Please, add your self in my guestbook...

Selasa, Februari 05, 2008

LOLONGAN MORGAN (Cerpen)

LOLONGAN MORGAN

Cerpen Ray Asmoro

Sore yang redup masih menyisakan gerah. Tidak ada suara garengpung, cericit burung-burung atau gemericik air dari sungai yang mampet di perkampungan yang bernama Jakarta ini. Yang terdengar hanya bising kota yang menenggelamkan rintihan para jelata dan kabar buruk yang semakin terasa menyesak di dada.

Morgan duduk di seberang jalan. Matanya terus memperhatikan perilaku seorang perempuan tua yang selalu berbaju merah dengan anjing-anjingnya.

“Jangan nakal, Morgan!” bentak perempuan tua itu tiba-tiba.

Morgan kaget mendengar bentakan perempuan itu. Lebih-lebih lagi ketika ia menginsafi bentakan itu ditujukan pada seekor anjing. Dalam hati ia mengumpat. Asu!

Tapi Morgan bisa memakluminya. Ada banyak nama binatang peliharaan yang kadangkala terdengar lebih bagus dari nama manusia. Ia sering dengar itu. Ada kucing yang diberi nama Sweety atau Akbarona. Ada tikus piaraan yang diberi nama Megy atau Yosi, dan sebagainya. Jadi tidak ada alasan untuk tersinggung, apalagi marah.

“Morgan, diam!” bentaknya sekali lagi, lantaran anjing itu terus mengusik ketika ia sedang konsentrasi menulis, entah surat atau catatan harian, tidak pernah ada yang tahu. Dan seperti memahami bahasa manusia, anjing itupun diam dan tidak mengusiknya lagi.

Perempuan itu, orang menganggapnya gembel. Bahkan ada yang menyebutnya gila. Tidak berumah. Tidurnya di trotoar depan pagar rumah orang kaya di kawasan elit itu. Di sanalah ia bergelut dengan rahasia kehidupannya yang tak dimengerti orang lain. Apa sih perempuan itu?

Suatu hari Morgan pernah melihatnya saat makan siang. Di trotoar itu ia berbagi makanan dengan ketiga anjingnya. Bahkan ia rela berbagi tempe, sepotong kecil untuk dirinya dan sepotong lebih besar untuk anjingnya. Begitu istimewa perlakuan perempuan itu pada ketiga anjingnya, layaknya seorang ibu memperlakukan anak-anak, si buah hatinya.

Perempuan dan anjing-anjingnya itu seperti sebuah keluarga kecil yang bahagia. “Saya sering melihatnya menyetop bajaj untuk mengajak anjing-anjingnya jalan-jalan. Putar-putar di kawasan ini lalu kembali lagi.” kata tukang parkir di jalan itu.

Pernah juga terlihat, suatu ketika perempuan itu hendak menyeberang jalan, anjing-anjingnya mendahului berlari ke seberang. Ketika sampai seberang, anjing-anjing itu berhenti. Perempuan itu masih tertinggal di seberang, berdiri, menunggu saat yang tepat untuk menyeberang karena padatnya lalu lintas Jakarta. Melihat itu, anjing-anjingnya kembali dan menghampiri perempuan itu, kemudian mereka menyeberang bersama-sama. Begitu indahnya harmoni hidup yang mereka ciptakan.

Bukan tanpa alasan ia memilih jalan hidup seperti itu. Juga bukan tanpa alasan mengapa ketiga anjingnya dinamakan Morgan, Markus dan Mikael. Ada cerita dibalik itu semua. Cerita pedih perih dan memilukan.

“Jadi dia bukan orang gila?” tanya Ivonne pada Morgan, menjelang tidur di ranjang pengantin disela sunyi-syahdu malam pertama mereka.

“Lebih tepat kalau disebut depresi mental.” jawab Morgan.

Depresi. Penyakit kejiwaan ini telah mewabah dimana-mana. Menjangkiti siapa saja. Tak peduli kaya atau miskin, tua atau muda. Tekanan-tekanan membuat orang merasa tidak tentram bahkan kehilangan keseimbangan hidup. Penyebabnya bisa apa saja. Uang, ambisi, jabatan, popularitas, problem rumah tangga dan sebagainya.

Begitu juga perempuan tua itu. Siapa sangka kalau ia yang lusuh dan kumal itu, yang saban hari ada di trotoar, di luar pagar rumah orang kaya di kawasan elit itu pernah memahatkan sekelumit cerita bahagia dalam kehidupannya.

Namun sayang seribu kali sayang, kebahagiaan itu hanya sekejap saja. Dan yang terjadi pada perempuan itu adalah satu bukti nyata bahwa cerita bahagia tidak selalu berakhir bahagia. Menurut cerita beberapa orang, tragedi itu berawal ketika suaminya menghadirkan perempuan lain dalam rumah tangga mereka. Maka perceraian menjadi pilihannya.

Pada titik itu ia masih tegar. Namun saat pengadilan tidak memberikan hak perwalian dan pengasuhan ketiga anak-anaknnya kepadanya, ia jadi kehilangan keseimbangan. Suaminya telah merenggut semua kebahagiaan yang dimilikinya, tiada sedikitpun tersisa.

Begitulah awalnya ia menjalani hidup seperti sekarang. Layaknya seorang gembel yang kesepian. Tidur di pinggir jalan, di luar pagar rumah orang kaya bersama tiga anjingnya, Morgan, Markus dan Mikael, sebagai personifikasi dari ketiga anaknya yang terenggut dari dekapan cinta kasihnya.

“Lantas mengapa dalam ceritamu ia selalu mengenakan baju merah?” tanya Ivonne sambil memeluk tubuh Morgan, suaminya, di kamar yang penuh aroma wangi bunga-bunga.

“Warna merah itu adalah warna baju pengantinnya.” jawab Morgan sambil melirik baju pengantin Ivonne yang tergantung di sudut kamar, sangat dominan dengan warna merah yang dipadukan dengan warna kuning keemasan. Seperti gaun putri cina.

Lalu titik-titik air hujan mulai berjatuhan dari langit. Jatuh dan merembes ke bumi. Ya, musim hujan telah datang. Musim yang telah lama ditunggu kedatangannya oleh petani karena kemarau kelewat panjang tahun ini. Kini saatnya bagi para petani untuk mencangkuli sawah ladangnya dan menebarkan benih-benih kehidupan.

Ivonne semakin mempererat pelukannya. Morgan menyambutnya dengan penuh kehangatan. Suatu hal yang sebelumnya diharamkan, menjadi halal malam itu. “Di saat seperti ini apakah kamu masih ingat perempuan tua itu?” bisik Ivonne mesra.

“Tidak. Aku baru saja melupakannya. Aku ingin jadi egois malam ini.”

Butiran-butiran air hujan yang jatuh di atap rumah menciptakan irama tersendiri seperti orkestrasi yang mengiringi berjuta-juta peri dan malaikat yang turun menjadi penyaksi menyatunya dua jiwa dalam satu napas, sebagai penyaksi ditemukannya kembali tulang-tulang yang berserak.

Sedangkan di luar sana, puluhan kilometer dari kamar pengantin itu, di satu jalan di kawasan elit, di luar pagar rumah orang kaya, seorang perempuan tua berbaju merah tidur di atas papan kayu yang diletakkan pada beberapa tumpukan bata di kedua ujungnya sehingga menjadi seperti bangku panjang. Selembar plastik di bentangkan dari jeruji pagar itu untuk berlindung dari hujan.

“Mendekat kesini, Morgan.” kata perempuan tua itu pada salah satu anjingnya. “Kesini, Morgan. Jangan di situ, nanti kamu kehujanan dan bisa jatuh sakit.” lanjutnya.

Morgan mematung di tempatnya. Bulu-bulunya basah. Ia pandangi perempuan itu.

Hujan makin deras. Dua anjingnya, Markus dan Mikael telah lelap dalam dekapan hangat perempuan itu.

“Morgan, jangan duduk disitu. Ayo mendekat kesini.” suaranya sedikit gemetar menahan dingin.

Morgan seperti tidak menghiraukan hujan. Matanya terus menatap perempuan itu. Tatapan penuh iba. Andaikata jadi manusia, mungkin ia akan mengetuk pintu pagar orang kaya itu. Meminta ijin agar ibunya diperbolehkan berlindung di teras rumahnya untuk malam ini saja.

Tapi Morgan tidak bisa melakukannya. Ia hanya seekor anjing.

Hanya seekor anjing! Apa yang bisa dikerjakan oleh seekor anjing?

Seperti marah pada dirinya sendiri lantaran tidak bisa berbuat apa-apa, ia menyalak. Menggonggong sekeras-kerasnya. Lolongan Morgan yang panjang, menikam kebekuan malam. Memilukan.

“Pelan-pelan, Morgan… Jangan keras-keras” bisik Ivonne dalam geliat di atas ranjang pengantinnya.

Dan hujan semakin deras membasahi bumi.


[Menteng, 15.10.02 ; 21:26 wib]

1 komentar:

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters