Please, add your self in my guestbook...

Jumat, Agustus 10, 2007

PILONIAN (2) : Universalitas Universitas (?)

PILONIAN (2)
(Ray Asmoro)

Sariman sudah melewati beberapa semester disebuah universitas yang cukup ternama. Dalam hatinya bergejolak antara dua hal; bangga dapat menikmati jenjang pendidikan tinggi yang tidak semua anak Indonesia dapat merasakannya, dan bingung setengah mampus.

Kenapa bingung? Nanti dulu. Sabar mas…

Sebelum masuk universitas itu, Sariman yang masih SMU pernah protes. Kata guru ngajinya, murid itu artinya yang berkehendak. Tapi kenyataannya sewaktu jadi murid Sariman merasa dikekang, dipasung, kemerdekaan berkehendaknya di rampas. Yang ada malah di kehendaki, harus begini-begitu, seperti ini seperti itu, sesuai kehendak udelnya guru.

Dulu saat masih menjadi murid TK, ia ingat betul. Bu guru menyuruhnya menggambar pemandangan, dan Sariman menggambar pemandangan, tapi disalahkan oleh bu guru dan dapat nilai 4. Sariman jadi bingung. Dengan sedikit rasa takut ia beranikan diri bertanya kepada Bu Guru, kenapa gambarnya dibilang jelek dan dapat nilai 4 sementara teman-temannya yang lain dapat 8 atau 9.

Ketika Sariman bertanya hal itu, Bu Guru malah marah, “Sariman kamu ini ya bandelnya minta ampyuuun… Bu Guru kan minta kamu gambar pemandangan, kenapa kamu malah menggambar sepasang sandal? Pemandangan itu ada gunungnya dua, ada jalanannya, ada mataharinya, ada sawahnya, ada lautnya, ada awannya… Dasar pilon

Dibilang begitu, Sariman diam saja, walaupun dalam hatinya ingin berontak. Ini kan namanya pembodohan struktural. Orang sekolah itu kan belajar untuk menjadi lebih pinter dan bukan belajar menjadi pilon! Apa tidak pilon namanya kalau semua orang diharuskan berpikir dan berpandangan yang seragam, ide harus seragam, apa namanya kalau bukan pembodohan alias pilon? Pemandangan itu kan segala sesuatu yang dapat dipandang oleh mata. Ketika itu Sariman memvisualisasikan sepasang sandal, ya itulah pemandangan menurut gagasan pikiran Sariman saat itu. lalu digambarlah sepasang sandal itu. Kalau besoknya disuruh menggambar pemandangan lagi, bisa jadi Sariman akan menorehkan gagasan-gagasan pemandangan yang lain yang tervisualisasikan dalam pikirannya saat itu. Bisa jadi ia akan menggambar tikus atau superman terbang diatas kota atau malah gambar betisnya bu guru yang seperti tales Bogor itu.

Inilah yang dimaksud Sariman dengan hilangnya kebebasan berkehendak. Mustinya pada pendidik itu juga belajar filsafat pendidikan, biar ngerti makna filosofi apa itu murid, apa itu murad, apa itu pendidik, apa itu kebebasan berkehendak, apa itu kreatifitas berpikir dan sebagainya.

Nah begitu juga yang terjadi di perguruan tinggi, di universitas dimana Sariman menimba ilmu. Dalam hati ia misuh-misuh. Diamput! Lihat saja betapa mahasiswa-mahasiswa ini hanya dijadikan sebagai komoditi. Di iming-imingi ilmu semu yang diharapkan dapat menciptakan masa depan cerah dikemudian hari, mendapatkan kerjaan enak di kota, gaji besar, orang kantoran, berdasi dengan sepatu mengkilap, di hormati tetangga, kalau pulang kampung disanjung-sanjung. Cuihhh!

Santai Man… Jangan emosional begitu… (Maaf, Sariman kita ini kadang suka emosional dan kaku untuk beberapa hal). Ambil napas Man… Kendurkan urat-urat syaraf… Jangan tegang begitu…

Menurut saya, mmm… (berpikir sejenak) Sariman ada benarnya juga. Dari buku yang saya baca, katanya universitas itu kan berasal dari kata universal yang artinya menyeluruh, global, luas, tidak terpetak-petak. Sehingga universitas itu seharusnya mengajak mahasiswanya menjadi manusia yang universal, jangan lantas mengajarkan mereka untuk bersikap, berperilaku, berpandangan dan berpikir parsial.

Tapi itu kan bukan hanya tanggungjawab pengurus universitas, produk kebijakan pemerintah dulu seperti NKK/BKK itu kan juga salah satu indikasi bahwa memang tidak ada ruang universalitas dalam universitas kita. Terus siapa yang pilon dalam hal ini? Entahlah. Dan sangat mungkin sayalah yang pilon.

Lha kalau kemudian ada mahasiswa akuntansi misalnya, mau mengadakan kegiatan kebudayaan atau kesenian ya jangan ditentang. Kalau ada mahasiswa ilmu politik misalnya, mengadakan kegiatan lomba tanjidor atau nasyid ya dukunglah. Kalau ada mahasiswa teknik misalnya, mengadakan kegiatan sunatan massal, ya berilah ruang. Biar teman-teman mahasiswa itu mengukur nilai universalitas dalam dirinya sendiri menurut caranya, asal tidak melanggar norma-norma etik yang berlaku. Beres.

Coba bayangkan, mahasiswa akuntansi misalnya, setiap hari dijejali oleh kertas-kertas kerja akuntasi, dicekoki pikiran-pikiran ekonomi kapitalistik dan teori-teori ekonomi yang fokusnya hanya profit semata. Sementara pemerintah juga lembaga universitas itu tidak pernah menjamin mahasiswanya akan menjadi akuntan atau ekonom. Kalau mereka lulus nanti dan kembali ke masyarakat mereka akan tergagap-gagap, karena tidak memiliki kelenturan, fleksibilitas, dan kelembutan. Dan ketika salah satu atau salah banyak dari mereka mendapat kesempatan menjadi pejabat Negara, atau direktur perusahaan, pastinya mereka akan cenderung melakukan segala macam cara untuk profit baik itu dalam konteks keuntungan individu maupun golongan. Kan cilaka.

Tetapi saya juga tidak bilang bahwa Sariman sepenuhnya benar. Mahasiswa yang rata-rata masih muda dan sangat trengginas (kalau tidak boleh disebut emosional), juga tidak sepenuhnya benar. Mahasiswa-mahasiswa kita sekarang ini pada melempem seperti krupuk dalam toples yang lupa ditutup beberapa hari.

(Mendengar itu Sariman angkat tangan, mau interupsi)

Sabar Man… Ya memang tidak semua mahasiswa melempem. Ada yang luar biasa wawasan, paradigma, serta retorikanya. Tapi buuuanyak juga yang ndlahom. Coba deh Tanya beberapa teman mahasiswa, apa motivasi mereka kuliah. Pasti kebanyakan diantara mereka akan menjawab, “Agar nanti lebih mudah dapat pekerjaan”, “Biar nanti bisa menjadi orang sukses” atau malah ada yang bilang “Biar keren, coy..!” lebih parah lagi ada yang jawab “Biar dapat jodoh”. Weleh, weleh, weleh…

Maaf ya Man, bukannya saya mau menggurui. Saya hanya mau sharing saja. Kuliah di universitas tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, sukses, keren-kerenan, atau jodoh. Memang banyak yang setelah lulus (malah ada yang belum lulus) terus ditawari pekerjaan yang oke, ada yang setelah lulus terus berwiraswasta dan sukses. Tapi itu prosentasenya kecil sekali Man, mayoritas setelah lulus teman-teman kita itu lantas bingung, dulunya aja keren berstatus mahasiswa, begitu lulus kerjaannya hanya nongkrong, atau melototin lowongan kerja di Koran. Ada yang dapat jodoh begitu lulus dan menikah bingung mencukupi kebutuhan rumahtangganya. Kalau sudah begitu terus menyalah-nyalahkan keadaan. Karena universitasnyalah yang nggak bener, karena pemerintahlah yang nggak bisa beri kesempatan kerja, karena inilah, itulah, cape’ deh… Dulu ngapain aja sewaktu kuliah? Melakukan banyak hal tidak? Belajar banyak hal tidak? Dasar pilon!

Saya bukannya terus merekomendasikan bahwa tidak ada gunanya kuliah. Itu sangat penting. Tapi lebih penting temen-temen mahasiswa itu juga harus merubah paradigma berpikirnya, dari yang fakultatif menuju yang universal. Jadi bukan salah universitas jika lulusannya tidak diterima kerja, karena universitas tidak mencetak pekerja, tugasnya adalah membangun manusia utama yang memiliki pemikiran, sikap, tindakan dan kesadaran yang universal.

(10-08-2007)

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters