Please, add your self in my guestbook...

Kamis, Agustus 09, 2007

Oops...!

OOOPS…!

Selasa, 7 Agustus 2007 di Probisnis Harian Rakyat Merdeka memuat profilku seluas seperempat halaman dengan title “Ray Asmoro, Managing Director PT. Ponny Ekspress. Kunci Suksesnya, Banyak Membaca”. WOW… Funtastic!

Sungguh dalam hati kecil saya agak bingung menyikapinya. Haruskah aku sikapi sebagai sesuatu yang membanggakan atau sebagai olok-olok yang pantas untuk ditertawakan, atau… (entahlah).

Pagi-pagi seorang karyawan memberitahukan kepadaku, “Pak, tadi saya sempat baca Koran, ada Pak Ray dimuat profilnya. Serius!” katanya. Tentu saya tidak bisa memperkirakan apakah ia memberitahukan itu dengan perasaan bangga bahwa pimpinannya diekspose di Koran atau malah sebaliknya, dalam hati sebenarnya meremeh-temehkan? I don’t care…

Karena penasaran aku beli Korannya. Hmm… ya itu tadi, aku jadi bingung menyikapinya. Sementara sebagian besar karyawan/staff saya pada ribut, hanya gara-gara profil seorang Ray Asmoro dimuat di Koran. Ada yang nanya, kok bisa? Gimana ceritanya? Ada yang menyalami, kasih selamat, ada yang meledek minta tandatangan seolah-olah saya ini lantas jadi selebriti begitu muka culun saya terpajang di Koran. Oalaaah…

Saya merespon temen-temen hanya dengan senyam-senyum seperti biasanya karena hanya itu yang saya bisa, dan hanya itu modal saya. Senyam-senyum, tidak lebih, tidak kurang.

Jujur saja, setelah saya coba identifikasi perasaan saya berulang-ulang, bolak-balik, inilah yang sebenarnya saya rasakan. Pertama : Tidak semua orang warga Negara Indonesia ini yang berkesempatan nongol di Koran. Apalagi kemunculannya berupa berita baik alias good news. Coba deh baca Koran, apa saja. Disana mayoritas terekspose berita miring. Kalau tidak kriminal, perkosaan, pencopetan, perampokan, ya korupsi, money politic, perselingkuhan, demonstrasi, sikat-sikut elit politik, gosip kacangan, dan sebagainya. (Jangan-jangan memang cuma itulah yang dimiliki bangsa ini. Masya Allah…)

Nah, Atas fakta itu saya mustinya berhak untuk sedikit berbangga dong… bahwa yang terekspose dari saya di Koran bukan sesuatu yang miring atau negatif. Lebih-lebih lagi di Koran itu disebutkan bahwa saya ini berasal dari Banyuwangi, hijrah ke Jakarta tahun 2001 dan tinggal di masjid dikawasan Menteng selama 6 bulan pertama. Wah, sepertinya itu cukup dramatik (tanpa bermaksud untuk mendramatisir keadaan, karena memang begitulah adanya). Tentu ini cukup menggiurkan saya untuk berbangga hati, sungguh bukan karena saya dimuat di Koran, tetapi lebih karena adanya unsur dakwahnya disitu.

Maksud saya begini. Saya ini sama sekali nggak penting. Jadi kalau anda membaca berita saya di Koran itu, tolong fokus perhatiannya jangan kepada Ray Asmoro-nya. Kenapa? Ya karena Ray Asmoro hanya manusia biasa, hanya seonggok ciptaan Gusti Allah yang bahkan seringkali alpha terhadap penciptanya, seringkali pura-pura budeg kalau mendengar seruan adzan, panggilan dariNya, yang tangannya terasa berat merogoh uang dikantongnya untuk kepentingan masjid atau kemaslahatan lainnya dan justru bersemangat merogoh uang dikantong untuk hal-hal yang mudhorot, fana dan sementara. Lha jika demikian, apa saya berhak untuk bangga apalagi sombong? Jelas ndak toh…

Kembali soal dakwah tadi, dengan munculnya berita saya (sekali lagi tolong jangan terfokus pada saya) langsung atau tidak, sadar atau tidak, waras atau tidak, orang yang baca mustinya mikir, bahwa wong ndeso macam saya, dari keluarga petani biasa, yang tumbuh besar dengan fasilitas yang minim, bisa “menggeliat”. Bukan berarti saya hendak bilang, kalau saya bisa kenapa anda tidak. Bukan begitu maksud saya. Saya hanya ingin mengetuk pintu hati saudara-saudaraku yang mungkin saat ini juga dalam kesempitan, terlilit keputusasaan hanya karena masalah ekonomi (yang sifatnya fana dan sementara itu) dan merasa minder untuk menjadi manusia. Ayolah bangun. Janganlah berburuk sangka pada diri sendiri, janganlah merendahkan diri sendiri. Nanti Gusti Allah murka. Lha gimana nggak murka, kita ini diturunkan ke bumi ini untuk menjadi kholifatul fil ardh kok malah loyo, letoy kayak terong rebus. Gusti Allah menurunkan kita di bumi ini agar kita menyadari segenap potensi kita lalu dengan segala daya upaya kita bangun peradaban di muka bumi ini, bukannya malah mengutuk diri sendiri, menyerah pada realitas semu, minder, apalagi sampai bunuh diri. Dosa itu! (begitu yang pernah aku dengar di sebuah perhelatan yang diasuh oleh kyai yang cukup sableng).

Kedua : Sungguh saya telah menepis segala rasa bangga karena berita itu (saya takut jadi takabur nanti dilaknat Tuhan). Hanya saja hal itu membuat keluarga saya khususnya ibu dan bapak saya lah yang bangga. (Dan mungkin istri saya juga bangga. Hmm, kelihatannya sih memang begitu). Orangtua saya tidak pernah meminta apapun dari saya, bahkan kalau saya memberi pasti dikembalikan. “Pokoke kowe iso dadi wong, aku wis bungah” (Pokoknya kamu bisa jadi “orang”, aku sudah bahagia). Lha ini yang berat. Menjadi “orang” ini lho yang nggak main-main.

Benar sih kita dilahirkan dalam konsep fisik sebagai manusia atau orang. Tetapi dalam kosmos bathin atau non-fisik bisa jadi kita bukan orang. Ini lah yang saya takutkan. Jangan-jangan selama ini saya ini hanya sebagai orang dalam tataran fisik saja. Jangan-jangan luarnya berbentuk orang tetapi dalamnya berbentuk setan, iblis, atau genderuwo. Iya juga sih. Kadang ketika saya makan, saya tidak peduli bahwa beberapa meter dari tempat makan banyak orang-orang yang merintih kelaparan. Ketika saya ngebut dan slintat-slintut di jalan, banyak orang yang merasa terganggu dan saya nggak peduli. Ketika tetangga pada kerja bhakti bersih-bersih lingkungan, saya malah molor seharian. Ketika ada teman mendapatkan promosi, saya malah asik mempergunjingkannya dengan segala kedengkian. Jangan-jangan begitu selama ini. Saya harus segera bercermin. Anda, tentu saja bebas, mau ikut bercermin untuk melakukan identifikasi terhadap diri sendiri apakan anda benar-benar manusia atau tidak, terserah anda.

Ketiga : (ini yang terakhir) Sebenarnya saya malu diberitakan di Koran itu. Saya ini merasa belum membuktikan apapun. Tapi saya juga seringkali bertanya, apasih yang perlu dibuktikan? Siapa yang perlu pembuktian saya? Semakin kuat keinginan saya untuk membuktikan sesuatu kepada dunia atau siapapun, saya merasa semakin lemah dan rendah. Dan kini saya menyadari (mudah-mudahan tidak salah, dan kalau salah mudah-mudahan ada yang memberikan alternative yang benar) bahwa satu-satunya yang harus dibuktikan adalah tentang kemanusiaan saya sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan hamba Tuhan. Dan berita dikoran itu belumlah membuktikan apa-apa. Karena individualitas saya sepertinya masih lebih kuat daripada kesadaran sosial dan kesadaran sebagai hamba Tuhan. Bahkan seringkali Tuhan di nomer-sekiankan. Duh Gusti…

1 komentar:

ilham mengatakan...

komentar dulu ah, ntar baru baca.. hehe..
pa ray, salam hormat buat pa gendro, pa william ya..dari eks ponny bandung.
jangan lupa berkunjung ke gubug saya http://adeilhamnugraha.wordpress.com

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters