Please, add your self in my guestbook...

Minggu, Agustus 19, 2007

PILONIAN (4) : Eker-ekeran

PILONIAN (4)
oleh Ray Asmoro - http://www.rayasmoro.com/

“Saya punya cerita”, kata Sariman suatu ketika disebuah acara yang dihadiri oleh semua warga RW 07 (yang terdiri dari dari RT 01 hingga RT 12) di komplek tempat tinggalnya, “Saya akan paparkan sebuah cerita dan tolong bantu saya, temukan siapa yang paling bersalah dalam kasus dalam cerita yang akan saya ceritakan. Masing-masing anda boleh berbeda pendapat, dan masing-masing anda hanya boleh menentukan satu pihak saja yang salah, oke?” lalu semua warga RW 07 berseru “Okeeee!!!”

Ceritanya begini : ini kisah cinta Romeo dan Juliet versi Sariman. Kita semua tahu, Romeo dan Juliet adalah sepasang kekasih, yang cintanya tak akan pernah layu oleh perbedaan, tak akan pernah lapuk oleh waktu.

Saban hari Romeo bertandang (ngapel) ke rumah Juliet. Suatu ketika Romeo berpikir ingin mendapatkan bukti cinta Juliet terhadapnya. “Apa yang engkau minta dariku, duhai kekasih hati, belahan jiwaku” Tanya Juliet kepada Romeo kekasihnya.

“Setiap hari aku bertandang ke rumahmu, sekarang aku ingin engkau menunjukkan cintamu padaku, sekali saja engkau yang datang ke rumahku. Itu saja pintaku kepadamu, duhai kekasih pujaan hatiku. Jika engkau tak datang berarti engkau tidak sungguh-sungguh mencintai dan mengharapkanku, maka tamat sudah cerita cinta diantara kita”.

Juliet setuju. Pada malam minggu berikutnya Juliet bersiap-siap pergi ke rumah Romeo yang berada di desa seberang sungai. Hari sudah semakin gelap, jubah sang malam telah menyelimuti desa-desa ketika Juliet sampai di pinggir sungai seorang diri. Untuk sampai ke rumah Romeo ia harus menyeberangi sungai yang cukup luas dan dalam itu. Tidak ada jembatan penghubung disana. Dan disungai itu banyak sekali buaya-buaya ganas yang siap memangsa. Matanya selalu siaga mengamati mangsanya. Maka tak mungkin bagi Juliet menyeberangi sungai itu dengan berenang.

Beruntung, ada penjual jasa pengantaran. Seorang setengah baya dengan rakitnya siap mengantarkan siapa saja yang hendak menyeberang sungai itu dengan rakitnya. Juliet pun meminta kepada tukang rakit untuk menyeberangkannya. “Tapi engkau harus membayar jasaku, nona”. Kata tukang rakit itu.

“Berapun uang yang engkau pinta, aku akan bayarkan asal aku bisa mnyeberang sungai ini dan sampai ke dekapan Romeo kekasih hati, belahan jiwaku”
“Hmmm, aku tidak menginginkan uangmu, nona”.
“Lalu?”
“Aku akan menyeberangkanmu dengan satu syarat. Jika syarat itu engkau penuhi, aku akan dengan senang hati menyeberangkanmu. Tetapi jika syaratku tidak engkau penuhi, engkau tak akan bisa memaksaku. Dan jangan harap engkau akan bertemu kekasihmu, karena akulah satu-satunya tukang rakit disungai ini, dan tak mungkin juga engkau berenang menyeberangi sungai ini, karena buaya-buaya itu siap memangsa sewaktu-waktu”.
“Apa yang engkau inginkan dariku”.
“He he he… aku menginginkan keperawananmu. Engkau harus “memuaskan hasrat kelelakianku” terlebih dahulu, he he he…”

Mulanya Juliet menolak. Bagaimana mungkin ia menyerahkan kehormatannya kepada tukang rakit itu. Mahkota kesuciannya hanyalah untuk Romeo kekasihnya. Tetapi jika ia tidak menyeberang, maka Romeo akan menganggap Juliet tidak sungguh-sungguh mencintainya. Jika demikian maka Romeo akan meninggalkannya. Juliet tak mau kehilangan Romeo, tapi ia juga tidak mau mengorbankan kehormatannya kepada tukang rakit itu.

Juliet berpikir panjang. Menimbang-nimbang. Hingga Juliet sampai pada sebuah keputusan. Ia harus menyeberang untuk mendapatkan cintanya, untuk membuktikan kepada kekasihnya betapa cinta dan kesungguhannya melebihi apapun. Ia mungkin akan kehilangan keperawanannya tapi ia akan mendapatkan cinta sejatinya, pikirnya. Maka ia serahkan keperawanannya kepada si tukang rakit itu, dan beberapa saat kemudian sampailah ia ke seberang.

Ketika sampai dihadapan Romeo. Juliet yang nampak kusut membuat Romeo bertanya-tanya, “Ada apakah gerangan duhai kekasih pujaan hatiku, apa yang membuat hatimu gundah sehingga wajah cantikmu terlihat begitu murung”.

Lalu Juliet menceritakan semuanya. Ia ingin menunjukkan betapa besar cintanya pada Romeo bahkan apapun ia korbankan untuk kekasih tercintanya itu. Tapi Romeo tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia merasa di khianati. Romeo menganggap Juliet tak pantas lagi untuk menerima tulus cintanya karena tak mampu menjaga kemurnian dan kesuciannya. Lalu ia usir Juliet dari hadapannya.

Nah, sekarang siapa diantara mereka yang paling bersalah. Romeo, Juliet, Tukang Rakit, atau Buaya-buaya di sungai?, Tanya Sariman kepada semua warga RW 07.

Seorang wanita paruh baya dari RT 01 menjawab tegas, “Romeo lah yang salah”. Tapi seorang pemuda dari RT 09 menyangkal, “Romeo tidak salah, Juliet lah yang salah. Kenapa ia mau menyerahkan keperawanannya. Hina sekali dia”. Seorang bapak-bapak dari RT 05 menyangkal, “Bukan Romeo atau Juliet yang salah, tapi si Tukang Rakit itu lah yang salah”. Seorang ibu-ibu muda dari RT 11 menyangkal, “Bukan salah mereka! Tapi yang salah adalah buaya-buaya disungai itu. Jika buaya-buaya itu tidak disungai itu, Juliet masih punya pilihan lain dengan berenang tanpa harus menyerahkan keperawanannya”.

Suasana semakin ramai. Semua memiliki argumen sendiri-sendiri. Setiap argumen coba dipatahkan oleh yang lainnya, setiap alasan selalu di tentang oleh yang lainnya, setiap gagasan selalu di serang oleh yang lainnya. Semakin lama semakin sengit. Semakin lama semakin panas. Setiap RT memiliki pendapatnya sendiri-sendiri. Tidak ada toleransi ataupun kelenturan. Semua dari mereka ingin benar sendiri-sendiri. Tidak ada yang mau mengalah.
Suasana semakin panas. Adu argumentasi tidak pernah sampai pada satu kesimpulan yang bisa disepakati bersama. Kemudian setiap kelompok RT mulai panas. Terbakar oleh fanatisme kelompokknya, tersulut oleh kebenaran kelompoknya yang belum tentu benar menurut lainnya. Lalu mereka saling memaki dan menghujat-hujat. Mula-mula hanya sebatas cemoohan, lama-lama menjadi kontak fisik. Mereka saling menjatuhkan dengan memukul, menampar, menyikut. Bahkan ada yang mulai mengambil pisau dapur dirumahnya, ada yang membawa pentungan, ada yang melempar dengan batu, demi mempertahankan pendapatnya, demi kebenaran kelompoknya. Suasana menjadi chaos! Tidak peduli lagi dengan kebersamaan yang dulu pernah ada, tidak peduli lagi dengan ras persaudaraan, tak peduli lagi dengan tepo sliro, gotong royong, toleransi, atau apaun namanya. Yang mereka pedulikan sekarang adalah kebenarannya sendiri-sendiri. Kelompoknya sendiri-sendiri. Lalu mereka tawuran demi fanatisme sempit dan kekanak-kanakan.

“Stoooop…!!!” teriak Sariman memecah kebisingan. “Kalian ini sudah pada pilon apa? Hanya gara-gara Romeo-Juliet yang kalian tidak kenal dan tidak mengerti, kalian rela membunuh sesama saudara” kata Sariman kepada seluruh warga. “Siapa diantara kalian yang kenal dengan Romeo? Apakah ada diantara kalian yang memiliki hubungan darah dengan Juliet?”
“Tentu tidak…!” kata warga
“Lantas kenapa kalian saling bertikai. Dasar pilon semua!” sariman mulai geregetan,”Kalian tidak tahu dan tidak mengenal Romeo-Juliet, tapi kalian eker-ekeran. Kalian rela memukul, menyikut bahkan membunuh saudara sendiri demi sesuatu yang kalian tidak pahami. Apa itu bukan pilon namanya? Apakah Romeo-Juliet yang tidak kalian pahami itu lebih berharga dari kebersamaan dan persaudaraan sesama warga? Apakah Romeo-Juliet yang tidak kalian kenal itu lebih berharga daripada keutuhan bangsa ini? Apakah Romeo-Juliet yang tidak pernah memikirkan kalian, tidak pernah memberikan kalian apa-apa, juga tidak pernah memperjuangkan nasib kalian dan keluarga kalaian, lebih berharga daripada harga diri kalian? Apakah Romeo-Juliet yang tidak pernah melakukan apa-apa untuk perbaikan ekonomi rakyat, untuk mengangkat derajat para buruh, kaum miskin dan papa, untuk memberikan pendidikan dan jaminan kesehatan yang cukup pada anak cucu kita, untuk membebaskan bangsa ini dari korupsi, perjudian dan kemaksiatan, apakah itu semua melebihi kesadaran dan cinta kalian kepada Tuhan? Dasar pilon!”.

Semua menjadi hening untuk beberapa saat. Lalu ada yang bertanya kepada Sariman, “Lalu siapa yang salah dari cerita Romeo-Juliet tadi?”

Emang gue pikirin? Buat apa mikirin sesuatu yang tidak berguna. Jika kita sudah memutuskan siapa benar siapa salah apa lantas hidup kita jadi sentosa? Apakah jika kita membenarkan Romeo, Juliet atau lainnya, lantas Romeo dan lainnya itu akan memberikan kita jaminan bahwa periuk nasi di dapur kita akan bisa ngebul setiap saat? Mampukan mereka memberikan jaminan terhadap biaya pendidikan anak-anak kita, terhapusnya kesenjangan ekonomi, pemerataan kesejahteraan hingga ke pelosok-pelosok kampung, pemerintahan dijalankan dengan bersih dan jujur, jalanan tidak macet, bisakah mereka memberikan jaminan rasa aman dan nyaman bagi semua warga? Tentu saja tidak. Lalu kenapa kita harus saling sikut? Dasar pilon!”.

“Lantas, bagaimana?”

Ndak penting siapa yang benar, siapa yang salah dalam cerita Romeo-Juliet. Yang penting kita tidak eker-ekeran. Bisa saling berpelukan, bergandengan tangan dengan mesra, tidak terprovokasi oleh jargon-jargon politik, tidak tergoda oleh fatwa-fatwa yang menyesatkan yang membuat kita jadi anarkis, tidak terlena oleh janji-janji pemimpin bangsa, tidak terlelap oleh kidung pembangunan yang semu, tidak terhasut oleh bisikan-bisikan nafsu. Yang terpenting kita harus menyatukan derap langkah kita, kita kuatkan ikatan kebersamaan dan persaudaraan kita, lalu bersama-sama kita berjuang untuk masa depan gemilang”.

“??!!$$@**?##”

Jkt, 20 Agt 2007

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters