Please, add your self in my guestbook...

Senin, Desember 17, 2007

PILONIAN 12 : Global Warming

PILONIAN 11 : Global Warming

(by : Ray Asmoro)


Dua minggu belakangan, di koran-koran, di TV-TV ramai diberitakan tentang pemanasan global dan dampaknya terhadap ekosistem bumi. Isu pemanasan global sedemikian hebat dan menakutkan, sehingga kita yang mendengar beritanya sampai merinding.

Semua orang merinding, tapi tidak Sariman. Dia mah, adem-ayem saja. Bukan lantaran dia cuek bebek terhadap lingkungan tetapi… dengarkan petikan wawancara saya dengan Sariman.

Saya : Mas Sariman ini piye toh kok adem-ayem saja. Padahal saat ini semua ramai menyimak isu pemanasan global

Sariman : Saya tidak adem-ayem, saya peduli. Tetapi apa ya harus terus menyikapi itu semua secara emosional? Begini lho dik…Pemanasan global ini bukan isu baru, bertahun-tahun lalu juga pernah diangkat. Bahkan kenapa dinosurus itu sampai punah? Ya salah satu penyebabnya adalah pemanasan global, sehingga ekosistem bumi berubah dan mereka tidak adaptif terhadap perubahan itu.

Saya : Tetapi mengapa minggu-minggu ini begitu ramai diperbincangkan, Mas?

Sariman : Lha disitulah letak pilon-nya. Kenapa baru sekarang, karena tiga hal. Pertama, ke-pilon-an manusia. Maksudnya, manusia bereaksi setelah ada akibat yang tidak menguntungkan. Pilon kan itu namanya. Kita kan diberikan akal pikiran, punya kemampuan analisis yang luar biasa, seharusnya mampu menghitung dan mengukur apa-apa yang bakal terjadi, ya hitungannya mungkin tidak persis tepat, tapi dengan begitu kita bisa melakukan tindakan-tindakan preventif.

Kalau kita mengendarai mobil atau motor kita kan bisa perkirakan (walaupun tidak persis tepat) seberapa jauh jarak aman kita dengan kendaraan di depan. Kalau jarak kita dengan kendaraan didepan hanya 2 meter, sedangkan kecepatan kita dan kecepatan kendaraan didepan kita sama-sama 80 km/jam, maka jika kendaraan didepan kita berhenti mendadak maka bisa dipastikan kita akan nabrak. Kalau ndak mau kecelakaan, ya jaga jarak aman dong… bukan terus menyalahkan kendaraan didepan kita atau pak polisi.

Nah ini tidak ada kesadaran seperti itu. Pemanasan global itu sudah dibicarakan sejak lama, bahkan oleh Negara-negara maju seperti AS itu. Tapi karena dulu dampaknya belum cukup bisa membuat merinding, maka ya terus lenyap isu itu. Lalu itu hanya menjadi isu bagi LSM-LSM lingkungan yang (maaf) seringkali kurang memiliki kekuatan politis untuk melakukan perubahan.

Kedua, ini seperti ajang ‘show-off’, dua minggu sebelum ada konferensi di Bali itu, sepertinya belum terjadi pemanasan global toh? Tidak ada koran atau televisi yang mengangkat topik pemanasan global dalam head-line nya. Tapi begitu petinggi dan pakar dari banyak Negara berkumpul di Bali, bicara tentang pemanasan global, sekonyong-konyong, ujug-ujug, terjadilah pemanasan global itu. Kemudian koran dan televisi ramai memasang topik pemanasan global sebagai headline beritanya. Ada yang menyajikan liputan dampak pemanasan global bagi nelayan dan petani. Kenapa baru sekarang coy…? Tahu kenapa? Karena petinggi dan pakar itulah yang menyebabkan pemanasan global, jadi mereka itu seperti tuhan, menentukan apa yang terjadi. Coba saja petinggi dan pakar dari berbagai negara itu tidak berkumpul di Bali, mungkin saja pemanasan global tidak terjadi. Jadi pesannya, jangan macam-macam sama para petinggi dan pakar itu. Dasar pilon! Dan saya kira, setelah konferensi di Bali selesai, maka selesai pulalah pemanasan global di bumi ini ha..ha..ha...

Itulah alasannya…

Saya : Tadi katanya ada tiga hal, mas Sariman baru sebutin dua hal, terus hal ketiga apa dong Mas?

Sariman : Hmm.. iya ya. Hal ketiga, ini murni politis. Negara-negara berkembang macam kita ini di paksa untuk melakukan pelestarian lingkungan, sementara negara maju sibuk mengotori dunia dengan segala macam dan bentuk pembangunan. Ini kan un-fairness. Padahal kan sama-sama butuh. Amerika butuh udara segar, kita butuh mengejar ketinggalan dengan banyak pembangunan. Lha kalau kita tidak boleh “mengorbankan” lingkungan, terus Amerika mau kasih kontribusi apa? Dia ndak boleh diam saja. Itu lhoh intinya.

Saya : Ok, I get the point. Terus apa yang sebaiknya dilakukan oleh warga Negara Indonesia, Mas?

Sariman : Seharusnya ya peduli. Bahkan sebetulnya itu fardhu’ain hukumnya. Kepedulian itu bisa dimulai dari lingkungan terkecil, dari hal-hal remeh. Misalnya memisahkan sampah organik dan non-organik. Tapi… (Sariman diam agak lama, ekspresinya aneh, tidak jelas apakah ia sedang berpikir atau bingung)

Saya : Tapi apa Mas..?

Sariman : Capek deh…

Saya : Maksudnya?

Sariman : Bangsa kita ini kan sebenarnya kaya raya, masyarakat kita ini sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Tapi ya itu, kalau kita sadari. Masalahnya banyak yang ndak sadar sih. Padahal instansi departemen penerangan sudah membuat program penerangan dan penyuluhan walaupun efektifitasnya dipertanyakan, para kyai, pendeta, biksu, ulama, motivator, guru, tokoh masyarakat, semua juga sudah sering mengingatkan akan kesadaran itu. Soal kebersihan saja misalnya, tapi tetap saja kotor. Lha saya jadi mikir mungkin memang harus Tuhan yang turun tangan, dan pemanasan global ini mungkin salah satu cara Tuhan untuk memberikan peringatan. Tapi seberapa banyak dari 270 juta penduduk Indonesia ini yang menyadari? Not more than 10%, I think.

Padahal itu juga bukan kepentingan Tuhan. Kita peduli atau tidak terhadap lingkungan, Tuhan tidak merasa rugi. Bahkan kita tidak menyembah Tuhan pun, Tuhan tidak rugi. Tapi ingat Tuhan pernah bilang, kalau kalian tidak ikut aturan-Ku (kata Tuhan), ya silakan menyingkir dari bumi-Ku. Lha anda terus mau kemana?

Jakarta, Desember 2007

Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters