua inti isinya sama, standar, “Selamat, semoga menjadi anak yang shaleh (shalehah)”.

Bagaimanapun Sariman tak lupa mengucapkan terimakasih dan meng-amini doa-doa yang dikirm via SMS itu. Orang tua mana yang tidak mengharapkan anaknya menjadi shaleh, orang tua mana yang tak bangga jika anaknya menjadi anak yang pintar, berbhakti dan berbudi pekerti terpuji. Tapi Sariman merasa ada yang agak ganjil dengan doa-doa itu.

Doa, tentu saja baik. Kata Sariman, bukan doa namanya jika bukan tentang kebaikan. Maka jika orang mendoakan yang lain agar celaka, menyumpah-serapahi, itu bukan doa. Kutukan namanya. “Aku doakan kamu di srempet bajaj” atau “aku doakan kamu jadi kodok” misalnya, kalimat itu jelas bukan doa walaupun menggunakan kata “doa”, maka kalimat yang benar, seharusnya “aku kutuk kamu agar di srempet bajaj” atau “aku kutuk kamu menjadi kodok”. Karena yang namanya doa selalu tentang kebaikan. Sederhananya, doa itu selalu positif dan yang negatif itu disebut kutukan. Titik. Jadi jangan dicampuradukkan, jangan belagak pilon deh…

Kembali soal keganjilan tadi. Yang dimaksud Sariman bukan doanya yang ganjil atau salah. Tetapi paradigmanya yang terasa nyleneh. Begini, anak itu kan (katanya) titipan illahi, amanah. Jika anak tumbuh menjadi begundal, ya jangan salahkan anak sepenuhnya, karena kita orangtuanya lah yang diberi amanat. Ingat setiap manusia lahir dengan sifat hanif atau kebaikan.

Misalkan saja, anda yang kerja di Kota menitipkan segepok uang kepada kenalan untuk diberikan kepada sanak keluarga di kampung, lalu ketika diterima yang berhak ternyata uang itu berkurang jumlahnya, maka siapa yang salah? Jelas bukan uangnya, karena uang tidak bisa menjaga dirinya. Apalagi ada pameo “Jika anda titip uang, bisa jadi akan berkurang. Jika anda titip omongan, bisa jadi akan berlebih”.

Jika anda belajar matematika, guru matematikanya menyenangkan dan teknik mengajarnya sangat mengasyikkan, teman-teman anda yang lain dapat nilai sembilan dan hanya anda sendiri yang dapat nilai empat, maka jelas bukan salahnya matematika, bukan? Andaikata anda seorang sopir angkot, anda mengangkut dua-belas orang penumpang, di jalan anda kecelakaan karena anda tidak fokus, kendaraan rusak, sehingga penumpang tidak sampai ditujuan, maka jelas bukan salahnya penumpang, bukan?

Kalau pemimpin di percaya (diberi amanat) untuk memperbaiki derajat dan taraf hidup rakyat, tapi rakyat tetap saja teraniaya dan malah kalap karena pemimpinnya justru tidak berpihak pada rakyat, tidak memiliki program konkret untuk kesejahteraan rakyat, maka apakah rakyat yang salah? Hmmm, suka pada pilon sih…

Maka itu, anak menjadi apa, menjelma siapa ia kelak, tergantung orangtuanya, si pemegang amanat. Kita ingin anak-anak kita menjadi pintar, tapi kita tidak pernah terlihat oleh anak sedang baca buku atau belajar sesuatu. Kita ingin anak-anak kita rajin mengaji tapi kita tidak pernah sekalipun terdengar dan terlihat oleh anak kita melantunkan ayat-ayat ilahi. Kita ingin anak kita menjadi anak yang santun kepada orang lain, menyayagi dan menghargai teman, tapi dirumah ia selalu kita suguhi menu-menu pertengkaran, tidak pernah kita tunjukkan bagaimana menghargai perbedaan pendapat. Kita ingin anak-anak kita bisa bertutur kata lembut dan sopan penuh kasih, tapi setiap hari kita cekokin dia dengan hinaan, cercaan atau makian. Kita ingin anak-anak kita menjadi anak yang shaleh tapi sikap, tindakan dan kata-kata kita justru jauh dari keshalehan. Kita ingin anak-anak kita menjadi pemimpin tapi kita tidak pernah memberikan teladan tentang kedisiplinan dan tanggungjawab. Apa namanya itu? - “Like father like son, Pilon!”

Siapakah “orang tua” pemegang amanat itu? Ada dua orang tua, orangtua biologis dan non-biologis. Orangtua biologis jelas bapak-ibu kita yang karena lantaran mereka kita ada. Mereka pemegang amanat itu, bahkan peletak fondasi mental anak, seperti kata para pakar-pakar itu, lingkungan keluarga adalah pintu pertama penentu perkembangan mental dan kepribadian anak.

Sedangkan orangtua non-biologis adalah orang (lingkungan) yang memiliki intensitas pengaruh cukup kuat kepada seseorang, bahkan orang tua non-biologis ini bisa juga sebuah faham (isme), mazhab, ataupun ideologi. Orang tua non-biologis ini bisa guru, atasan, pimpinan, boss, pemuka agama, cendekiawan, pakar, begawan, atau bisa juga sebuah faham atau aliran : demokrasi, ahmadiyah, ahlu sunnah wal jama’ah, liberalisme, marxisme, komunisme, pancasialisme, barbarianisme, atau lainnya, (bahkan pilonianisme!).

Serunya, “orangtua” ini juga memiliki sejarah sebagai anak. Ada hirarki sejarah yang saling kait-mengkait. Jika teman-teman pemuda dan mahasiswa yang juga anak-anak bangsa itu berunjuk rasa teriak-teriak di jalan, kadang usil dan kurang sopan, menghujat, memaki, ya karena pemimin bangsanya tidak pernah memberikan teladan yang baik, malah menteladankan perilaku arogan, sikut-sikutan, mau menang sendiri, tidak membumi, dan malah membuat jarak. Siapa pilon?

Soal SMS doa tadi, paradigma Sariman sedikit berbeda, mengapa mendoakan anaknya? Bukankah anak itu amanah orang tua?

Suatu ketika Sariman mendapat kabar ada temannya yang baru saja melahirkan seorang anak, karena Sariman belum ada kesempatan menjenguk maka ia mendoakan melalui pesan singkat (SMS) : “Selamat! Semoga menjadi orangtua yang shaleh dan shalehah, Amin…”


Jakarta, 7 September 2007
www.rayasmoro.blogspot.com

Kamis, September 13, 2007

"Rela Pada Ketentuan Allah" (syair Imam Asy-Syafi'i)

Rela Pada Ketentuan Allah

Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa

Jangan berkeluh-kesah atas musibah di malam hari
Tiada musibah yang kekal di muka bumi
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi
Berlakulah pema’af selalu menepati janji

Jika banyak aibmu di mata manusia
Sedang engkau berharap menutupinya
Bersembunyilah engkau di balik derma
Dengan derma aibmu tertutup semua

Jangan pernah terlihat lemah di depan musuhmu
Sungguh malapetaka jika musuh menertawaimu

Jangan berharap dari orang kikir kemurahan
Di neraka tiada air bagi orang yang kehausan
Rizkimu tidak berkurang karena kerja wajar perlahan
Berlelah-lelah tidak menambah rizki seseorang

Tiada kesedihan yang kekal tidak pula kebahagiaan
Tiada kesulitan yang abadi tidak pula kemudahan

Jika engkau berhati puas dan mudah menerima
Sungguh, antara engkau dan raja dunia tiada beda

Barangsiapa kematian datang menjemputnya
Langit dan bumi tak kan mampu melindunginya

Bumi Allah begitu lapang luas membentang
Namun seakan sempit kala ajal menjelang

Biarkanlah hari-hari ingkar janji setiap saat
Kematian tak mungkin dicegah dengan obat


oleh : Imam Asy-Syafi'i

"MERANTAULAH" (Syair Imam Asy-Syafi'i)

Merantaulah

Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Pergilah 'kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan teman
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak dia 'kan keruh menggenang
Singa tak kan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak kan kena sasaran
Jika saja matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tak kan menunggu saat munculnya datang

Biji emas bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan
Kayu gahru tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan
Jika dibawa ke kota berubah mahal jadi incaran hartawan

Oleh: Al-imam asy-Syafi'i

Minggu, September 09, 2007

PILONIAN (8) : Matematika Sedekah

PILONIAN (8) : Matematika Sedekah
Oleh Ray Asmoro

Dalam harta kita terdapat hak-hak orang miskin dan kaum dhuafa. Begitulah firman Tuhan, fatwa Rasul, dan peringatan para kyai dan ustadz. Indah sekali. Kita diajarkan untuk care terhadap sesama, saling tolong-menolong dan berbagi. Yang kuat mengangkat yang lemah dan bukan sebaliknya, yang kuat menginjak-injak dan menistakan yang lemah.

Sayangnya manusia (lebih-lebih saya) memiliki kecenderungan untuk tamak, aku Sariman. Maunya mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, jika mungkin seluruh isi jagad raya ini bisa dimilikinya, bahkan tuhan pun ingin di belinya. Subhanallah…

Sedekah (shodaqoh) adalah sebuah bentuk tindakan (amal) dimana seseorang menyisihkan sebagian “hartanya” untuk kemaslahatan. Dalam syari’at, ada kalkulasi matematik, seberapa besar yang wajib kita sedekahkan. Seperti juga halnya zakat atau warisan, semua ada kalkulasi matematiknya. Di sisi lain, kata Sariman, sedekah ini adalah sebuah manifestasi dari rasa syukur atas limpahan rizki dari Tuhan. Ada pembelajaran yang sangat agung disini. Ketika kita sedang di lapangkan rizkinya, kita wajib berbagi kegembiraan itu. Ketika kita di beri kesuksesan, hmmm… kira-kira enak apa nggak sih jika kita sukses sendirian?

Analoginya mungkin seperti ini. Andaikata anda naik gunung sendirian, berjuang mendaki sendirian, hingga di puncak gunung tidak ada satupun manusia, maka senikmat apa yang bisa anda rasakan ketika melihat pemandangan indah dari puncak gunung itu? Tentu saja akan lebih nikmat jika ada teman berbagi, bukan? Sebab itulah orang mendaki gunung tidak sendirian. Jikalau ada yang sendirian, hmmm… bisa jadi dia sedang pilon, linglung, stress, putus asa, atau mau bunuh diri. Artinya, tidak dengan perasaan suka-cita dan ikhlas.

Banyak saudara-saudara kita yang begitu ambisius menaiki tangga karir. It’s OK, ambisi itu tidak haram kok. Hanya saja banyak yang saking ambisiusnya, terus lupa dan tidak peduli pada teman sejawat dan lingkungannya. Apa saja dilakukan, segala cara di halalkan demi sebuah ambisi, demi sebuah gengsi. Komunikasi horisontal yang hangat dan mesra di abaikan, hubungan mutual tidak di bangun, ego berkuasa dan bertahta dalam diri. Hatinya tertutup tirai ketamakan. Kemudian yang dilakukan ya menjilat dan menjilat. “Mencari muka”. Ini yang pilon. Mencari muka kok didepan atasan, kenapa tidak “mencari-muka” di hadapan Tuhan? Dalam konteks politik kekuasaan, juga demikian. Jika anda wahai penguasa, ingin “mencari-muka” dihadapan Tuhan, anda harus dengar suara rakyatmu. Bukankah suara rakyat itu suara Tuhan?

Ketika ambisi tergapai, kekayaan bertumpuk, gengsi telah terbeli, puncak karir dan kekuasaan telah dipijak, sementara komunikasi dan hubungan interpersonal tidak di bangun, cuek pada tetangga, maka kita tentu saja bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi. Materi telah membutakan mata hatinya, kekuasaan telah menguburkan kesalehan sosialnya, gengsi telah memenjarakannya dalam kesunyian. Ini yang seringkali terjadi. (Makanya kalau mau sukses, ajak-ajak yang lain, biar nggak kesepian…)

Itulah makna sedekah. Ia mengajarkan kita untuk berbagi. Jika itu dilakukan secara ikhlas sebagai manifestasi rasa syukur mendalam, maka Tuhan akan menambah nikmatmu dengan berlipat-lipat. Jadi kalau ente mau rizki berlipat-lipat itu mudah coy! Lipat-gandakan saja sedekah ente. Itulah matematika sedekah.

Dalam ilmu matetamatika konvensional jika 10 dikurangi 2 maka hasilnya tinggal 8. Tapi dalam matematika sedekah, 10 harta kita, kita ambil 2 untuk di sedekahkan secara ikhlas maka (percaya atau tidak), hasilnya bisa 14, 20, atau bahkan tak terhingga. Tuhan sendiri kok yang menjanjikan. Wallahua’lam.

Kita semua yang beragama pasti mahfum soal itu. Hanya entah mengapa kita suka pura-pura lupa, pura-pura tidak tahu, belagak pilon. Ingin rizki berlipat-lipat tapi ogah bersedekah. Ingin hidup sejahtera tapi enggan mensyukuri nikmat. Yang lebih pilon, banyak diantara kita (lebih-lebih saya, Masya Allah…) yang berat hati dan kalaupun mau bersedekah itu pun hanya seminimal-minimalnya. Contoh konkret, kalau kita punya selembar uang 10.000an dan selembar uang 1.000an, maka kalaupun kita mau sedekah pasti yang 1.000an lah yang kita sedekahkan. Kalau kita punya dua lembar 100.000an dan selembar 1.000an, maka kalaupun kita mau sedekah, jujur sajalah, kira-kira yang kita berikan selembar 100.000an atau selembar 1.000an? (Saya tebak, selembar 1.000an lah pilihannya, itupun meberikannya dengan tangan kiri, dengan sedikit ngedumel tapi setelahnya kita cerita-ceritakan dengan bangga di tetangga-tetangga kita. Dasar pilon!).

Kalau saja anda punya 5 lembar 100.000an dan dua lembar 10.000an, maka kalau pun anda mau sedekah, apakah anda akan berikan dua lembar 10.000an? Saya yakin, tidak. Saya yakin anda hanya akan memberikan selembar 10.000an. Hmmm… ya tidak? Kenapa tidak selembar 100.000an? (Anda sendiri yang tahu jawabannya). Itulah anehnya. Yang recehan lah prioritas sedekah kita. Tapi jika untuk sebuah jabatan atau kekuasaan, ratusan milyar pun di keluarkan. (Konon, itu sudah menjadi rahasia umum dalam politik kita dalam pemilu, pilkada ataupun jabatan strategis-politis lainnya).

Begitulah, kata Sariman. Mental kita ini memang mental recehan. Dan pilon-nya, kita justru bangga dengan recehan. Ampuuun Di-Je…


Jakarta, 10 September 2007
www.rayasmoro.blogspot.com
www.rayasmoro.com

Kamis, September 06, 2007

PILONIAN (7) : Mental "Take and Give"

PILONIAN (7) : Mental “Take and Give”
Oleh Ray Asmoro

Istilah “take and give” sangat lah populer. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan cinta, hubungan interpersonal, bisnis, bahkan politik, istilah tersebut seringkali dipakai. Bahkan ada yang menggunakan istilah itu dalam hubungannya dengan Tuhan. “Take and Give”. Hmmm…

Dalam kamus bahasa inggris, “take” berarti mengambil, mendapatkan. Sedangkan “give” berarti memberi. Jadi “take and give” ini berarti mengambil dan memberi. Ini lah yang menurut Sariman, terdengar agak pilon. Konsep “take and give” ini konotasinya adalah mengambil dulu baru memberi. Seperti ini, kita tidak akan memberikan apapun jika kita belum mendapatkan sesuatu. Kita tidak akan membantu orang jika orang itu tidak mendatangkan keuntungan apapun pada kita. Kita tidak akan sudi melakukan shalat, menyembah-nyembah Tuhan jika Tuhan belum memberikan apa yang kita mau. Hmmm, pilon tidak?

Itu sih masih mendingan, kata Sariman. Yang lebih pilon adalah konsep “take and give” yang di anut justru di khianati sendiri. Ingat kalimat itu berbunyi “take and give” dan bukan “take or give”, maka itu menjadi satu paket karena disambung dengan kata “and” (dan). Artinya ketika kita sudah mengambil atau mendapatkan sesuatu maka konsekuensi logisnya ya kita harus (fardhu ‘ain hukumnya) memberikan sesuatu. Berbeda dengan “take or give”. “Or” (atau) menunjukkan pilihan. Boleh A, boleh B. Kalau sudah A, yang B menjadi sunnah atau bukan keharusan. Malah dalam hukum legal ada istilah “dan/atau” yang artinya, mau A saja boleh, B saja ya oke lah, mau A dan B juga monggo kerso, silakan.

Nah, yang dimaksud dengan adanya pengkhianatan tadi adalah banyak orang memegang konsep “take and give”, tapi begitu sudah “take” lupa “give, bahkan pura-pura lupa, belagak pilon! Ada yang tadinya hidupnya susah, lalu rajin berdoa, bersujud sampai tersungkur di tanah meminta-minta pada Tuhan, “Ya Tuhan, beri saya rizki melimpah, kalau saya di berikan rizki melimpah sebagian akan saya dermakan untuk kemaslahatan umat”, tapi setelah mendapatkan limpahan rizki tiada tara jadi lupa, bahkan pura-pura miskin.

Saya jadi ingat cerita Cak Nun tentang orang Madura yang bepergian naik pesawat. Orang Madura ini baru pertama naik pesawat, ia hendak pergi ke Jakarta, dia harus naik pesawat karena ada proyek mendadak, 2 jam lagi bertemu orang yang mau memberi proyek besar. Dia sebenarnya takut naik pesawat apalagi berita kecelakaan pesawat begitu sering terdengar. Maka ketika dia mau masuk pesawat dia berdoa “Ya Allah, beri saya keselamatan, kalau saya selamat nanti saya akan sembelih 1 sapi untuk dibagi-bagikan ke tetangga”. Begitu pesawat sudah take-off dan mulai menembus awan, pesawat terasa bergoyang-goyang, dia takut dan berdoa kembali “Ya Allah, beri saya keselamatan dan saya akan sembelih 2 sapi Ya Allah…” beberapa saat kemudian pesawat tenang kembali. Ketika dia ngobrol dengan penumpang yang duduk disebelahnya diceritakan bahwa saat yang paling sulit adalah saat mendaratkan pesawat. Nah ketika di umumkan pesawat sebentar lagi mau mendarat, keringat dinginnya keluar sebiji-biji jagung, lalu dia berdoa kembali “Ya Allah… ndak jadi 2 sapi. 3 sapi Ya Allah...”. Begitu pesawan semakin dekat dengan bumi, ia melihat ke luar lewat jendela dan ia semakin takut, “4 sapi Ya Allah…”. Dan begitu roda pesawat mulai menyentuh landasan, guncangannya terasa semakin menakutkannya, “5 sapi Ya Allah… bukan, 6 Ya Allah…, 7… eh 8 sapi Ya Allah…”, ketika pesawat benar-benar berhenti dan tidak terjadi suatu apapun, dia cengengesan, kemudian dia bilang “Ya Allah, emang kalau saya ndak sembelih sapi, mau apa?” Dasar pilon!

Begitu juga yang sering kita jumpai. Apalagi di ranah politik. Bahkan konsep “take and give” itu sangat melekat dalam birokrasi kita. Coba deh anda mengurus dokumen di sebuah departemen atau instansi pemerintah, bisa dipastikan satu dokumen perijinan saja misalnya, tidak akan selesai dalam tempo satu bulan padahal persyaratan sudah lengkap, pejabat yang berwenang tanda-tangan juga ada ditempat. Mereka akan “give” anda dokumen yang anda butuhkan jika mereka sudah “take” sesuatu dari anda. Saya tidak bilang soal suap lho, tapi begitulah mental “take and give”. Tuhan saja di permainkan apalagi anda.

Di dunia pekerjaan juga demikian. Dengan konsep “take and give”, pekerja di pakai tenaga dan pikirannya, sebulan kemudian baru perusahaan memberikan gajinya. Wajar. Tidak menjadi wajar apabila pekerja tidak diberikan hak-haknya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Jadi apabila pekerja anda demo, mogok, protes, mulai malas-malasan, anda harus segera cek apakah anda sudah “give” hak-hak pekerja anda secara wajar sebagaimana mestinya.

Sariman punya pendapat lain. Ia sama sekali menolak konsep “take and give”. Baginya “take and give” itu sangat tendensius dan kadar keikhlasannya nyaris tidak ada. Bahkan konsep “take and give” ini bertentangan dengan hukum sebab-akibat atau sunatullah. Jika “take” itu sebuah sebab, maka “give” itu sebuah akibat. Jika anda ingin memberi maka anda harus mengambil. Kata “mengambil” ini kan multipersepsi, bisa jadi mengambil secara terang-terangan, mengambil gelap-gelapan, mengambil secara sembunyi-sembunyi, bisa korupsi, maling, ngrampok, nodong, nyopet, ngutil, pokoknya mengambil, ndak peduli benar atau salah. Kesimpulannya, konsep “take and give” ini sangat berbahaya.

Di usulkanlah sebuah konsep yang sangat logis dan masuk akal, tidak menyimpang dari sunatullah, memenuhi syarat hukum sebab akibat, tidak tendensius dan sangat mendidik, konsep itu adalah “give and rechieve” (memberi dan menerima).

Kaitannya dengan hukum sebab akibat, sangat relevan. Jika “give” adalah sebab maka “rechieve” adalah sebuah akibat. If you want to “rechieve” than you must to “give”. Ini sama seperti doktrin “jika engkau ingin mendapatkan hak-hakmu maka tunaikan kewajibanmu”. Jika anda ingin uang melimpah ya anda tidak cukup ongkang-ongkang kaki saja, anda harus bekerja. Jika anda ingin orang lain respect pada anda, maka anda harus memberikan kepedulian dan penghargaan pada orang lain. Kalau anda ingin di promosikan dari jabatan anda, maka anda harus ledih dahulu memberi bukti prestasi kerja kepada pimpinan. Jika anda ingin memiliki anak yang sholeh dan sholehah maka anda harus memberi teladan sebagai orang tua yang sholeh dan sholehah. Jika anda ingin karyawan anda lebih giat bekerja agar omset dan profit margin anda meningkat, maka anda harus memberikan “perhatian” lebih kepada karyawan anda. Jika anda ingin pelanggan anda setia maka anda harus perlakukan pelanggan anda seperti pacar anda. Jika anda ingin suami atau istri anda sayang pada anda maka anda harus terlebih dahulu memberikan cinta dan kasih sayang tulus pada istri atau suami anda. Jika anda ingin terpilih jadi presiden tahun 2009 nanti, ya anda harus mati-matian membela rakyat, harus memiliki program konkret bagi peningkatan kesejahteraan rakyat miskin, menyediakan lebih banyak lapangan kerja, mengungkap skandal pembunuhan Munir, segera memburu dan mengadili para koruptor dan menyelesaikan kasus Lapindo secara adil. Dan jika anda ingin Tuhan memberikan apa yang anda pinta, ya anda harus terlebih dulu melaksanakan perintah-perintahnya secara ikhlas.

Lalu apa jaminannya jika sudah memberi pasti akan menerima? (Sariman diam sejenak sambil garuk-garuk kepala).

Dalam hal “give and rechieve” Tuhan sudah berjanji, “…barang siapa melakukan perbuatan baik sebesar biji dzarah sekalipun, maka ia akan mendapatkan bagian (pahala) yang setimpal…” Sudah jelas, bukan? If you do something, than you will get something. Untuk mendapatkan sesuatu (have) kita harus melakukan sesuatu (do). Hanya saja dalam konteks tertentu kita tidak bisa langsung menerima sesuatu dalam wujud fisik. Kita mengeluarkan uang untuk menolong orang, bisa jadi bukan uang yang kita terima sebagai balasan tapi bisa respect atau persaudaraan atau kepuasan bathin. Kita memuji sales kita karena ia telah kerja dengan sangat antusias, bukan uang yang kita berikan tapi dia bisa memberikan kita uang dengan mencetak angka penjualan yang fantastis karena merasa diperhatikan dan dihargai.

Sekarang apa jadinya jika kita selalu memberi caci maki kepada staf kita atau selalu bersikap sinis dengan teman sekitar atau selalu memberi penilaian buruk kepada orang lain atau selalu memberi ancaman kepada anak kita atau selalu memberikan cemooh atau hinaan terhadap karya orang lain? Bisa dipastikan kita akan mendapatkan (rechieve) sesuatu yang negatif.

Kesimpulannya, kata Sariman, jika selama ini banyak orang yang membenci kita, banyak yang diam-diam ngrasanin kita dengan hal-hal buruk, banyak yang sinis dan apatis sama kita, banyak orang yang menjauhi kita, banyak yang tidak mau menerima pendapat dan ajakan kita, banyak yang mengabaikan kita, banyak orang yang mengutuk kita, banyak orang yang tidak senang dengan kehadiran kita, banyak orang yang tidak mau bekerjasama dengan kita, banyak orang yang tidak mau membeli barang di toko kita, banyak tetangga yang tidak mau menyapa kita, dan masih banyak lagi, maka satu-satunya hal yang harus kita pikir dan kita pertanyakan pada diri kita sendiri adalah “apa yang telah kita berikan kepada orang lain? Sesuatu yang baik atau sebaliknya?”.

Pikirkan, tanyakan dan temukan jawabannya di kesadaran anda.



Jakarta, 4 September 2007
www.rayasmoro.com

Minggu, September 02, 2007

PILONIAN (5) : Penyesalan

PILONIAN (5) : Penyesalan
Oleh : Ray Asmoro

Banyak orang, kyai, pendeta, ustadz, biku, psikolog, trainer, motivator, coach, yang mengatakan “apa yang telah terjadi, jangan di sesali”. Sariman menemukan keganjilan dalam pernyataan itu. Benarkah kita tidak perlu menyesal? Benarkah penyesalan itu tiada berguna? Benarkah?

Ada gadis remaja yang di tinggal pacarnya. Lantas ia menyesal, mengapa orang yang begitu di cintai meninggalkannya padahal segala bentuk perhatian dan sayang telah di curahkannya. Saat ia curhat pada orang lain, ia di nasehati “Yang sudah ya sudah, ndak perlu disesali…Penyesalan dan airmata tiada berguna…”, katanya.

Seorang businessman datang kepada konsultannya, ia membeberkan kerugian investasinya. Gara-garanya adalah ia salah membaca situasi dan terbujuk oleh rayuan manis seseorang culas yang ingin memanfaatkannya. Apa yang dikatakan konsultannya kemudian? “Bapak, yang terjadi tidak bisa di tarik kembali, jadi buat apa di sesali?...”

Seorang bapak separuh baya datang ke psikiater, ia menumpahkan seluruh problematika keluarganya. Sambil sesenggukan ia bercerita bahwa hubungannya dengan istrinya sedang dilanda bdai prahara. Istrinya ada “main” dengan pria lain. Anak-anak dirumah jadi tidak terurus. Tapi dialah yang mengawali semuanya, ketika ia mulai sering tidak pulang dengan bermacam-macam alasan. Istri dan anak tidak diperhatikan lagi, malah sibuk membuat jadwal “lembur” dengan sekretarisnya. Kini sekretarisnya hamil dan menuntut pertanggungjawabannya, bla-bla-bla… Sambil memberikan selembar tisu, psikiater itu menasehati “Apakah bapak, bisa merubah segala sesuatu yang sudah terjadi? Jika menurut bapak itu tidak mungkin, mengapa harus menyesal, karena itu tidak akan merubah apapun…”

Ada remaja SMU yang tidak naik kelas. Kemudian ia curhat kepada teman karibnya. “Jack, gue malu nggak naik kelas. Orang tua gue pasti juga malu. Nyesel gue. Kenapa dulu gue males belajar ya…” terus kemudian karibnya menasehati, “Penyesalan itu selalu datang di kemudian hari Bro, dan itu tidak lantas merubah keadaan… Sudahlah Bro terima saja kenyataannya, nggak perlu disesali…”

Satu lagi. Seorang pria muda resah lantaran ia di PHK dari perusahaan tempat selama ini ia bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga. Sebab musababnya, ia menggerakkan aksi demonstrasi, menuntut kenaikan gaji 30%. Padahal kinerja dia standar aja, dan perusahaan belum mampu memenuhi tuntutannya. Maka perusahaan mem-PHKnya dan meng-hire orang baru untuk menggantikan posisinya. Walaupun ia dapat pesangon tapi ia tetap merasa rugi. Pesangon yang diterima mungkin akan habis dalam waktu 4 sampai 6 bulan, setelah itu? Hmmm, itulah yang membuatnya resah. Pekerjaan baru belum juga di dapat, mau usaha sendiri tidak punya cukup nyali, mau protes ke perusahaan… Apa haknya? Perusahaan telah memberikan haknya. Seandainya dulu ia tidak menggerakkan aksi demontrasi, pasti sekarang ia masih bekerja, punya status, dan untung-untung perusahaan mau mempromosikannya karena ia tergolong karyawan yang cukup senior, begitu pikirnya.

Dalam duka resahnya itu, ia datang kepada seorang ustadz di lingkungan rumahnya. Setelah ia ceritakan semua detil kejadiannya, si ustadz menasehati dengan nasehat standar, “Mas, hidup ini bagaikan roda yang berputar, kadang dibawah, kadang diatas. Saat diatas kita tidak boleh semena-mena, saat dibawah kita harus sabar… Orang sabar itu di sayang Tuhan. Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, jadi mas tidak perlu menyesalinya, hadapi saja realitanya, ingat lho mas, Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar…”

Sabar, sabar, dengkulmu ambles!, kata Sariman. Bagaimana bisa bersabar, sementara kita dikejar-kejar oleh keharusan pemenuhan kebutuhan. Bersabar seperti apa, jika anak-anak kita menangis teriak-teriak karena lapar dan istri kita terisak-isak karena tidak ada sejumput beraspun yang bisa di masak. Sabar itu perlu. Sabar itu adalah bentuk pengkondisian bathin menuju ketenangan, sehingga kita tidak kemrungsung. Dengan bersabar, bathin tenang, pikiran lebih jernih, sehingga bisa menentukan langkah-langkah selanjutnya.

Jadi nasehat “sabar” itu benar, tapi itu masih koma. Seharusnya di jelaskan kenapa harus sabar, bagaimana bersabar itu, efeknya apa, daya letupnya sebesar apa, itu tidak pernah di nasehatkan. Ini yang kadang-kadang terdengar pilon. Maka ya jangan salahkan jika orang mempersepsikan “sabar” itu sebagai sesuatu yang pasif dan defensif. Padahal tidak sama sekali. Orang sabar, bukan lantas diam menerima keadaan, tapi ia melakukan aktifasi sistem inderawi untuk menata kembali pola kesadaran. Cara dan mekanismenya bisa dengan berbagai cara.

Tetapi sabar yang seperti itupun juga belum cukup. Tidak akan memiliki daya letup apapun. Ketika bathin sudah menjadi tenang, pola kesadaran telah berjalan secara ritmis, pikiran menjadi lebih jernih, maka kita akan menemukan jawabannya. Hanya dibutuhkan nyali untuk bertindak untuk merubah keadaan itu. Sudah bersabar, sudah tenang, sudah menemukan jalan keluarnya, tapi tidak mau action, ya pilon namanya.

Kembali soal “penyesalan”, kata Sariman. Benarkah penyesalan itu tiada berguna?

Sariman geleng-geleng, “Dasar pilon!”. Penyesalan itu justru penting. Penyesalan itu adalah sebuah akibat dari sebuah sebab. Akibat yang tidak sesuai dengan kehendak itulah yang mendatangkan penyesalan. Artinya, jika akibat yang yang ada tidak seperti yang di kehendaki, berarti ada yang salah pada sisi sebabnya. Maka penyesalan itu datangnya selalu belakangan, lantaran ia hanya akibat.

Karena ada yang salah pada sisi sebabnya, maka penyesalan itu menjadi penting. Penyesalan itu sebuah kondisi dimana seseorang telah menyadari kekeliruannya. Telah menemukan bottle neck nya. Menginsyafi bahwa apa yang telah dilakukannya salah dan merugikan dirinya. Ketika kita dilarang menyesali keadaan, maka sama artinya kita dilarang menginsyafi dan menyadari kesalahan-kesalahan kita. Pilon tidak?

Koruptor-koruptor kita, maling-maling, bandar narkoba, yang telah keluar dari penjara akan tetap melakukan korupsi, akan terus mencuri, akan terus mengedarkan narkoba, karena sebuah paradigma “penyesalan tiada berguna”. Mereka mau menyesal, mau menginsyafi bahwa yang dilakukannya adalah salah besar, tapi kita malah menasehati “yang sudah-ya sudah, tidak usah di sesali”. Dasar Pilon!

Seharusnya kita berikan ruang penyesalan itu. Taubat atau pertobatan itu tidak akan terjadi jika tidak diawali dengan sebuah penyesalan, bukan? Karena ia sadar bahwa ia berbuat salah, karena ia menginsyafi bahwa ia telah men-dzalimi banyak orang, dan itu semua merugikan diri sendiri dan banyak orang, maka ia menyesal dan bertobat serta tidak akan melakukannya lagi. Begitu kan urut-urutannya? Karena itulah “penyesalan” itu adalah pintu menuju pertobatan”, kata Sariman.

Jadi mungkin saja itulah penyebabnya mengapa koruptor tetap setia menjadi koruptor, pemimpin mencederai amanatnya, bangsa menjadi kerdil dan tak berdaya memberikan rasa aman, tentram, dan kebanggaan, nasionalisme menciut, ekonomi kita di setir oleh orang asing, westernisasi dianggap bahaya tapi tidak terbendung, masyarakat bingung di ping-pong oleh permainan politik, kerumunan massa di jalanan semakin penuh menuntut hak-haknya, Lumpur di Sidoarjo dijadikan komoditas politik, semua itu karena kita tidak pernah sadar oleh apa yang telah kita lakukan, tidak pernah belajar dari kesalahan, tidak pernah kapok oleh hukuman, tidak jera oleh pengalaman pahit, dan itu semua lantaran kita selalu merasa benar sendiri tanpa pernah ada sedikitpun penyesalan sehingga pintu pertobatan selalu terkunci rapat.

Lantas siapa yang pilon? Yang pilon adalah kita yang selalu mengajarkan bahwa “penyesalah itu tiada berguna”. Sesalilah…


Jakarta, 3 Sept 2007
http://www.rayasmoro.com/

Rabu, Agustus 22, 2007

PILONIAN (6) : Masyarakat "Untung"

PILONIAN (6)
By : Ray Asmoro - http://www.rayasmoro.com/

Sariman termangu-mangu, nggumun, oleh tingkah polah masyarakat sekitarnya yang punya fleksibilitas atau kelenturan dan sikap yang nrimo. Disatu sisi ia merasa bahwa sikap itu sebagai sesuatu yang positif karena sikap itu justru menunjukkan bahwa masyarakat kita memiliki daya tahan yang luar biasa. Dipojokkan disudut sesempit apapun, di tekan sekeras apapun, di himpit dalam keterdesakan sekuat apapun, bahkan di permainkan semau-maunya oleh yang empunya otoritas kebijakan segila apapun, masyarakat kita masih bisa nrimo dan berlapang dada. Luar Biasa kan?

Lho kok? Jangan “lho kok”, ini sungguh-sungguh, serius ini! Kata sariman. Bagaimana tidak, masyarakat kita sudah sedemikian kenyang oleh perlakuan-perlakuan yang kurang adil, misalnya saja tiba-tiba minyak tanah menghilang dari pasar, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, harga BBM dan TDL juga meresahkan, harga gabah rendah tak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkannya untuk mencangkuli dan menggarap sawahnya, biaya pendidikan dan rumah sakit semakin tidak bersahabat, dan puluhan bentuk keterdesakan lainnya, dan mereka masih bisa nrimo, tetap adem-ayem seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Lebih parah lagi masyarakat kita yang merasakan himpitan itu di kelompokkan dalam istilah (yang disebut) “rakyat kecil” alias wong cilik. Bukankah itu salah satu bentuk penistaan yang sangat terang-terangan? Dasar pilon!

Jika ada kategori “rakyat kecil” maka logikanya ada “rakyat besar”. Bagaimana bisa disebut kecil jika tidak ada yang besar. Jika rakyat kecil adalah masyarakat yang mengalami keterdesakan secara sistemik, maka logikanya rakyat besar adalah yang terbebas dari keterdesakan itu dan (kemungkinan besar) rakyat besarlah yang membuat sistem itu. Tetapi istilah “rakyat besar” sama sekali tidak populer, bahkan cenderung tidak ada. Dan istilah “rakyat kecil” biasanya disebut “rakyat” saja. Jadi para pembesar itu siapa? Rakyat atau bukan? Jika sama-sama rakyat mengapa harus di kotak-kotakkan?

Anehnya, jika sudah memasuki masa-masa kampanye pemilihan anggota dewan, pilkada, atau apapunlah namanya, mereka ramai-ramai dan berteriak sangat lantang, mengaku-aku dirinya sebagai “rakyat”. Dasar pilon!

Saya jadi ingat sebuah film yang berjudul “The Last King From Scotland” yang mengkisahkan sepak terjang seorang Idi Amin, diktator dari Uganda yang telah membantai lebih dari 400.000 rakyatnya. Dalam film itu Idi Amin berpidato didepan rakyatnya, dan berkata (kurang-lebih) seperti ini : “…saya berdiri disini, menggunakan pakaian jendral, tetapi didalam pakaian kebesaran ini saya adalah pribadi sederhana, seperti halnya kalian semua…coba tanya para prajuritku, saya akan makan jika semua prajuritku telah kenyang…Kita akan bangun afrika menjadi lebih maju, kita akan bangun rumah-rumah, sekolah-sekolah, bagi masyarakat. Kita harus bangkit menjadi bangsa yang besar…” Lalu semua masyarakat menyambutnya dengan suka-cita, terbius oleh propaganda dan janji-janji politik, kemudian mereka mengelu-elukannya, “Amin! Amin! Amin!” Luar biasa, bukan?

Begitu juga yang terjadi disini. Mmasyarakat kita nrimo dan legowo jika pemimpin yang didukung dan dipilihnya menjadi “Idi Amin” dikemudian hari. Siapa pilon? Dan pemimpin-pemimpin itu juga aneh, begitu terpilih dan duduk di kursi empuk, lantas lupa bahwa kemarin mulutnya baru saja mengaku sebagai “rakyat kecil”.

Seharusnya, kata Sariman. Mereka “rakyat besar” itu jangan melupakan sejarah eksistensinya. Bahwa mereka juga pernah atau memohon-mohon menjadi bagian dari “rakyat kecil”. Seharusnya mereka itu lebih peka terhadap persoalan-persoalan “rakyat”, lebih lembut dan manusiawi dalam memperlakukan “rakyat” yang kenyataannya sebagai kaum mayoritas.

Tapi itulah realitanya. Masyarakat kita tetap saja adem-ayem. Kalaupun ada yang protes, itupun hanya dalam hati, sambil diam-diam ngumpet dikamar. Kalaupun ada pengerahan masa hingga turun ke jalan berjuang untuk terbebas dari keterdesakan, masyarakat yang lain malah menggerutu, “Bikin jalan macet saja”, atau “Alaaah, paling-paling hanya massa bayaran” atau komentar-komentar miring lainnya. Tidak pernah ada kebulatan tekad, kebulatan prinsip dan persepsi, kebulatan kepentingan, kebulatan kesadaran sesama masyarakat, yang sebenarnya sama-sama tertindas. Piye to mas…?

Kesimpulannya ya itu tadi, bahwa masyarakat kita ini memiliki daya tahan yang luar biasa. Sikap nrimo dan kelenturan masyarakat ini mestinya di jadikan asset. Anda yang jadi pembesar seharusnya senang dan segera berpikir keras, kalau perlu sampai botak, untuk kepentingan masyarakat banyak. Jangan tunggu sampai macan tidur itu terbangun. Oceh Sariman.

Sikap lentur dan nrimo itu sangat positif di satu sisi. Anda pasti sering mendengar misalnya, ada orang kecelakaan kendaraan hingga kakinya terkilir, dan mereka masih bisa bilang “untung hanya kaki terkilir, coba kalau sampai patah…” atau “untung Cuma kaki terkilir, untungnya bukan kepala saya yang pecah”. Ada orang bisnis kemudian mengalami kerugian, dan masih bisa bilang “untung kerugiannya baru 100 juta, coba kalau kemarin saya setorkan modal 1 milyar kan bisa berabe”.

Cerita lainnya, ada orang udik datang ke Jakarta naik bus, kemudian tiba-tiba dia hendak turun dan bilang sama kenek-nya “Bang saya turun disini” kata Si Udik tadi.

“Tunggulah sebentar, biar busnya minggir dulu” Kemudian bus itu mulai ke pinggir, dan seperti biasanya bus-bus disini kan tidak ada yang taat asas, berhenti sekenanya, belok minggir seenaknya, dan menurunkan penumpang tanpa harus menghentikan kendaraan, dasar pilon!, “Sekarang kau boleh turun disini” kata kenek itu, “Turun kaki kiri dulu, pak” kenek mengingatkan.

Si Udik jengkel, tujuannya sudah lewat tiga ratus meter, bus masih berjalan, dan dia disuruh turun. Sudah begitu, keneknya pakai ngatur-ngatur, harus turun dengan kaki kiri dulu. Si Udik ngedumel dalam hati. Kenapa saya harus percaya pada kenek ini, lha wong saya minta berhenti disana tadi malah kebablasan hingga lebih dari tiga ratus meter jauhnya. Enak saja nyuruh-nyuruh orang, sok ngatur, memangnya saya ini orang bodoh apa? Si Udik terus ngedumel. Lalu ia melompat turun dari bus dengan kaki kanan terlebih dulu. Dan apa yang terjadi kemudian, begitu kaki kanannya menjejak tanah, dia kehilangan keseimbangan, dan terjatuh terlentang, parahnya saat terjatuh kepala bagian belakangnya nyungsep di kotoran kerbau yang ada dipinggir jalan itu.

Melihat kejadian itu, si kenek malah mengolok-olok, “Yeee, kan udah dibilang turun pakai kaki kiri dulu, nekad. Nyungseplah kau sekarang di tai kerbo”.

Mendengar olok-olok itu si udik bilang, “He! Untung saya lompat turun kaki kanan dulu. Kalau saya turun kaki kiri dulu, bukan kepala belakang saya yang kena tai kerbo, tapi muka saya, dasar pilon!”.

Begitulah, sudah kecelakaan motor, jelas-jelas rugi 100 juta, terjatuh hingga nyungsep di tai kerbo, masih bilang “untung”. Dasar pilon! Tetapi disitulah letak kekuatannya. Artinya masyarakat kita ini memiliki kemampuan menghibur diri sendiri, memiliki rasa humor yang tinggi, selalu penuh rasa syukur, mampu menertawai diri sendiri, bisa bercanda dengan segala situasi, setiap peristiwa, ironi ataupun tragedi dianggap sebagai sebuah parodi. Top banget!

Dengan sikap seperti itu, masyarakat kita tidak mudah patah. Tidak bisa ditekan-tekan, dihimpit-himpit, atau didesak-desak. Jadi, wahai penguasa, engkau perlakukan seperti apapun, engkau pojokkan dengan kebijakan apapun, engkau tindih dengan beban harga sembako, tarif BBM dan TDL semahal apapun, engkau tikam dengan propaganda politik sebusuk apapun, engkau perdayakan senista apapun, engkau adu-domba sesengit apapun, engkau injak-injak sehina apapun, engkau khianati hingga selaknat apapun, jangan harap mampu membuat masyarakat tersinggung atau marah, apalagi mencabut amanatnya. Jangan harap. Karena engaku berhadapan dengan masyarakat “untung”. Lho?

Terus sisi negatif dari sikap “untung” itu apa, Man?

“Yang negatif-negatif apa perlu dikemukanan? Nanti saya malah dibilang provokasi. Masyarakat kita sudah pada pinter kok. Sudah bisa bedakan mana positif mana negatif. Kalaupun terperosok ke dalam hal-hal negatif, toh pada akhirnya mereka akan bilang “masih untung begini daripada begitu”, memang terasa agak pilon sih…, tapi jangan buru-buru berkesimpulan begitu. Karena bisa jadi mereka hanya pura-pura pilon, dan ketika mereka sudah tidak mau “pura-pura” lagi… hmmm, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi”.


Jakarta, 23 Agustus 2007

Minggu, Agustus 19, 2007

"Anjing Perempuan Itu..."

ANJING PEREMPUAN ITU
Cerpen Ray Asmoro


Berbahagialah menjadi anjing. Ketika tiba masanya kawin, ya kawin saja. Tidak perlu pesta-pestaan. Kalau mau kencing, ya kencing saja. Tidak perlu sungkan-sungkan. Angkat sedikit kaki sebelah lalu, currr… tidak peduli di tempat umum sekalipun.

Seperti halnya manusia, dalam per-anjing-an juga berlaku istilah strata sosial atau kasta. Ada anjing penjaga, anjing liar, anjing pasar, anjing sirkus dan sebagainya. Diantara kasta anjing itu, anjing rumahanlah yang menempati kasta tertinggi. Tinggal seatap dengan manusia. Makan sudah disediakan, bahkan kandungan gizi dan kalorinya melebihi makanan yang dijual di warteg-warteg. Perlakuannya sangat istimewa. Dibelai-belai, diciumi, dipeluk, bahkan dikeloni oleh tuannya yang cantik dan seksi. Dasar anjing!

Setiap kali melewati satu jalan di kawasan elit itu, Morgan selalu melihat seorang perempuan tua bersama seekor anjing. Hitam warna bulunya. Ia tidak berumah. Tidurnya di luar pagar rumah orang kaya. Orang menyebutnya gembel. Ada juga yang menganggapnya gila. Tidak jelas darimana asal usulnya, punya sanak keluarga atau tidak, juga mengapa ia selalu mengenakan baju merah.

Ketika melewati jalan itu, perempuan berbaju merah itu kadang terlihat sedang menyapu trotoar, duduk diam seperti menghayalkan sesuatu, memberi makan anjingnya, atau sedang bercanda dengan anjingnya. Mengelusnya, menggendongnya atau mengajaknya jalan-jalan. Bahkan sesekali Morgan melihatnya sedang membaca koran bekas dan menulis surat.

Apa sih sebenarnya perempuan itu?

“Rupanya ia menyukai anjing. Mengapa ia lebih suka berteman dengan anjing, ya?” tanya Timbul pada Morgan ketika melewati jalan itu.

“Karena menurutnya, anjing lebih manusia dari manusia.” Morgan menerka-terka jawaban atas petanyaan Timbul, temannya.

“Apa dia tidak punya sanak saudara?”

“Mungkin saja ada. Dan mereka tidak lebih baik dari anjing itu dalam memperlakukannya.”

“Ah!”

***

Perempuan itu sudah terlihat tua. Andaikata ia hidup normal dan bersuami, mungkin sudah punya dua cucu. Tapi siapa bilang itu tidak normal? Bisa jadi itu hanya sebuah sensasi atau gaya hidup yang eksentrik. Siapa tahu kalau sebenarnya ia seorang milyarder tapi ia tidak mau menunjukkan harta kekayaannya dan memilih hidup dengan cara seperti itu. Dan tanpa kita tahu, di kantong plastik hitam yang ditentengnya kesana-kemari itu tersimpan sebuah laptop dan telepon satelit yang dipakainya bertransaksi bisnis lewat internet saat malam sepi, misalnya. Kira-kira, mungkin tidak?

O, mengapa tidak. Logikanya, seperti halnya banyak orang yang sebenarnya gembel dan kere tapi berlagak kaya. Atau, seperti para pejabat yang berebut untuk disebut miskin, dan untuk itu, hanya sebagain kecil saja dari harta kekayaannya yang dilaporkan. Padahal pundi-pundi hartanya tersimpan dan tercecer berserakan dimana-mana. Atau, pernahkah anda mendengar ada seorang pejabat negara yang profesi sesungguhnya adalah sales, kerjanya menjual aset-aset negara? Hmm… Saya pernah mendengarnya.

Lantas apa sih sebenarnya perempuan itu? Dan mengapa ia menyukai anjing?

“Sudahlah, Morgan. Masih banyak persoalan penting yang harus dipikirkan daripada sekedar berpikir tentang perempuan berbaju merah dengan anjingnya itu.” komentar Arif dengan logat timurnya ketika Morgan mencoba mendiskusikan fenomena perempuan dan anjingnya.

Suatu hari, ketika melewati jalan itu, Morgan tidak mendapati perempuan berbaju merah dengan anjingnya di tempat biasa. Morgan mengernyitkan dahi. Orang-orang tidak ada yang merasa kehilangan. Toh, keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Dalam teori, eksistensi manusia diukur dari seberapa besar kontribusi yang diberikan pada sesamanya. Semakin sedikit yang diperbuat, semakin meniadakan eksistensinya.

Lalu kemanakah gerangan perempuan berbaju merah dan anjingnya itu? Pertanyaan itu sempat hinggap di kepala Morgan. Mungkinkah perempuan tua dan anjingnya itu sudah menyingkir atau tersingkir dari sini? Mengapa menyingkir dan siapa yang menyingkirkan? Barangkali tidak menyingkir dan tidak disingkirkan. Ia hanya pergi atau jalan-jalan ke suatu tempat, menikmati suasana baru. Seperti kebanyakan kita yang seringkali butuh suasana baru. Bahkan perselingkuhan dan poligami diartikan sebagai bentuk suasana baru. Dasar!

***

Hari-hari berikutnya, perempuan tua berbaju merah itu terlihat lagi dikawasan itu lengkap dengan anjingnya. Seperti biasanya ia memperlakukan anjingnya seperti anak kandungnya sendiri. Suatu ketika Morgan lewat kawasan itu, anjing perempuan itu sedang bermain-main di trotoar jalan. Tapi Morgan merasa risih dengan anjing, ia takut anjing. Selucu apapun yang namanya anjing, tetap saja menakutkan bagi Morgan. Morgan berhenti sejenak di ujung trotoar, menghentikan langkahnya. Rupanya perempuan tua pemilik anjing itu menyadari ada seseorang yang hendak lewat trotoar jalan itu tapi takut dengan anjingnya, lantas perempuan itu memanggil anjingnya.

“Morgan, sini! Jangan nakal ya!”

Anjing itu menurut dan langsung menghampiri perempuan tua itu. Morgan tercengang sesaat. Lalu ia melanjutkan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sanwacana tentang PILONIAN

SANWACANA Tentang PILONIAN

Pilonian, istilah ini mungkin hal baru bagi anda. Namun ketahuilah, sebenarnya tidak sama sekali!. The Pilonian Syndrome ini ada dan mewabah disekitar kita dengan atau tanpa kita sadari, bahkan mungkin anda (kita) sendiri mengalaminya, terjangkiti yang namanya The Pilonian Syndrome. Masalahnya seberapa kronis anda terjangkit The Pilonian Syndrome ini. Waspadalah! Waspadalah!

Istilah The Pilonian Syndrome tentu tidak akan anda temukan dalam kamus atau teori psikologi. Syndrome adalah sebuah kecenderungan psikis bahkan dalam teori psikologi itu termasuk “penyakit” kejiwaan. Tentu anda pernah mendengar istilah Post Power Syndrome, itu adalah sebuah kondisi psikis tertentu dimana orang merasa ada yang hilang dan tidak rela karenanya setelah kehilangan kedudukan dan pengaruhnya. Akibatnya orang itu melakukan hal-hal yang kadang tidak masuk akal agar eksistensinya tetap diakui dan tetap mendapatkan puja-puji, tepuk tangan meriah, kalung rangkaian bunga dan hal-hal yang menggelikan lainnya.

Banyak syndrome yang telah diteorikan dan diakui secara masal. Namun The Pilonian Syndrome ini dimunculkan bukan untuk mendapat pengakuan itu. Pilonian ini adalah sebuah syndrome dimana orang seringkali bertindak kebodoh-bodohan alias ke-pilon-pilonan. Anda sering mendengar ungkapan “jangan belagak pilon”, bukan?

Pilon disitu memiliki dua kemungkinan arti. Pertama, pura-pura bego. Yang namanya pura-pura bego itu tidak benar-benar bego, bukan? Mengetahui sesuatu lantas pura-pura tidak tahu, menguasai sesuatu lalu pura-pura tidak berdaya, memiliki sesuatu kemudian pura-pura tidak menyadarinya. Dasar Pilon!

Kedua, ya memang benar-benar bego, pilon, culun (pinjam bahasanya Tukul) katro! Sudah culun, polos, bego lagi. Udah tampangnya miskin, dompetnya kosong pikirannya kusut lagi. Udah tampangnya bego, nggak punya kompetensi yang bisa diandalkan dan parahnya nggak nyadar lagi. Dasar Pilon!

Kalau dicarikan padanan katanya, pilon ini mungkin setara dengan kata bloon, bego, culun dan sejenisnya.

Menariknya, ketika orang mengatakan “jangan belagak pilon”, itu biasanya diungkapkan dalam penegasan yang mengambang. Antara ya dan tidak, antara serius dan bercanda. Dan yang jadi sasaran ungkapan itu biasanya juga tidak marah ataupun tersinggung, paling-paling cuma cengar-cengir. Jadi Pilonian ini adalah sebuah parodi untuk merespon realitas. Layaknya sebuah parodi, Pilonian ini dipakai sebagai alat respon sederhana dan praktis agar urat-urat syaraf kita tidak terlalu tegang.

Kan ada istilah Life Is Fun. Begitu juga dengan pilon. Pilon Is Fun! Dengan semangat Pilonian ini orang lebih santai menyikapi realita dari sisi yang paling lentur, elastis dan ndagel.

Kadang-kadang sikap Pilon ini diambil untuk menyelamatkan diri. Memposisikan diri pada status quo, sehingga bisa “cuci tangan”, lepas dari tanggungjawab. Ya bagaimana anda bisa meminta pertanggungjawaban dari orang pilon? Jika anda begitu, jangan-jangan anda sendiri yang bloon. Namun menariknya sikap Pilon ini sudah mewabah ke seluruh sendi-sendi dan pori-pori kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi siapa yang harus dipersalahkan? Kalau kita menyalah-nyalahkan jangan-jangan kita malah dianggap pilon, lha wong mereka sebenarnya cuma belagak pilon. Nah lu!

Pesan saya, jika anda membaca tulisan-tulisan saya ini, cobalah untuk rileks, kendurkan urat-urat syaraf anda, tahan emosi anda dan jangan takut menertawakan diri sendiri jika anda merasa “tersindir”. Cobalah melihat sisi humornya pada hal-hal yang selama ini kita anggap serius, biar hidup ini terasa lebih enteng sehingga kerutan-kerutan penuaan tidak cepat terlihat diwajah anda. Jika anda merespon tulisan saya ini secara serius, jangan-jangan anda sudah terjangkit The Pilonian Syndrome.

Dalam tulisan-tulisan pilonian, saya memunculkan tokoh bernama Sariman. Alasannya, kalau saya memakai anda sebagai tokoh pilon saya kuatir anda tidak terima, tersinggung dan marah-marah terus purik. Padahal diawal kan saya sudah bilang nggak usah terlalu serius menyikapi realita. Lha kalau anda kemudian terbawa emosi, jadi siapa yang pilon?. Dan lagi, Sariman ini luar biasa. “Sari” itu artinya inti atau sejati atau hakikat. Man itu artinya manusia. Jadi Sariman ini adalah manusia sejati (ini ilmu otak-atik-gathuk).

Dalam proses menuju kesejatiannya sebagai manusia dia kadang harus melewati fase dimana dia harus berperilaku dan bertindak pilon. Nah, kita harus sepaham dulu soal ini, bahwa Pilonian ini adalah sebuah proses dan fase menuju kesejatian, tapi bukan berarti anda harus pilon dan berusaha mati-matian untuk menjadi pilon. Maksud saya adalah, jika disekitar anda banya sekali ke-pilon-an, tidak ada salahnya jika kita memberikan sedikit ruang dan pengertian. Sederhananya, untuk bertindak benar kadang kita harus pernah salah, untuk mengerti dan paham kita kadang harus menjadi pilon. Kan ada ungkapan “jika anda ingin mendapatkan fajar pagi, anda harus melakukan perjalanan malam”.

“Fajar Pagi” dalam konteks itu bisa di asosiasikan sebagai pencerahan alias clarity, dimana anda mendapatkan jalan terang, cakrawala kehidupan anda terbentang dan anda bisa melihat jelas masa depan anda, lebih PD dan arif dalam bertindak, bersikap dan berperilaku. Sedangkan “Perjalanan Malam” adalah sebuah idiom tentang kepekatan dan hitam-merahnya lika-liku kehidupan bahkan sebuah kesalahan yang fatal, kebenaran-kebenaran yang tak sempat tersampaikan, lembah-lembah kenistaan dan sebagainya. Jika “perjalanan malam” itu bisa kita menangkan, bisa terlewati, bersiap-siaplah untuk sebuah pencerahan.

Terimakasih.

Ray Asmoro

www.rayasmoro.com

PILONIAN (4) : Eker-ekeran

PILONIAN (4)
oleh Ray Asmoro - http://www.rayasmoro.com/

“Saya punya cerita”, kata Sariman suatu ketika disebuah acara yang dihadiri oleh semua warga RW 07 (yang terdiri dari dari RT 01 hingga RT 12) di komplek tempat tinggalnya, “Saya akan paparkan sebuah cerita dan tolong bantu saya, temukan siapa yang paling bersalah dalam kasus dalam cerita yang akan saya ceritakan. Masing-masing anda boleh berbeda pendapat, dan masing-masing anda hanya boleh menentukan satu pihak saja yang salah, oke?” lalu semua warga RW 07 berseru “Okeeee!!!”

Ceritanya begini : ini kisah cinta Romeo dan Juliet versi Sariman. Kita semua tahu, Romeo dan Juliet adalah sepasang kekasih, yang cintanya tak akan pernah layu oleh perbedaan, tak akan pernah lapuk oleh waktu.

Saban hari Romeo bertandang (ngapel) ke rumah Juliet. Suatu ketika Romeo berpikir ingin mendapatkan bukti cinta Juliet terhadapnya. “Apa yang engkau minta dariku, duhai kekasih hati, belahan jiwaku” Tanya Juliet kepada Romeo kekasihnya.

“Setiap hari aku bertandang ke rumahmu, sekarang aku ingin engkau menunjukkan cintamu padaku, sekali saja engkau yang datang ke rumahku. Itu saja pintaku kepadamu, duhai kekasih pujaan hatiku. Jika engkau tak datang berarti engkau tidak sungguh-sungguh mencintai dan mengharapkanku, maka tamat sudah cerita cinta diantara kita”.

Juliet setuju. Pada malam minggu berikutnya Juliet bersiap-siap pergi ke rumah Romeo yang berada di desa seberang sungai. Hari sudah semakin gelap, jubah sang malam telah menyelimuti desa-desa ketika Juliet sampai di pinggir sungai seorang diri. Untuk sampai ke rumah Romeo ia harus menyeberangi sungai yang cukup luas dan dalam itu. Tidak ada jembatan penghubung disana. Dan disungai itu banyak sekali buaya-buaya ganas yang siap memangsa. Matanya selalu siaga mengamati mangsanya. Maka tak mungkin bagi Juliet menyeberangi sungai itu dengan berenang.

Beruntung, ada penjual jasa pengantaran. Seorang setengah baya dengan rakitnya siap mengantarkan siapa saja yang hendak menyeberang sungai itu dengan rakitnya. Juliet pun meminta kepada tukang rakit untuk menyeberangkannya. “Tapi engkau harus membayar jasaku, nona”. Kata tukang rakit itu.

“Berapun uang yang engkau pinta, aku akan bayarkan asal aku bisa mnyeberang sungai ini dan sampai ke dekapan Romeo kekasih hati, belahan jiwaku”
“Hmmm, aku tidak menginginkan uangmu, nona”.
“Lalu?”
“Aku akan menyeberangkanmu dengan satu syarat. Jika syarat itu engkau penuhi, aku akan dengan senang hati menyeberangkanmu. Tetapi jika syaratku tidak engkau penuhi, engkau tak akan bisa memaksaku. Dan jangan harap engkau akan bertemu kekasihmu, karena akulah satu-satunya tukang rakit disungai ini, dan tak mungkin juga engkau berenang menyeberangi sungai ini, karena buaya-buaya itu siap memangsa sewaktu-waktu”.
“Apa yang engkau inginkan dariku”.
“He he he… aku menginginkan keperawananmu. Engkau harus “memuaskan hasrat kelelakianku” terlebih dahulu, he he he…”

Mulanya Juliet menolak. Bagaimana mungkin ia menyerahkan kehormatannya kepada tukang rakit itu. Mahkota kesuciannya hanyalah untuk Romeo kekasihnya. Tetapi jika ia tidak menyeberang, maka Romeo akan menganggap Juliet tidak sungguh-sungguh mencintainya. Jika demikian maka Romeo akan meninggalkannya. Juliet tak mau kehilangan Romeo, tapi ia juga tidak mau mengorbankan kehormatannya kepada tukang rakit itu.

Juliet berpikir panjang. Menimbang-nimbang. Hingga Juliet sampai pada sebuah keputusan. Ia harus menyeberang untuk mendapatkan cintanya, untuk membuktikan kepada kekasihnya betapa cinta dan kesungguhannya melebihi apapun. Ia mungkin akan kehilangan keperawanannya tapi ia akan mendapatkan cinta sejatinya, pikirnya. Maka ia serahkan keperawanannya kepada si tukang rakit itu, dan beberapa saat kemudian sampailah ia ke seberang.

Ketika sampai dihadapan Romeo. Juliet yang nampak kusut membuat Romeo bertanya-tanya, “Ada apakah gerangan duhai kekasih pujaan hatiku, apa yang membuat hatimu gundah sehingga wajah cantikmu terlihat begitu murung”.

Lalu Juliet menceritakan semuanya. Ia ingin menunjukkan betapa besar cintanya pada Romeo bahkan apapun ia korbankan untuk kekasih tercintanya itu. Tapi Romeo tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia merasa di khianati. Romeo menganggap Juliet tak pantas lagi untuk menerima tulus cintanya karena tak mampu menjaga kemurnian dan kesuciannya. Lalu ia usir Juliet dari hadapannya.

Nah, sekarang siapa diantara mereka yang paling bersalah. Romeo, Juliet, Tukang Rakit, atau Buaya-buaya di sungai?, Tanya Sariman kepada semua warga RW 07.

Seorang wanita paruh baya dari RT 01 menjawab tegas, “Romeo lah yang salah”. Tapi seorang pemuda dari RT 09 menyangkal, “Romeo tidak salah, Juliet lah yang salah. Kenapa ia mau menyerahkan keperawanannya. Hina sekali dia”. Seorang bapak-bapak dari RT 05 menyangkal, “Bukan Romeo atau Juliet yang salah, tapi si Tukang Rakit itu lah yang salah”. Seorang ibu-ibu muda dari RT 11 menyangkal, “Bukan salah mereka! Tapi yang salah adalah buaya-buaya disungai itu. Jika buaya-buaya itu tidak disungai itu, Juliet masih punya pilihan lain dengan berenang tanpa harus menyerahkan keperawanannya”.

Suasana semakin ramai. Semua memiliki argumen sendiri-sendiri. Setiap argumen coba dipatahkan oleh yang lainnya, setiap alasan selalu di tentang oleh yang lainnya, setiap gagasan selalu di serang oleh yang lainnya. Semakin lama semakin sengit. Semakin lama semakin panas. Setiap RT memiliki pendapatnya sendiri-sendiri. Tidak ada toleransi ataupun kelenturan. Semua dari mereka ingin benar sendiri-sendiri. Tidak ada yang mau mengalah.
Suasana semakin panas. Adu argumentasi tidak pernah sampai pada satu kesimpulan yang bisa disepakati bersama. Kemudian setiap kelompok RT mulai panas. Terbakar oleh fanatisme kelompokknya, tersulut oleh kebenaran kelompoknya yang belum tentu benar menurut lainnya. Lalu mereka saling memaki dan menghujat-hujat. Mula-mula hanya sebatas cemoohan, lama-lama menjadi kontak fisik. Mereka saling menjatuhkan dengan memukul, menampar, menyikut. Bahkan ada yang mulai mengambil pisau dapur dirumahnya, ada yang membawa pentungan, ada yang melempar dengan batu, demi mempertahankan pendapatnya, demi kebenaran kelompoknya. Suasana menjadi chaos! Tidak peduli lagi dengan kebersamaan yang dulu pernah ada, tidak peduli lagi dengan ras persaudaraan, tak peduli lagi dengan tepo sliro, gotong royong, toleransi, atau apaun namanya. Yang mereka pedulikan sekarang adalah kebenarannya sendiri-sendiri. Kelompoknya sendiri-sendiri. Lalu mereka tawuran demi fanatisme sempit dan kekanak-kanakan.

“Stoooop…!!!” teriak Sariman memecah kebisingan. “Kalian ini sudah pada pilon apa? Hanya gara-gara Romeo-Juliet yang kalian tidak kenal dan tidak mengerti, kalian rela membunuh sesama saudara” kata Sariman kepada seluruh warga. “Siapa diantara kalian yang kenal dengan Romeo? Apakah ada diantara kalian yang memiliki hubungan darah dengan Juliet?”
“Tentu tidak…!” kata warga
“Lantas kenapa kalian saling bertikai. Dasar pilon semua!” sariman mulai geregetan,”Kalian tidak tahu dan tidak mengenal Romeo-Juliet, tapi kalian eker-ekeran. Kalian rela memukul, menyikut bahkan membunuh saudara sendiri demi sesuatu yang kalian tidak pahami. Apa itu bukan pilon namanya? Apakah Romeo-Juliet yang tidak kalian pahami itu lebih berharga dari kebersamaan dan persaudaraan sesama warga? Apakah Romeo-Juliet yang tidak kalian kenal itu lebih berharga daripada keutuhan bangsa ini? Apakah Romeo-Juliet yang tidak pernah memikirkan kalian, tidak pernah memberikan kalian apa-apa, juga tidak pernah memperjuangkan nasib kalian dan keluarga kalaian, lebih berharga daripada harga diri kalian? Apakah Romeo-Juliet yang tidak pernah melakukan apa-apa untuk perbaikan ekonomi rakyat, untuk mengangkat derajat para buruh, kaum miskin dan papa, untuk memberikan pendidikan dan jaminan kesehatan yang cukup pada anak cucu kita, untuk membebaskan bangsa ini dari korupsi, perjudian dan kemaksiatan, apakah itu semua melebihi kesadaran dan cinta kalian kepada Tuhan? Dasar pilon!”.

Semua menjadi hening untuk beberapa saat. Lalu ada yang bertanya kepada Sariman, “Lalu siapa yang salah dari cerita Romeo-Juliet tadi?”

Emang gue pikirin? Buat apa mikirin sesuatu yang tidak berguna. Jika kita sudah memutuskan siapa benar siapa salah apa lantas hidup kita jadi sentosa? Apakah jika kita membenarkan Romeo, Juliet atau lainnya, lantas Romeo dan lainnya itu akan memberikan kita jaminan bahwa periuk nasi di dapur kita akan bisa ngebul setiap saat? Mampukan mereka memberikan jaminan terhadap biaya pendidikan anak-anak kita, terhapusnya kesenjangan ekonomi, pemerataan kesejahteraan hingga ke pelosok-pelosok kampung, pemerintahan dijalankan dengan bersih dan jujur, jalanan tidak macet, bisakah mereka memberikan jaminan rasa aman dan nyaman bagi semua warga? Tentu saja tidak. Lalu kenapa kita harus saling sikut? Dasar pilon!”.

“Lantas, bagaimana?”

Ndak penting siapa yang benar, siapa yang salah dalam cerita Romeo-Juliet. Yang penting kita tidak eker-ekeran. Bisa saling berpelukan, bergandengan tangan dengan mesra, tidak terprovokasi oleh jargon-jargon politik, tidak tergoda oleh fatwa-fatwa yang menyesatkan yang membuat kita jadi anarkis, tidak terlena oleh janji-janji pemimpin bangsa, tidak terlelap oleh kidung pembangunan yang semu, tidak terhasut oleh bisikan-bisikan nafsu. Yang terpenting kita harus menyatukan derap langkah kita, kita kuatkan ikatan kebersamaan dan persaudaraan kita, lalu bersama-sama kita berjuang untuk masa depan gemilang”.

“??!!$$@**?##”

Jkt, 20 Agt 2007

Kamis, Agustus 16, 2007

PILONIAN (3) : Menunggu ?

PILONIAN (3)
(Ray Asmoro)

Menunggu. Hmmm, hampir semua orang mengatakan menunggu adalah pekerjaan paling membosankan. Tapi Sariman justru mempertanyakan keabsahan pernyataan khalayak ramai itu. Bukankah dunia ini seperti ruang tunggu yang sangat besar? Dan bukankah banyak orang yang mencintai dunia ini melebihi apapun bahkan Tuhan dan keabadiannya? Lalu mengapa mereka bilang membosankan? Siapakah yang menyangkal bahwa kita semua sedang menunggu datangnya kematian yang syahdu? Dasar pilon!

Para motivator, trainer, coaches, selalu mengatakan, “Jangan menunggu! Kesempatan tidak bisa diraih dengan menunggu, action now!” Wow… Fantasctic!

Sebenarnya itu hanya soal cara menunggu. Dalam hal ini tiga macam orang. Pertama, orang yang dalam masa menunggunya tidak mau diam, setelah do something tidak lantas diam tapi melakukan daya-upaya dari sisi lain, menjalankan strategi dan taktik yang lain, agar yang ditunggu-tunggu segera datang menghampiri, atau dalam pengertian lain, agar memuluskan dan mempercepat sampai ditujuan.

Nah ini sama dengan yang dilakukan Sariman waktu kecil. Saat kecil ia ingin punya mobil-mobilan seperti milik temannya yang menggunakan remote control. Maka yang dilakukan oleh Sariman adalah meminta baik-baik kepada orang tuanya. Walaupun mereka setuju tapi Sariman tidak diberi kepastian kapan itu direalisasikan. Kemudian Sariman mulai menyusun strategi. Mula-mula ia berubah menjadi anak rajin. Selesai makan bersama langsung mengambil inisiatif untuk mencuci piring. Bangu tidur langsung menyapu lantai sekaligus mengepelnya hingga bersih mengkilap. Pokoknya ia lakukan hal-hal yang hanya menjadi komoditas anak yang dikategorikan rajin dan sholeh. Seminggu Sariman berlaku seperti itu, belum juga terealisasi keinginannya. Lantas ia jalankan taktik lainnya. Kalau menjadi anak rajin juga tidak mampu mencuri perhatian orang tuannya, mungkin jika melakukan kenakalan-kenakalan malah bisa memberikan daya desak yang nyata kepada orang tuannya untuk segera merealisasikan keinginannya. Dan benar, ketika ia mulai cengeng, tidak mau disuruh-suruh, malas belajar, mengurung diri di kamar, orang tuannya mulai bingung dan segera memenuhi permintaan Sariman. Aneh, menjadi baik tidak dihargai, justru kenakalan malah dihadiahi. Siapa pilon?

Kedua, orang yang sudah merasa melakukan sesuatu, lalu diam menunggu sambil santai-santai dirumah, menikmati kicau burung perkututnya. Biasanya orang begini selalu bilang “Saya sudah berusaha kok”, walaupun hanya sekali, “Ya kalau itu menjadi kenyataan ya alhamdulillah, kalau tidak ya mungkin memang nasib baik belum memihak saya”. Pilon nggak sih?

Belum seberapa. Ada yang lebih pilon. Ketiga, orang yang tidak mau atau malas melakukan upaya-upaya secara massif, tapi segala yang diinginkannya maunya langsung terealisasi. Kalau ia bilang, “Aku ingin mobil”. Cling! Langsung ada mobil didepannya. Kalau ia berdoa “Tuhan berikan aku keuntungan besar dalam usaha”. Gubrak! Seketika angka-angka dalam neraca dan laporan rugi-labanya berubah dari minus menjadi surplus tanpa harus menjalankan strategi bisnis apapun. Edan!

Orang macam ini biasanya susah di beritahu, suka ngotot. Kalau di nasehati malah sok tau. “Saya kan sudah meminta melalui doa-doa saya, dan Tuhan kan sudah janji, barang siapa meminta niscaya akan Dia perkenankan”. Mas, kalau belajar agama jangan sepenggal-sepenggal, kata Sariman (yang kadang suka sok agamis). Ente hanya punya dasar satu ayat, ente lihat dong ayat-ayat yang lain. Enak saja, maunya minta ini dipenuhi, minta itu dikabulkan, minta anu di jabanin, Emang ente kira Tuhan itu karyawanmu? Dasar pilon permanent!

Saat ini, detik ini, ada saudara-saudara kita yang mungkin sedang menunggu-nunggu panggilan kerja setelah mengirimkan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus lamaran kerja. Ada yang sedang menunggu datangnya jodoh. Ada yang menunggu promosi kenaikan jabatan atau kenaikan gaji. Ada yang menunggu kelahiran anak. Ada yang menunggu keputusan hakim. Ada yang menunggu kekasih yang telah sekian lama pergi tiada kabar berita. Ada yang sedang menunggu bis di halte. Ada yang sedang menunggu seseorang yang telah berjanji bertemu di suatu tempat. Ada yang sedang menunggu rembulan jatuh dipangkuannya. Menungu. Menunggu. Dan semua orang sedang dalam masa penantian.

Yang lebih aneh atau malah pilon, adalah ketika yang ditunggu datang, saat yang diharap-harap telah tiba, saat yang di nanti-nanti menjelang, malah sewot, ngambek, marah, protes, misuh-misuh, ngedumel. Kenapa anda mengirim lamaran jika anda kemudian menolaknya. Jika anda tidak tau posisi yang ditawarkan kenapa anda begitu yakin dan mengharap-harapkannya.

Ada yang setelah mengirim lamaran kerja yang seabreg, dan setelah menunggu agak lama, datanglah panggilan kerja. Ketika datang ternyata ditawarkan pekerjaan sebagai sales. Ee, malah sewot. “Kalau sales mah ogah, gue kan maunya jadi manajer anu” seolah-olah pekerjaan sales itu hina sekali. Padahal semua pekerja adalah salesman (begitu menurut Pak Hermawan). Dan keberhasilan berusaha harus didasari dengan pengetahuan dan aplikasi salesmanship yang bagus. Bagaimana menghadapi orang, bagaimana mempengaruhi orang, bahkan sampai menggunakan hypnosis, bagaimana melakukan negosiasi, menyusun time table dan skala prioritas, melakukan segmentasi, targeting, positioning, bagaimana menjaga customer satisfaction, bagaimana menciptakan customer retention, bagaimana melakukan branding produk, bagaimana etika bertelepon, dan sebagainya. Semua itu komoditas seorang salesman. Dan itu semua kunci keberhasilan sebuah bisnis atau usaha. Begitu kok dibilang remeh dan hina.

Ada yang setelah menikan beberapa tahun baru dikaruniai anak. Ketika lahir, keluarlah bayi laki-laki. Ee, malah sewot karena sebenarnya ingin anak perempuan, dan bahkan telah menyiapkan keperluan bayi yang serba pink. Kemudian menyalah-nyalahkan Tuhan lagi. Orang jawa bilang “dikasih ampela malah minta hati”. Alias tidak berteimakasih, tidak mensyukuri. Dilaknat kau nanti.

Memang kamu ini siapa, kok mau mendikte Tuhan. Lagian, belum tahu jenis kelamin bayimu mengapa sudah yakin yang keluar bakal bayi perempuan lalu belanja perlengkapan bayi yang serba pink. Aneh… Dasar pilon!

Pertanyaan selanjutnya adalah kapan berakhirnya masa tunggu itu. Sariman menjawab tidak tahu. Siapa yang pilon? Ya yang bertanya. Kenapa harus bertanya kepada Sariman.

Yang jelas, kata Sariman lagi, memang benar Tuhan sudah berjanji kalau ummatnya meminta pasti akan diperkenankan. Tapi sabar dong… (sifat sok agamisnya mulai kumat). Coba deh kita pahami cara berfikirnya Tuhan. Jika Tuhan sudah berjanji pasti akan ditepati, kan Tuhan itu maha menepati janji, nggak kayak kita yang suka ngaret. Lha kalau kita merasa sudah meminta dan berusaha keras dan tidak kunjung menjadi kenyataan jangan buru-buru timpakan kesalahan pada Tuhan.

Pertama yang –mungkin—harus kita sadari, kata Sariman, adalah dimensi waktu dunia dengan dimensi keabadian tidak sama. Dalam dimensi keabadian tidak ada batasan waktu, karenanya tidak ada siang-malam, pagi-sore, tidak ada hukum relatifitas, tidak ada hukum sebab-akibat, semuanya absolute, pasti. Sedangkan kita yang dialam dunia dilingkupi oleh ruang dan waktu, maka semua yang didunia bersifat fana dan sementara. Berlaku hukum relatifitas dan sebab-akibat. Menunggu sehari, seminggu, sebulan, setahun, sewindu mungkin terasa lama bagi kita tapi itu waktu yang sangat pendek dialam keabadian. Jadi kalau kita meminta kepada Tuhan lalu kita telah berupaya keras dengan berbagai cara namun juga tidak kunjung datang, mungkin karena ada determinasi waktu antara alam dunia dan alam keabadian.

Kedua, Tuhan memang sengaja menunda apa yang kita minta. Tentu dengan alasan yang Tuhan sendirilah yang tahu. Mungkin saja jika permintaan kita dikabulkan ternyata bathin kita belum siap, justru menjadikan kita kufur dan takabur, justru malah mendatangkan kemudhorotan bagi diri sendiri maupun lingkungan, maka Tuhan bersedia menunggu sampai kita benar-benar siap menerimanya. Lho apa ngga baik Tuhan itu. Tuhan saja bersedia menunggu kok kenapa kita jadi kemrungsung?

Ketiga, mungkin karena yang kita minta irealistic, mengada-ada, diluar batas kemampuan kita. Tuhan kan memberikan sesuatu bahkan bencana sesuai kemampuan kita. Lha kalau Tuhan belum memberikan yang kita pinta, mungkin yang kita minta sesungguhnya diluar batas kemampuan kita. Persoalannya banyak diantara kita yang terlalu PD, ge-er, merasa yang paling mampu, yang paling tahu, yang paling bisa, padahal aslinya mbelgedhes.Nah, Tuhanlah satu-satunya yang tahu seberapa takaran keimanan kita, kesungguh-sungguhan kita, dan keikhlasan kita, karena Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan kan tidak pilon. Kita saja yang sering pilon, berbuat sesuatu tapi tidak tau esensinya, melakukan sesuatu tapi tidak paham hakikatnya.

Keempat, mungkin Tuhan punya rencana lain terhadap kita. Bukannya bermaksud mengingkari janjinya tapi Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita. Maka ketika kita meminta sesuatu dan ternyata menurut kalkulasi Tuhan itu “tidak baik” bagi kita, bisa saja Tuhan men-subtitusi-kannya dengan hal yang lain yang lebih pas dengan kita.

Itulah enaknya punya Tuhan, brur! Dia itu penuh kalkulasi, penuh perhitungan, tahu detil dari segala hal, jadi jangan kuatir. Tuhan tidak pernah salah atau tertukar. Yang seharusnya Si Ani jodohnya Si Anu, tertukar dengan Si Itu, Impossible.

Maka menunggu itu seharusnya tidak perlu merasa bosan. Karena itu salah satu kodrat kita sebagai manusia yang hidup dilingkupi ruang dan waktu. Maka persoalannya adalah, kita manfaatkan bagaimana masa tunggu kita ini? Dengan kesadaran bagaimana seharusnya kita hadapi masa tunggu ini? Agar ketika yang ditunggu-tunggu datang kita bisa tersenyum, penuh suka-cita. Dan itulah kematian yang syahdu, kematian yang disambut dengan suka-cita, dengan senyum.

Tapi kenapa kemarin kami uring-uringan, Man…

“Bagaimana saya tidak uring-uringan, saya lagi mengerjakan tugas kantor hingga larut, pulang dari kantor larut, hingga saya lupa memberi kabar istri, ditambah lagi handphone saya sedang drop. Begitu sampai rumah jam 12 malam disambut dengan muka kusut istri saya, dia bilang : Papa ini ya tidak tahu orang resah apa, tidak tahu kalau istri dirumah ini menunggu dengan perasaan kuatir dan cemas, takut kalau ada apa-apa di jalan… bla-bla-bla… Lha kan saya jadi bingung. Siapa yang pilon dalam hal ini. Saya kah yang pilon karena tidak memberikan kabar karena harus pulang larut? Atau istri saya?”

“Jelas kamu yang pilon, Man. Kamu yang salah”

“Oke, saya memang salah dalam satu sisi. Tapi aneh apa tidak jika sesuatu yang tidak kita inginkan untuk terjadi ternyata benar tidak terjadi lalu kita malah marah-marah?”

“Maksudmu?”

“Istri saya kan resah menunggu saya pulang hingga larut. Kemudian karena resah, cemas, maka di pikirannya tergambar hal-hal yang mengada-ada, yang di karang-karang sendiri, ditipu oleh perasaannya dan percaya, misalnya kalau orang pulang telat berarti ada beberapa kemungkinan. Bisa jadi karena pekerjaan belum selesai, bisa jadi ngelayap kemana-mana, atau jangan-jangan kecelakaan di jalan, jangan-jangan dirampok terus dibunuh, di iris-iris, di mutilasi dan sebagainya. Dan sepertinya yang negatif-negatif itulah yang dipercaya. Tapi anehnya lagi, ketika saya datang selamat, tidak kurang suatu apapun termasuk kesetiaanku terhadap istriku tercinta itu, eee… masih marah-marah, ngomel-ngomel. Aneh tho?”

Oalah Man… Man…

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters