Please, add your self in my guestbook...

Senin, Mei 05, 2008

Pilih Mana?

PILIH MANA, Demokrasi atau Otokrasi ?
( kasak-kusuk dari obrolan di ujung gang )

Dirumah, seorang Bapak (sebagai pemimpin keluarga) menganggap semua anak-anaknya harus patuh terhadap aturan ketat yang dibuatnya, dan aturan itu sudah ditentukan dan diputuskan serta didengar oleh semua anggota keluarga. Jika melanggar harus mendapat 'hukuman', tidak peduli kepada anaknya yang 17 tahun atau yang baru 2 tahun, jika mereka melanggar harus 'dihukum'. Tentu saja yang menentukan benar-salah adalah Pemimpin keluarga alias Bapak.

Bagi Bapak ketegasan itu harus diambil untuk menjaga keluarganya, menumbuhkan sikap disiplin dan tanggungjawab kepada anak-anaknya. Tentu saja itu niat mulia. Namun bagi anak-anak, sering tindakan Bapak itu sangat represif rasanya. Bahkan tidak jarang pula anak-anak menganggap Bapak kejam, Bapak jahat, Bapak otoriter dan tidak demokratis!

Dalam konteks tertentu terdapat kerancuan antara demokrasi dan otokrasi. Kadang kita berkoar-koar tentang demokrasi tapi perilaku dan tindakan kita sangat otoriter. Ketika keputusan diambil secara demokratis, diperlukan ketegasan, sehingga kita sering dipaksa bertindak otoriter. Ketika si Bapak tadi misalnya hendak menghukum si kecil 2 tahun yang berbuat salah, apakah ia harus menanyakan 'perlu tidak hukuman di berikan?'. Jika pertanyaan itu dilontarkan kepada istri dan kakak anak itu bisa jadi mereka akan membela anak itu karena kasihan dan karenanya hukum menjadi tumpul dan tercederai.

Demokrasi sebagai sistem bernegara, begitu diagung-agungkan sebagai yang paling baik. Indonesia sendiri dalam sejarah telah mencatat banyak perubahan sistem yang dipakai dalam berbangsa dan bernegara, mulai dari sistem monarchi (kerajaan), demokrasi terpimpin, hingga akhirnya demokrasi. dan ternyata yang terakhir itu juga 'abu-abu' warnanya. Seperti pendapat Pak Daniel Sparingga dalam wawancaranya dengan sebuah media cetak terkenal, beliau mengatakan "..sistem demokrasi ujungnya adalah memastikan seluruh kebijakan publik harus dimintakan persetujuannya lebih dulu kepada yang terkena kebijakan itu, ini yang dinamakan kedaulatan rakyat. Dan hal tersebut di sangga oleh dua tiang, satu adalah parlementarisme yang paketnya adalah Parpol, Pemilu, dan Anggota Parlemen sebagai representasi rakyat dalam mengawasi bagaimana kekuasaan pemerintahan dijalankan... tapi orang sering lupa tiang penyangga kedua, yaitu civil liberties... rakyat memungkinkan bisa mewarnai proses kebijakan publik dari waktu-kewaktu, setiap saat, tanpa menunggu pemilu... ini menjadikan proses demokrasi kita kurang produktif.. wibawa parpol tidak cepat berkembang... parpol tidak punya resonansi dan legitimasi atau basis dukungan kuat dikalangan rakyat... bahkan digerus oleh civil liberties. Ketidakpercayaan kedua tiang ini sangat tinggi sehingga tidak ada sinergi, justru saling menghancurkan... demokrasi itu ada tapi semu"

Dari pendapat Pak Daniel diatas (dan realitanya memang begitu) tentu saja membuat kita bingung. Faktanya, rakyat di negara demokrasi ini juga mulai kehilangan kepercayaan pada parlemennya, kepada yang mewakilinya. Sementara yang duduk di parlemen terus merayu-rayu khalayak ramai untuk mendukung dan memilih mereka demi mempertahankan kedudukannya. Kalaupun ada yang diperjuangkan, tentu saja perjuangkan untuk kelompok dan golongannya saja. Dan hukum atau perangkat lainnya yang dipakai sebagai alat penegak demokrasi pun tidak dilaksanakan secara adil dan konsisten.

Nah sekarang cobalah hitung sendiri berapa banyak "ongkos" untuk sebuah demokrasi yang semu ini. Dari sejak Negara ini menganut demokrasi seberapa besar "ongkos" yang harus kita bayar untuk sesuatu yang menjadikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara justru tidak lebih baik ini?

Sedangkan otokrasi / sistem yang otoriter selalu dianggap buruk dan jahat. Seperti juga halnya kata "hostes" yang sebenarnya memiliki arti harafiah tidak negatif (positif) tetapi kata itu selalu di konotasikan buruk sehingga setiap orang men-cap jelek pada hostes. Lainnya adalah hipnotis, yang selalu di anggap sebagai sesuatu yang buruk dan kriminal, padahal hipnotis bisa juga sebagai terapi. Dan masih banyak contoh lainnya tentang sesuatu yang sengaja atau tidak sengaja memiliki citra buruk padahal tidak begitu adanya.

Salah satu organisasi atau lembaga yang kental muatan otokrasinya adalah militer. Dan kenyataannya organisasi itu jauh lebih baik, lebih berkarakter, lebih tangguh, daripada lembaga atau organisasi yang selalu mengatasnamakan demokrasi.

Dalam pengertian yang kita kenal hingga kini, demokrasi berarti kedaulatan rakyat. Menilik orientasinya, demokrasi lebih ke people (people oriented) sedangkan otokrasi lebih ke task oriented. Dalam demokrasi manusia menjadi subyek sedangkan dalam otokrasi manusia sebagai obyek. Bisa dibayangkan, apabila misalnya sebuah bisnis dijalankan dengan sistem demokrasi, semua memiliki kepentingan dan keinginan berbeda padahal yang punya modal adalah pemilik. Dalam bisnis tentu saja manusia (mau tidak mau, suka tidak suka) adalah obyek. Karena dalam pekerjaan (pada jam kerja) menyelesaikan tugas dan tanggungjawab harus didahulukan daripada menyelesaikan urusan pribadi. Perusahaan 'tidak peduli' apakah kita (karyawan) punya masalah dirumah, sedang terlilit beban utang dengan tetangga, atau lainnya diluar pekerjaan, tetapi tugas dan tanggungjawabnya di perusahaan harus selesai. Perusahaan tidak perlu meminta pendapat dan persetujuan soal ini, bukan? Jika tidak mau, maka tamatlah riwayatmu. Bukankah ini berkesan sangat otoriter? tapi begitulah adanya.

Tidak ada sistem yang sempurna. Demokrasi (yang people oriented) memiliki keunggulan dan kelemahan sekaligus. Begitu juga dengan otokrasi (yang task oriented). Dalam demokrasi segala sesuatunya diserahkan kepada khalayak ramai yang tentu didalam setiap kepala mereka ada keinginan dan tendensi yang berbeda. Bayangkan betapa pusingnya jika harus mendengar dan mengikuti setiap keinginan dan kemauan 270 juta kepala. Sedangkan otokrasi, khalayak dipaksa untuk menjalankan sesuatu yang ditetapkan.

Soeharto, seringkali di cap sebagai pemimpin otoriter, tapi disisi lain banyak masyarakat bawah yang mengatakan "wah, kalau begini keadaannya mendingan jaman pak harto, cari duit lebih gampang, barang-barang juga murah. katanya perubahan, reformasi, demokrasi, tapi kok malah menginjak-injak dan membelit rakyatnya..."

Coba kita dengar pendapat Sariman. Dia bilang, "Mau demokrasi kek, mau otokrasi kek, mau liberal kek, mau sekuler kek, gak penting jika tidak membuat kehidupan menjadi lebih baik. Menurut saya yang terpenting adalah para pemimpinnya. Kalau pemimpinnya baik, berakal-budi, memiliki cinta, berorientasi melayani umat, maka mau demokrasi atau otorioter sekalipun tidak masalah. Demokrasi kalau dijalankan oleh orang-orang bodoh yang tidak memiliki kepemimpinan yang baik juga malah jadi semrawut. Mendingan otokrasi tapi pemimpinnya harus berhatinurani dan memihak kepada umat, tidak memiliki nafsu untuk menguasai serta orientasinya semata untuk kesejahteraan bersama, gak peduli parpol, agama atau suku-nya beda"


Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters