Please, add your self in my guestbook...

Senin, Juli 28, 2008

Pintar saja tidak cukup (?)

PINTAR SAJA TIDAK CUKUP (?)

(metafora berita koran pagi)


“Pintar saja tidak cukup bagi seorang pekerja. Saat ini pekerja juga dituntut kreatif…” ujar Pak Sofyan Djalil Menteri Negara BUMN. (Kompas, 24 Juli 2008, hal. 17)


Jika pintar yang dimaksud lebih cenderung pada kemampuan akademik yang dibuktikan oleh nilai-nilai yang tertuang dalam ijasah atau transkrip nilai maka hal itu tentu lebih berhubungan dengan wilayah otak kiri. Dan jika yang di maksud kreatif adalah kemampuan seseorang dalam membuat analisa dan memunculkan opsi-opsi ataupun tesis dan atitesis dengan mengaktifkan system inderawi untuk kemudian membuat keputusan ataupun pemecahan masalah, maka hal itu tentu saja ada di wilayah kerja otak kanan.


Pintar dan kreatif. Sungguh perpaduan yang sempurna.


Tulisan ini tidak untuk menyanggah pernyataan Pak Menteri. Tetapi dari pernyataan itu ada beberapa ‘kegelisahan’ dalam kesadaran saya. PERTAMA, muncul sebuah pertanyaan, “apakah dalam sistem pendidikan kita, memberikan ruang yang cukup bagi kreatifitas?”. Ketika TK saya diminta menggambar pemandangan dan saya menggambar sepasang sandal jepit. Oleh Ibu Guru gambar saya tidak diakui sebagai pemandangan. Pemandangan itu harus ada gunungnya, ada jalannya, ada lautnya, ada sawahnya, ada awannya. (Saya yakin kalau orang-orang dewasa diminta menggambar pemandangan secara cepat, maka yang tergambar ya itu tadi ; gunung, ada jalan, matahari, sawah, laut, awan). Itu satu indikasi kecil dimana ruang kreatifitas tertutup didalam sistem pendidikan kita. Padahal menurut saya, pemandangan itu adalah sesuatu yang bisa kita pandang/lihat. Yang tergambar dan tervisualisasikan dalam pikiran kita. Nah, bagaimana mau kreatif kalau berpikir saja kita harus seragam?


Kemudian saat SMP dan SMA (bahkan sampe PT), saya banyak menemukan pelajaran ‘menghafal’. Dan celakanya (mudah2an ini hanya saya saja), apa yang pernah saya hafalkan dulu tidak membantu saya dalam pekerjaan. Karena hidup ini bukan hafalan, hidup ini penuh dengan perubahan, banyak hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman baru. Setiap hari di hadapkan pada situasi dan kondisi yang berbeda sehingga seringkali membutuhkan penanganan yang berbeda dan bukan hafalan. Program “link and match” yang di gagas Pak Wardiman (kalau saya tidak salah) juga entah mengapa kok tidak berhasil.


KEDUA, kepintaran yang dibuktikan oleh selembar transkrip nilai, bisa menyesatkan. Saya menduga, banyak pelajar ataupun mahasiswa yang berusaha mendapatkan nilai bagus tetapi tidak benar-benar menjiwai apa yang mereka pelajari (ngomongin diri sendiri nih…hehehe). Ketika belajar manajemen pemasaran misalnya, bukannya menyiapkan diri dengan memahami betul bagaimana nanti ketika terjun didunia kerja, mampu membuat strategi-strategi pemasaran. Tetapi orientasinya hanya pada bagaimana menjawab soal-soal ujian sesuai teks book agar nilainya bagus. Belum lagi beberapa kasus jual beli nilai yang tentu kita semua sering mendengarnya.


Saya tidak hendak mengatakan bahwa transkrip nilai itu tidak penting. Namun perlu dipikirkan dan ditinjau kembali sistem belajar mengajar dalam dunia pendidikan kita, serta perlu upaya-upaya cerdas untuk merubah paradigma nilai akademik sebagai satu-satunya ukuran pada pemahaman dan kesadaran yang lebih mendalam.


KETIGA, ini yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh Pak Menteri. Setiap manusia memiliki keunikan, memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Bahkan ada beberapa departemen dalam perusahaan yang justru tidak cocok dan akan malah kacau jika diisi oleh orang-orang kreatif. Orang-orang kreatif ini cenderung opsional, memiliki banyak ide dan gagasan, cakap dalam membuat konsep ataupun sistem. Tapi sayangnya tidak semua orang kreatif (opsional) mampu menjalankan ide, konsep atau sistem yang mereka buat. Sehingga mereka membutuhkan orang-orang yang prosedural. Orang-orang prosedural ini sama baiknya dengan orang opsional. Tanpa orang prosedural, ide, konsep, dan sistem yang sudah dibuat, hanya akan menjadi catatan di kertas yang tak berguna.


Banyak perusahaan yang tidak menyadari hal ini sehingga mereka hanya berpatokan pada nilai akademik, kemudian menempatkan beberapa orang ‘pintar’ disebuah departemen, padahal beberapa orang itu memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Orang opsional akan menganggap orang prosedural sangat bertele-tele, terlalu birokratis. Sedangkan orang prosedural akan menganggap orang opsional itu plin-plan, omdo (omong doang) karena memang mereka biasanya cakap dalam tataran ide dan gagasan.


KEEMPAT, perusahaan-perusahaan yang hendak merekrut tenaga kerjanya kebanyakan menekankan pada nilai akademik, IPKnya minimal harus 3.00 misalnya. Padahal seperti yang sedikit dijelaskan diatas, bahwa belum tentu orang pintar itu memiliki kecenderungan mental/attitude yang pas dengan departemen/jenis pekerjaan tertentu.


Jika orang tidak produktif pada pekerjaannya bukan berarti orang itu bodoh atau tidak kreatif, tapi mungkin pekerjaan itu tidak sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki oleh orang tersebut. Perusahaan menempatkan orang ditempat yang salah, begitu lebih jelasnya. Namun yang banyak terjadi, perusahaan kemudian menyalahkan pekerja. Padahal hal tersebut seharusnya sudah tersaring pada saat rekrutmen (sebelum penempatan).


Tetapi saya tetap setuju dengan Pak Menteri, pintar saja memang tidak cukup. Namun saya punya pendapat yang sedikit beda. Jika Pak Menteri bilang “pintar saja tidak cukup, harus juga kreatif”. Bagi saya lebih pas jika dikatakan “Pintar saja tidak cukup, tapi harus “pintar-pintar”.


Tidak ada komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters