Please, add your self in my guestbook...

Selasa, Februari 12, 2008

Tak Takut Dosa, Tak Tergoda Pahala

Tidak Takut Dosa, Tidak Tergoda Pahala


Haqul Yaqin. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa seorang maling ayam atau maling sandal di masjid pun sebenarnya tahu bahwa perbuatannya dosa. Orang-orang kaya itu, saya yakin juga tahu betul bahwa ber-derma, shadaqoh, membantu yang lemah, itu berpahala dan sangat mulia. Lalu mengapa tetap saja maling dan tetap saja kikir? kata Sariman. Terasa pilon ndak sih?

Coba anda tanya kepada para koruptor kelas teri hingga kelas kakap, apakah mereka tahu bahwa mengambil keuntungan yang bukan haknya itu salah? Pasti mereka tahu. Tanya kepada suami-suami yang melakukan pengkhianatan kepada istrinya dan tanya kepada istri-istri yang melakukan perselingkuhan dibelakang suaminya, dalam kesadaran mereka pasti ada secuil perasaan bahwa yang dilakukannya salah.

Tanya kepada pelaku birokrasi di pemerintahan kita, apakah mereka tahu bahwa mempersulit hal-hal yang semestinya bisa dipermudah lalu mengambil keuntungan dari keadaan itu sesungguhnya termasuk penyimpangan? Pasti mereka tahu.

Apakah para pengendara kendaraan bermotor dan supir angkutan umum tidak tahu bahwa jika traffic light berwarna merah itu tandanya berhenti, kalau ada tanda huruf “P” dicoret itu artinya dilarang parkir, tanda huruf “S” itu berarti dilarang berhenti? Pasti mereka tahu. Haqul yaqin, jika mereka semua ditanya apakah mereka mau menerima hukuman atas pelanggaran dan penyimpangan yang mereka lakukan, pasti lah mereka dengan tegas mengatakan “tidak”.

Pertanyaannya, mengapa kita tahu hal-hal yang benar tetapi justru tidak tergerak untuk melakukan? Mengapa kita tahu hal-hal yang salah tetapi kita tidak kuasa menolaknya?

Kalau kita mendengar ceramah agama di TV-TV atau di masjid-masjid, da’i dan para mubaligh berkoar-koar tentang surga-neraka, pahala-dosa. Dikatakan misalnya, kalau melakukan puasa dan kebaikan dibulan ramadhan, pahalanya dilipatgandakan seribu kali dan dibukakan pintu surga. Mencuri itu perbuatan dosa dan ganjaran bagi pelaku dosa adalah neraka. Tapi tetap saja banyak yang tidak puasa dan banyak yang tetap mencuri.

Maunya kita ini kan terima enaknya saja. Berenang-renang ketepiannya kita mau, tapi ogah berakit-rakit ke hulu. Nangkanya mau tapi tidak mau kena getahnya. Uangnya mau tapi malas kerjanya. Surganya mau tapi perintah-Nya diabaikan. Jabatannya dan fasilitasnya mau, tapi komitmen untuk mensejahterakan masyarakat dilupakan. Maunya menuai tapi enggan menyemai. Begitulah “wajah pilon” kita, kata Sariman.

Kita ini kok mau menang sendiri, memangnya siapa kita ini?

Saya jadi teringat cerita tentang Si Endang. Dia ini (selalu hadir di acara Kenduri Cinta di TIM) oleh sebagian besar orang dianggap tidak normal dan tidak waras lantaran bentuk fisik dan tampilannya terlihat ‘berbeda’, hanya sebagian kecil saja yang menganggap dia itu menyimpan rahasia hakikat pemahaman sufistik dalam kehidupannya. Katanya, ketika di tawari uang, ia terima uang itu. Ketika di tawari sebungkus makanan, ia terima makanan itu. Namun ketika ditawari keduanya, ia menolak dan hanya memilih salah satunya biarpun anda memaksanya.

Jika ditanya mengapa, Endang akan menjawab sambil cengar-cengir “karena saya hanya lapar, jadi tidak butuh duit” atau “saya sudah kenyang jadi saya pilih uang saja”. Sederhana. Dia hanya ambil sesuai kebutuhan, sesuai takaran. Seandainya anda di suruh memilih, rumah atau mobil, jabatan atau ketenangan, kekayaan atau kesehatan, baju atau celana, saya bisa duga anda akan mengatakan “saya pilih dua-duanya”. Apakah jawaban anda tetap sama jika pilihannya ‘surga atau neraka’?

Sepertinya bangsa ini harus berguru kepada Endang. Karena hampir semua elemen bangsa ini, dari penyelenggara pemerintahan sampai yang diperintah, yang mengaku dirinya lebih normal, lebih waras, lebih intelek daripada Endang, justru rakus dan tamaknya amit-amit. Hutan dan isi lautan di makan habis, dana BLBI di bawa kabur, aset-aset Negara di jual untuk dana kampanye dan masih banyak kerakusan-kerakusan lainnya. Pilon kok di piara.

Ya bagaimana mau bener, kata Sariman. Kita ini bangsa yang tidak pernah mampu menentukan pilihan dengan komitmen yang utuh, tidak setengah-setengah. Maunya kaya tapi kerja kerasnya tidak mau, maunya demokrasi tapi menolak adanya perbedaan pendapat, maunya ekonomi kerakyatan tapi menyuburkan konglomerasi, maunya mensejahterakan rakyat tapi anggarannya di sunat, maunya di hormati tapi kelakuannya sangat biadab, mau dipilih jadi presiden tapi hanya hobi obral janji dan propaganda palsu.

Jangan-jangan memang kita ini belum menjadi manusia utuh. Setengahnya manusia, setengahnya lagi ondel-ondel, jin, genderuwo atau iblis. Apakah kelak setengah jasad kita ada disurga dan setengahnya terpanggang di neraka?

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Penyakit bawaan kali ya pak..
Ketika ada yang menyodorkan lebih.. diambil... lumayan untuk tabungan hari depan..ternyata hari esok bukan miliknya..maka pergilah ia dgn tabungannya.. siapa tau dikuburan butuh 'lebih'itu tadi..
tantangan jaman sekarang adalah berani kompromi pada hati nurani..

Ray Asmoro mengatakan...

Mungkin begitu kali ya bu...
bahkan kalau mungkin surga pun dibeli, TUHAN disuap, hehehe...

Thanks ya...

little voice mengatakan...

hhhaa,,bgus om..
^_^

Anonim mengatakan...

Semua itu terjadi krn Tuhan memang membiarkan semuanya terjadi. Semua perbuatan buruk, jelek, kriminal, dll dibolehkan, itu yg menjelaskan knp manusia tahu perbuatannya tercela dan dosa tp ttp berbuat demikian. Tuhan membiarkan semua terjadi krn dari situlah Tuhan bisa memberikan keadilan pd umat-Nya.

Manusia yg tidak melakukan perbuatan dosa akan mendapat pahala, rahmat dan ridhonya. Manusia yg lain tidak. Dan dari sejuta manusia, hanya 10 yang benar-benar ada dijalan yg diridhoi-Nya. Disitulah sebagian kecil dari keadilan Tuhan berjalan.

Jadi, pilihan ttp ada ditangan kita. Mau jd seperti orang kebanyakan atau tidak.

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters