Please, add your self in my guestbook...

Minggu, Agustus 19, 2007

"Anjing Perempuan Itu..."

ANJING PEREMPUAN ITU
Cerpen Ray Asmoro


Berbahagialah menjadi anjing. Ketika tiba masanya kawin, ya kawin saja. Tidak perlu pesta-pestaan. Kalau mau kencing, ya kencing saja. Tidak perlu sungkan-sungkan. Angkat sedikit kaki sebelah lalu, currr… tidak peduli di tempat umum sekalipun.

Seperti halnya manusia, dalam per-anjing-an juga berlaku istilah strata sosial atau kasta. Ada anjing penjaga, anjing liar, anjing pasar, anjing sirkus dan sebagainya. Diantara kasta anjing itu, anjing rumahanlah yang menempati kasta tertinggi. Tinggal seatap dengan manusia. Makan sudah disediakan, bahkan kandungan gizi dan kalorinya melebihi makanan yang dijual di warteg-warteg. Perlakuannya sangat istimewa. Dibelai-belai, diciumi, dipeluk, bahkan dikeloni oleh tuannya yang cantik dan seksi. Dasar anjing!

Setiap kali melewati satu jalan di kawasan elit itu, Morgan selalu melihat seorang perempuan tua bersama seekor anjing. Hitam warna bulunya. Ia tidak berumah. Tidurnya di luar pagar rumah orang kaya. Orang menyebutnya gembel. Ada juga yang menganggapnya gila. Tidak jelas darimana asal usulnya, punya sanak keluarga atau tidak, juga mengapa ia selalu mengenakan baju merah.

Ketika melewati jalan itu, perempuan berbaju merah itu kadang terlihat sedang menyapu trotoar, duduk diam seperti menghayalkan sesuatu, memberi makan anjingnya, atau sedang bercanda dengan anjingnya. Mengelusnya, menggendongnya atau mengajaknya jalan-jalan. Bahkan sesekali Morgan melihatnya sedang membaca koran bekas dan menulis surat.

Apa sih sebenarnya perempuan itu?

“Rupanya ia menyukai anjing. Mengapa ia lebih suka berteman dengan anjing, ya?” tanya Timbul pada Morgan ketika melewati jalan itu.

“Karena menurutnya, anjing lebih manusia dari manusia.” Morgan menerka-terka jawaban atas petanyaan Timbul, temannya.

“Apa dia tidak punya sanak saudara?”

“Mungkin saja ada. Dan mereka tidak lebih baik dari anjing itu dalam memperlakukannya.”

“Ah!”

***

Perempuan itu sudah terlihat tua. Andaikata ia hidup normal dan bersuami, mungkin sudah punya dua cucu. Tapi siapa bilang itu tidak normal? Bisa jadi itu hanya sebuah sensasi atau gaya hidup yang eksentrik. Siapa tahu kalau sebenarnya ia seorang milyarder tapi ia tidak mau menunjukkan harta kekayaannya dan memilih hidup dengan cara seperti itu. Dan tanpa kita tahu, di kantong plastik hitam yang ditentengnya kesana-kemari itu tersimpan sebuah laptop dan telepon satelit yang dipakainya bertransaksi bisnis lewat internet saat malam sepi, misalnya. Kira-kira, mungkin tidak?

O, mengapa tidak. Logikanya, seperti halnya banyak orang yang sebenarnya gembel dan kere tapi berlagak kaya. Atau, seperti para pejabat yang berebut untuk disebut miskin, dan untuk itu, hanya sebagain kecil saja dari harta kekayaannya yang dilaporkan. Padahal pundi-pundi hartanya tersimpan dan tercecer berserakan dimana-mana. Atau, pernahkah anda mendengar ada seorang pejabat negara yang profesi sesungguhnya adalah sales, kerjanya menjual aset-aset negara? Hmm… Saya pernah mendengarnya.

Lantas apa sih sebenarnya perempuan itu? Dan mengapa ia menyukai anjing?

“Sudahlah, Morgan. Masih banyak persoalan penting yang harus dipikirkan daripada sekedar berpikir tentang perempuan berbaju merah dengan anjingnya itu.” komentar Arif dengan logat timurnya ketika Morgan mencoba mendiskusikan fenomena perempuan dan anjingnya.

Suatu hari, ketika melewati jalan itu, Morgan tidak mendapati perempuan berbaju merah dengan anjingnya di tempat biasa. Morgan mengernyitkan dahi. Orang-orang tidak ada yang merasa kehilangan. Toh, keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Dalam teori, eksistensi manusia diukur dari seberapa besar kontribusi yang diberikan pada sesamanya. Semakin sedikit yang diperbuat, semakin meniadakan eksistensinya.

Lalu kemanakah gerangan perempuan berbaju merah dan anjingnya itu? Pertanyaan itu sempat hinggap di kepala Morgan. Mungkinkah perempuan tua dan anjingnya itu sudah menyingkir atau tersingkir dari sini? Mengapa menyingkir dan siapa yang menyingkirkan? Barangkali tidak menyingkir dan tidak disingkirkan. Ia hanya pergi atau jalan-jalan ke suatu tempat, menikmati suasana baru. Seperti kebanyakan kita yang seringkali butuh suasana baru. Bahkan perselingkuhan dan poligami diartikan sebagai bentuk suasana baru. Dasar!

***

Hari-hari berikutnya, perempuan tua berbaju merah itu terlihat lagi dikawasan itu lengkap dengan anjingnya. Seperti biasanya ia memperlakukan anjingnya seperti anak kandungnya sendiri. Suatu ketika Morgan lewat kawasan itu, anjing perempuan itu sedang bermain-main di trotoar jalan. Tapi Morgan merasa risih dengan anjing, ia takut anjing. Selucu apapun yang namanya anjing, tetap saja menakutkan bagi Morgan. Morgan berhenti sejenak di ujung trotoar, menghentikan langkahnya. Rupanya perempuan tua pemilik anjing itu menyadari ada seseorang yang hendak lewat trotoar jalan itu tapi takut dengan anjingnya, lantas perempuan itu memanggil anjingnya.

“Morgan, sini! Jangan nakal ya!”

Anjing itu menurut dan langsung menghampiri perempuan tua itu. Morgan tercengang sesaat. Lalu ia melanjutkan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters