Please, add your self in my guestbook...

Selasa, Februari 05, 2008

MAKHLUK YANG SELALU MENGELUH...

Makhluk Yang Selalu Mengeluh

Saya bertanya kepada anda semua. Bisakah anda menjalani satu hari kehidupan ini tanpa mengeluh sedikitpun? Ini pertanyaan serius lho! Tidak main-main, kata Sariman.

Saat hujan, kita mengeluh. Repot, jalanan becek dan macet, yang naik motor harus berteduh atau pakai jas hujan, sepatu basah, bisa sakit flu, mobilitas jadi turun, dan sebagainya. Pas cuaca panas, kita mengeluh juga. Huh! Panasnya minta ampun, mau kemana-mana jadi malas. Pilon tidak?

Tidak punya uang, kita mengeluh. Punya banyak uang pun kita mengeluh. Aduh mau diapakan uang ini? Sebentar lagi teman dan saudara pasti pada mendekat berharap dapat bagian. Ahhh!

Tidak punya pekerjaan, kita mengeluh. Duh, susahnya jadi pengangguran. Penghasilan tidak punya, kebutuhan tidak bisa ditunda. Tapi yang punya pekerjaan pun mengeluh. Yah… sudah hari senin lagi, harus kerja lagi. Pusing mikirin pekerjaan, nggak ada habis-habisnya.

Tidak punya pacar, kita mengeluh. Nggak enak jadi jomblo, nggak ada yang urus, mau jalan-jalan nggak ada yang di gandeng, kalau lagi manyun, nggak ada yang bisa di telpon. Tapi saat punya pacar pun, kita mengeluh juga. Hmmm, harus jemput lagi. Harus ingat kapan ulang tahunnya. Harus menelpon tiga kali sehari. Capek deh…

Yang berbisnis pun begitu. Order sepi mengeluh. Gila, order turun terus. Kalau begini terus bisa bangkrut nih. Begitu kebanjiran order, mengeluh juga. Gila, bisa nggak napas nih, banyak banget ordernya jadi pusing mikirinnya. Dasar pilon!

Dulu anda mengeluhkan kepemimpinan Soeharto, tapi begitu dia lengser dan di gantikan yang lain, anda mengeluh juga. Lha terus mau anda itu apa? Apa Indonesia ini tidak usah ada Presidennya, DPR/MPRnya di bubarkan, Mahkamah Agung di bekukan, tidak ada partai politik, LSM-LSM di larang keberadaannya, Pers dilarang terbit, Tentara dan Polisi di tiadakan, begitu? (Wis mbuh lah sak karepmu!)

Mengeluh itu kan kondisi dimana peristiwa atau realita yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan kita. Nah, justru disitulah hikmahnya, kata Sariman. Maksudnya ketika kita mengeluh, kita sebenarnya tahu bahwa ada sesuatu yang tidak atau kurang pas menurut kita. Itu dasar untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan, bukan?

Kuncinya tinggal kita mau atau tidak untuk bertindak, merubah dari sesuatu yang belum pas dengan kemauan kita, menjadi sesuatu yang sesuai atau paling tidak lebih dekat dengan apa yang kita maui. Dan kebanyakan kita, termasuk saya, kata Sariman, hanya bisa mngeluh tanpa berbuat apapun untuk merubahnya. Ini kan pilon namanya. Padahal keluhan itu kan bisa menjadi pemicu terjadinya perubahan. Kata Richard Hooker, “Change is Not Make Without Inconvinience…”

Tidak ada yang salah dengan mengeluh, karena Tuhan juga menciptakan sistem inderawi yang sedemikian rupa yang mampu menangkap setiap atau beberapa fenomena disekitar kita. Di ciptakan pula sistem pertahanan dalam diri kita, yang dapat muncul secara otomatis begitu ada stimulus. Misalnya jika kita merasa tertekan, kita akan menggeliat atau berontak, jika di tonjok kita berusaha menangkisnya, jika terantuk batu kita bilang “aduh”. Itu semua bagian dari bekerjanya sistem pertahanan bekerja di dalam diri kita.

Otomatisasinya bisa di stel, kata Sariman. Misalnya, kalau terantuk batu, tidak harus bilang “aduh”, bias saja di stel dengan mengucap “astaghfirullah” atau “astaganaga” atau “auuuoooo…!” itu terserah kita. Kalau selesai bersin kita bisa saja mengucap “alhamdulillah” atau “ayam goreng” itu juga terserah kita. Hanya masalah kebiasaan saja kok. Pendek kata ketika ada peristiwa atau kejadian yang kurang nyaman di hati kita, tidak pas dengan harapan kita, dan karenanya kita selalu mengeluh tanpa tindakan perubahan, itu karena kita sudah stel otomatisasi kita dengan cara seperti itu. Lha, kalau kita mengeluh, memprotes sesuatu, mengkritik orang, tapi kita sendiri tidak berusaha lebih baik kan pilon namanya.

Beberapa waktu lalu saya mendapat email dari seorang teman, ia bercerita melalui bahasa visual dengan powerpoint, dikisahkan ada seseorang yang berdoa kepada Tuhan agar diberikan bunga yang indah dan kupu-kupu yang cantik. Namun apa yang terjadi, Tuhan justru memberinya bunga kaktus yang penuh duri dan seekor ulat bulu.

Pada mulanya ia mempertanyakan “Tuhan ini serius ndak sih? Saya minta bunga dan kupu-kupu kok yang diberikan kaktus penuh duri dan seekor ulat. Katanya setiap doa akan dikabulkan, huh!”. Ia mengeluh dan kesal. Namun akhirnya ia berpikir “mungkin Tuhan terlalu banyak urusannya, terlalu banyak doa dari umatnya sehingga belum sempat merespon doaku”, lalu ia melupakannya. Setelah waktu demi waktu berlalu, dari bunga kaktus penuh duri itu muncul bunga yang indah dan ulat tadi menjelma kupu-kupu yang cantik.

Akhirnya ia menyadari bahwa Tuhan memiliki caranya sendiri, walaupun kelihatannya salah pada mulanya tapi ternyata itulah yang terbaik. Dan Tuhan tahu kapan saat yang paling tepat. Duri hari ini menjadi bunga di hari esok.

Begitulah wajah kita. Kita ini cenderung sok tahu. Menganggap segala sesuatu menjadi tidak berarti manakala proses dan perjalanannya tidak sesuai dengan kehendak kita, lantas kita mengeluh, mengaduh, resah dan tertekan. Bahkan menyalahkan Tuhan.

Keluhan itu bias diartikan sebagai ketidakmampuan kita mensyukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Padahal salah satu kunci keberhasilan adalah dengan bersyukur (gratitude). Bukankan Tuhan sendiri yang mengatakan “Bersyukurlah, niscaya aku akan menambah nikmat bagimu…”. Niscaya itu absolut, pasti. Lebih lanjut Tuhan mengatakan “…jika kamu mengingkari nikmatku, niscaya adzab-Ku sangat pedih”.

Disinilah kita seringkali menjadi pilon. Kita mau nikmat yang banyak tapi tidak mensyukuri yang diberikan-Nya. Kalau yang sedikit saja tidak di syukuri, jangan-jangan jika diberikan nikmat yang banyak malah jadi lupa bersyukur.

Jika kita terserang gejala flu, bersyukurlah. Begitulah cara Tuhan mengingatkan bahwa badan kita perlu istirahat yang cukup, untung tidak langsung koit, kata Sariman. Maka dari itu, kalau negeri ini selalu dalam kemelut malapetaka dan bencana, tingkat pertumbuhan ekonomi tidak kunjung membaik, penyakit sosial tumbuh subur, lebih banyak maling daripada negarawannya, mungkin karena kita tidak memiliki rasa syukur itu dan memilih untuk lebih banyak mengeluh, protes, dan eker-ekeran memperebutkan yang bukan haknya.

Dasar pilon!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

manusia..emang susah yah diajak bersyukur.. :)

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters