Please, add your self in my guestbook...

Rabu, Juli 18, 2007

IVONNE CAROLINA (cerpen)

IVONNE CAROLINA
Cerpen Ray Asmoro

Aku ada kenal dengan seorang perempuan. Ivonne Carolina namanya. Kepada teman-teman, aku selalu bercerita tentang dirinya. Tak habis-habis cerita yang ku buat. Selalu ada cerita baru tentang Ivonne Carolina, dan aku selalu menggambarkannya dengan sangat luar biasa, tanpa sedikitpun cela. Anehnya teman-temanku percaya sepenuhnya. Padahal sesungguhnya aku tidak pernah bertemu dengannya.

“Kamu kenal dimana?” tanya Arif suatu ketika.

Aku mengenal Ivonne Carolina, di hari pertama pada pergelaran pameran lukisan di sebuah galeri di Jakarta, kira-kira tiga jam setelah acara pembukaan. Puluhan bentuk lukisan ekspresionis (condong ke bentuk abstrak) dipajang disana. Aku sebenarnya tidak paham tentang lukisan, kecuali yang realis. Aku cuma tahu disitu ada coretan-coretan, goresan-goresan, kadang simetris, kadang tak beraturan dan (menurutku) cenderung ngawur. Kadang terlihat seperti api yang menyala-nyala tapi judulnya “Secuil Senja Yang Terlewatkan”. Aku benar-benar tidak habis pikir soal itu. Aku mencoba menikmatinya, dan entah mengapa aku selalu menyukai suasana yang terbangun di galeri dan di acara-acara kesenian lainnya.
Di depan Secuil Senja Yang Terlewatkan itulah aku bertemu Ivonne Carolina. Lukisan itu memang di pajang di tempat yang langsung terlihat mata ketika kita memasuki galeri itu. Saat aku masuk, tak banyak orang disana. Seorang perempuan muda berambut sebahu, dengan busana kasual, berdiri mematung di depan Secuil Senja Yang Terlewatkan. Akupun mendekati lukisan itu. Aku tidak tahu, mengapa aku tiba-tiba mendekati Secuil Senja Yang Terlewatkan, karena daya tarik lukisan atau karena ada perempuan itu, tidak jelas lagi bagiku mana yang lebih menarik. Lukisan atau perempuan.

Aku berdiri di sisi perempuan itu, di depan lukisan yang terlihat seperti luapan lidah api dengan warna merah, kuning dan biru dalam sebuah kombinasi yang unik.

“Mengapa ia melewatkan secuil senja kalau pada akhirnya di sesalinya.” Aku coba memancing obrolan dengan berlagak apresiatif.

“Ia memang melewatkan secuil senja, tapi ada sesuatu yang ia tangkap dari yang cuma secuil itu.” Komentarnya enteng, seperti yang aku harapkan.

“Kenapa harus senja?”

“Itu hanya persoalan waktu.”

“Tapi kenapa ia nampak begitu pesimis.”

“Bagiku itu justru nampak sebagai sebuah harapan atau… kerinduan, barangkali.”

Perbincangan kami terus berlanjut hingga pada beberapa lukisan berikutnya yang kami perhatikan. Setelah selesai mengamati lukisan-lukisan itu, aku menawarinya untuk minum bersama di kantin yang ada di sebelah galeri itu. Ia setuju. Di sanalah baru aku menanyakan namanya, setelah tenggorokan kami basah oleh es teh dalam kemasan botol. Bahkan sekarang aku tahu berapa nomor telepon selularnya.

* * *

“Benarkah?” tanya Timbul, kawanku, ketika mendengarkan cerita dariku tentang Ivonne Carolina untuk kesekian kalinya.

Benar. Tadi malam ia datang dalam mimpiku.

Kisahnya begini. Aku punya sebuah souvenir, hadiah dari temanku yang pernah melancong ke Eropa. Bentuknya seperti bola kaca, kecil. Didalamnya ada rumah dan pepohonan. Kalau bola kaca itu di goyang-goyang, serbuk putih didalamnya akan beterbangan seperti salju. Bola kaca itu aku letakkan diatas meja kamarku.

Anehnya, aku melihat Ivonne ada di dalam bola kaca itu.

Dengan jaket tebal, penutup kepala dan syal biru tua membalut leher serta sarung tangan berwarna gelap, ia berlari keluar dari rumah itu dengan sangat ketakutan dan panik. Dia berlari ke tengah hamparan salju. Setiap kali melangkah, kakinya ambles beberapa inci. Ketika bernapas, ada uap seperti asap knalpot keluar dari mulut dan hidungnya.

Seperti tak peduli dengan kebekuan, ia terus mencoba berlari ke samping rumah, lalu ke arah depan sambil memanggil namaku.

“Morgan…! Morgan…!” begitu teriaknya, berulang-ulang.

Kenapa ia memanggil aku? Apakah aku punya janji dengannya? Rasanya, aku tidak punya janji. Tapi kenapa dia memanggil namaku? Mungkinkah ada Morgan yang lain? Atau tadi sebelumnya, di rumah dalam bola kaca itu, dia tertidur dan bermimpi denganku, sebuah mimpi indah, dan ketika terbangun ia tidak mendapati aku di sisinya? Atau, apakah dia begitu merindukan aku disaat musim dingin seperti ini? Atau dia ketakutan berada dalam rumah itu sendirian, lalu ia ingin aku menemaninya?

Atau, tanpa aku tahu, tadi aku berkunjung ke rumahnya dalam bola kaca itu, lalu aku bercinta dengannya, kemudian aku meninggalkannya begitu saja? Atau, aku adalah lelakinya, dan sebelum dia pulang, aku menulis pesan pada secarik kertas yang berbunyi “Maaf, aku harus pergi. Duniamu terlalu sesak bagiku,” kemudian ku tempel kertas itu di pintu kulkas dan ketika pulang, dia membacanya dan merasa sangat kehilangan aku? Atau, aku telah membuatnya terluka, sehingga dia mencariku dengan niatan ingin mencekik leherku? Entahlah.

Yang kulihat kemudian, Ivonne menggedor kaca itu dengan tangannya dari dalam sambil memanggil namaku. “Morgan…! Morgan…!”

Aku dekati bola kaca itu. Aku menatapnya. Dia tampak sangat sedih dan menghiba. Bibirnya biru kedinginan. Wajahnya terlihat pucat.

“Keluarkan aku dari sini, Morgan,” pintanya.

“Bagaimana caranya aku mengeluarkanmu?” tanyaku.

“Pecahkan dinding kaca ini” katanya dengan penuh iba.

“Kalau ku pecahkan dinding kaca ini, kamu akan masuk dalam duniaku dan kamu akan kehilangan duniamu. Kamu tidak bisa membawa duniamu kedalam duniaku.”

Setelah mengatakan itu, aku terbangun dari mimpiku lantaran ada yang mengetuk pintu kamar dari luar.

Dengan kemalasan yang teramat sangat, aku bangkit dari tidur. Dan ketika pintu ku buka, aku mendapati Ivonne Carolina berdiri di depan pintu dengan sangat anggun. Rambutnya hitam menjuntai. Matanya yang teduh menatapku penuh hasrat sambil menggigit bibirnya. Ia begitu nyata, tidak lagi sekedar mimpi.

“Aku tidak salah kamar, kan?” katanya sambil senyum dan mengerdipkan sebelah matanya. Kegenitan yang syahdu.

* * *

Mmm… aku ada kenal dengan seorang perempuan. Ivonne Carolina namanya. Kepada teman-teman, aku selalu bercerita tentang dirinya. Tak ada habis-habis cerita yang ku buat. Selalu ada cerita baru tentang Ivonne Carolina. Aku selalu menggambarkannya dengan sangat luar biasa, tanpa sedikitpun cela. Padahal sesungguhnya aku tidak pernah bertemu dengannya.

“Ayolah. Sesekali, ajak dia kemari.” kata Arif.

“Nikahi saja dia,” saran Timbul suatu ketika.

Arif dan Timbul adalah dua orang temanku dari berpuluh-puluh temanku yang semuanya sering mendengar ceritaku tentang Ivonne Carolina. Aku selalu punya cerita baru yang sangat fantastis untuk mereka dengarkan. Dan mereka tidak tahu, semakin banyak cerita yang aku buat, aku juga semakin penasaran untuk bisa bertemu dengannya.

* * *

Ya, ya. Aku ada kenal dengan seorang perempuan. Ivonne Carolina namanya. Kepada teman-teman, aku selalu bercerita tentang dirinya. Tak habis-habis cerita yang ku buat. Selalu ada cerita baru tentang Ivonne Carolina. Padahal sesungguhnya aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi aku benar-benar mengenalnya. Tidak perlu diragukan lagi soal itu. Dan cerita sesungguhnya tentang Ivonne Carolina, tetap aku rahasiakan, karena ia pun masih jadi teka-teki bagiku.

[Menteng, 08.10.02 ; 02.42wib]

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters