Please, add your self in my guestbook...

Kamis, Juli 19, 2007

PENGAKUAN DOSA (Suara Pembaruan, 02.09.2003)

PENGAKUAN DOSA
(cerpen Ray Asmoro)

Seorang pria dengan piyama ungu, berdiri di sudut kamar hotel yang redup, memandang keluar jendela. Suasana di luar terlihat sepi, jalanan basah, hujan masih rintik-rintik. Ia menghela napas. Satu tarikan panjang dan sebuah kepuasan sudah diteguknya. Habis. Kemudian ia berpaling.

Ellizabeth masih terbaring di atas ranjang. Ia tercengang melihat kekasihnya berdiri di sana dengan sebuah pistol dalam genggamannya. Lalu ia bangkit sembari menutupi tubuhnya yang putih mulus itu dengan selimut. "Jangan bercanda seperti itu, Morgan," katanya ketika menyadari moncong pistol itu mengarah tepat di keningnya.Morgan tersenyum. Senyum yang begitu akrab di mata Ellizabeth."Aku mencintaimu, Beth. Dan malam ini kamu sungguh luar biasa," ujar Morgan lirih.Lalu Dor! Dor! Dor!

Tiga butir timah panas melesat, menembus dahi, pangkal leher dan uluh hati Ellizabeth. Tiada terelakkan. Sayup-sayup seperti terdengar alunan orkestrasi musik duka-cita, seiring dengan rubuhnya jasad Ellizabeth pada kematian yang tidak pernah dibayangkannya akan datang dengan cara seperti itu. Bahkan ia tak sempat mengucapkan kata-kata perpisahan kepada Jacky, anjing pudel kesayangannya.

Cklek!

Morgan mematikan televisi. Keringat mengucur deras dari setiap pori-pori tubuhnya. Badannya gemetar. Ketakutan, kebingungan, ketidaktahuan, semua tumpang tindih dalam rongga dadanya, setelah melihat sebuah adegan pembunuhan di televisi.Apa yang terjadi pada Faradina, Ivonne dan Ayumi, terjadi juga pada Ellizabeth malam ini. Persis! Tiga luka tembak bersarang di dahi, pangkal leher dan ulu hati. Pembunuhnya selalu meninggalkan sekuntum mawar merah di dada mereka.

Mengapa perempuan-perempuan cantik, muda belia, yang pernah memberinya kebahagiaan selalu menghadapi kematian yang sama? Morgan tidak segera bangkit dari sofa. Wajahnya menampakkan ekspresi kesedihan yang mendalam. Air mata menetes dari kantung matanya sambil sesenggukan. Nampak cengeng bagi laki-laki usia tiga puluh lima. "Ellizabeth," desahnya lirih.Morgan terguncang. Tubuhnya seperti dihantam godam raksasa. Remuk. Ketajaman sembilu seolah mengiris-iris kulit tubuhnya. Kenyerian yang teramat sangat."Oh, Tuhan, apakah aku telah membunuhnya? Tidak mungkin! Bagaimana mungkin aku yang membunuh mereka? Tapi mengapa aku melihat diriku dalam televisi dan melakukan kebiadaban dan kesemena-menaan itu? Bagaimana semua itu bisa terjadi?"

Slide kenangan masa lalunya melintas. Kala itu Morgan baru kuliah pada tingkat pertama di sebuah universitas. Kehangatan keluarganya berantakan lantaran ayahnya serong dengan perempuan lain. Perempuan itu masih belia, cantik dan seksi. Sayangnya, dia seorang pelacur. Secara fisik, dia lebih cocok jadi model iklan atau bintang film. Lalu pertengkaran ayah dan ibunya terjadi setiap hari. Rumah yang dulu damai terasa sesak. Sebuah tamparan keras pernah dirasakan Morgan ketika melawan ayahnya. Dan ujung dari cerita itu, jantung ibunya tidak kuat lagi menahan beban yang menghimpit dadanya. Ibunya meninggal dan ayahnya seperti menemukan kemerdekaan.

Morgan memilih untuk minggat, meninggalkan rumah neraka itu. Sejak itu Morgan kehilangan keriangannya, ia menjadi pendiam dan bersikap aneh. Dendam bersarang di kepalanya.Malam pun berlalu dengan sangat lambat dan nyeri.

Pagi harinya semua media massa kembali mengekspose berita pembunuhan berantai. Dalam siaran televisi, polisi belum bisa mengidentifikasi siapa pelaku pembunuhan itu, karena pelaku tidak meninggalkan jejak. Tidak ada sidik jari. Yang ditemukan hanya sekuntum mawar merah. Polisi tampak kehilangan akal mengusut siapa pelaku keempat pembunuhan itu.

"Pembunuhan ini dilakukan oleh seorang maniak profesional. Kami akan terus melakukan penyidikan dengan seksama, percayakan semuanya kepada kami," begitu dalih polisi ketika ditanya para pemburu berita tentang penyelesaian kasus pembunuhan berantai yang terjadi empat bulan berturut-turut di kota ini.

Morgan terbangun dari tidurnya tanpa secuil mimpi yang berkesan. Ia bangkit tanpa beban perasaan. Seolah tak ada dosa sejumput pun dalam kehidupannya. Lalu ia membuka tirai dan jendela kamar. Udara pagi segar terasa. Sinar matahari yang cemerlang menyilaukan matanya. Morgan memicingkan mata, lalu membuang pandangannya ke arah lain, ke sudut halaman belakang tetangganya. Ia menatap beberapa pot bunga yang hanya beberapa langkah dari kamarnya. Tidak ada pagar yang memisahkan tempat tinggalnya dengan halaman belakang rumah sebelah, dan memberikan keleluasaan pandangannya.Morgan melihat beberapa pot bunga yang ditanami mawar. Ia terkesiap.

Sekuntum mawar terlihat mekar merah merekah. Indah sekali. Morgan memang menyukai mawar. Bahkan ia membuat tato mawar di lengannya. Tapi bukan keindahan mawar itu yang membuatnya terkesiap. Ia melihat beberapa tangkai yang patah atau dipatahkan. Seperti ada yang telah memetiknya dengan paksa. Pemiliknyakah yang memetik mawar itu? Atau orang lain yang jatuh cinta pada mawar itu?

Morgan teringat pada kematian Faradina, Ivonne, Ayumi dan Ellizabeth. Pembunuhnya selalu meninggalkan sekuntum mawar di atas mayat mereka. Pemilik mawar itukah pembunuhnya? Lalu apa motifnya? Morgan tidak menemukan jawabannya. Pemilik rumah sebelah adalah pasangan suami istri yang bekerja. Pagi-pagi mereka sudah berangkat dan pulang pada malam hari. Rutinitas itulah yang mereka jalani setiap hari. Kecuali hari libur. Bahkan saat liburpun mereka sering menghabiskannya di luar rumah. Nonton film atau piknik ke Puncak. Sesekali saja mereka terlihat di rumahnya, sedang bersih-bersih, berkebun dan tentu saja menanam mawar.

Tiba-tiba ada yang melintas dalam kesadaran Morgan. Ia bergegas menyambar baju yang tergantung di pintu kamarnya dan segera keluar rumah. Ia berjalan tergesa-gesa setengah berlari, ayunan langkahnya menuju gereja yang jaraknya cuma satu blok dari tempat tinggalnya. Hampir enam belas tahun lamanya ia tak pernah mengikuti misa. Dulu, ia adalah seorang jemaat yang taat. Entah sebab apa ia lalai selama itu. Yang ia ingat, terakhir kali ke gereja pada saat melepas jenazah ibunya dalam sebuah misa di kota kelahirannya.

Dan hari ini, setelah alpa selama hampir enam belas tahun, spontanitas kesadaran Morgan mengantarkannya ke rumah Tuhan. Di depan bilik yang dibuat secara spesifik, Morgan berhenti, terdiam sejenak dan menarik napas dalam-dalam sebelum berkata-kata."Bapa, aku telah melakukan perbuatan dosa," katanya.

"Apa yang engkau perbuat anakku?" begitu suara dari dalam bilik itu.

"Mulanya aku tidak yakin telah melakukan perbuatan dosa, Bapa."

"Dosa apa yang telah engkau perbuat, anakku?"

Morgan terdiam. Kali ini ia menjadi ragu untuk menceritakan semuanya.

"Katakan apa yang telah engkau perbuat, anakku. Tuhan akan menebus semua dosa-dosa itu dan merahmatimu dengan cahaya kasih."

Morgan semakin ciut dan tidak mampu angkat bicara. Ia merasa terpojok oleh dirinya sendiri, oleh pikirannya yang kusut, oleh bayangan-bayangan keempat wanita yang terbunuh secara tragis.

Morgan menarik napas, ia mengumpulkan seluruh keberanian yang ada di rongga dadanya lalu berkata dengan penuh keyakinan."Bapa, aku telah mencuri mawar milik tetangga."

Puji Tuhan!

(Menteng, 03.10.02)

Dipublikasikan oleh Suara Pembaruan 02.09.2003

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters