Please, add your self in my guestbook...

Rabu, Juli 18, 2007

Saya seringkali bertanya-tanya (tanpa bermaksud mendeskriditkan siapa-siapa), jadi apa kelak anak-anak yang lahir dan dibesarkan di lokalisasi pelacuran itu? Menjadi pelacur atau mucikarikah? Bisa jadi, karena setiap hari dan setiap saat kehidupan macam itulah yang dilihatnya. Apalagi katanya masa anak-anak adalah masa pertumbuhan dimana setiap yang dilihat, didengar, terekam dan melekat dihati dan pikiran.

Apabila kuping kita dibiasakan mendengar lagu dangdut secara terus menerus, maka yang ada diotak kita, musik adalah dangdut. Dan bila kemudian diperdengarkan musik jazz maka terjadi penolakan dalam diri kita, kita tidak bisa mencerna dan menikmatinya, bahkan jika kita diajak nonton konser Bobby Brown secara gratis pun pasti kita tolak bahkan mencerca dengan kalimat “musik apaan itu?”. Padahal bagi yang menyukai jazz, mereka berpendapat sebaliknya. Maka itulah ada kelompok pecinta dangdut, jazz, country, rock ‘n roll, blues, heavy metal, punk, rap, campursari dan lain-lain. Hanya sedikit orang saja yang bisa menerima segala jenis musik.

Lalu bagaimana dengan anak-anak tadi? Padahal yang paling dekat dengan mereka adalah mucikari dan pelacur, setiap hari hidup diantara mereka. Wajar bila kemudian yang terjadi anak-anak mulai mencuri-curi kesempatan untuk merokok, minum alkohol dan bicara kasar.
Jika bapaknya mucikari, ibunya pelacur, apakah anaknya pasti akan menjadi (maaf) begundal? Pasti kita semua sepakat untuk menjawab “belum tentu!”. Kenyataan yang pernah saya temui, ada seorang pelacur yang sangat tidak ingin anaknya menjadi begundal, ia ingin kelak anaknya menjadi orang bener. Maka ia jauhkan anaknya dari lingkungannya dan memasukkannya ke sebuah pesantren yang setiap hari diajari mengaji, selain sekolah seperti pada umumnya.

Jadi seperti yang kita ketahui bersama bahwa lingkungan punya pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan kita. Saya punya gambaran seperti ini. Ibaratkan kita hanya setitik air, apabila air setitik itu diteteskan ke danau maka kita akan lebur menjadi air danau. Apabila diteteskan di laut kita akan lebur menjadi air laut yang asin. Apabila diteteskan di comberan, niscaya kita akan lebur jadi comberan yang kotor dan bau. Maka tidak salah apabila banyak orang berkata, jika ingin jadi orang sukses bergaullah dengan orang-orang sukses, jika ingin pandai bergaullah dengan kaum cendekia.

Dari analogi yang saya kemukakan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan, pertama bahwa kita akan kalah dan lebur pada hal-hal yang lebih kuat dan besar. Lingkungan adalah salah satu kekuatan besar yang melingkupi kita. Kedua, apabila kita hendak menguasai atau memberikan warna pada sesuatu yang lebih besar dari kita atau lingkungan kita, maka kita harus berupaya menjadi yang lebih besar lagi atau kita harus memiliki warna yang lebih kuat dari lingkungan kita tersebut. Ingat, susu sebelanga akan rusak hanya oleh setitik nira.

Sedari kecil saya hidup ditengah-tengah masyarakat petani atau buruh tani, seperti anak-anak dusun yang lain, setiap hari bermain disawah, mencari rumput untuk hewan ternak, membantu menanam padi dan itu berlansung bertahun-tahun. Tidak heran apabila (dulu) hanya satu dua orang saja yang berpendidikan tinggi di kampung saya. Paradigma sukses bagi mereka bahwa satu-satunya cara untuk berhasil adalah harus lebih rajin dan lebih giat mengayunkan cangkul dan bertani sepenuh hati, bukan dengan sekolah tinggi. Kesuksesan itu adanya di sawah, bukan disekolah!

Banyak yang mecibir pada orang tua saya pada saat saya dan kakak saya melanjutkan ke perguruan tinggi, apalagi untuk itu orang tua saya harus merelakan beberapa petak sawahnya dijual untuk biaya kuliah. Orang tua saya berusaha untuk keluar dari paradigma yang “salah” yang ada dimasyarakat itu. Cibiran dan caci maki tak dihiraukan, ia terus melawan arus. Dan itu akan menjadi mustahil jika tanpa belief yang kuat.

Kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Benarkah? Dari sisi karakter mungkin masih ada benarnya. Tapi dari sisi nasib, masa depan dan kesuksesan, saya sama sekali tidak sependapat dengan peribahasa itu. Apakah anak Jendral selalu menjadi Jendral? Apakah anak Dokter pasti menjadi dokter? Apakah anak guru niscaya menjadi guru? Apakah anak buruh tani harus menjadi buruh tani? Tentu tidak, bukan?

Sebagai anak kecil waktu itu, yang terpikir dalam benak saya adalah saya harus menjadi orang sukses, menjadi orang besar, dan tidak mau jadi buruh tani! Bahkan saya harus menjadi kebanggaan tidak saja bagi orang tua dan keluarga tapi juga bagi seluruh masyarakat dusun saya, sehingga semua orang didusun saya terbuka cakrawala pikirannya dan punya semangat untuk maju. Begitulah kira-kira pada mulanya.

Yang terjadi kemudian adalah pemberontakan-pemberontakan kecil-kecilan. Saya ingin baca buku-buku tapi didusun saya tidak ada fasilitasnya. Kalaupun harus beli buku, orang tua saya tidak memiliki anggarannya. Semangat pemberontakan semakin menyala-nyala. Bahkan ketika masa paceklik, kami makan nasi jagung berlauk garam, maka semakin terbakarlah semangat pemberontakan dalam diri saya, bahkan muncul dendam kesumat. Pada saatnya nanti saya dan keluarga saya harus lepas dari himpitan kesusahan seperti itu yang telah bertahun-tahun dirasakan.

Adalah sebuah perjuangan yang sangat berat untuk dapat keluar dari keterkungkungan pengaruh lingkungan. Sama halnya dengan saudara-saudara kita yang terjebak dalam lingkungan yang gemar mengkonsumsi narkoba. Sebagian besar dari mereka adalah kaum terdidik yang sangat faham efek negatif dari narkoba. Sebagaian besar dari mereka bukan tidak mau lepas dari jeratan narkoba. Mereka ingin sekali lepas tapi lingkungan mereka tidak mendukung. Mereka sudah terperangkap, terjerat. Dibutuhkan kekuatan, keyakinan dan tekad besar, lebih besar dari kekuatan pengaruh lingkungan itu untuk dapat keluar dari jeratannya. Jadi, bukannya tidak mungkin, bukan?

Semangat seperti itu pulalah yang menyala-nyala dalam bathin saya. Karena saya tidak mau terus menerus terisolasi dari informasi-informasi yang orang dusun seperti sayapun berhak mendapatkannya. Saya tidak mau selamanya hidup dalam kesempitan yang menghimpit. Saya merasa tidak wajib menjadi buruh tani walaupun orang tua saya hanya petani! Sekarang hanya ada dua pilihan menunggu momentum atau menciptakan momentum untuk melakukan lompatan dan meraih yang lebih baik dalam kehidupan ini. Atau hanya menjadi penonton saja?

Terserah anda.

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters