Please, add your self in my guestbook...

Minggu, November 23, 2008

Bisa Berjalan

Akhirnya aku bisa berjalan...
(23 Nov 2008, Wisma LAN Jakarta)



JATUH untuk BANGKIT KEMBALI

Terjatuh saat belajar berjalan...
Ya terjatuh, Untuk kemudian
BANGKIT KEMBALI

Ayo EUREKA!
Kamu BISA!!!

23 Nov 2008
Lokasi : Wisma LAN Jakarta


Senin, November 10, 2008

Mbah Surip ; I LOVE YOU FULL.. hah, hah, hah, hah...


Mbah Surip ; I LOVE YOU FULL…! Hah..hah..hah..hah…

Saya mengenalnya diakhir tahun 2002, ketika itu saya menjadi ketua panitia dalam even ‘Menjemput Tahun Tanpa Kekerasan’ yang diadakan oleh Jaringan Pekerja Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Dalam acara (menyambut tahun baru) itu kami menggelar acara kesenian, mulai dari teater, musik, puisi, maupun kesenian tradisional. Disamping suguhan pertunjukan dari banyak kelompok teater di Jakarta, juga dari beberapa penampil kesenian tradisional yang kami hadirkan dari Aceh, Jawa dll., banyak pula tokoh seniman dan budayawan yang tampil malam itu seperti; Putu Wijaya, Ratna Riantiarno, (alm) Harry Roesli, Ratna Sarumpaet, Soetardji C. Bachri, Jose Rizal Manua, PM. TOH, dan masih banyak lagi sehingga pergelaran malam itu beralngsung semalam suntuk.

Diakhir acara, menjelang subuh, seorang yang terkesan sangat ’seniman’, pakaiannya nyentrik, rambut gimbal, menenteng sebuah gitar, naik keatas panggung dan... ”hah..hah..hah..hah....” ia memulai dengan tertawa yang khas. Saya pun terkesima dan larut dalam keceriaan yang di hadirkan Mbah Surip.

* * *

Berikutnya saya sering melihat Mbah Surip di setiap acara ”Kenduri Cinta” (yang –sebut saja—diasuh oleh Emha Ainun Nadjib) setiap jumat malam minggu kedua setiap bulan. Kenduri Cinta adalah semacam wadah silaturahim antar umat. Walaupun Cak Nun (Emha Ainun Nadhib) sering mengajak sholawatan, tetapi tamu yang diundang beragam, mulai dari pendeta atau romo, politikus, pengusaha, preman, dan lain-lain. Di Kenduri Cinta semua boleh bicara apa saja. Selain ngobrol dalam sarasehan, ada pula waktu disediakan buat para penampil di Kenduri Cinta, mau main musik silakan, mau baca puisi silakan, mau ludruk-an silakan. Semuanya boleh asal dalam bingkai cinta. Dan Cak Nun melengkapi Kenduri Cinta dengan sentilan-sentilan yang kritis tapi ndagel, sejuk menyentuh bahkan kadang panas membakar.

Dan Mbah Surip salah satu yang saya tunggu-tunggu penampilannya di Kenduri Cinta. Sehingga alasan saya ke Kenduri Cinta tidak jelas lagi apakah karena Cinta yang ditawarkan Cak Nun atau karena kehadiran Mbah Surip disana. Tetapi itu tidak penting.

Sosok Mbah Surip adalah sosok yang periang. Ia selalu menghadirkan kegembiraan dalam setiap tarikan nafasnya. Bahkan tidak sakit hati terhadap setiap olok-olok yang ditujukan padanya. Semua ditanggapi dengan tawa, hah..hah..hah..hah... Malah lalu ia akan katakan ”I LOVE YOU FULL... hah..hah..hah..hah...”. Dan naif rasanya jika meragukan cintanya itu. Karena ia manusia yang selalu diliputi cinta, bahkan ia menjelma cinta. Seharusnya lebih banyak lagi manusia seperti Mbah Surip itu di negeri ini, manusia yang penuh cinta. Memandang segala sesuatu bukan berdasarkan nafsu dan kepentingan pribadi semata, tetapi memandang dan memperlakukan segalanya dengan sesuatu yang paling hakiki : CINTA. Dialah pejuang cinta, manusia cinta. Hah..hah..hah..hah... I LOVE YOU FUL...!!!

Kata ”I Love You Full” sangatlah sarat makna. Menunjukkan keberpihakan dan totalitas Mbah Surip atas cinta. Cintanya selalu ”Full”, tulus, penuh, tidak pernah setengah-setengah. Dan yang penuh itu, ia tebarkan semua ke seluruh jagad raya. Dan cinta selalu menghibur luka, memadamkan amarah dan dendam, melenturkan keakuan. Maka tak heran jika Mbah Surip naik panggung dan bernyanyi, selalu penuh gelak tawa penonton. Yang patah hati seketika sembuh lukanya, yang gelisah karena pengangguran seketika tentram hatinya, yang teraniaya oleh kekuasaan seketika terbit senyum dan tawanya, yang ngga tau siapa dirinyapun larut dalam kegembiraan...

Begitulah Mbah Surip. Saya menganggapnya sebagai ”sufi”. Lantaran ia tak lagi tergoda oleh gemerlap dunia, ia tak butuh puja-puji, ia tak perlu dikasihani, karena CINTA telah cukup memenuhi hidupnya.

* * *

Yang Khas dari Mbah Surip (yang ternyata nama aslinya adalah Urip Aryanto dan konon pernah sekolah di STM Brawijaya Mojokerto) ini adalah rambut gimbalnya, tawanya, penampilannya dan gitarnya. Dulu pernah kami tanyakan soal rambut gimbalnya. Dia bilang dia tidak melakukan permak rambut di salon agar jadi gimbal ala Bob Marley itu. Tapi katanya ia pakai kompor minyak tanah, diatasnya ia letakkan seng, kemudian rambutnya ia panaskan disitu sambil di bentuk jadi gimbal.

”Masa’ tho mbah? Yang bener?”
”Hah..hah..hah.. I Love You Full...” begitu jawaban Mbah Surip. Entah itu sebagai pembenaran atau sebaliknya. Baginya apapun tidak masalah.

Rambut gimbal dan penampilannya yang –sebut saja—lusuh dan terkesan asal-asalan itu mungkin sering membuat orang menjauhinya. Takut. Padahal kenyataan fisik tak selalu berbanding lurus dengan hatinya. Bahkan mungkin banyak yang menganggapnya sebagai orang gila, ndak waras. Tapi Mbah Surip tak peduli dengan predikat apapun yang diberikan padanya. Lha kalu dia cuek saja, kenapa anda yang jadi sewot? Bukankah anda yang ngaku-ngaku waras justru sering berbuat ”gila”? Hah..hah..hah..hah... I Love You Full...

* * *

Ngrasani Mbah Surip rasanya tak lengkap jika tidak melongok lagu-lagu ”HITS”nya. Saya tidak tahu persis seberapa banyak lagu-lagu yang sudah Mbah Surip cipta, tetapi saya hanya hafal beberapa. Lagu-lagu Mbah Surip begitu spontan dan sederhana tetapi selalu kontekstual dan mengena. Coba simak syair lagu berikut :

Tak Gendong, Kemana-mana
Tak Gendong , Kemana-mana
Enak Dong, Mau Dong, Lagi Dong

Where Are You Going
Okay, I am Coming
Where Are You Going
Okay, My Darling

Tak Gendong Kemana-mana
Tak Gendong, Kemana-mana
Enak Dong, Lagi Dong
Mau Dong, Tambah Dong
Capeeeeekkkk....


Dalam lagu itu tergambar betapa Mbah Surip menyediakan dirinya untuk ‘menggendong’, menolong yang lemah dan butuh tumpangan, membantu yang jatuh, mengangkat yang nista, untuk kemudian memanusiakannya. Apa lagi jika bukan CINTA namanya.

Saat kita masih kecil dulu, orang tua kita senantiasa menggendong kita. Begitulah caranya orang tua memperlakukan anaknya dengan cinta dan kasih sayangnya. Ditimang-timang dan di nina-bobo kan. Begitu juga dengan Mbah Surip. Ia memiliki jiwa ’ngemong’ karena jiwanya selalu terpelihara dengan cinta.

Simak juga syair lagu Mbah Surip berikut :

Bangun tidur, tidur lagi
Bangun lagi, tidur lagi
Baguuuuuunnnn...
Tidur lagi

Bangun tidur ayo terus mandi
Jangan lupa menggosok gigi
Habis mandiiiii...
Tidur lagi


Ini sebuah satir tentang ’kita’. Yang terlelap dalam tidur berkepanjangan. Seharusnya kita sudah bangkit dan berbuat sesuatu yang berguna, tetapi kita memilih tidur. Ketika diluar sana keadaan tak menentu, harga-harga sembako naik, BBM tak tak turun-turun harganya padahal harga minyak sudah turun drastis, sodara-sodara kita di Porong sampai kini tidak jelas nasibnya, para petani banyak yang gagal panen, banjir mulai menyambangi kampung-kampung dan kota kita, korupsi terus tumbuh subur, orang-orang rebutan kekuasaan dan sibuk mempersiapkan strategi pemenangan pemilu 2009, dst... tapi ’kita’ masih tidur, tidak bangun-bangun.

Kita pernah bangun, tapi hanya eforia sesaat. Sekejap saja kita bangkit dari tidur, mandi, lalu ’kita’ tidur lagi. Kita tidak pernah menjaga semangat kebangunan. Kita lupa bahwa cita-cita tidak bisa terwujud hanya dengan tidur dan bermalas-malasan. Harus bangkit dan berbuat sesuatu yang nyata, itu semua butuh kerja keras. Jika kesejahteraan yang kita inginkan bersama, jika kita ingin mengangkat harkat dan martabat kita bersama, seharusnya kita segera bangun, bangkit dan segera bertindak.

Mbah Surip menyadari sepenuhnya bahwa perubahan tidak akan tercipta dengan kemalasan. Sedangkan kemalasan telah menjadi karib kita. Mbah Surip gelisah. Namun tetap saja diakhir lagu ia tertawa, hah..hah..hah..hah... I LOVE YOU FULL...!

Lagu berikut cukup membuat saya kaget dan terperangah. Idenya syairnya gila tapi kena. Mbah Surip biasanya memulai dengan petikan gitar yang ’metal’ tapi ngawur tanpa ’cord’, asal dibunyikan bahkan dibuat bising dan memekakkan telinga, justru distorsi itu yang memperkuat ruh lagu ini. Begini syairnya :

Whaaaaaahhh.... Whaaaaaahhh... Awaaaaaasss... Awaaaaaasss... Setan-setan kerasukan manusia Setan-setan kerasukan manusia Sundel bolong.. datanglah... Sundel bolong.. datanglah... Datang nggak apa-apa... Nggak datang juga nggak apa-apa... Whaaaaaahhh... Whaaaaaaahhh...
Edan! Mbah Surip benar-benar jeli. Normalnya, manusialah yang seharusnya kerasukan setan. Tetapi bagi Mbah Surip, setan-setanlah yang kerasukan manusia. Karena ia melihat fenomena menarik bahwa semakin banyak manusia bertabiat setan. Mungkin Mbah Surip juga kasihan sama setan, jika semua manusia sudah bertabiat setan, lalu apa kerja setan? Apakah mereka akan jadi pengangguran?

Sehingga kemudian, yang sehari-hari kita lihat dan saksikan, bahkan mungkin dirikita sendiri adalah sesungguhnya setan yang sedang kerasukan manusia. Itu berarti esensi kita adalah setan, dan kemanusiaan kita hanya sebagai pembungkus saja. Kita berlagak melakukan derma tapi dibalik itu kita sedang menancapkan kepentingan pribadi atau gerombolan, kita bermanis-manis saat kampanye tapi setelah duduk dalam kekuasaan kita justru menistakan kostituen kita, kita kritik para koruptor padahal dalam hati mengatakan kenapa bukan kita yang maling, Isn’t That Interesting...?

Seringkali lagu yang Mbah Surip beri judul ”HENING” berikut ini yang ia jadikan lagu pamungkas, lagu penutupan. Kalau saya boleh lancang menerjemahkan syairnya, mungkin bisa saya tuliskan begini :

”....................................................................
......................................................................
......................................................................
....................................................................”


Tanpa musik tanpa suara, hanya beberapa detik, lalu ia bilang ”Terimakasih, hah..hah..hah..hah...”

Sungguh ke”HENING”an itu bisa menjelma jutaan puisi, bisa di interpretasikan menjadi berpuluh-puluh buku tebal. Karena hening bukan berarti hampa dan kosong. Bukankah segala yang ada berasal dari yang tiada? Bukankah semua yang terlihat berasal dari yang tak terlihat? Mbah Surip begitu jenius menginterpretasikan sebuah keheningan.

Dalam keheningan itu ada energi. Dalam keheningan itu terciptalah koordinasi antara pikiran sadar dan bawah sadar. Hening adalah ketika eksistensi bersinggungan dengan alam ruh, ketika garis ke-fana-an bertemu dengan keabadian pada satu titik ordinat, pada saat itu seluruh indera kita menjadi aktif, menangkap segala yang tampak dan yang tak.

Saya kira Mbah Surip sedang memperingatkan kita. Hidup kita begitu bising dengan kepentingan dan hasrat duniawi. Dan kita menjadi lupa dan hilang kewaspadaan kita. Kita menjadi orang yang tidak peka lantaran kita tidak pernah mengasah bathin dan hati nurani kita, dunia kita tampak suram karena kita selalu lupa membersihkan jendela hati kita, kita sering terkagum-kagum dan terpana bahkan tergoda melihat keindahan dunia sebab kita telah memadamkan cahaya ilahiah dalam kalbu kita.

* * *

Saya sebenarnya tak mengidolakannya, dan saya tahu persis Mbah Surip juga tidak akan mau di idola-idolakan. Saya hanya iri mengapa ia begitu berhasil menghadirkan kegembiraan dalam kehidupannya setiap saat, tak pernah bosan menebarkan cinta kepada sesama. Dan tulisan ini semata karena respek dan cinta saya kepada Mbah Surip.

Suatu kali saya menonton televisi. Kebetulan Mbah Surip di wawancarai dalam obrolan ringan. Kepada anak saya AYA (Eureka Digdaya) yang baru genap 1 tahun usianya, yang sorot matanya tertuju pada sosok gimbal di kaca televisi, saya katakan, ”Ay.. itu namanya Mbah Surip. Dia orang baik, karena hidupnya selalu penuh cinta dan kasih sayang. Begitulah seharusnya kita hidup, selalu penuh cinta...”

”Hah..hah..hah..hah... I Love You Full...” kata Mbah Surip di televisi.

MEDIA = TERORIS (?) ; metafora berita koran pagi


MEDIA = TERORIS (?) – Metafora Berita Koran Pagi

(Ray Asmoro)

Antara Sariman dan Amrozi Cs memang tidak ada hubungan darah dan kekerabatan. Satu-satunya yang dapat menghubungkan antara mereka adalah bahwa Sariman dan Amrozi Cs adalah sama-sama manusia, ciptaan Tuhan. Itu saja, ndak lebih dan ndak kurang. Hanya saja bedanya, Sariman tidak mendapat ’cap’ sebagai teroris dan Amrozi Cs di ’stempel’ sebagai teroris.


Drama eksekusi mati Amrozi Cs, cukup melelahkan untu diikuti. Setelah tertangkap 3 tahun lalu dan telah lama juga diputuskan bersalah oleh pengadilan, tapi pelaksanaan eksekusi sempat tertunda-tunda. Dalam waktu itu hingga kini berita tentang Amrozi Cs berseliweran di media cetak maupun televisi. Ada yang mengingatkan betapa sadis dan biadabnya perbuatan mereka, beberapa media menurunkan berita misalnya bagaimana gambar dan kehidupan para korban bom bali saat ini. Tetapi ada juga yang mengupas habis kehidupan Amrozi Cs, seperti layaknya pahlawan.


Teroris atau pahlawankah mereka? ”Entahlah” kata Sariman. Bagi ’dunia’ mereka dianggap teroris karena mengancam keamanan dan keselamatan umat manusia. Tetapi mungkin mereka juga pahlawan dalam konsep mereka tentang ’perjuangan’ yang mereka yakini. Hanya saja keyakinan mereka sering bertabrakan dengan yang lain. Maka teroris dan pahlawan menjadi abu-abu bagi Sariman. Layaknya seorang maling ayam, dia maling lantaran mengambil yang bukan haknya, tetapi dia menjadi pahlawan bagi keluarganya karena ia melakukan itu demi memperjuangkan sekolah anaknya misalnya. Bukankan memperjuangkan agar anak bisa sekolah dan menuntut ilmu itu baik? Ya, walupun caranya salah. Dan Amrozi Cs bagi banyak kalangan layak di cap sebagai teroris tetapi bagi media hmmm... bukankah ia ’pahlawan’ yang mampu mendongkrak rating dan oplah dengan menurunkan beritanya dengan begitu ’heboh’.


Media massa begitu piawai dalam mengemas sebuah berita menjadi begitu sensasional. Dan sayangnya yang sensasional dan ”sexy” itu adalah berita-berita yang justru negatif seperti tindak kejahatan, kriminal, korupsi, teroris, narkoba, artis kawin-cerai, dan sebagainya. Sedangkan berita tentang misalnya keberhasilan pemerintah dibidang tertentu tidak mendapat cukup ruang. Sehingga kemudian kita setiap hari, setiap saat, di bombardir oleh berita-berita ”heboh” tadi.


KOMPAS hari ini (10/10/2008) menurunkan sebuah headline ”Media Bisa Menginspirasi Kejahatan”. Gejala yang tampak adalah munculnya kemiripan kasus-kasus kriminalitas yang menonjol tahun ini, katanya. Kita tentu masih ingat cerita anak SD yang luka-luka karena di ’smack-down’ oleh temannya sendiri. Kasus mutilasi juga semakin sering kita dengar. Dan media memperlihatkan fakta-fakta itu begitu heboh, seolah-olah tanpa peduli akan pengaruhnya kepada masyarakat. Padahal untuk (khususnya) televisi, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) telah mengaturnya, tetapi kenyataannya KPI tidak cukup punya ’gigi’ untuk berbuat lebih jauh terhadap media yang tidak menjalankan aturan.


Realitanya, media cetak maupun televisi menyajikan hal-hal negatif dalam kehidupan kita, setiap hari bahkan setiap saat. Berita-berita itu sedemikian hebohnya, sehingga menjadi teror mental bagi kita semua, bagi anak-anak kita. Setiap saat kita di teror, dimana-mana kita di teror. Tidak ada tempat yang steril dari teror. Bukan hanya media massa, semua akhirnya berlomba-lomba melakukan teror. Pemerintah melakukan ’teror’ dengan kebobrokan birokrasi dan menjamurnya korupsi, saudara-saudara kita di porong terababaikan justru Lapindo di proteksi, apa itu bukan teror bagi rakyat? Organisasi-organisasi masa bertindak sewenang-wenang, merasa diri dan kelompoknya paling benar, lalu berkonvoi di jalanan sambil mengibarkan benderanya, kemudian dengan tongkat mereka ’merusak’ dengan mengatasnamakan agama dan kebenaran. Apakah itu bukan teror? Kita selalu mengatakan kepada anak-anak kita, ’jangan nakal ya, kalau nakal saya pukul nanti’ atau ’awas kalau tidak belajar, saya kurung dikamar mandi kamu’, apakah itu bukan teror bagi anak-anak kita?


Maka siapa teroris itu?


Sariman memetik gitarnya, lalu mengalunlah sebuah lagu... ”TERORejing... torejing-torejing... TERORejing...”


Senin, November 03, 2008

Jakarta TAK TERBENDUNG !!!

Jakarta Tak Terbendung

(RAY ASMORO)


Berbangga lah kita menjadi warga negara Indonesia!

Indonesia kita ini kaya raya dan memiliki pesona keindahan yang tiada tara. Bahkan pernah di gambarkan bahwa Indonesia ini bak potongan kecil dari surga. Itu baru dari sisi kekayaan alamnya, keindahan dan pesona budayanya. Sejarah membuktikan betapa orang-orang Indonesia memiliki daya cipta yang adiluhung. Sebut saja misalnya peninggalan sejarah seperti Candi Borobudur. Itu menunjukkan betapa hebatnya daya cipta dan karsa orang-orang tempo dulu di bumi nusantara ini. Dunia pun mengakuinya sebagai sebuah keajaiban.

Sejarah pembangunan di republik ini juga sangat luar biasa. Bahkan kita semua kala itu yakin dan percaya bahwa Indonesia kita ini akan menjadi mercusuar dunia. (Namun sayang, kini tidak pernah terdengar lagi kalimat yang di dalamnya menyimpan pengharapan sekaligus komitmen dan rasa bangga itu. Kalaupun ada yang mengatakan, kalimat itu diucapkannya dengan penuh ragu dan setengah hati).

Banyak ragam bentuk buah cipta karya manusia yang di akui dunia sebagai keajaiban. Sebut saja, menara pissa yang berdiri miring, tembok besar di cina, piramida di mesir, dan sebagainya. Namun ada satu yang luput dari pandangan dunia ; Jakarta!

Mengapa Jakarta? Ada apa dengan Jakarta?

Persoalan Jakarta tidak jauh dari masalah kemacetan dan banjir. Nah khusus tentang banjir, pemerintah setempat telah mengupayakan penanggulangannya dengan proyek banjir kanal, walaupun banyak orang menyangsikan efektifitasnya. Pengerukan lumpur di sungai-sungai Jakarta juga telah dicanangkan (konon katanya sampai akhir desember 2008). Lha kok desember? Itu pertanyaan Sariman. Bukankah desember itu bersamaan dengan datangnya musim hujan? Lagi-lagi ini membuat kita jadi sangsi, seharusnya sebelum datang musim hujan sudah kelar pengerjaannya sehingga ketika hujan datang, air melimpah, bisa tertampung dan mengalir kelaut. Kan begitu logikanya, sepertinya pemkot itu pada ngga memiliki timing awareness, kata Sariman. Eh, kalau jual jas hujan saat musim hujan, kalau jual es cendol saat musim panas, itu baru cerdas.

Belum lagi soal kesadaran warga tentang bagaimana memperlakukan sampah secara bijak. Jika pemerintah tidak memiliki timing awareness, warganya kurang mengerti fungsi dan nilai-nilai. Sungai dan selokan, di jadikan tempat sampah. Ini kan seperti mulut dan anus. Mulut untuk memasukkan makanan, anus untuk membuang kotoran. Apakah anda sadari fungsi itu? Jika tidak, hmmm betapa PILONnya anda.

Dari sisi politis... ”wah saya kira negeri ini terlalu di politisir, sehingga segala sesuatu harus dihitung untung-ruginya secara politis, kalau mau bangun infrastruktur musti dihitung seberapa besar peningkatan perolehan suara di pemilu mendatang”, kata Sariman. Akhirnya bukan mengadakan sesuatu yang memang seharusnya ada, tetapi membuat sesuatu ada hanya jika itu dapat memperkuat pijakan kekuasaan.

Dan Jakarta, adalah kota metropolitan yang unik. Sebagaimana kota Metropolitan, disini tempat semua kepentingan dari semua golongan tumplek bleg. Heterogenitas itu mungkin juga sebagai salah satu yang membuat permasalahan Jakarta semakin kompleks. Tapi apa salahnya dengan heterogenitas? Begitulah, akhirnya kita menjadi orang yang suka salah-menyalahkan satu sama lain dan bukan mengambil tanggungjawab masing-masing dan mengerjakannya secara benar.

Kompas pagi ini (4 November 2008) menurunkan headline ”Obama Sukar Dibendung” dan diatas headline itu terpampang sebuah foto banjir di daerah Bukit Duri. Ya, itulah salah satu kesamaan antara Obama dan Jakarta. Obama sulit dibendung, begitu pula Jakarta, airnya tak terbendung dan menggenang, membanjiri rumah-rumah warga.

Menurut pakar, Jakarta ini memang berada di tanah yang cekung. Bahkan seperti daerah aliran sungai, atau bahkan Jakarta pada hakikatnya adalah sungai. Hmmm, mungkin inilah satu-satunya ibu kota negara di dunia yang dibangun di dasar sungai, harusnya Jakarta menjadi salah satu keajaiban Dunia. Jangankan saat hujan, tidak hujanpun air menggenang.

Dan jika banjir datang, ada yang bersorak gembira. Karena itu sebuah momentum untuk ’jualan’ partai. Lihat saja kejadian yang sudah-sudah, begitu banjir melanda, bendera-bendera parpol berkibar-kibar, bahkan bungkusan nasipun di stempel logo parpol. Ya banjir telah menjadi komiditas. Dan kita menikmatinya.

me and my self

Hand Made (lukisan crayon diatas kertas)

mulai 10 Nov 2008...

free counters