Please, add your self in my guestbook...

Rabu, Juli 18, 2007

PILONIAN (1)

PILONIAN (1)
(Ray Asmoro)

Sariman menggaruk-garuk kepalanya padahal ia tidak ketombean. Itu hanya sebuah ekspresi dari kegelisahan yang tak pernah ia sangka-sangka akan datang dan hinggap di kepalanya. Persoalanya adalah karena Sariman mempertanyakan keputusannya untuk menikah tiga tahun lalu. “Apakah saya sudah memutuskan sesuatu yang benar?” “Benar nggak sih?” “Jangan-jangan saya salah” “Kalau benar, kenapa saya sekarang merasa tertekan?” dan masih banyak lagi pertanyaan yang hilir-mudik, tumpang-tindih dalam kesadarannya.
Oalah, Man… setelah tiga tahun kamu jalani bahtera rumah tanggamu, kenapa baru sekarang kamu mempertanyakan benar-salahnya keputusan yang kau ambil? Kamu ini nggak waras atau pilon sih?
Ceritanya begini. Sariman ini orangnya keren, wajahnya ganteng, tubuhnya cukup atletis, dan orangnya cukup supel. Entah mengapa ia tidak memilih menjadi coverboy atau bintang sinetron.
Sudah menjadi resikonya Sariman yang ganteng dan macho, selalu di dekati oleh perempuan-perempuan. Kalau pria-pria lain harus berjuang keras dan menyusun rencana, strategi bahkan akal-bulus untuk dapat dekat dengan perempuan, Sariman justru kebalikannya. Itulah resikonya menjadi Sariman. Ada yang sekedar menjadikan Sariman teman ngobrol atau curhat. Ada juga yang mendambakan cinta sejatinya dan ingin dilamar Sariman, bahkan ada yang ingin mengajak check-in di hotel. Pokoknya macam-macamlah kemauan perempuan-perempuan itu kepada Sariman kita ini.
Saya tidak heran, gimana perempuan-perempuan itu tidak terkiwir-kiwir oleh Sariman, lha wong Sariman itu jelmaan Arjuna. Dia penuh kelembutan, mengerti dan paham bagaimana memperlakukan orang lain sehingga merasa senang dan nyaman. Dia juga sangat santun, dia pandai memilih dan meronce kata-kata sehingga kalaupun dia mengkritik seseorang, yang di kritik tidak merasa salah dan sakit hati. Kalau dia menasehati, yang di nasehati tidak merasa direndahkan atau di gurui. Kalau dia memuji… Wah kalau soal memuji, Sarimanlah jawaranya. Pujiannya mampu membuat orang merasa tubuhnya menjadi ringan, seringan kapas, lalu melayang-layang ke angkasa.
Ketika hendak menikah, itu saat-saat yang sulit bagi Sariman. Sebenarnya kalau mau jujur Sariman belum sepenuhnya siap menikah. Dia masih sangat menikmati kebahagiaannya sebagai jomblo. Tapi toh akhirnya dia menikah juga.
Setidaknya ada tiga alasan utama dia menikah. Pertama, karena desakan dari orang tuanya. Mereka kan sudah sepuh dan belum memiliki cucu, sehingga setiap saat orang tua Sariman selalu bertanya “Man… kapan kamu menikah?” bahkan pernah suatu ketika orang tuanya memohon-mohon sambil menangis agar Sariman segera menikah, “Man… orang tuamu ini sudah pada tua, sebentar lagi pikun dan mati. Kamu kan sudah dewasa dan punya pekerjaan, kami tidak meminta balas budi apapun dari kamu Man, kami sudah sangat bahagia kalau kamu mau segera menikah dan memberikan kami cucu” begitu pinta orang tuanya sambil terisak-isak.
Alasan kedua, teman-teman sebaya Sariman rata-rata sudah menikah dan sudah punya dua anak. Usia Sariman saat itu sudah 32 tahun. Dia sering disindir teman-temannya “Man, segeralah kau menikah, usia kau sudah 32. Keburu tua kau nanti. Anak kau masih kecil, kau sudah bongkok” ada yang lebih parah, “Man, ente ini hanya menang tampang doang, tapi nggak punya nyali. Jangan-jangan ente impoten ya”
Nah, alasan ketiga adalah pure alasan spiritual. (Busyet!) Eit…jangan salah, Sariman kita ini walaupun gaul dan kadang sangat funky tapi kesadaran spiritualnya tidak cetek (mudah-mudahan). Memang sih, sholatnya masih bolong-bolong. Tapi dia punya jawabannya sendiri mengapa begitu.
“Sholat itu kan intinya berserah diri kepada Tuhan, memuja, berdoa, membangun komunikasi dua arah yang mesra dengan sang Khaliq dan saya melakukannya dalam bentuk lain” katanya. “Sebagai bentuk penyerahan diri dan dzikir saya kepada Tuhan, saya berusaha membantu orang lain, menyantuni anak-anak yatim dan anak-anak jalanan, saya mengabarkan kebaikan kepada setiap orang. Menjumpai Tuhan itu kan tidak terbatas ruang dan waktu. Tuhan itu kan ada dimana-mana, katanya Tuhan itu bersama orang-orang miskin dan papa, bersama orang-orang yang menderita dan teraniaya, lha kalau saya bersama mereka, membantu mereka, berbaur dan menghibur mereka berarti saya sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Sampeyan kan seringkali menyaksikan sendiri, ada orang sholatnya rajin, puasanya rajin, pergi haji berkali-kali seolah dia yang paling alim dan paling dekat dengan Tuhan, tapi malah gagap dalam bermasyarakat, bicaranya menyakitkan, tamak dan korup, hobi menebar fitnah, hatinya selalu penuh iri dan dengki. Apa namanya itu kalau bukan pilon?”
Anda nggak perlu sewot mendengar celoteh Sariman itu. Anda boleh setuju atau tidak. Kalau anda tidak sepaham dengan Sariman, itu hak anda. Tapi hak Sariman juga untuk menentukan bentuk dan laku spiritualnya. Biarlah itu menjadi urusan Sariman dengan Tuhannya. Sariman juga tidak pernah memaksa anda untuk setuju, kan? Jadi ya saran saya kita hargai saja pilihan Sariman sebagaimana dia juga tidak pernah mengutak-utik pilihan kita. Kalau dia salah, ya biar Tuhan saja yang menegurnya dengan caranya sendiri. Kalau kita mendebat Sariman, jangan-jangan kita lah yang pilon. Yang waras ngalah.
Kembali soal alasan ketiga tadi. Walaupun dia tidak pernah nyantri tapi dia tahu bahwa menikah dan memiliki keturunan itu bagian dari ibadah. Sariman bisa menunjukkan ayatnya dalam kitab suci bahkan mampu melafadzkannya dengan tartil. Disebut dalam ayat itu bahwa hukumnya wajib bagi yang mampu.
Lha Sariman ini kan termasuk orang yang “mampu”. Ia bukan budak, merdeka. Ia memiliki penghasilan yang layak. Usianya sudah 32 tahun, lebih dari usia akil balig. Dan yang penting, ia tidak mengalami disfungsi seksual, buktinya selalu setiap bangun pagi dia merasa heran, “padahal saya tidur sendirian lho, tapi kok selalu bangunnya berdua” (Dasar pilon lu Man!).
Karena ketiga alasan itulah Sariman memutuskan untuk mencari, memilih pasangan hidupnya dan menikah. Setelah menimbang-nimbang dari sekian banyak kandidat, ditetapkanlah nama Kastini sebagai yang terpilih jadi calon istrinya. Mengapa Kastini? Sariman memiliki alasan tersendiri, karena Kastini memenuhi kriteria pasangan ideal bagi Sariman.
Singkat cerita Sariman menikahi Kastini. Di tahun-tahun awal pernikahan kebahagiaan menyelimuti, hangat. Begitu memasuki usia pernikahan tahun ketiga, Sariman merasa hampa. Kebahagiaan yang pernah ia kecap terasa maya, bahkan hubungan suami-istri dilakukannya hanya sebatas “kewajiban”, Sariman tidak lagi merasakan sensasinya seperti ditahun-tahun awal pernikahan.
Lantas ia sering bertanya-tanya pada dirinya sendiri, “Apakah dulu saya sudah memutuskan sesuatu yang benar?” “Benar nggak sih?” “Jangan-jangan saya salah” “Kalau benar, kenapa saya sekarang merasa tertekan dan hampa?”
Menurut saya, soal ini Sariman benar-benar pilon. Sebelum memutuskan menikah, sehrusnya kan mikir dulu, dasar motivasinya apa, tujuannya apa, harus ada common goalsnya, targetnya apa, action plan-nya apa dan pada nilai-nilai apa pondasi rumah tangga akan dibangun.
“Wah, seperti mau jalankan perusahaan saja” kata Sariman.
Lho, apa bedanya? Mungkin dia punya motivasi yang kuat, tujuan yang jelas, target yang terarah, punya action plan, tapi kalau nilai-nilai yang dipegang lemah, ya tetap saja goyah. Semua yang dia punya tidak diletakkan pada nilai-nilai luhur, misalnya keterbukaan, pengertian dan penerimaan secara ikhlas, saling mendukung dan saling melengkapi, berkata dan bertindak terpuji, kejujuran, rasa syukur atau nilai-nilai lainnya yang disepakati bersama.
Rumah tangga memang seperti sebuah perusahaan. Coba pikir, membangun rumah tangga itu kan juga butuh modal. Ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan misalnya, biaya pinangan dan seserahan, biaya resepsi pernikahan, biaya administratif, dan lain-lainnya itu. Itu baru modal materi, belum modal goodwill seperti cinta dan kepercayaan. Selain modal, perlu juga kejelasan domisili. Kalau belum mampu beli rumah sendiri, minimal kontrak atau numpang orang tua. Kemudian butuh sistem yang jelas. Apa hak dan kewajiban kepala rumah tangga, apa hak dan kewajiban ibu rumah tangga, siapa yang berhak mengatur cashflow keuangan rumah tangga dan sebagainya.

Oalaah, Man..Man…

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters