Please, add your self in my guestbook...

Kamis, Juni 05, 2008

TANAH TOEMPAH DARAHKOE


TANAH TOEMPAH DARAHKOE


Dahulu, siapapun yang masih berada di bangku pendidikan (SD-SMA) setiap hari senin pagi diwajibkan melakukan upacara bendera. Acara intinya adalah pengibaran Sang Saka Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya dengan sikap hormat. Indonesia Tanah Airku / Tanah Tumpah Darahku / Disanalah Aku Berdiri / Jadi Pandu Ibuku…”. Dan menancaplah semangat kebangsaan, mengalir disetiap selang nadi putra-putri pertiwi. Kemudian disusul pembacaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Teks Pancasila.


Sekarang, entah masih tersisa atau bahkan sudah punah semangat kebangsaan dan kebhinnekaan itu. Realitanya ini Negara jadi kian membingungkan. Ada dekadensi atas nasionalisme. Sadar atau tidak kita melakukan pemunahan nasionalisme itu secara missal, perlahan-lahan, tapi terasa kini efeknya. Kita terbelah dan terkotak-kotak dalam kelompok-kelompok. Kelompok yang lemah di tindas oleh gerombolan yang lebih kuat. Dan Negara tidak sigap memahami dan memecahkan persoalan itu. Terakhir Presiden mengatakan “Negara tidak boleh kalah. Hukum harus ditegakkan…”. Mengapa baru sekarang ada pernyataan seperti itu? Mengapa setelah terjadi huru-hara di Monas (1 Juni 2008) pemerintah baru mengatakan itu? Jika saja ketegasan sebagai pemegang amanat kekuasaan itu benar-benar dilakukan mungkin peristiwa bentrokan atau pembantaian di Banyuwangi, Sampit, Poso, dan daerah-daerah lainnya, tidak perlu terjadi. Dan kasus-kasus seperti tragedi trisakti 98 hingga peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa Unas (2008) bisa segera diusut tuntas.


Tadi malam saya melihat sebuah acara di televisi swasta, di acara dialog itu ada Pak Andi Malarangeng, Pak Fajrul Rahman, dan aktivis serta mahasiswa sebagai audience-nya. Pak Fajrul (yang pernah jadi korban pemerintahan yang represif dijaman orba) mengecam Pak Andi Malarangeng, ‘habis-habis’an. Kurang lebih dikatakan, bahwa pemberian bantuan dana pendidikan bagi 400 ribu mahasiswa kurang mampu adalah sebuah tindakan pemerintah untuk ‘membungkam’ suara mahasiswa, karena itu dilakukan setelah eskalasi gerakan mahasiswa meninggi lantaran pemerintah menaikkan harga BBM. Lebih lanjut dikatakan, bahwa dana bantuan pendidikan itu adalah dana ‘haram’ karena diambil dari anggaran yang seharusnya dipergunakan untuk rakyat miskin. (Maaf kalau interpretasi saya salah). Kemudian dengan nada provokatif, Pak Fajrul mengarahkan hujatan kepada Pak Andi Malarangeng dengan menuding-nudingkan telunjuknya, dan mahasiswa menyambutnya. Dan menurut saya tidak ada data dan bukti yang cukup valid atas pernyataan “dana haram itu”. Mungkin saja benar tapi mungkin saja tidak.


Saya tidak sedang membahas tentang validitas data BLT dan Bantuan Pendidikan itu. Yang saya lihat adalah kok kita ini jadi bangsa yang aneh ya. Senang menjatuhkan orang, senang menghujat orang, dengan kedok demokrasi dan kebebasan berpendapat. Apa ya begitu demokrasi seharusnya dijalankan? Kerdil amat kita ini!!! Jika memang harus begitu, siapapun yang jadi pemegang amanah kekuasaan negeri ini tidak akan sepi oleh kritik, hujatan dan cacimaki.


Kini setiap stasiun TV mengangkat headline tentang peristiwa 1 Juni 2008 di Monas, amuk masa suatu gerombolan terhadap gerombolan lainnya. Entah mengapa tiba-tiba saya teringat sebuah cerita yang pernah saya baca, Imam Al-Ghazali berkisah ; Ada sorang anggota keluarga nasrani yang simpati dengan islam, setiap hari ia mendengar ayat-ayat suci alquran dilantunkan, hatinya jadi tentram… dan orang nasrani itu berkeinginan untuk masuk islam. Tapi… kemudian dia mendengar suara adzan yang sember, urakan dan asal keras. Sehingga memekakkan telinga. Niat sang bilal adalah memanggil orang-orang untuk sholat berjamaah. Niatnya baik. Tapi efeknya, si nasrani yang mau masuk islam itu akhirnya mengurungkan niatnya karena tidak simpatik dengan cara bilal melakukan adzan dengan cara arogan dan mengganggu ketenangan.


Dakwah dan menegakkan kalimat tauhid itu harus dan fardhu’ain bagi setiap muslim. Namun demikian arogansi dan kekerasan justru menjadi bentuk pengingkaran atas kalimat tauhid itu sendiri. Anehnya, (meminjam istilahnya Cak Nun) kita menolak penindasan dengan melakukan penindasan dan penistaan, kita melaknat pencurian dengan mengatakan ‘mengapa bukan kita yang maling’, kita hujat-hujat penguasa dengan berusaha keras menggantikannya dan melakukan hal-hal yang dahulu kita kritik sendiri…


Indonesia tanah airku

Tanah tumpah darahku…


Tidak ada yang salah dengan syair Indonesia Raya itu. Tapi baris kedua “tanah tumpah darahku” bisa dipersepsikan berbeda. Bukan dimaknai sebagai semangat nasionalisme, cinta tanah air dan rela berkorban demi nusa bangsa. Tapi “tanah tumpah darahku” bisa di persepsikan sebagai tanah dimana darah akan selalu tumpah.


Akankah darah kembali tumpah, mengalir ditanah pertiwi ini???



Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters